Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PARA PIHAK BERPEKARA DAN PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT


DI PERSIDANGAN

Di Susun Oleh: Kelompok 9

NAMA : MUHAMMAD HUSAINI NPM: 201111265

: DIKI FIRMANSYAH : 19011110964

FAKULTAS : SYARI’AH, DAKWAH DAN USHULUDDIN

JURUSAN/SEM : HTN/ VI (ENAM)

DOSEN : MARIA SANOLA, M.Kn

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TAKENGON

KABUPATEN ACEH TENGAH

ACEH 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
tepat waktu. Tanpa ridha dan petunjuk dari-Nya mustahil makalah ini dapat di rampungkan.
Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai pegangan dalam
mempelajari materi tentang Para Pihak Berpekara Dan Pihak-Pihak Yang Terlibat Di Persidangan ,
Juga merupakan harapan kami dengan hadirnya makalah ini, akan mempermudah teman-teman semua
dalam proses perkuliahan pada mata kuliah Hukum Acara Perdata.

Sesuai kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”, kami mengharapkan saran dan kritik, khususnya
dari rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Akhir kata,
semoga segala daya dan upaya yang kami lakukan dapat bermanfaat, Amin.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Hukum
Perdata sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ” Para Pihak
Berpekara Dan Pihak-Pihak Yang Terlibat Di Persidangan”.

Penulis,

Muhammad Husaini

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………….…………………...….…………………………..i
DAFTAR ISI……………………………………………..……………..………………….…ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………...……………….….….1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………....………………1
C. Tujuan……………………………………………………………………….…………..1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkara Di Dalam Acara Perdata…..……...……………………….…….….2


B. Para Pihak Yang Berpekara dan Pihak Terlibat Dalam Persidangan ……..……….……3
C. Permohonan Gugatan Dan Syarat-Syarat Permohonan Isi Gugatan……………….……6
D. Perubahan Dan Pencabutan Surat Gugatan …………….………………..……..…….…8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan……………………………………………………………………….………9

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..9

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam hukum, kita mengenal akan adanya tata cara beracara di peradilan perdata. Tata
cara beracara sendiri menjadi hal yang penting di dunia Hukum, hal ini dikarenakan sangat
penting untuk menyelesaikan suatu perkara yang berada di pengadilan. Rangkaian proses
pemeriksaan persidangan harus berjalan menurut tata cara yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Pemanggilan para pihak untuk menghadiri persidangan merupakan
awal dari rangkaian proses beracara di Pengadilan. Berlandaskan pemanggilan, Hakim
memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang ditangani.
Perkara gugatan merupakan perkara yang diajukan ke pengadilan yang didalamnya
terdapat konflik atau sengketa yang meminta hakim untuk mengadili dan memutus siapa
diantara pihak-pihak yang bersengketa atau berkonflik tersebut yang benar. Perkara gugatan
disini termasuk dalam lingkup perkara perdata yang diatur tersendiri oleh hukum acara
perdata. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrighting” (main hakim sendiri).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Yang Dimaksud Dengan Pengertian Perkara Di Dalam Acara Perdata?
2. Bagaimana Proses Para Pihak Yang Berpekara (Bersengketa) dan Pihak Terlibat Dalam
Persidangan?
3. Bagaimana Bentuk Permohonan Gugatan Dan Syarat-Syarat Permohonan Isi Gugatan?
4. Bagaiman Bentuk Perubahan Dan Pencabutan Surat Gugatan?

C. Tujuan Pembahasan
1. Agar Memahami Pengertian Perkara Di Dalam Acara Perdata!
2. Agar Mengetahui Para Pihak Yang Berpekara (Bersengketa) dan Pihak Terlibat Dalam
Persidangan!
3. Agar Dapat Memahami Bagaimana Permohonan Gugatan Dan Syarat-Syarat
Permohonan Isi Gugatan!
4. Agar Memahami Bentuk Perubahan Dan Pencabutan Surat Gugatan!

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkara

Dalam kehidupan sehari-hari orang sering menyebut “perkara” apabila menghadapi


persoalan yang tidak dapat diselesaikan antara pihak-phak. Untuk mengatasinya mereka
minta penyelesaian melalui pengadilan. Apabila seseorang mengajukan permohonan kepada
pengadilan agar pemohon ditetapkan sebagai pemilik barang, ahli waris, wali, pengangkat
anak dikatakan bukan perkara karena tidak ada yang diselisihkan. Pengertian yang demikian
ini sebenarnya tidak tepat. Perlu dibedakan antara perkara dan sengketa. Pengertian perkara
lebih luas daripada pengertian sengketa. Sengketa itu sebagian dari perkara, sedangkan
perkara itu belum tentu sengketa.

Dalam pengetian perkara tersimpul dua keadaan, yaitu ada perselisihan dan tidak ada
perselisihan. Ada perselisihan artinya ada sesuatu yang menjadi pokok perselisihan, ada yang
dipertengkarkan, ada yang disengketakan. Perselisihan atau persengketaaan itu tidak dapat
diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri, melainkan memerlukan penyelesaian melalui
pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Tugas hakim adalah
menyelesaikan sengketa dengan adil, dengan mengadili pihak-pihak yang bersengketa dalam
sidang pengadilan dan kemudian memberikan putusannya. Tugas hakim demikian ini
termasuk dalam Jurisdictio Contentiosa artinya kewenangan mengadili dalam arti yang
sebenarnya untuk memberikan suatu putusan keadilan dalam suatu sengketa. Hakim dalam
menjalankan tugas berdasarkan Jurisdictio Contentiosa harus bersifat bebas dari pengaruh
atau tekanan dari pihak mana pun (independent Justice).1

Tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang diperselisihkan, tidak ada yang
disengketakan. Pihak yang bersangkutan tidak minta peradilan atau putusan dari hakim,
melainkan minta ketetapan dari hakim tentang status sesuatu hal, sehingga mendapat
kepastian hukum yang wajib dihormati dan diakui oleh semua orang. Contohnya adalah
permohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, permohonan tentang
pengangkatan anak. Tugas hakim yang demikian ini termasuk Jurisdictio Voluntaria artinya
kewenangan memeriksa perkara yang tidak bersifat mengadili, melainkan bersifat
administratif saja. Dalam hal ini hakim bertugas sebagai pejabat administrasi negara untuk
mengatur suatu hal.
1
Laiala M. Rasyid, Herinawati, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press,
2015). Hlm. 19.

2
B. Para Pihak Yang Berpekara (Bersengketa) dan Pihak Terlibat Dalam Persidangan

Dalam perkara perdata setidaknya ada 2 (dua) pihak, yakni pihak Penggugat dan pihak
Tergugat. Tetapi dalam hal-hal tertentu secara kasuistis ada pihak Turut Tergugat. Penggugat
adalah orang atau pihak yang merasa dirugikan haknya oleh orang atau pihak lain (Tergugat).
Tergugat adalah orang atau pihak yang dianggap telah merugikan hak orang atau pihak lain
(Penggugat), sedangkan Turut Tergugat adalah orang atau pihak yang tidak berkepentingan
langsung dalam perkara tersebut, tetapi ada sangkut pautnya dengan pihak atau obyek perkara
yang bersangkutan.2

Selain pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat dalam hal-hal tertentu secara kasuistis
terdapat pihak ketiga yang berkepentingan yang turut campur atau mencampuri(Intervensi)
kedalam sengketa yang sedang berlangsung anatar penggugat dan tergugat, dalam bentuk
voeging (menyertai), tussenkomst (menengahi) dan vrijwaring/garantie (penanggung). Baik
Penggugat, Tergugat, Turut Tergugat maupun Pihak Ketiga yang berkepentingan,
kesemuanya merupakan subyek hukum yang terdiri dari orang perseorangan (natuurlijk
persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).3

Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang


berarti gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara. Dikenal
beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:

1. Penggugat

Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai
Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam
gugatannya dengan “Para Penggugat”.

2. Tergugat

Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar
hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang digugat, maka pihak-
pihak tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.

2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian,
dan putusan pengadilan), (Jakarta, Sinar Grafika, 2015). Hal. 49.
3
Laiala M. Rasyid, Herinawati, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press,
2015). Hlm. 25.

3
3. Turut Tergugat

Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak
menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi
lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.bDalam pelaksanaan hukuman
putusan hakim, pihak Turut Tergugat tidak ikut menjalankan hukuman yang diputus untuk
Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan tersebut.

4. Penggugat/Tergugat Intervensi

Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata yang ada, dapat
mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara perdata
tersebut yang lazim dinamakan sebagai Intervensi.. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum
oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan
melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung. Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun
sebagai Tergugat Intervensi.4

Menurut, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan
Perdata Khusus yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007,
dalam hal pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging,
intervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi dalam
praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, yaitu
berdasarkanPasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib
mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil. Berikut ini
penjelasan 3 (tiga) macam intervensi yang dimaksud, yaitu:5

a.Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat
atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi kesempatan kepada
para pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan,
maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.

4
H. Sunarto, Peran HAKIM Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), Hal. 85.
5

H. Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), Hal. 19.

4
b. Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut
dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu.
Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya
disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat. Kemudian, permohonan
intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan. Apabila permohonan intervensi
dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan
gugatan intervensi.6
c. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung
jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada
Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan
perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.

Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk


menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau
mengabulkan permohonan tersebut. Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan
tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke
pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok.

Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan
banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan
dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan
tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan
selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi
ke dalam perkara pokok.7

Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai Pengugat harus orang yang
memiliki kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga dengan menentukan pihak
Tergugat, haruslah mempunyai hubungan hukum dengan pihak Penggugat dalam perkara
gugatan perdata yang diajukan. Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat maupun Tergugat
dapat mengakibatkan gugatan tersebut mengandung cacat formil. Cacat formil dalam
menentukan pihak Penggugat maupun Tergugat dinamakan Error in persona.

6
H. Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), Hal. 25.
7

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian,
dan putusan pengadilan), (Jakarta, Sinar Grafika, 2015). Hal. 56.

5
C. Permohonan Gugatan Dan Syarat-Syarat Permohonan Isi Gugatan

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU
No. 35 Tahun 1999) dan sekarang diatur dalam pasal 16 Ayat (1) UU No. Tahun 2004
sebagai Pengganti UU N0. 14 Tahun 1970. Tugas dan kewenangan Badan Peradilan dibidang
perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa diantara
para pihak yang berperkara. Hal inilah yang menjadi tugas pokok peradilan. Ada dua masalah
yang selalu terjadi di dalam lingkungan Peradilan terutama di lingkungan Peradilan Umum,
yang pertama Permohonan atau biasa juga disebut dengan istilah Gugatan Voluntair yaitu
Gugatan Permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat, dan
yang kedua masalah Gugatan yang sering di sebut dengan Yurisdiksi Contentiosa yaitu
Perkara sengketa yang bersifat Partai (ada pihak Penggugat dan Tergugat).8

Ada beberapa hal yang menjadi perbedaan antara Permohonan dan Gugatan Yaitu:

1. Dalam perkara Gugatan ada suatu sengketa, suatu Konflik yang harus diselesaikan dan
harus diputus oleh Pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau
perselisihan. (seperti penetapan ahli waris atau penetapan anak dll).
2. Dalam suatu Gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak Penggugat dan tergugat yang
merasa haknya atau hak mereka dilanggar, sedangkan dalam permohonan hanya ada satu
pihak yaitu pihak pemohon.
3. Suatu Gugatan dikenal sebagai Pengadilan Contentiosa atau Pengadilan Sungguh-
sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan Voluntair atau
Pengadilan Pura pura.
4. Hasil dari suatu Gugatan adalah Putusan (Vonnis) sedangkan hasil dari suatu permohonan
adalah Penetapan (Beschikking).9

Sebuah Gugatan adalah merupakan suatu tuntutan hak yang merupakan


tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah “Eigenrichting” (Main Hakim Sendiri). Suatu tuntutan hak
harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, dan ini merupakan suatu syarat utama
agar dapat diterimanya suatu tuntutan hak oleh pengadilan untuk diperiksa.

8
Laiala M. Rasyid, Herinawati, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press,
2015). Hlm. 31.
9
H. Sunarto, Peran HAKIM Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), Hal. 121.

6
Pasal 163 HIR, Pasal 283 Rbg dan 1865 BW disebutkan : “Barang siapa yang mengaku
mempunyai suatu hak atau menyebut suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk
membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”. Suatu
tuntutan hak menurut pasal 118 ayat (1) HIR, 142 ayat (1) Rbg disebut juga tuntutan perdata
yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan, gugatan ini
harus diajukan ke pengadilan, dapat diajukan baik secara tertulis {pasal 118 ayat (I), dan 142
ayat (1) Rbg} maupun secara lisan {pasal 120 HIR, 144 ayat (1) Rgb}).10

HIR dan Rbg tidak mengatur secara tegas tentang syarat-syarat pembuatan suatu
gugatan, namun dalam praktek suatu gugatan hendaklah memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut :

1. Syarat Formal:
a. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan. Suatu surat gugatan biasanya secara tegas
disebutkan tempat dimana gugatan itu diperbuat, misalnya apakah gugatan dibuat
ditempat domisili penggugat atau di tempat domisili kuasanya.
b. Materai. Dalam Prakteknya suatu surat gugatan sebelum didaftarkan di PN harus
diberikan materai secukupnya (dewasa ini biaya materai untuk surat gugatan sebesar Rp.
6000. Dalam praktek jika gugatan itu tidak bermaterai bukanlah mengakibatkan gugatan
itu menjadi batal akan tetapi oleh pengadilan akan mengembalikan untuk dibubuhi
materai).
c. Tanda Tangan, Suatu gugatan haruslah ditanda tangani oleh si Penggugat atau oleh
kuasanya yang khusus untuk itu (Seorang kuasa tidak dibenarkan mengajukan gugatan
secara lisan). Suatu gugatan yang ditanda-tangani dengan cap jempol maka harus
dilegalisir. (Putusan MA tgl 4 Juli 1978, Reg No. 480 K/Sip/1975}).11
2. Syarat Substansi

Menurut pasal 8 no. 3 RV suatu gugatan pada pokoknya mengharuskan memuat Identitas
para pihak. Dalam suatu surat gugatan harus jelas diuraikan mengenai identitas dari para
penggugat atau tergugat, Identitas itu umumnya menyangkut, Nama Lengkap, Umur / tempat
dan tanggal lahir, Pekerjaan dan Alamat atau Domisili.

10
Sarwono, Hukum Acara Perdata (Teori dan Praktik), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 32.
11

Laiala M. Rasyid, Herinawati, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press,
2015). Hlm. 36.

7
D. Perubahan Dan Pencabutan Surat Gugatan
a. Perubahan Surat gugatan.

Sebagaimana yang dibicarakan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh


Penggugat setelah di panggil oleh Juru sita, maka pada tanggal yang telah ditentukan para
pihak datang ke Pengadilan untuk menghadiri siding, di ruang Pengadilan maka salah satu
pertanyaan yangkan dikemukakan oleh hakim setelah dibaca surat Gugatannya adalah apakah
surat Gugatan akan dilakukan perobahan, jika Penggugat menyatakan akan melakukan
perobahan maka hal itu di perkenankan oleh Hakim. Perubahan gugatan tidak dibenarkan
pada tingkat dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai saat dalil-dalil tangkisan dan
pembelaan sudah habis dikemukakan oleh tergugat. Dalam praktek di Pengadilan Perubahan
Gugatan ini hanya di Perkenankan oleh majelis hakim sebelum pihak lawan atau tergugat
memberikan jawaban nya lazim di sebut saat sidang pertama dimulai.12

b. Pencabutan Surat Gugatan

Mencabut Gugatan adalah tindakan untuk menarik kembali suatu gugatan yang telah di
daftarkan di Pengadilan, hal ini terjadi karena Penggugat tidak ingin melanjutkan gugatannya
atau juga adanya kekeliruan dari Penggugat dalam mengajukan gugatannya. Pencabutan
Gugatan dapat dilakukan sebelum gugatan itu di periksa di Persidangan atau sebelum
tergugat memberikan jawabannya atau sesudah diberikan jawaban oleh tergugat. HIR dan
RBG tidak mengatur tentang pencabutan Gugatan ini, untuk merujuk masalah pencabutan
gugatan ini maka ada diatur dalam Pasal 271 RV yang menentukan bahwa gugatan dapat
dicabut oleh Penggugat sebelum tergugat memberikan jawaban. Bila mana tergugat telah
memberikan jawabannya, maka gugatan tidak dapa dicabut atau ditarik kembali kecuali di
setujui oleh tergugat.13

Kalau Pencabutan gugatan dilakukan sebelum perkara di periksa di Persidangan maka


tergugat dianggap secara resmi belum terserang kepentingannya, maka dalam hal ini tidak
perlu ada Persetujuan dari Penggugat, akan tetapi jika pencabutan itu terjadi setelah tergugat
memberikan jawabannya atas gugatan Penggugat maka secara resmi dianggap tergugat telah
terserang kepentingannya untuk itu bila dilakukan pencabutan gugatan oleh Penggugat perlu
dimintakan persetujuan dari Tergugat.

12
Sarwono, Hukum Acara Perdata (Teori dan Praktik), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 42.

13
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, Hal
30.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam pengetian perkara tersimpul dua keadaan, yaitu ada perselisihan dan tidak ada
perselisihan. Ada perselisihan artinya ada sesuatu yang menjadi pokok perselisihan, ada yang
dipertengkarkan, ada yang disengketakan. Perselisihan atau persengketaaan itu tidak dapat
diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri, melainkan memerlukan penyelesaian melalui
pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Dalam perkara perdata
setidaknya ada 2 (dua) pihak, yakni pihak Penggugat dan pihak Tergugat.

Tetapi dalam hal-hal tertentu secara kasuistis ada pihak Turut Tergugat. Penggugat
adalah orang atau pihak yang merasa dirugikan haknya oleh orang atau pihak lain (Tergugat).
Tergugat adalah orang atau pihak yang dianggap telah merugikan hak orang atau pihak lain
(Penggugat), sedangkan Turut Tergugat adalah orang atau pihak yang tidak berkepentingan
langsung dalam perkara tersebut, tetapi ada sangkut pautnya dengan pihak atau obyek perkara
yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, H. Zainal. 2015. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Prenadamedia. Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2015. Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, persidangan,


penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika. Jakarta.

Makarao, Moh. Taufik. 2009. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. PT Rineka Cipta. Jakarta.

M. Rasyid, Laiala, Herinawati. 2015. Pengantar Hukum Acara Perdata. Unimal Press.
Lhokseumawe.

Sarwono, 2011. Hukum Acara Perdata (Teori dan Praktik). Sinar Grafika. Jakarta.

Sunarto, H. Peran. 2014. HAKIM Dalam Perkara Perdata. Prenadamedia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai