Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MEDIASI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mediasi Hukum Keluarga
Islam

Dosen Penegempu : Dr, Munadi , M.A.

Disusun oleh :

Muhammad Adhairulsyah : 202011009

Muhammad Afwan Ridha : 202011012

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI LHOKSEUMAWE

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu terpanjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
nikmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini terselesaikan guna memenuhi tugas
kelompok untuk mata kuliah “MEDIASI HUKUM KELUARGA ISLAM”.

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda nabi besar Muhammad
SAW. Juga kepada keluarga-Nya, para sahabat-Nya dan seluruh kaum Muslimin
yang senantiasa mengamalkan sunnah yang dibawa oleh-Nya.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritikan yang membangun dari rekan – rekan sekalian. Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini dapat menjadi pedoman dan memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan kedepan.

Lhokseumawe, 25 Oktober 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang Masalah

Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar


pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup,
perburuhan, pertanahan, perumahan, dan sebagainya yang merupakan perwujudan
tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan efisien.
Mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” atau penengahan, yaitu penyelesaian
sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa
secara menengahi. Sedangkan secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa
Latin, “mediare” yang berarti berada di tengah.

Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa
secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak
yang bersengketa Prinsipnya mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral
(non intervensi) dan tidak berpihak (imparsial) serta diterima kehadirannya oleh
pihak-pihak yang bersengketa.

Pihak ketiga disebut mediator atau penengah, mempunyai tugas membantu


pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya, tetapi tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dalam mediasi, seorang
mediator berperan membantu para pihak yang bersengketa dengan melakukan
identifikasi persoalan yang dipersengketakan, mengembangkan pilihan, dan
mempertimbangkan alternatif yang dapat ditawarkan kepada para pihak untuk
mencapai kesepakatan. Mediator dalam menjalankan perannya hanya memiliki
kewenangan untuk memberikan saran atau menentukan proses mediasi dalam
mengupayakan penyelesaian sengketa. Mediator tidak memiliki kewenangan dan
peran menentukan dalam kaitannya dengan isi persengketaan, ia hanya menjaga
bagaimana proses mediasi dapat berjalan, sehingga menghasilkan kesepakatan
(agreement) dari para pihak.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses mediasi diterapkan dalam menyelesaikan Tindak Pidana


Ringan?
2. Apakah ada hambatan dan optimalisasi jika mediasi diterapkan untuk
menyelesaikan kasus Pidana pada umumnya ?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mengetahui proses mediasi diterapkan dalam menyelesaikan Tindak


Pidana Ringan.
2. Untuk mengetahui hambatan jika mediasi diterapkan untuk menyelesaikan
kasus pidana pada umumnya.
BAB II

PEMBAHASAN

1. MEDIASI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN

Secara etimologi kata mediasi berasal dari bahasa latin yaitu “mediare” yang
berarti berada di tengah. Makna tersebut menunjuk kepada peran yang ditampilkan
pihak ketiga yaitu mediator, yang mana dalam tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. Selain itu makna berada di tengah juga
memiliki arti seorang mediator haruslah bersifat netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa.
Mediator juga harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang
bersengketa dengan cara adil dan sama. Sehingga mediator dapat menumbuhkan rasa
kepercayaan dari para pihak. “Metode penyelesaian sengketa non-mengikat yang
melibatkan pihak ketiga yang netral yang mencoba membantu pihak-pihak yang
bersengketa mencapai solusi yang dapat disetujui bersama” dimana suatu proses
negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak yang bersengketa untuk
membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara
memuaskan bagi kedua belah pihak, adapun pihak ketiga yang membantu
menyelesaikan sengketa tersebut disebut dengan pihak mediator Keputusan untuk
berdamai diserahkan kepada para pihak, sehingga dapat dicapainya suatu putusan
yang benar-benar keputusan yang dikehendaki oleh para pihak.
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian perkara diluar
pengadilan sebagaimana yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yang mana
mediasi memiliki sifat sukarela atau pilihan. Namun, dalam konteks mediasi di
pengadilan, mediasi di pengadilan memiliki sifat yang wajib khususnya dalam
perkara perdata. Hal ini menunjukan bahwa proses mediasi dalam penyelesaian
sengketa di pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaian melalui
perdamaian.31 Kewajiban pelaksanaan Mediasi di Pengadilan pada perkara perdata di
atur dalam Pasal 4 ayat (1) PERMA No.1 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa
“semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan termasuk perkara perlawanan
(Verzet) atas putusan Verstek dan perlawanan pihak berperkara (Partij Verzet)
maupun pihak ketiga (Derden Verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui
mediasi, kecuali ditentukan oleh oleh Peraturan Mahkamah Agung ini.” Adanya
proses mediasi di lembaga pengadilan merupakan pemberdayaan yang tidak terlepas
dari landasan filosofis yang bersumber pada dasar negara kita yaitu pancasila,
terutama sila ke empat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Kenyataan praktik yang dihadapi jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk
yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan hampir seratus
persen berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or
losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep konsep sama-sama
menang (win-win solution). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan, dan
dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan gagal. Sehingga keberadaan
pasal 130 HIR/154 dalam hukum acara tidak lebih dari hiasan semata atau sebuah
rumusan mati.
Pada tahapan awal dari suatu proses mediasi di pengadilan, sebelum perkara
di periksa oleh majelis hakim, maka terlebih dahulu diupayakan perdamaian antara
para pihak. Setiap hakim, mediator dan pihak-pihak wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam PERMA No.1 tahun 2016.
Anjuran perdamaian sebenarnya dapat dilakukan kapan saja selama perkara belum
diputus oleh pengadilan, walaupun kemungkinannya kecil tetapi ada saja terjadi
perdamaian yang bukan terjadi pada sidang pertama, melainkan pada sidang-sidang
berikutnya. Oleh karena ada peraturan yang mengatur keharusan bermediasi maka
anjuran damai pada awal mula persidanagan bersifat mutlak/wajib dilakukan dan
dimasukkan kedalam berita acara.
2. Hambatan dan optimalisasi jika mediasi diterapkan untuk menyelesaikan
kasus Pidana pada umumnya.

Dalam Hukum Positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan diluar
proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan pelaksanaanya.
Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesai, walaupun tidak ada
landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar proses
pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga
adat dan sebagainya.
Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu
alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses
pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu
besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi. Mediasi Penal yang menerapkan
nilai-nilai Keadilan Restoratif bukanlah barang baru bagi masyarakat Indonesia,
malahan sekarang keadilan ini dikatakan sebagai pendekatan yang Progresif seperti
yang disampaikan oleh Marc Levin “Pendekatan yang dulu dinyatakan usang, kuno
dan tradisional dikatakan sebagai pendekatan yang progresif”.
Menurut Barda Nawawi Arief, Alasan dipergunakan mediasi penal dalam
penyelesaian perkara pidana adalah karena ide dari mediasi penal berkaitan dengan
masalah pembaharuan hukum pidana (Penal Reform), berkaitan juga dengan masalah
pragmatisme, alasan lainnya adalah adanya ide perlindungan korban, ide harmonisasi,
ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan (formalitas) dan efek negatif dari
sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang berlaku, serta upaya pencarian
upaya alternatif pemidanaan (selain penjara). Sebenarnya dalam masyarakat
Indonesia penyelesaian suatu perkara baik perdata maupun pidana dengan Mediasi
Penal bukan hal baru, hal ini dibuktikan dengan adanya penyelesaian dengan
pendekatan musyawarah. Bila dilihat secara histories kultur (budaya) masyarakat
Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan konsensus.
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik
aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif yang lebih
mengutamakan pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian
melalui mekanisme adat. Menurut Mudzakkirmengemukakan beberapa
kategorisasi sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang
dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui Mediasi Penal adalah sebagai
berikut:
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman
pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan
“kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum
administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan
aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan
diskresi.
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke
pengadilan (Deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum
yang dimilikinya.
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum
pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.
8. Salah satu upaya penerapan keadilan restoratif yang dapat dilakukan oleh
kepolisian dalam memaksimalkan penyelesaian dengan menggunakan
mekanisme mediasi Penal.Penyelesaian perkara-perkara ini dapat dilakukan
oleh kepolisian selaku garda utama sistem peradilan pidana, dengan
kewenangannya yaitu diskresinya dalam menyelesaikan suatu perkara pidana
perlindungan konsumen. Bahkan pelaksanaan nilai-nilai keadilan Restoratif
oleh aparat kepolisian telah diberikan suatu dasar hukum berupa Surat
telegram rahasia Kabareskrim Kepolisian Negara Republik Indonesia. No :
STR/583/VII/2012 Tanggal 8-8-2012 Tentang Contoh Penanganan Kasus
yang berkaitan dengan Konsep Restorative Justice, yang intinya menyatakan
bahwa Restorative Justice walaupun belum terdapat payung hukum yang jelas
(sudah ada 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak yang mengadopsi
nilai-nilai restorative justice melalui mekanisme diversi).
PENUTUP
Kesimpulan
Mediasi dapat dipergunakan dalam menyelesaikan perkara pidana. Akan
tetapi tidak semua perkara pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi, ada
kategori tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan mediasi, Penerapan mediasi
dalam perkara pidana merupakan penjabaran nilai-nilai keadilan restoratif yang
berorientasi pada penyelesaian perkara yang menguntungkan semua pihak (korban,
pelaku, dan pihak ketiga yaitu masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 2000, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas
Diponogoro. Semarang, -------, 2008,
Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, Pustaka Magister,
Semarang, h. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, 2011,
Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia,
Indie-Publishing, Depok, I Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara
Putra, 2009,
Pengantar Umum Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Perancangan
Kontrak, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar), I Made Agus
Mahendra Iswara, “Peranan Mediasi Penal dalam Menyelesaikan Tindak
Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Polresta Denpasar”,
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2011, -------,
“Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restoratif Justice dalam Penyelesaian
Tindak Pidana Adat Bali”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, Mansyur Ridwan, 2010,
Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),
Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, Marc Levin dalam Eva
Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung,
Bandung, Mushadi, 2007,
Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia 10 Ibid, h.208. , Walisongo
Mediation Center, Semarang,

Anda mungkin juga menyukai