Anda di halaman 1dari 23

LANDASAN HUKUM MEDIASI (MEMBANDINGKAN REGULASI

YANG ADA DI INDONESIA)

Oleh
Anas Mahfud (200201210007)

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H.

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah swt, karena berkat Taufiq, Rahmat serta

hidayahnyalah saat ini kita bisa merasakan manisnya Iman dan Islam.

Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita,

sang revolusionel figur dan panutan kita baginda Nabi Muhammad Saw. Beliau

yang telah membawa kita didalam agama Islam Alatharikati Ahlusunnah wal

Jamaah, tentu dengan Visi Misinya yang indah pula.

Ucapan terimakasih kepada Ibu Dr. Hj. Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H. selaku

dosen pembimbing, harapan beliau dengan ihklas memberikan segala ilmu dan

pengalamannya untuk kita semua. dan Alhamdulillah tugas makalah yang beliu

berikan dapat diselesaiakan namun masih jauh dari kata sampurnah, sehingga

harapannya adalah kritik dan saran yang insyaallah akan menjadi ilmu bagi

seluruhnya.

Demikian dengan adanya sepatah kata ini semoga kita selalu dalam ridho

dan lindungan Allah Swt. Amin

Lumajang, 15 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 3
C. Tujuan Masalah .................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Regulasi ............................................................................. 4
B. Mediasi Regulasi di Indonesia ............................................................. 5
C. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1Tahun 2008 .................................. 11
D. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1Tahun 2016 ...................................13
E. Awal terbitnya Perma RI Nomor 1Tahun 2008 dan 2016 ..................16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 20

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar

yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk

membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda

dengan hakim atau Arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan

sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada

mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara

mereka.

Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi telah lama dikenal dalam praktik

hukum Islam. Mediasi merupakan istilah baru yang di dalam hukum Islam disebut

dengan tahkim. Tahkim berasal dari bahasa Arab yang berarti menyerahkan putusan

pada seseorang dan menerima putusan itu. Selain itu tahkim juga digunakan sebagai

istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk untuk mendamaikan sengketa yang

terjadi diantara dua pihak. Dalam istilah lain dapat dinyatakan bahwa tahkim

dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa di mana para pihak yang

terlibat dalam sengketa diberi kebebasan untuk memilih seorang hakam (mediator)

sebagai penengah atau orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan ke dua

belah pihak yang bersengketa.1

1
TM.Hasbi, 1964, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: PT Al-Maarif

1
Di dalam peristilahan hukum di Indonesia, tahkim didefinisikan sebagai

mediasi. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat,

efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk

memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan. Prosedur mediasi di

Pengadilan menjadi bagian hukum acara perdata yang dapat memperkuat dan

mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa.

Secara normatif, mediasi berdasarkan Perma No. 1 tahun 2016 tentang

Prosedur Mediasi dalam Pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai cara penyelesaian

sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak

dengan dibantu oleh mediator.

Namun dilihat dari pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 tahun

2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dirasa belum optimal dalam memenuhi

kebutuhan pelaksanaan mediasi yang lebih berdayaguna dan mampu meningkatkan

keberhasilan mediasi di Pengadilan. Belum efektif dan belum optimalnya Perma

sebelumnya No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi, di antaranya sebagai

berikut:

1. Kemampuan mediator dari hakim. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2)

yang mensyaratkan pada asasnya hakim wajib memiliki sertifikat mediator

namun dalam hal di wilayah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, dan profesi

bukan hukum yang bersertifikat mediator, maka hakim di lingkungan

Pengadilan berwenang menjalankan fungsi mediator. Sehingga sertifikasi

mediator belum sepenuhnya dilaksanakan.

2
2. Praktik mediasi oleh mediator dari hakim cenderung memposisikan dirinya

tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai hakim di depan persidangan.

3. Tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama masih jauh dari yang

diharapkan. Kurang dari 10% dari perkara-perkara perdata yang diterima di

Pengadilan Agama, dapat diselesaikan melalui mediasi.2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Pengertian Mediasi (Regulasi di Indonesia)

2. Bagaimanakah mediasi versi Perma RI Nomor 1 Tahun 2008

3. Bagaimanakah mediasi versi Perma RI Nomor 1 Tahun 2016

4. Bagaimanakah awal terbitnya perma RI Nomor 1 Tahun 2008 dan Perma

RI Nomor 1 Tahun 2016

C. Tujuan Masalah

1. Sebagai pengetahuan tentang mediasi

2. Untuk Mengetahui Bagaimana perbedaan mediasi regulasi lama dan baru

3. Untuk mengungkapkan dan menganalisis kendala-kendala dalam menempuh

prosedur mediasi yang dilakukan oleh para pihak di Pengadilan Negeri

maupun Mahkamah Agung.

2
Siti Musawwamah, “Mediasi Integratif di Pengadilan Agama Pamekasan,” Jurnal Nuansa, Vol. 11,
No.2, (Juli-Desember, 2014)

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Regulasi

Akhir-akhir ini kita banyak mendengar istilah regulasi di beberapa media

cetak, elektronik, maupun media internet. Umumnya regulasi itu dikeluarkan

atau dirumuskan oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam perusahaan

atau pemerintahan. Namun, Apa itu arti regulasi? Mari kita bahas pengertian

regulasi, tujuan regulasi, dan contoh-contoh regulasi.

Ada beberapa macam bentuk regulasi yang bisa ditemui di dalam

pemerintahan dan masyarakat, seperti regulasi perusahaan, regulasi pemerintah,

regulasi menteri dan lainnya. Istilah regulasi banyak digunakan di berbagai

bidang, sehingga interpretasi dari istilah regulasi itu sendiri menjadi cukup luas.

Pengertian regulasi adalah suatu peraturan yang dirancang, dirumuskan,

disusun atau dibuat sedemikian rupa untuk membantu mengendalikan suatu

kelompok masyarakat, lembaga, organisasi, dan perusahaan dengan tujuan

tertentu. Umumnya, Tujuan utama dikeluarkanya sebuah regulasi atau aturan

adalah untuk mengendalikan sekelompok manusia atau masyarakat dengan

batasan-batasan tertentu.

Regulasi diberlakukan pada berbagai macam elemen masyarakat dan

lembaga masyarakat, baik itu untuk keperluan umum atau untuk kepentingan

bisnis. Namun secara umum, istilah kata regulasi digunakan untuk

4
menggambarkan suatu bentuk peraturan yang berlaku dalam kehidupan

bermasyarakat.

Regulasi dirancang melalui proses-proses tertentu dimana sekelompok

masyarakat atau suatu lembaga saling sepakat untuk terikat dan mengikuti semua

aturan-aturan yang telah dibuat untuk mencapai tujuan bersama. Maka dari itu,

regulasi sangat bersifat mengikat dan jika ada yang melanggarnya akan

dikenakan sanksi yang sepadan dengan pelanggarannya.3

B. Mediasi Regulasi di Indonesia

a. Pengertian mediasi

Kata "mediasi" berasal dari bahasa Inggris, "mediation” yang artinya

penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau

penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan

mediator atau orang yang menjadi penengah.4

Secara umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa

yang dimaksud dengan mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga

dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.5 Sedangkan

pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam

3
https://kotakpintar.com/pengertian-regulasi-adalah/
4
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. ke xxv (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003), 377. Pengertian yang sama dikemukakan juga oleh Prof. Dr. Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Kencana, 2005), 175. Lihat juga
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi,
Arbitrase), (Jakarta: PT. Gramedai Pustaka Utama, 2001)
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2000)

5
Pasal 1851 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah suatu

perjanjian dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau

menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau

mencegah timbulnya suatu perkara Kemudian.6

b. Unsur-Unsur penting dalam mediasi

Beberapa unsur penting dalam mediasi antara lain sebagai berikut:

1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.

2. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa didalam

perundingan.

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari

penyelesaian.

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama

perundingan berlangsung.

5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan

yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.7

c. Landasan Hukum Mediasi

Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan adanya

perdamaian akan terhindar dari putusnya perpecahan silaturrahmi (hubungan

kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa

akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum yang menegaskan tentang perdamaian

6
Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Paramita, 1985)
7
Suyut Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor: PT.Graha
Indonesia, 2000)

6
dapat dilihat dalam Al-Quran surat Al Hujuraat ayat 10 yang berbunyi:

َ‫ّٰللا لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْر َح ُم ْون‬ ْ َ ‫اِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ ا ِْخ َوة ٌ فَا‬
َ ‫ص ِل ُح ْوا َبيْنَ اَخ ََو ْي ُك ْم َواتَّقُوا ه‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu

damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada

Allah agar kamu mendapat rahmat.8

Dalam menjalankan proses mediasi di lingkungan peradilan baberapa

aturan yang dipergunakan yaitu:

a. Reglement Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura

(Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesteb Buiten

Java En Madura, Staatsblad 1927:227)

b. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine Inlandssch

Reglement, Staatsblad, 1941: 44)

c. HIR Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian.

Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara

sebelum perkaranya diperiksa

d. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4958)

e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2003)

7
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 tambahan

Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

f. Mediasi atau APS di luar pengadilan diatur dalam Pasal 6 uu No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

g. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016

tentang perubahan ketiga atas Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 dan Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

Di Indonesia, bila dilihat secara mendalam, tata cara penyelesaian

sengketa secara damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai

penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa diantara warganya. Terlebih

pada tahun 1945, tata cara ini secara resmi menjadi salah satu falsafah negara

dari bangsa Indonesia yang tercermin dalam asas musyawarah untuk mufakat.

Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah

merupakan culture (budaya) bangsa Indonesia sendiri. Baik dalam masyarakat

tradisional maupun sebagai dasar negara pancasila yang dikenal istilah

musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia pasti mengenal

makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, akan tetapi

mempunyai makna yang sama. Dalam klausula-klausula suatu kontrak atau

perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata

8
“kalau terjadi sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dengan cara

musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di

Pengadilan Negeri”.9

Walaupun dalam masyarakat tradisional di Indonesia mediasi telah

diterapkan dalam menyelesaikan konflik-konflik tradisional, namun

pengembangan konsep dan teori penyelesaian sengketa secara kooperatif justru

banyak berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak memiliki akar

penyelesaian konflik secara kooperatif.

d. latar belakang adanya proses mediasi

yang menjadi latar belakang adanya proses mediasi ialah sebagai berikut:

1. Sistem litigasi (peradilan): proses yang memakan waktu (waste time)

Mahkamah Agung sebagai pucuk lembaga peradilan telah

memberlakukan kebijakan dengan suratnya yang ditujukan kepada

seluruh ketua pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi, yang

isinya tentang pelaksanaan proses peradilan pada tingkat pertama dan

tingkat banding masing-masing untuk tidak melebihi 6 bulan.

Kebijakan tersebut dapat dianggap efektif berjalan lancar sesuai

harapan. Namun yang terjadi adalah penumpukan perkara pada

tingkat MA karena arus perkara yang demikian tinggi, sehingga

justisiabelen setelah melewati masa kurang lebih 1 tahun (tingkat

9
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, mimeo, (tt: tp, 2004), 15

9
pertama dan tingkat banding) masih harus menunggu pada tingkat

MA yang lamanya rata-rata lebih dari tiga tahun. Waktu tersebut

belum ditambah apabila ada pihak yang mengajukan Peninjauan

Kembali.

2. Biaya yang tinggi (high cost)

Biaya mahal yang harus dikeluarkan oleh para pihak untuk

menyelasaikan sengketa di pengadilan timbul oleh karena mereka

diwajibkan membayar biaya perkara yang secara resmi telah

ditentukan oleh pengadilan. Belum lagi upah yang harus dibayarkan

kepada pengacara /advokat bagi pihak yang menggunakan jasa

mereka.10

3. Putusan pengadilan tidak menyelesaiakan perkara

“Menang jadi arang kalah jadi abu” begitu kira-kira slogan yang

menggambarkan jika suatu sengketa diselesaikan dengan

menggunakan jalur litigasi. Sinyalmen tersebut mencerminkan

putusan pengadilan terkadang tidak serta merta menyelesaikan

persoalan sengketa melalui jalan perundingan, karena dengan melalui

hal itu akan mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar, baik

kerugian yang berupa moril maupun materiil. Menurut Yahya

Harahap, tidak ada putusan pengadilan yang mengantar para pihak

10
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, MARI 2004, 156

10
yang bersengketa kearah penyelesaian masalah, putusan pengadilan

tidak bersifat problem solving diantara pihak yang bersengketa

melainkan putusan pengadilan cenderung menempatkan kedua belah

pihak pada dua sisi ujung yang saling berhadapan, karena

menempatkan salah satu pihak pada posisi menang (winner) atau

kalah (losser), selanjutnya dalam posisi ada pihak yang menang dan

kalah, bukan kedamaian dan ketentraman yang timbul, tetapi pihak

yang kalah timbul dalam dendam dan kebencian.11

Selain itu, putusan hakim terpaku dengan aturan formil yang jika

tidak terpenuhi akan mengakibatkan batal demi hukum. Pada perkara-

perkara tertentu, seorang yang mempunyai hak sering dirugikan

karena tidak memenuhi syarat formil. Sebaliknya orang yang

seharusnya dihukum memberikan ganti rugi, karena tidak terbukti

secara formil maupun materil maka dia bebas dari jeratan hukum.

C. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1 Tahun 2008

Beberapa kekhususan Perma Nomor l Tahun 2008 adalah sebagai

berikut:

1. Kewajiban Proses Mediasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 4

Perma Nomor 1 Tahun 2008 maka setiap sengketa perdata yang diajukan

11
M. Yahya Harahap “Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Mediasi dan Perdamaian (Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2004), 157

11
ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diupayakan

penyelesaian melalui prosedur mediasi, yakni penyelesaian dengan upaya

perdamaian dengan bantuan mediator, kelalaian atau mengabaikan

prosedur mediasi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan

atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

2. Biaya Proses

Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih

dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya

perkara. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya

pemanggilan para` pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan.

Apabila gagal biaya dibebankan kepada yang kalah (Pasal 3).

3. Hak dan Kewajiban Mediator.

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses

perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesain sengketa

tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah

penyelesaian. Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya,

sedangkan jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para

pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak (Pasal 10). Mediator

wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para

pihak untuk dibahas dan disepakati dan jika dianggap perlu mediator

dapat melakukan kaukus ( pertemuan antara mediator dengan salah satu

12
pihak tanpa dihadiri oleh pihak yang lainnya), (Pasal 15). Jika diperlukan

dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara

jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal 13 ayat (6).

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Para pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan berikat :

a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada Pengadilan yang bersangkutan;

Advokat atau akademisi hukum.

b. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau

berpengalaman dalam pokok sengketa.

c. Hakim Majelis pemeriksa perkara.

d. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau

gabungan butir b dan d, atau gabungan butir e dan d (Pasal 8 ayat 1).

5. Hasil Akhir Mediasi

Setelah proses mediasi dijalani oleh para pihak dengan bantuan

mediator, maka hasil akhimya ada dua kemungkinan:

a. Diperoleh kesepakatan perdamaian yang dirumaskan secara tertulis

dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Pasal 17 ayat (1))

b. Pernyataan secara tertulis yang dibuat oleh mediator yang menyatakan

bahwa proses mediasi telah gagal (Pasal 14 ayat (1))

D. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1 Tahun 2016

1. Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara

perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak

13
berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap

pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih

dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.

2. Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang

waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:

1. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;

2. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan

Hubungan Industrial;

3. Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

4. Permohonan pembatalan putusan arbitrase;

5. Keberatan atas putusan Komisi Informasi;

6. Penyelesaian perselisihan partai politik;

7. Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

b. Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat

atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;

c. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu

perkara (intervensi);

d. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan

pengesahan perkawinan;

14
e. Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan

penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan

Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi

dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani

oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.

Dalam proses mediasi, terdapat 3 (tiga) tahapan yaitu:

1. Tahap pramediasi

Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun

sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi dimulai. Pada tahap ini,

mediator melakukan beberapa langkah strategis, yaitu membangun

kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan

informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengkoordinasikan para

pihak yang bersengketa, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan

tujuan, para pihak, serta waktu dan tempat pertemuan, dan menciptakan

situasi kondusif bagi kedua belah pihak.

2. Tahap pelaksanaan mediasi

Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap dimana para pihak yang

bersengketa bertemu dan berunding dalam suatu forum. Dalam tahap ini,

terdapat beberapa langkah penting, yaitu sambutan dan pendahuluan oleh

mediator, presentasi dan pemaparan kondisi-kondisi faktual yang dialami

para pihak, mengurutkan dan mengidentifikasi secara tepat permasalahan

para pihak, diskusi (negosiasi) masalah-masalah yang disepakati,

15
mencapai alternatif-alternatif penyelesaian, menemukan butir

kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan

kembali keputusan, dan penutup mediasi.

3. Tahap akhir implementasi mediasi

Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak menjalankan

kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam

suatu perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan

berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukkan selama dalam proses

mediasi. Pelaksanaan (implementasi) mediasi umumnya dijalankan oleh

para pihak sendiri, tetapi pada beberapa kasus, pelaksanaannya dibantu

oleh pihak lain.

E. Awal terbitnya Perma RI Nomor 1 Tahun 2008 perma RI Nomor 1

Tahuun 2016

Pada tahun 2008, PERMA No. 2 Tahun 2003 diganti dengan

PERMA No. 1 Tahun 2008. Dalam bagian menimbang PERMA ini

disebutkan “bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur

mediasi di Pengadilan berdasarkan PERMA No. 2 Tahun 2003, ternyata

ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari PERMA tersebut

sehingga PERMA No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk

lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di

Pengadilan”.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, sifat wajib mediasi dalam proses

16
berperkara di Pengadilan lebih ditekankan lagi. Ini dapat dilihat dengan

adanya pasal yang menyatakan bahwa tidak ditempuhnya proses mediasi

berdasarkan PERMA itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal

130 HIR/154 Rbg yang menyatakan putusan batal demi hukum (Pasal 2 ayat

(3) PERMA No. 1 Tahun 2008). Sementara Pasal 2 ayat (4) PERMA No. 2

Tahun 2003 menyatakan bahwa Hakim dalam pertimbangan putusan perkara

wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan

perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk

perkara tersebut.

Untuk implementasi dari PERMA No. 1 Tahun 2008, Mahkamah

Agung (MA) menunjuk empat Pengadilan Negeri sebagai pilot court, yaitu

PN Jakarta Selatan, Bandung, PN Bogor, dan PN Depok. MA juga

menerbitkan buku Komentar PERMA No. I Tahun 2008 dan buku Tanya

Jawab PERMA No. 1 Tahun 2008 serta video tutorial pelaksanaan mediasi di

Pengadilan yang seluruhnya dapat diakses melalui website Mahkamah

Agung. Setelah enam tahun berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2008, akhirnya

Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan PERMA No. 1 Tahun

2016.

17
BAB 1II
PENUTUP

A. Kesimpulan

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No.1 Tahun 2016

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disambut baik oleh Asosiasi Pengacara

Syariah Indonesia (APSI). Pengelola Pusdiklat APSI, Thalis Noor Cahyadi,

mengatakan ada beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara PERMA

No.1 Tahun 2016 dengan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi.

Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari

menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.

Kedua, adanya kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri

secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa

hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak

memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan

dokter; di bawah pengampuan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau

kedudukan di luar negeri; atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau

pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Ketiga, hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang Iktikad Baik

dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad baik

dalam proses mediasi. Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau kuasa

hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik. 2) Salah satu pihak

18
atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik

oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan: a. tidak hadir setelah dipanggil

secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan

sah.

19
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit


Diponegoro, 2003)
https://kotakpintar.com/pengertian-regulasi-adalah/
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. ke xxv (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003),
M. Yahya Harahap “Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Mediasi dan Perdamaian
(Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004), 157
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, MARI 2004, 156
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, mimeo, (tt: tp, 2004), 15
Siti Musawwamah, “Mediasi Integratif di Pengadilan Agama Pamekasan,” Jurnal
Nuansa, Vol. 11, No.2, (Juli-Desember, 2014)
Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya
Paramita, 1985)
Suyut Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor:
PT.Graha Indonesia, 2000)
TM.Hasbi, 1964, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: PT Al-Maarif

20

Anda mungkin juga menyukai