Anda di halaman 1dari 26

EKSEPSI,

PENGGABUNGAN, PERUBAHAN DAN PENCABUTAN


GUGATAN
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Acara Perdata

Dosen Pembimbing :
Damanhuri, SH,
M.Hum.
Disusun oleh :
Kelompok 1

Ayu Rike Nirwanti C05217005


M. Nabil Muwaffaq C25217043
Niawati Kharisma C95217028
Abdulloh Faqih C95217032
Fathur Rosi C95217035
M. Kosim C95217037

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas nikmat yang Allah Swt berikan kepada kita. Allah yang Maha
Pengasih dan Tak Pilih Kasih, Maha Penyayang yang tak pandang sayang. Yang telah memberikan
akal dan hati sebagai salah satu instrumen untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya atas rahmat-
Nya, penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini, guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Acara Perdata. Dan tak lupa shalawat serta salam tetap kita curahkan kepada sang revolusioner dunia,
pemberi syafa’at kelak di hari kiamat The Leader of World Nabi Muhammad saw. yang telah
membawa kita dari zaman kegelepan menuju terang benderang dengan adanya agama Islam.

Penulis ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak, terutama dosen pembimbing kami
Damanhuri, SH, M.Hum. yang senantiasa membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini, dan
teman-temanku yang selalu memberikan motivasi. Makalah yang berjudul Eksepsi, Penggabungan,
Perubahan, Pencabutan Gugatan ini, masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi susunan bahasa,
isi, yang tak lain penulis masih belajar. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sangat membangun untuk kemajuan penulis kelak di masa depan terutama dari Dosen Pembimbing.

Surabaya, 10 Oktober 2019


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Eksepsi.......................................................................................................3
B. Penggabungan Gugatan.............................................................................9
C. Perubahan Gugatan...................................................................................13
D. Pencabutan Gugatan.................................................................................18
BAB III PENUTUP...............................................................................................22
A. Kesimpulan..............................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................23

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat
melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2
(dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat, yang mana
terjadinya gugatan umumnya pihak tergugat telah melakukan pelanggaran
terhadap hak dan kewajiban yang merugikan pihak tergugat. Terjadinya gugatan
umumnya setelah pihak tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban
yang merugikan pihak penggugat, tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan
kewajiban yang diminta oleh pihak penggugat, sehingga akan timbul sengketa
antara penggugat dan tergugat. Sengketa yang dihadapi oleh para pihak apabila
tidak diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk
mendapatkan keadilan.
Gugatan yang diajukan oleh penggugat harus memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam HIR maupun RBg. Gugatan yang sudah
memenuhi persyaratan itu bisa digunakan untuk menuntut tergugat. Tergugat
diberi hak untuk membenarkan atau menyalahkan gugatan yang diajukan
tergugat.
Terkadang juga di dalam gugatan, ada suatu kesalahan-kesalahan yang tidak
disengaja. Oleh karenanya dibolehkan untuk melakukan perubahan atau
pencabutan gugatan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa dan Bagaimana Eksepsi itu?
2. Bagaimana Penjelasan mengenai Penggabungan Gugatan?
3. Bagaimana Penjelasan mengenai Perubahan Gugatan?
4. Bagaimana Penjelasan mengenai Pencabutan Gugatan?

1
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Apa itu Eksepsi
2. Menjelaskan mengenai Bagaimana Penggabungan Gugatan itu.
3. Menjelaskan mengenai Bagaimana Perubahan Gugatan itu.
4. Menjelaskan mengenai Bagaimana Pencabutan Gugatan itu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Eksepsi
Eksepsi atau exception dalam bahasa Inggris atau exeptie dalam bahasa Belanda
secara umum berarti bantahan atau tangkisan dari tergugat terhadap materi gugatan
penggugat tetapi maksud dan tujuan eksepsi ini ada formalitas gugatan yang
mengandung cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima atau in nad missible,
jadi eksepsi tidak di maksutkan untuk pokok perkara yang diperkarakan karena hal ini
adalah bagian tersendiri yang berbeda dengan eksepsi, sebagaimana diungkapkan
Bambang Sugeng dan sujayadi dalam bukunya pengantar hukum acara perdata dan
contoh dokumen litigasi bahwa 'Eksepsi dalam pasal 136 HIR itu sebagai perlawanan
tergugat yang tidak mengenai pokok perkara melainkan hanya mengenai soal acara
belaka, dengan demikian jawaban yang berupa tangkisan atau Eksepsi itu tidak
menyinggung mengenai soal pokok perkara"1
Berbeda dengan istilah verzet yang orientasinya adalah perlawanan atau bantahan
dari putusan verstek eksrpsi lebih bertujuan agar pemeriksaan perkara tidak
dilanjutkan dengan ditetapkan putusan negatif yang mengatakan gugatan tidak dapat
diterima atau NO( Niet On vanklijk)

1. Jenis-jenis Eksepsi
Pada dasarnya di dalam undang-undang Eksepsi yang diatur hanya Eksepsi
kompetensi sebagaimana di dalam pasal 125 ayat 2, 132 dan 133 HIR, tetapi
dalam beberapa pasal lain secara tersirat terdapat indikasi eksepsi jenis lain
seperti Eksepsi surat kuasa dalam pasal 123 ayat 1 HIR atau obscuur libel dalam
pasal 8 Rv, secara garis besar dibagi menjadi tiga jenis
a. Eksepsi prosesual kompetensi

1
Bambang Sugeng, Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi
Pranamedia, 2013, hal, 53.

3
b. Eksepsi prosesual di luar kompetensi
c. Eksepsi materiil

A) eksepsi kompetensi
Dalam mengadili sebuah perkara pengadilan harus memiliki kompetensi untuk
menghadiri yaitu kewenangan peradilan dalam mengadili perkara sebagaimana
undang-undang tentang judicial power (kekuasaan kehakiman) dalam jenis eksepsi
ini terbagi menjadi 2
1) eksepsi kompetensi absolut
2) eksepsi kompetensi relatif
Dalam eksepsi kompetensi Absolut bisa diajukan dengan alasan bahwa
pengadilan tidak berwenang mengadili perkara berdasarkan judicial power dalam
undang-undang Pasal 10 ayat 2 undang-undang nomor 4 tahun 2004 sebagaimana
contoh putusan MA nomor 132 k/pdt/1993 tentang sengketa Pembagian warisan
orang beragama Islam yang diajukan ke PN atau sudah ditentukan undang-undang
tentang Peradilan dengan yuridiksi khusus seperti undang-undang nomor 30 tahun
1999 atau undang-undang 22 tahun 1957.
Sedangkan dalam persepsi kompetensi relatif yaitu kewenangan peradilan dalam
memeriksa perkara berdasarkan pasal 118 hir atau 99 Rv tentang cara menentukan
kewenangan relatif pengadilan berdasarkan ketentuan.

B) eksepsi prosesual di luar kompetensi


Dalam jenis ini terdapat beberapa bentuk namun yang penting dan sering dipakai
adalah 4 bentuk
1. Surat kuasa tidak sah
2.Gugatan terdapat error in Person
3.Surat gugatan nebis in idem
4.Surat gugatan obscuur Libel

4
1. Surat Kuasa tidak sah
Unsur yang terdapat dalam surat kuasa yang tidak sah bisa diajukan Eksepsi surat
kuasa tidak sah, seperti surat kuasa yang digunakan bukanlah surat kuasa khusus
sebagaimana dimaksud dalam pasal 123 HIR melainkan surat kuasa umum Seperti
surat kuasa untuk menjaga, mengurus,harta, tanah dan lain-lain yang tidak dapat
digunakan di pengadilan sebagaimana pasal 123 HIR dan Sema nomor 1 tahun 1971
atau Sema No 6 tahun 1994 bahwa surat kuasa khusus harus berisi;
a. tempat dan tanggal PPN yang sesuai dengan kompetensi relatif
b. identitas para pihak
c. menyebut positum dan petitum dengan ringkas jelas dan terperinci
d. tanda tangan dan tanggal dari pemberi kuasa

Apabila terdapat syarat-syarat diatas yang tidak terpenuhi maka surat kuasa
tersebut cacat hukum dan dapat diajukan Eksepsi karena syarat-syarat dalam surat
kuasa tersebut bersifat komulatif, atau jika syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi
tetapi surat kuasa tersebut dibuat oleh orang yang salah atau tidak berwenang
sebagaimana putusan Ma nomor 10 k/N/1999 dimana direktur presiden membuat
surat kuasa kepada kuasa hukum untuk mewakili perseroan padahal sebagaimana
ketentuan dari peraturan perundang-undangan bahwa yang berhak mewakili
perseroan adalah BPPN dan bentuk-bentuk kesalahan lain seperti tidak disebutkan
nya kompetensi relatif surat kuasa dibuat di luar negeri tanpa legalitas dari konsulat
jendral setempat dan lain-lain
2) Surat gugatan terdapat error in Persona
Error in person dalam gugatan meliputi diskualifikasi in person yakni orang yang
mengajukan gugatan bukan orang yang berhak dan berkedudukan hukum untuk itu 2
(yahya Harahap SH hukum acara perdata Sinar Grafika 2017 halaman 503) seperti
anak dibawah perwalian atau perseroan yang belum disahkan sebagai badan hukum,
dalam hal ini penggugat belum memiliki personal standing, begitu juga masuk dalam
2
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hal 503.

5
Eksepsi ini ketika orang yang digugat adalah orang yang salah, bukan berarti hanya
salah dalam namanya tetapi dalam Statusnya juga sebagaimana contoh putusan MA
nomor 601 k/sip/1975 dalam kasus ini seorang pengurus digugat secara personal
bukan atas nama lembaga, dan jika dalam sebuah kasus terdapat beberapa tergugat
atau penggugat seluruhnya dari tergugat dan penggugat harus ditarik ke dalam
kasusnya jika tidak dilakukan maka dapat diajukan Eksepsi plurium litis consortium
sebagaimana putusan Ma nomor 621 k/sip/1975 bahwa sebagian objek harta yang di
perkarakan dimiliki oleh pihak ketiga yang dalam surat gugatan tidak disertakan
sebagai tergugat

3) Nebis in idem/ res judicata


Nebis in idem sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1917 KUHPerdata bahwa
unsur-unsur dalam nebis in idem adalah suatu tuntutan atau gugatan yang diajukan
dengan dalil yang sama dan diajukan oleh dan terhadap pihak yang sama dengan
keputusan hukum tetap yang daya kekuatan dan mengikatnya terbatas sekedar
mengenai substansi putusan itu

Secara garis besar nebis in idem dalam pasal 1917 KUHP Perdata harus memenuhi
syarat-syarat berikut
a) perkara yang digugat sudah pernah diperkarakan
b)Terhadap perkara sebelumnya telah ada putusan tetap
c)Putusannya bersifat positif
d)Subjek dan objek yang diperkarakan sama

Syarat-syarat dalam pasal 1917 KUHPerdata ini bersifat komulatif, jadi sebuah
perkara dianggap nebis in idem jika memenuhi seluruh syarat-syarat tersebut, yang
dimaksud dengan putusan tetap adalah apabila putusan pengadilan itu sudah tertutup
upaya hukum biasa( banding dan kasasi) sudah pernah diajukan atau karena tenggang
waktu sudah terlampaui atau karena sudah tidak diajukan upaya hukum biasa baik

6
diungkapkan secara tegas atau batas waktu pengajuan upaya hukum biasa telah
terlampaui, sedangkan putusan positif adalah apabila pertimbangan diktum putusan
setelah menentukan dengan pasti status dan hubungan hukum tertentu mengenai hal
dan objek yang disengketakan baik dalam bentuk gugatan ditolak seluruhnya atau
dikabulkan seluruhnya atau sebagian² (ibid 501) dalam hal subjek perilaku orang
yang mendapat titel umum dari pihak yang berperkara seperti ahli waris atau bertitel
khusus seperti pembeli penerima hibah dan lain-lain

Putusan negatif
Sebuah perkara yang dijatuhkan putusan negatif tidak melekat unsur nebis in idem
semisal dalam masalah kompetensi maka tidak melekat unsur nebis in idem untuk
pengadilan lain tetapi melekat unsur nebis in idem pada pengadilan yang pernah
menjatuhkan putusan negatif tetapi untuk putusan negatif sebab error in person,
gugatan prematur maka tidak berlaku nebis in idem di semua pengadilan kecuali
untuk gugatan voluntair dan gugatan yang diputus negatif sebab gugatan tidak
berdasar pada hukum maka tidak berlaku nebis in idem
4) eksepsi obscuur Libel
Eksepsi obscuur Libel maksudnya adalah gelap atau kabur yaitu gugatan yang
tidak jelas atau kabur sehingga tidak memenuhi syarat syarat formil agar gugatan
dianggap sah Adakalanya dalam Eksepsi ini hukum dalil gugatan atau posita nya
tidak di jelaskan dasar hukumnya atau terdapat ketidakjelasan dalam kejadian
peristiwa atau dasar fakta tidak dijelaskan, begitu juga gugatan yang tidak menyebut
objek sengketa secara jelas baik dari batas-batas tanah, kejelasan letak tanah atau
ukuran yang disebut di dalam gugatan berbeda dengan hasil pemeriksaan, hal ini jika
tanah atau objek sengketa masih belum bersertifikat maka jika tanah sudah
bersertifikat cukup menyebutkan nomor sertifikat tanahnya.
Salah satu syarat formil dalam gugatan adalah terdapat petitum yang jelas dan tidak
kabur seperti putusan Ma nomor 58 2K/sip/1973 petitum dalam perkara tersebut
meminta menetapkan hak penggugat atas tanah dan menghukum tergugat untuk tidak

7
melakukan kegiatan apapun di atas tanah tersebut dalam petitum ini tidak jelas Apa
yang dituntut oleh penggugat Apakah hak milik hak sewa atau hak lainnya, begitu
juga dianggap petitum tidak jelas atau kabur adalah apabila terdapat kontradiksi
antara posita dan petitum yang dituntut oleh penggugat, maka dalam gugatan ini
dapat diajukan Eksepsi obscuur Libel

C) Eksepsi hukum materiil


Secara garis besar Eksepsi hukum materiil dibagi menjadi dua yaitu:
1) eksepsi dilatoria
2) eksepsi peremptoria

Eksepsi dilatoria adalah gugatan yang belum dapat diterima atau diperiksa karena
masih prematur atau gugatan terlampau Dini seperti gugatan atas harta warisan
sedangkan pewaris masih hidup atau gugatan atas hutang piutang sedangkan masa
jatuh tempo belum sampai hal ini disebut Eksepsi dilatoria.
Sedangkan peremptoria adalah bahan tahan atau sangkalan atas perkara yang
sudah tidak ada, misalkan menggugat perkara hutang piutang padahal status
hutangnya sudah terbayar atau menuntut hak ganti rugi padahal sudah di kompensasi
bentuk-bentuk Eksepsi ini adalah.
a. eksepsi daluarsa
b. non prcuniane numarate
c. doli mali
d. Metus
e. non adimpleti contractus
f. Domini
g. litis pendentis

2. Cara mengajukan Eksepsi


Cara pengajuan Eksepsi diatur dalam undang-undang pasal 125 133 134 dan 136

8
HIR berdasar pada pasal-pasal di atas cara pengajuan Eksepsi dibagi dalam dua cara
yaitu
1) pengajuan Eksepsi kompetensi absolut
2) pengajuan Eksepsi selain kompetensi absolut
Berdasarkan pasal 134 HIR atau Pasal 132 Rv, Eksepsi kewenangan Absolut dapat
diajukan setiap saat artinya semenjak sidang dimulai dan sebelum putusan dijatuhkan
Eksepsi ini dapat diajukan kepada hakim kecuali apabila terdapat hal lain dalam
klausul arbitrase maka Hakim merujuk pada klausul itu Meskipun tidak ada Eksepsi
kewenangan Absolut jika Hakim memang tidak berwenang mengadili berdasarkan
kewenangan Absolut maka hakim hakim menyatakan diri tidak berwenang mengadili
perkara ini
Sedangkan cara pengajuan Eksepsi selain kompetensi Absolut cara pengajuannya
adalah saat sidang pertama bersamaan dengan pengajuan bantahan terhadap pokok
perkara hak mengajukan Eksepsi ini akan gugur jika tidak dilakukan pada sidang
pertama besertaan dengan bantahan terhadap pokok perkara apabila dalam sidang
pertama belum diajukan jawaban atau bantahan maka tidak gugur Hak terggugat
untuk mengajukan Eksepsi ini misalnya pihak tergugat atau penggugat tidak hadir
atau tergugat memohon sidang ditunda untuk menyiapkan jawaban
Putusan dari ekspresi ini juga dibagi menjadi dua putusan sela dan putusan akhir baik
relatif ataupun Absolut diputuskan dalam putusan akhir

B. Penggabungan Gugatan
Suatu perkara yang tunduk pada suatu hukum acara yang bersifat khusus, tidak
dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada hukum acara yang bersifat
umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungan satu sama lain.3
Secara teknis mengandung pengertian pengabungan beberapa gugatan dalam satu
gugatan. Disebut kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering yaitu
pengabungan lebih dari satu tuntutan hukum dalam satu gugatan. Satu gugatan harus
3
Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal, 201.

9
berdiri sendiri masing-masing gugatan diajukan dalam surat gugatan yang terpisah
secara tersendiri , diperiksa serta diputus dalam proses pemekrisaan dan putusan yang
terpisah dan berdiri sendiri.4
Hukum positif tidak mengatur penggabungan gugatan, baik HIR maupun RBG
tidak mengaturnya begitu juga RV , tidak mengatur secara tegas dan tidak melarang ,
yang dilarang pasal 103 Rv , hanya tebatas pada penggabungan kumulasi atau
gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik. Dengan
demikian secara a contrario (in the opposite sense), Rv membolehkan penggabungan
gugatan. Dan ditegaskan dalam Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983.

1. Tujuan Penggabungan
Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983 dan dalam Putusan MA No. 880 K/sip/1970.
Terdapat pertimbnagan mengenai manfaat dan tujuan penggabungan , telah dijelaskan
bahwa benar HIR dan RBG tidak mengatur kumulasi gugatan , masing-masing
gugatan terdapat hubungan erat , pengabungan tiga atau beberapa perkara dapat
dibenarkan untuk memudahkan proses dan menghindari terjadinya kemungkinan
putusan yang saling bertentangan, penggabungan yang seperti itu dianggap
bermanfaat ditinjau dari segi acara.
Memperhatikan putusan diatas, dapat dikemukakan manfaat dan tujuan
penggabungan :
a. Mewujudkan Peradilan Sederhana
Penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal dan dipertimbangkan
serta diputuskan dalam satu putusan sebaliknya jika masing masing digugat
secara terpisah dan berdiri sendiri.
b. Menghindari Putusan Yang Saling Bertentangan
Sistem penggabungan dapat dihindari jika munculnya putusan yang saling
bertentangan dalam kasus yang sama. Kemungkinan saling bertentangan
apabila masing masing perkara ditanggani oleh majlesis hakim yang
4
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hal 108.

10
berbeda

2. Syarat Penggabungan
Dikemukakan saah satu putusan MA No. 2990 K/Pdt/1990, 23-5-1992 yang
memberi gambaran acuan penerapan putusan tersebut mengatakan,
penggabungan gugatan yang terjadi dalam perkara ini dapat dibenarkan alasan :
1) Gugatan yang digabung sejenisa yaitu para penggugat terdiri dari deposan
PT Bank Pasar Dwiwindu (sebagai terguggat) kasus dimana para deposan
secara kumulatif menuntut pengembalian deposito.
2) Penyeselesaian hukum dan kepentinggan yang dituntut para penguggat
adalah sama, menuntut pengembalian desposito.
3) hubungan hukum antar para penggugat dan tergugat adalah sama yaitu
sebagai deposan berhadapan dengan tergugat sebaga penerima deposito.
4) pembuktian dalah sama dan mudah, sehingga tidak mempersulit
pemeriksaan secara kumulasi.5
Bertitik tolak dari pertimbangan putusan ini, dapat dikemukakan syarat pokok
kumulasi seperti yang dijelaskan :
a. Terdapat Hubungan Erat
Putusan MA No, 1715 K/Pdt/1983. Pada gugatan pertama , penggugat
mengajukan posita mengenai jual beli saham PT Prosam yaitu penggugat telah
membeli saham perseroan dari tergugat, sehingga penggugat satu-satunya
pemegang yang sah. Dalam kasus ini MA berpendapat kumulasi objek yang
diajukan penggugat, tidak dapat dibenarkan atas alasan gugatan yang satu dengan
yang lainnya kasus yang berdiri sendiri.
b. Terdapat Hubungan Hukum
Tidak mudah menentukan apakah diantara para penggugat atau tergugat
terdapat hubungan hukum, gugatan diajukan kepada orang tergugat I dan II
padahal diantaranya tidak ada hubungan hukum, dalam kasus ini MA
5
Ibid, hal, 109.

11
mengatakan , oleh karena itu tidak ada hubungan hukum diantara tergugat maka
sesuai dengan Putusan 2016-1979, No 415 K/Sip/1975, gugatan tidak dapat
diajukan secara kumulasi tetapi harus masing-masing berdiri sendiri terhadap
para pengugat.

3. Bentuk Penggabungan
a. Kumulasi Subjektif
Yaitu para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127 HIR/ 151 Rbg). Maksudnya
penggugat atau beberapa orang penggugat melawan (menggugat) beberapa orang
tergugat. Misalnya kreditur A mengajukan gugatan terhadap beberapa orang
debitur (B,C,D) yang berutang secara bersama. Atau beberapa penggugat
menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad). Syarat untuk kumulasi subjektif yaitu bahwa tuntutan tersebut harus ada
hubungan hukum yang erat antara satu tergugat dengan tergugat lain
(koneksitas). Kalau tidak ada hubungannya harus digugat secara tersendiri.
b. Kumulasi Objektif
Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus
(penggabungan objek tuntutan). Misalnya A menggugat B, selain minta dibayar
utang yang belum dibayar juga menuntut pengembalian barang yang tadinya
telah dipinjam.6

4. Beberapa Penggabungan Yang Tidak Dibenarkan


Terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh hukum. Larangan itu,
bersumber dari hasil pengamatan praktik peradilan.
a. Pemilik Objek Gugatan Berbeda
Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa objek gugatan,
dan masing- masing objek gugatan, dimiliki oleh pemilik yang berbeda atau
berlainan. Sebagai contoh dalam Putusan MA No.201 K/Sip/1974.

6
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hal 31.

12
b. Gugatan yang digabungkan Tunduk pada Hukum Acara yang Berbeda
Penggabungan gugatan bertitik tolak pada prinsip, perkara yang
digabungkantunduk pada hukum acara yang sama. Ditegaskan pada Putusan
MA No. 677 K/Sip 1972.
c. Gugatan Tunduk pada Kompetensi Absolut yang Berbeda
Telah disinggung, jika terdiri dari beberapa gugatan, yang masing-masing
tunduk pada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak dapat
dibenarkan. Titik singgung yang mungkin terjadi dalam kasus seperti itu
yakni gugatan perdata TUN dengan gugatan perdata hak milik atau PMH.
d. Gugatan Rekonvensi Tidak Ada Hubungan dengan Gugatan Konvensi
Sesuai dengan ketentuan Pasal 132a ayat (1) HIR, tergugat berhak
mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi penggabungan antara
konvensi dan rekonvensi. Hal ini diperingtkan dalam Putusan MA No. 677
K/Sip/1972 (13-12-1972). Ditegaskan tidak layak menggabungkan perkara
gugatan, jika antara keduanya tidak terdapat hubungan sama sekali.

5. Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama


Jika bertitik tolak pada Putusan MA No. 2205 K/Pdt/1981, tidak dibenarkan
menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama. Dalam
Pasal 86 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, menyatakan kebolehan
penggabungan itu, demi tercapainya prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Bukan hanya gugatan harta bersama yang dapat digabung dengan gugatan
cerai, tapi juga penguasaan anak serta nafkah alimentasi istri dan anak. Apabila
penggugat tidak menggabungkan dalam gugatan, tergugat dapat menggabungkan
melalui gugatan rekonvensi.7

C. Perubahan Gugatan
Dalam kenyataan praktik, perubahan gugatan dibutuhkan agar tidak mengalami

7
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hal 117.

13
cacat formil obscuur libel. Namun perubahan gugatan juga dapat mendatangkan
kerugian kepada tergugat. Bahkan bisa menimbulkan proses pemeriksaan terhambat
yang dapat merugikan kepentingan tergugat.
Sehubungan dengan itu, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi
kepentingan para pihak secara seimbang dan proporsional, sehingga terbina suatu
kerangka tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada
satu segi, tidak merugikan kepentingan tergugat. Keadaan yang seperti itulah yang
dibahas pada bagian ini, berisi penjelasan tentang ruang lingkup perubahan gugatan
yang dibenarkan hukum dengan mempergunakan pasal 127Rv dan praktik peradilan
sebagai sumber.

1. Pasal 127 Rv sebagai Rujukan Berdasarkan Kepentingan Beracara


HIR tidak mengatur perihal menambah atau mengubah surat gugat, sehingga
hakim leluasa untuk menentukan sampai mana penambahan atau perubahan surat
gugat itu akan diperkenankan.8 Karena perubahan gugatan ini merupakan
kebutuhan dalam proses penyelesaian perkara. Apalagi ditinjau dari asas
peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Perubahan gugatan sangat efektif
dan efisien mempercepat pemeriksaan.
Jika praktik peradilan tidak membenarkan perubahan gugatan, proses
pemeriksaan tidak efektif dan tidak efisien. Untuk mengubah atau memperbaiki
kesalahan pengetikan atau kesalahan perhitungan, terpaksa penggugat mencabut
gugatan serta mengajukan gugatan baru. Beruntung bagi penggugat jika
pencabutan disetujui tergugat. Penggugat akan bermasalah, apabila tergugat tidak
menyetujui pencabutan. Di dalam kondisi ini, terpaksa penggugat bertarung di
sidang pengadilan dengan gugatan yang mengandung kesalahan yang dapat
merugikan dirinya.
Di dalam Rv sendiri,ketentuan mengenai perubahan gugatan, hanya terdiri
satu pasal, yaitu pasal 127 yang berbunyi “Penggugat berhak untuk mengubah
8
Retnowulan sutanto, Hukum Acara Perdata, ( Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 46.

14
atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah
atau menambah pokok gugatannya”.9

2. Perubahan Gugatan Merupakan Hak


Menurut pasal 127 Rv, perubahan gugatan merupakan hak yang diberikan
kepada penggugat. Hakim maupun tergugat tidak boleh menghalangi dan
melarangnya. Penggugat bebas mempergunakan hak itu, asalkan berada dalam
kerangka yang dibenarkan hukum.
Oleh karena pasal 127 Rv sendiri menegaskan melakukan perubahan gugatan
adalah hak penggugat, maka menurut hukum:
a. Penggugat berhak mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim
yang memeriksa perkara;
b. Bukan meminta atau memohon izin atau perkenaan untuk melakukan
perubahan gugatan.
Jadi perubahan gugatan itu diajukan bukan dimohon.

3. Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan


Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan muncul tiga versi.
a. Sampai Saat Perkara Diputus
Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan pasal 127 Rv
yang menyatakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan
sampai saat perkara diputus. Berarti, selama persidangan berlangsung,
penggugat berhak melakukan dan mengajukan perubahan gugatan.
b. Batas Waktu Pengajuan pada Hari Sidang Pertama
Penggarisan batas waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari sidang
pertama, ditegaskan dalam buku pedoman yang diterbitkan MA. Selain harus
diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir.
Namun ada yang menganggap tidak realistis membatasinya hanya pada hari

9
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hal 97.

15
sidang pertama. Terkadang perbaikan atau perubahan itu, baru disadari
setelah tergugat menyampaikan jawaban. Oleh karena itu, pedoman batas
waktu yang digariskan MA itu, dianggap terlampau restriktif. Sangat
menghambat hak penggugat melakukan perubahan gugatan.
c. Sampai pada Tahap Replik-Duplik
Barangkali batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak
dan memadai menegakkan keseimbangan para pihak adalah sampai tahap
replik-duplik berlangsung. Praktik peradilan cenderung menerapkannya.
Memperhatikan variabel batas waktu yang dikemukakan, terdapat dua
pembatasan yang bertolak belakang:
a. Batas jangka waktu yang ditentukan pasal 127 Rv, dianggap terlampau
leluasa memberi hak kepada penggugat.
b. Sebaliknya, pada batas waktu yang digariskan MA dalam buku pedoman,
dianggap terlampau restriktif atau sempit, hanya memberi hak pada hari
sidang pertama.
Sehubungan dengan dua pembatasan waktu yang bertolak belakang tersebut,
lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat, yaitu membolehkan
mengajukan perubahan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, tidak juga
dibenarkan selama proses pemeriksaan berlangsung, tetapi dibolehkan sampai proses
pemeriksaan memasuki tahap replik dan duplik.

Jangkauan Kebolehan Perubahan atau Pengurangan


Menurut Pasal 127 Rv, batasan yang dapat dilakukan penggugat mengubah atau
mengurangi gugatan atau tuntutan, tidak boleh mengubah atau menambah gugatan.
Sehubungan dengan itu akan dijelaskan beberapa aspek mengenai jangkauan
kebolehan perubahan atau penambahan gugatan.
a. Pengertian pokok gugatan
Secara umum yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah materi pokok gugatan
atau materi pokok tuntutan, atau kejadian materiil gugatan. Oleh karena itu, batas

16
umum perubahan atau pengurangan gugatan, tidak boleh mengakibatkan
terjadinya perubahan kejadian materiil gugatan.
b. Pembatasan secara kasuitik berdasar praktik peradilan
1) Tidak boleh mengubah materi pokok perkara
Dilarang perubahan gugatan atau tuntutan yang menimbulkan akibat
terjadinya parubahan materi pokok perkara. Penegasan ini, terdapat dalam
putusan MA No. 547 K/Sip/1973, yang menyatakan: perubahan gugatan
mengenai nateri pokok perkara adalah perubahan tentang pokok gugatan, oleh
karena itu harus ditolak.
2) Perubahan gugatan yang tidak prinsipil dapat dibenarkan
Perubahan gugatan yang berkenaan dengan perbaikan hubungan darah antara
para tergugat dengan pewaris penggugat, dianggap tidak prinsipil, karena
perubahan itu tidak berakibat menimbulkan perubahan posita. Pendapat ini
dikemukakan dalam Putusan MA No. 1535 K/Pdt/1983, antara lain dikatakan
bahwa mengenai kalimat posita yang menyatakan Rukiah kawin dengan
angku penggugat, telah diakui penggugat sebagai kesalahan pengetikan
(penulisan), yang semestinya harus dibaca”angku gaek” para tergugat.
Dengan demikian perbaikan yang seperti itu, sama sekali tidak mengubah
posita gugatan.
3) Perubahan nomor surat keputusan (SK)
Perubahan gugatan yang berkenaan dengan penyempurnaan nomor surat
keputusan (SK) Gubernur yang semula tidak disebut dalam gugatan, dianggap
tidak bertentangan dengan hukum. Menanggapi perubahan itu MA
menyatakan, perubahan gugatan yang berkenaan dengan penyempurnaan
nomor SK Gubernur atas tanah terperkara yang sebelumnya tidak disebut
gugatan, tidak dianggap sebagai perubahan materi pokok perkara.
4) Perubahan tanggal tidak dianggap merugikan kepentingan tergugat
Penggugat mengajukan perubahan tanggala yang tertulis dalam gugatan dari

17
21 Mei 1969 menjadi 21 Mei 1968. Terhadap perubahan itu, MA berpendapat:
 Perubahan itu dianggap tidak mengubah posita gugatan
 Juga tidak menimbulkan kerugian terhadap kepentingan tergugat
 Oleh karena itu, tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum
acara yang berlaku, bahkan sebaliknya sesuai dengan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan
5) Tidak mengubah posita gugatan
Dilarang dan tidak dibenarkan perubahan mengakibatkan perubahan posita
gugatan. Larangan ini, dikemukakan dalam Putusan MA No. 1043 K/Sip/1971
yang menyatakan: “Yurisprudensi mengizinkan perubahan gugatan atau
tambahan asal itu tidak mengakibatkan perubahan posita dan pihak tergugat
tidak dirugikan haknya untuk membela diri.”
Yang dimaksud dengan perubahan posita adalah perubahan itu mengakibatkan
terjadinya penggantian posita semula menjadi posita baru atau posita lain.
Misalnya, posita jual beli diubah menjadi sewa menyewa atau hibah.
6) Pengurangan gugatan tidak boleh merugikan tergugat
Pasal 127 Rv memberi hak kepada penggugat mengurangi gugatan atau
tuntutan. Dalam praktik peradilan, hal itu dibenarkan. Misalnya, dalam
Putusan MA No. 848 K/Pdt/1983. Ditegaskan, perubahan ganti rugi dari 13
juta rupiah menjadi 4 juta rupiah dapat dibenarkan, karena perubahan yang
demikian tidak mengenai materi pokok perkara. Malahan perubahan itu bukan
merugikan bahkan menguntungkan tergugat.

D. Pencabutan Gugatan
Dalam suatu perkara perdata, terdapat 2 (dua) pihak yang dikenal sebagai
penggugat dan tergugat. Apabila pihak penggugat merasa dirugikan haknya, maka ia
akan membuat surat gugatan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setempat
yang berwenang dan kemudian oleh pengadilan negeri disampaikan kepada pihak
tergugat. Dalam hal surat gugatan yang telah didaftarkan oleh penggugat, maka

18
penggugat dapat melakukan perubahan gugatan. Perubahan gugatan adalah salah satu
hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi isi dari
surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam hal ini, baik hakim maupun tergugat tidak
dapat menghalangi dan melarang penggugat untuk mengubah gugatannya tersebut.
Perubahan gugatan harus tetap mengedepankan nilai-nilai hukum yang ada sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan mengenai perubahan gugatan tidak diatur dalam Herziene Indonesich
Reglement (“HIR”) maupun Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”), namun diatur
dalam Pasal 127 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”), yang menyatakan bahwa:
“Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat
perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggugat
memiliki hak untuk mengajukan perubahan gugatan, namun hanya yang bersifat
mengurangi atau tidak menambah dasar daripada tuntutan dan peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar tuntutan. Jika perubahan gugatan berupa penambahan dasar atau
peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, maka hal tersebut akan sangat merugikan
kepentingan tergugat. Dengan kata lain, perubahan gugatan diperbolehkan selama
tidak merubah materi gugatan, melainkan hanya segi formal dari gugatan (misalnya:
perubahan atau penambahan alamat penggugat, nama atau alias dari penggugat atau
tergugat)

Syarat Perubahan Gugatan


Peraturan mengenai syarat mengajukan perubahan gugatan tidak terdapat dalam
Pasal 127 Rv. Namun, dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung
(“MA”), terdapat syarat formil untuk mengajukan perubahan gugatan, dimana hal
tersebut sangat penting diterapkan dalam praktik peradilan. Dalam buku pedoman
MA, dijelaskan mengenai syarat formil dalam mengajukan perubahan gugatan,
yaitu12:
12
Alsha Alexandra Kartika,

19
A. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan:
Diajukan pada hari sidang pertama, dan
Dihadiri oleh para pihak
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan
gugatan:
Di luar hari sidang, dan Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat. Tujuan dari syarat-
syarat formil ini adalah untuk melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri.
Jika perubahan dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan
dianggap sangat merugikan kepentingan tergugat.

b. Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi


Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan:
Menanyakan kepada tergugat tentang perubahan gugatan yang bersangkutan,
Memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela
kepentingannya.

c. Tidak menghambat acara pemeriksaan


Dalam hal ini, perubahan gugatan tidak boleh menghambat jalannya pemeriksaan
di pengadilan. Apabila perubahan gugatan tersebut menghambat jalannya
pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi di antara kedua belah pihak yang
berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu proses pemeriksaan sehingga
memakan waktu yang lama dalam proses penyelesaian perkaranya.
Perubahan gugatan tersebut diajukan kepada majelis hakim yang memeriksa
perkara. Apabila perubahan gugatan sudah diterima oleh hakim, maka hakim wajib
untuk memeriksa isi dari perubahan gugatan tersebut. Hal terpenting yang perlu

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, Buku II, MA RI (Jakarta, April 1994),
hal,110.

20
diperhatikan dalam pemeriksaan tersebut terletak pada konten atau isi dari perubahan
gugatan yang diajukan, yakni apakah gugatan yang telah diubah itu bertentangan atau
tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, peran hakim dalam masalah
perubahan gugatan yang telah diajukan ini sangat penting karena apabila isi dari
perubahan gugatan tersebut bertentangan dengan hukum, sedangkan hakim
menyetujui perubahan gugatan yang bertentangan dengan hukum tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa hakim telah melanggar kewajibannya untuk menegakkan
keadilan.13

13
Ibid, hal, 111-112.

21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Eksepsi atau exception dalam bahasa Inggris atau exeptie dalam bahasa Belanda
secara umum berarti bantahan atau tangkisan dari tergugat terhadap materi gugatan
penggugat tetapi maksud dan tujuan eksepsi ini ada formalitas gugatan yang
mengandung cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima atau in nad missible,
jadi eksepsi tidak di maksutkan untuk pokok perkara yang diperkarakan karena hal ini
adalah bagian tersendiri yang berbeda dengan eksepsi.
Penggabungan Gugatan adalah Suatu perkara yang tunduk pada suatu hukum
acara yang bersifat khusus, tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk
pada hukum acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungan
satu sama lain.
perubahan gugatan dibutuhkan agar tidak mengalami cacat formil obscuur libel.
Namun perubahan gugatan juga dapat mendatangkan kerugian kepada tergugat.
Bahkan bisa menimbulkan proses pemeriksaan terhambat yang dapat merugikan
kepentingan tergugat.
Dalam suatu perkara perdata, terdapat 2 (dua) pihak yang dikenal sebagai
penggugat dan tergugat. Apabila pihak penggugat merasa dirugikan haknya, maka ia
akan membuat surat gugatan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setempat
yang berwenang dan kemudian oleh pengadilan negeri disampaikan kepada pihak
tergugat. Dalam hal surat gugatan yang telah didaftarkan oleh penggugat, maka
penggugat dapat melakukan perubahan gugatan. Perubahan gugatan adalah salah satu
hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi isi dari
surat gugatan yang dibuat olehnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia. 2015. Prenadamedia. Jakarta.

Harahap, Yahya. 2017. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika. Jakarta.

Kartika, Alsha Alexandra. 1994. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi


Peradilan, Buku II, MA RI. Jakarta.

Soeroso. 2010. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika. Jakarta.

Sugeng, Bambang Sujayadi. 2013. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi Pranamedia.

Sutanto, Retnowulan. 2005. Hukum Acara Perdata. Mandar Maju. Bandung.

23

Anda mungkin juga menyukai