Anda di halaman 1dari 22

TAHAPAN-TAHAPAN PERKARA DALAM PERSIDANGAN

PERDATA

MAKALAH
Tugas Mata Kuliah Hukum Pradilan Semu Semester VII

Disusun Oleh:

ANDI ANDRA SUSASTRA


2003041

PROGRAM STUDI STRATA SATU ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN BISNIS ANDI SAPADA
PAREPARE
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan


nikmat belajar kepada kita semua. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik makhluk. Amma ba’du.

Makalah ini merupakan tugas kuliah Hukum Peradilan Semu semester VII
Fakultas Hukum Institut Ilmu Sosial Dan Bisnis Andi Sapada. Penyusunan
makalah ini sebisa mungkin didasarkan pada referensi yang dapat
dipertanggungjawabkan dan mengikuti standar karya tulis ilmiah.

Saya menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna. Masih banyak


kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, masukan dan kritikan dari segenap
pihak akan kami hargai dan kami apresiasi., semoga makalah ini dapat menjadi
wasilah datangnya manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Barru, 08 Oktober 2023,


PENYUSUN

ANDI ANDRA SUSASTRA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................

BAB II: PEMBAHASAN


A. Pengertian Perkara Perdata...........................................................................
B. Tahapan-Tahapan Perkara Perdata................................................................
1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan.........................................................
a. Perubahan Gugatan...............................................................................
b. Penambahan Gugatan...........................................................................
c. Pengurangan Gugatan...........................................................................
d. Pencabutan Gugatan.............................................................................
2. Perdamaian................................................................................................
3. Pembacaan Gugatan..................................................................................
4. Jawaban Gugatan......................................................................................
5. Tahapan Replik-Duplik.............................................................................
6. Gugatan Balik...........................................................................................
7. Tahap Konklusi.........................................................................................

BAB III: KESIMPULAN


Kesimpulan........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum yang terjadi di antara


masyarakat adalah dengan perantara kekuasaan kehakiman. Orang yang merasa
dirugikan hak atau kepentingannya dapat menggugat orang yang dianggap
merugikannya di muka pengadilan yang berwenang.

Tujuan para pencari keadilan mengajukan perkara di muka pengadilan


adalah untuk mendapatkan keputusan yang adil guna menyelesaikan perkaranya,
sehingga hak-hak maupun kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum
materiil, baik berupa hukum tertulis maupun tidak tertulis, dapat diwujudkan
lewat pengadilan. Tentu saja para pencari keadilan tersebut, terutama pihak yang
mengajukan gugatan (Penggugat), mempunyai keinginan agar perkaranya dapat
cepat selesai.

Keperluan ini, mereka harus menaati ketentuan peraturan perundangan


yang mengatur cara-cara penyelesaian perkara melalui pengadilan yang berlaku.
Peradilan yang bersifat cepat, sederhana, biaya murah, dan dengan kata-kata
sederhana seringkali mengalami realita yang justru sebaliknya. Kalau kita
perhatikan, suatu perkara perdata yang diajukan ke muka pengadilan
diselesaikan dalam waktu yang relatif lama. Ini bisa dikarenakan oleh para pihak
yang berperkara sendiri, hakim yang memeriksa perkaranya, saksi-saksi, atau
mungkin juga hukum acara yang dipakai tidak memadai.

Penyelesaian suatu perkara, para pihak dapat menggunakan upaya yang


diberikan oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan (upaya hukum). Salah satu
upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh tergugat dalam sidang pemeriksaan
perkara adalah upaya melawan gugatan yang berupa eksepsi dan rekonveksi, di
samping jawaban atas pokok perkaranya (verweer ten prinsipaal). Penggugat
juga diberi hak untuk membantah atas jawaban tergugat dalam bentuk replik,
sebagaimana tergugat juga berkesempatan
mengajukan duplik atas jawaban yang disampaikan oleh penggugat. Replik-
duplik ini bisa terjadi berulang kali selama itu diperlukan.

Faktor lain yang menyebabkan persidangan menjadi lama adalah adanya


interfensi dari pihak lain yang biasa disebut sebagai pihak ketiga. Pihak ketiga
ini bisa saja mendukung penggugat untuk memenangkan tuntutannya atau
berpihak kepada tergugat agar lepas dari segala tuntutan. Bahkan, pihak ketiga
boleh mengajukan dirinya sendiri untuk masuk dalam proses acara persidangan
tanpa membela siapapun.

Dari gambaran di atas, makalah ini akan membahas bagaimana


pemeriksaan perkara dalam hukum acara persidangan perdata. Juga akan
mencoba membahas beberapa hal yang berhubungan dengan tema tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Masalah yang dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai


berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan perkara perdata?
2. Bagaimana tahap-tahapan pemeriksaan perkara dalam hukum acara
perdata?
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERKARA PERDATA

Perkara perdata adalah suatu perkara yang terjadi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan. Hubungan antara pihak
yang satu dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan
melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil- adilnya. Perkara
perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak hanya terhadap
perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh para
pihak, tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu
permohonan penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak
keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang berkepentingan agar hak-hak
keperdataannya mendapatkan keabsahan. Umumnya dalam permohonan
penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan tidak mengandung sengketa karena permohonannya
dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib.

Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara


perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung
sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit adalah
perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung
sengketa.

Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunnya Hukum


Acara Perdata Indonesia menyatakan bahwa pengertian perkara perdata adalah
meliputi perkara yang mengandung sengketa (contentius) dan yang tidak
mengandung sengketa (voluntair).
B. TAHAPAN-TAHAPAN PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA

Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui tahap-tahap dalam


hukum, Adapun tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah:

1) Pencabutan dan perubahan gugatan


2) Tahap Perdamaian.
3) Pembacaan Gugatan.
4) Jawaban gugatan.
5) Replik dan Duplik
6) Gugatan Rekovensi
7) Konklusi

Pada sidang upaya perdamaian, maka inisiatif perdamaian dapat timbul


dari hakim, penggugat, ataupun tergugat. Hakim harus secara aktif dan sungguh-
sungguh untuk mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya damai tidak
berhasil, maka sidang dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan.

1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh


penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal yang ditentukan
para pihak datang ke pengadilan. Di ruang pengadilan, maka salah satu
pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap pihak penggugat adalah,
apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak ada perubahan lagi? Jika
penggugat menjawab bahwa gugatan sudah tidak ada perubahan, maka
tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban terhadap gugatan
tersebut.
Masalahnya adalah jika penggugat menyatakan bahwa gugatan tersebut
terdapat perubahan. Apakah diperkenankan perubahan tersebut? Hal-hal apa saja
yang diperkenankan dalam masalah perubahan gugatan tersebut?

a. Perubahan Gugatan

HIR/RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan. Yang mengatur


adalah RV. Pasal 127 RV ditentukan bahwa perubahan gugatan sepanjang
pemeriksaan diperbolehkan asal tidak mengubah dan menambah petitum –
tuntutan pokok (onderwerp van den eis) akan tetapi di dalam praktek pengertian
onderwerp van den eis meliputi juga dasar dari tuntutan (posita), termasuk
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan.4 Sehubungan dengan itu,
terdapat beberapa batasan perubahan gugutan yang bersumber dari praktik
peradilan:

1. Tidak boleh mengubah materi pokok acara


2. Perubahan gugatan yang tidak prinsipil dapat dibenarkan.
3. Perubahan nomor surat keputusan
4. Tidak mengubah posita gugatan.
5. Pengurangan gugatan tidak boleh merugikan tergugat.

b. Penambahan Gugatan

Penambahan gugatan misalnya, oleh karena semula tidak semua ahli


waris diikutsertakan, lalu ditambah agar mereka yang belum diikutsertakan
ditarik pula sebagai tergugat atau turut tergugat atau misalnya dalam halk lupa
dimohonkan/dicantumkan dalam petitum (tuntutan pokok) menyatakansah dan
berharga suatu sita jaminan kemudian dimohonkan agar petitum itu
ditambahakan, diperkenankan. Juga apabila mohon agar gugatan ditambah
dengan petitum agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij
vooraad), dapat diluluskan.

c. Pengurangan Gugatan
Pengurangan gugatan senantiasa akan diperkenankan oleh hakim.
Misalnya semula digugat untuk menyerahkan 4 bidang sawah, kemudian
penggugat merasa keliru bahwa sesungguhnya sawah yang dikuasai oleh
tergugat itu bukan 4 bidang, akan tetapi hanya 2 bidang saja, maka ia
diperkenankan untuk mengurangi gugat dan hanya hanya menggugat sawah
yang 2 bidang .
d. Pencabutan Gugatan

Menyangkut pencabutan gugatan dalam HIR/RBg juga tidak diatur. Yang


mengatur hal ini adalah Pasal 271 RV yang menetukan bahwa gugatan boleh
dicabut oleh penggugat sebelum tergfugat memberikan jawaban. Bilamana
tyergugat sudah memberikan jawaban, maka gugatan tidak boleh dicabut atau
ditarik kembali kecuali disetujui oleh tergugat.6

2. Perdamaian

Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara


penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien. Pasal 130 HIR maupun
pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara
damai. Maka hakim mempunyai peranan aktif mengusahakan penyelesaian
dengan cara perdamaian terhadap peristiwa perdata yang diperiksanya.
Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian,
menanamkan kesadaran terhadap pihak-pihak yang beroperkara, bahwa
penyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan cara penyelesaian yang
terbaik daripada harus diselesaikan dengan putusan pengadilan. Apabila tercapai
perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, maka hasil tersebut kemudian
disampaikan kepada hakim di persidangan yang biasanya dituangkan dalam
bentuk perjanjian di bawah tangan. Selanjutnya hakim menjatuhka putusan (acte
van vergelijk). Yang isinya menghukum pihak-pihak yang berperkara untuk
melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut.
Putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai
hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim.
Karenanya sudah sepantasnya apabila perjanjian perdamaian tersebut
dipertanggungjawabkan sendiri oleh pihak-pihak yang berperkara. Dengan
demikian hasil putusan dari kedua belah pihak tidak dapat dimintakan
pemeriksaan banding (Pasal 130 ayat 3 HIR/ Pasal 154 ayat 3 RBg).
3. Pembacaan Gugatan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh


penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal yang ditentukan
para pihak datang ke pengadilan. Di ruang pengadilan, maka salah satu
pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap pihak penggugat adalah,
apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak ada perubahan lagi? Jika
penggugat menjawab bahwa gugatan sudah tidak ada perubahan, maka
tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban terhadap gugatan
tersebut.
Mengenai pembacaan surat gugatan ini diatur dalam pasal 131 HIR / 155
RBg pasal 1 yang berbunyi: “jika kedua belah pihak hadir, akan tetapi mereka
tidak dapat diperdamaian (hal ini harus disebutkan dalam berita acara) maka surat
gugatan dibaca dan jika salah satu pihak tidak mengerti bahasa yang dipakai
dalam surat itu, maka surat tersebut diterjemahkan kedalam bahasa yang
dimengerti oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua.
Surat gugatan selalu dibacakan oleh penggugat atau kuasa hukumnya yang
sah, kecuali jika penggugat buta huruf dan menyerahkannya kepada panitera
sidang. Usai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak
tercapai maka majelis akan melanjutkan dengan menanyakan kepada penggugat
apakah ia akan menjawab secara lisan atau tertulis, bila akan menjawab secara
tertulis maka akan membutuhkan waktu berapa lama untuk itu.
Hak bicara terakhir didepan sidang selalu pada tergugat jadi replik- duplik
belum akan berakhir di depan sidang selalu ada pada tergugat, jadi proses replik
duplik belum akan selesai sepanjang tergugat masih ada yang akan
diutarakannya.1

4. Jawaban Gugatan

Setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil,


maka kepada tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atau
gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sebagaimana penggugat diperkenankan
untuk mengajukan gugatan secara tertulis dan lisan, maka tergugat pun
diperkenankan untuk mengajukanjawaban secara tertulis dan lisan. Jawaban
tergugat dapat terdiri dari tiga macam yaitu:

1. Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai


pokok perkara.
2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
3. Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang diajukan tergugat
kepada penggugat.

Perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi para pihak berperkara,


maka dalam Undang-Undang tidak ditentukan mengenai kewajiban tergugat
untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam pasal 121 ayat 2 HIR hanya
menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara lisan maupun tertulis.
Jawaban tergugat ini dapat berupa (diam) dan dapat pula berupa bantahan atau
penyangkalan.

Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan baik sebagian maupun


seluruhnya. Pengakuan harus dibedakan dari referte, keduanya merupakan
jawaban yang bersikap tidak membantah. Jikalau pengakuan itu merupakan
jawaban yang membenarkan isi gugatan, maka referte berarti menyerahkan
segala kebenaran gugatan kepada kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah
maupun membenarkan isi gugatan. Sedangkan bantahan atau sangkalan berarti
menolak atau tidak membenarkan isi gugatan penggugat. Dalam pasal 113
Reglement Rechsvordering ditentukan bahwa bantahan harus disertai alasan-
alasan sehingga duduk perkara dan inti permasalahan menjadi jelas. Bantahan
yang tidak beralasan dapat dikesampingkan oleh hakim.

Hakikatnya bantahan bertujuan agar gugatan si penggugat ditolak.


Bantahan tergugat ini dapat terdiri dari sangkalan dan tangkisan atau yang
dikenal dengan sebutan eksepsi. Eksepsi ialah suatu bantahan dari pihak tergugat
terhadap gugatan yang tidak langsung mengenai pokok perkara. Misalnya
bantahan yang menyatakan bahwa hakim tidak berkuasa memeriksa gugatan
yang diajukan penggugat, atau bantahan yang menyatakan bahwa perkara yang
diajukan oleh penggugat telah diputus oleh hakim.

Tentang eksepsi atau tangkisan, HIR hanya mengenal satu macam eksepsi ialah
eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim, yaitu eksepsi yang menyangkut
kekuasaaan relatif dan eksepsi yang menyangkut kekuasaaan absolut. Kedua
macam eksepsi ini disebut eksepsi prosesual. Eksepsi yang menyangkut
kekuasaan relatif atau kewenangan nisbi diatur dalam Pasal 133 HIR/159 RBg.
Eksepsi kewenangan absolut diatur dalam Pasal 134 HIR/160 RBg.

Menurut pasal 136 HIR/ pasal 162 RBg maka jawaban yang berupa
eksepsi kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh diajukan
dan dipertimbangkan secara terpisah, tapi diperiksa dan diputus bersama pokok
perkara. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro , pasal ini hanya berarti
anjuran saja seberapa dapat tergugat mengumpulkan segala sesuatu yang ingin
diajukan dalam jawabannya saat permulaan pemeriksaan perkara. Sedangkan
menurut Soepomo, pasal ini tidak lain bertujuan untuk menghindarkan
kelambatan yang tidak perlu.

Lain halnya dengan penyangkalan. Penyangkalan atau bantahan ialah


pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang digugat
terhadap tergugat. Jika tergugat mengajukan bantahan, maka bantahan itu harus
disertai dengan alasan-alasan. Jawaban (sangkalan) tergugat yang mengenai
pokok perkara, tidak harus diajukan pada permulaan sidang, akan tetapi dapat
diajukan selama proses pemeriksaan bahkan dapat diajukan dalam tingkat
banding asal tidak bertentangan dengan jawaban saat pemeriksaan tingkat
pertama.

Selanjutnya, jika suatu bantahan dibenarkan oleh hakim maka dengan


sendirinya perkara telah selesai dengan putusan akhir pada tingkat pertama
dimana eksepsi yang diajukan itu diterima dan berarti gugatan penggugat tidak
dapat dikabulkan. Jika penggugat tidak puas, maka dapat mengajukan
permohonan banding. Dan apabila eksepsi tidak dibenarkan, maka pengadilan
yang bersangkutan berwenang melanjutkan proses pemeriksaan gugatan tersebut
sekaligus memuat perintah agar pihak yang berperkara melanjutkan perkaranya.
5. Tahapan Replik-Duplik

Setelah tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan


perkara di pengadilan selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat
terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan
secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk
meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan- alasan penolakan yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
Setelah penggugat mengajukan Replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya
ialah Duplik , yaitu jawaban tergugat terhadap Replik yang diajukan penggugat.
Sama halnya dengan replik, duplik inipun juga dapat diajukan dalam bentuka
tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya
yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.
Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang biasanya
proses Replik dan Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan dengan bentuk
tulisan, sehingga untuk menyiapkan segala kebutuhannya membutuhkan waktu
yang cukup lama, dengan cara menunda sidang selama beberapa hari sampai
kedua belah pihak siap dan dapat melanjutkan persidangan.

Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai
berikut:

a. Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir

b. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah, hanya


menanyakan yang berkaitan dengan hukum, begitupula Replik-Duplik
yang diajukan oleh penggugat dan tergugat.

c. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau dari hakim
harus melalui izin dari ketua majlis.

d. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang bersifat


umum selalu oleh ketua majlis.
Jawaban atau pertanyaan yang relevan dan terarah misalnya dalam
perkara gugatan pelanggaran ta’liq talaq, tentunya hal-hal yang berkaitan dengan
kapan kedua belah pihak kawin, dimana melangsungkan perkawinan, dimana
kutipan akta nikahnya, apakah pihak suami mengucapkan ta’liq talaq pada saat
akad nikah, bagaimana bunyi lafaz ta’liq talaq yang diucapkan, mana syarat
ta’liq yang telah dilanggar oleh suami. Hal-hal yang di luar itu mungkin tidak
relevan atau kurang penting untuk dipertanyakan.

Kemudian ketika perkara waris misalnya, maka pertanyaan yang relevan


tentunya tentang siapa yang wafat, kapan wafatnya, dimana wafatnya, ketika
wafat apakah dalam kondisi Islam atau tidak, siapa sajakah keluarga si mayyit
yang terdekat yang ada dan hidup ketika si mayyit wafat. Apa sajakah harta
peninggalan si mayyit ketika wafat, apa ada biaya penguburan si mayyit yang
perlu dibayarkan dari harta peninggalan, apakah ada utang si mayyit yang belum
terbayar baik sesama manusia maupun kepada Allah, apakah ada wasiat yang
disampaikan oleh mayyit, kalau ada apa wasiatnya, apakah tidak melampaui
sepertiga harta peninggalan. Apakah wasiat itu kepada ahli waris sendiri atau
kepada orang lain. Apakah harta yang dimiliki mayyit itu harta individual
ataukah perserikatan.

6. Gugatan Balik (Gugat Rekovensi)


Dalam pasal 132 a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan
rekovensi ialah gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat konvensi
sebagai gugatan balasan atas gugatan penggugat kepadanya pada saat proses
pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini seseorang yang awalnya berkedudukan
sebagai penggugat dalam konvensi menjadi tergugat dalam rekonvensi,
sedangkan tergugat dalam konvensi kedudukannya merangkap sebagai
penggugat dalam gugat rekonvensi.

Menurut Soepomo, tujuan adanya gugat rekovensi ini untuk


mempermudah prosedur karena gugat konvensi dan rekonvensi ini diperiksa dan
diputus bersama dalam satu proses dan dituangkan dalam satu putusan. Selain itu
juga dapat menghemat waktu dan biaya bagi pihak yang berperkara, serta dapat
terhindar dari kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan.
Pada dasarnya, gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam berbagai hal,
kecuali 3 hal yang disebut dalam pasal 132a HIR, yaitu sebagai berikut:

1. Dalam gugatan konvensi bertindak bukan untuk diri sendiri (sebagai wali),
sedangkan dalam gugatan rekonvensi bertindak untuk diri sendiri

2. Apabila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak


berwenang secara mutlak untuk memeriksa gugatan rekonvensi

3. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang tidak mengatur bahwa antara


tuntutan penggugat konvensi dan tuntutan rekonvensi harus memiliki hubungan
yang erat. Tuntutan rekonvensi dapat berdiri sendiri (zelfstandig) yang oleh
tergugat dapat diajukan kepada hakim didalam proses tersendiri. Namun dalam
prakteknya seringkali dikaitkan bahwa dasar tuntutan rekonvensi harus
mempunyai hubungan dengan tuntutan konvensi. Hal tersebut didasarkan agar
tujuan gugat rekonvensi dapat terealisasikan dengan baik, jadi sedapat mungkin
harus ada konektifitas antara keduanya sehingga dapat diselesaikan secara
bersamaan.
Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat
baik tertulis maupun lisan. Jika jawab menjawab antara penggugat dan
tergugat telah selesai dan dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak
diperbolehkan mengajukan gugatan rekonvensi. Selanjutnya menurut pasal 132a
ayat 2 HIR telah ditentukan bahwasanya jika gugatan rekonvensi dalam
persidangan tingkat pertama tidak diajukan, maka dalam tingkat banding tidak
dapat diajukan lagi.
Kedua gugatan tersebut dapat diselesaikan sekaligus dan dapat diputus
dalam satu putusan (pasal 132b HIR dan pasal 158 RBg). Akan tetapi hakim
berwenang untuk memisahkan keduanya jika ia berpendapat bahwa suatu
perkara dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada perkara yang lain. Proses
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan dijatuhkan dalam satu
putusan jika antara konvensi dan rekonvensi sama sekali tidak ada hubungan.
Dan dapat pula dilakukan secara terpisah dan diputus dalam putusan yang
berbeda. Mengenai
dasar kebolehan tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang namun
diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Di sini perlu digaris bawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya berlaku
dalam perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh karena itu
dalam permohonan (voluntria) penuh tidak berlaku gugat balik (rekonvensi).

7. Tahap Konklusi

Sebelum hakim melakukan musyawarah kemudian dilanjutkan dengan


pengucapan keputusan akhir, masing-masing dari kedua belah pihak
diperkenankan untuk menyampaikan konklusi atau kesimpulan- kesimpulan dari
sidang menurut pihak yang bersangkutan. Karena konklusi ini sifatnya hanya
untuk membantu hakim dalam memutuskan perkara, maka pada dasarnya hakim
boleh meniadakan konklusi.
BAB III

KESIMPULAN

Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara


perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung
sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit adalah
perkara- perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung
sengketa.

Tahap-tahap dalam pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata yaitu


diantaranya sebagai berikut:

1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan


Pencabutan dan perubahan gugatan diatur dalam RV. Pasal 127 RV
bahwa perubahan gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal
tidak mengubah dan menambah petitum – tuntutan pokok (onderwerp
van den eis) akan tetapi di dalam praktek pengertian onderwerp van den
eis meliputi juga dasar dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-
peristiwa.

2) Tahap Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara
penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg dan
putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan
sebagai hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang
dilakukan oleh hakim.

3) Pembacaan Gugatan
Yaitu pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi
(dalil gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang
tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan (obyek)
pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup
yang ternuat dalam surat gugatan.

4) Jawaban Gugatan

Yaitu pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan


mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui
hakim.

5) Replik Penggugat

Yaitu respons Penggugat atas jawaban yang diajukan tergugat untuk


meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan
penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.

6) Duplik Tergugat

Yaitu jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat untuk


meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap
gugatan penggugat.

7) Konklusi

Kesimpulan-kesimpulan dari sidang menurut pihak yang bersangkutan


yang dibacakan oleh hakim.
DAFTAR PUSTAKA

Fauzan M. Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah


Syariah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2005.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar
Grafika. 2008.
Makarao, M. Taufik. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2009.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.


1988.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: CV Rajawali. 1991.

Syahrani, Riduan. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti. 2000.

Sarwono. Hukum Acara Perdata, Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Setiani, Astin Fajar. Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara


Prodeo dalam Praktik. Semarang: Universitas Negeri Semarang. 2011.

Soepomo R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: PT Pradnya


Pramita. 1994.

Anda mungkin juga menyukai