Anda di halaman 1dari 7

Nama: Yullyta Eka Trisnantasari

Nim :C05217014

Prodi : perbandingan madzhab

Dosen pengampu: Kemal Riza, S. Ag. Ma.

Masdar Farid Mas’udi

1. biografi

Masdar Farid Mas’udi lahir dari pasangan KH Mas’udi bin Abdurrahman dan ibunda
Hj. Hasanah, di dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto pada tanggal 18 September
1954.1 Ayahnya merupakan seorang tokoh masyarakat atau sering disebut sebagai kyai yang
cukup terkenal oleh masyarakat melalui kegiatan ta’lim (pengajian) dari kampung kekampung.
Kakeknya, kyai Abdurrahman Jombor, dikenal dengan pesantren salaf yang sebelumnya telah
dirintis oleh moyangnya, yang konon merupakan turunan keenam dari mbah kyai Abdussomad
yang sampai sekarng pun makam beliau masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam Banyumas
khususnya.

2. Pendidikan

Pendidikan formal Masdar Farid Mas’udi diawali dari pendidikan Dasar atau Ibtidaiyah
yang diselesaikannya pada tahun 1966. Masdar langsung dikirim ayahnya ke Pesantren salaf di
Tegalrejo Magelang, dibawah asuhan kyai Khudlori. Tiga tahun di Tegalrejo, Masdar telah
menamatkan dan menghafalkan Alfiyah Ibnu Aqil. Selanjudnya Masdar pindah ke pesantren Al
Munawwir Krapyak Yogyakarta, berguru kepada kyai Ali Maksoem (Rois Am PBNU

1
Imdadun Rahmat, dkk, Islam Pribumi: MendialogkanAgama Membaca Realitas, Jakarta:
Erlangga, 2003, hlm. 234.

1
tahun 1988-1999). Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan setara dengan kelas
3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima dikelas 3 Aliyah.

Setelaah menamatkan Aliyah Masdar tidak langsung melanjutkan di Perguruan


Tinggi, namun tetap tinggal di pesantren dan mengajar serta menjadi asisten pribadi
kyai Ali Maksoem sebagai dosen luar biasa di IAIN Sunan Kalijaga. Baru pada tahun
1972, Masdar melanjutkan pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas
Syari’ah Jurusan Tafsir Hadits dan selesai pada tahun 1980. Selama menjadi mahasisiwa, Masdar
membut tradisi baru, yakni pengajian kitab kuning dan mengkaji Alfiyah bagi
kalangan mahasiswa di Masjid Jami’ IAIN Sunan Kalijaga. Setelah melalui berbagai
pengalaman, Masdar melanjutkan Program pasca sarjananya di Fakultas Filsafat
Universitas Indonesia, Jakarta (pada tahun 1994-1997).

3. Pengalaman Organisasi

Perjalanan karirnya dimulai ketika semangatnya berkobar sebagai aktivis mahasiswa di


IAIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 1973, terpilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Komisariat Krapyak, Yogyakarta hingga tahun 1975. Kemudian
terpilih sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Kemudian sekitar tahun
1983, Masdar terpilih sebagai ketua 1 PB-PMII (Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia). Setelah menyelesaikan kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta, dan
bekerja untuk lembaga Misi Islam NU dan menjadi wartawan diberbagai mass media
ibu kota.

Sebagai kordinator program P3M (Penghimpunan Pengembangan Pesantren dan


Masyarakat) Masdar sempat menerbitkan jurnal Pesantren, yang pertama dan satu-satunya
jurnal ilmiah Islam yang terbit 1984-1993 serta mengorganisir pelatihan-pelatihan bersama
para kyai muda pada saat itu. Dipihak lain dengan didukung oleh Rabitah Ma’ah
Islam (RMI) dibawah pimpinan (alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid
Zaini, Masdar merintis berbagai kegiatan kajian khazanah keislaman salaf melalui
berbagai halaqah. Dimulai dari halaqah watucongkol tahun 1989, dengan tema “Memahami
Kitab Kuning Secara Kontekstual”, kegiatan ini terus bergulir diberbagai daerah dengan
keikutsertaan para kyai, baik kyai sepuh ataupun kyai muda. Salah satu dari bentuk

2
outputnya yang monumental adalah Rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi
keputusan Munas NU Lampung 1992.

Saat ini, Masdar menduduki jabatan sebagai Ketua Pengurus besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) sekaligus sebagai direktur P3M Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW ( Indonesia
Corruption Watch), serta Komisi Ombudsman Republik Indonesia.

4. Karya-Karya Masdar Farid Masudi

Terhitung cukup banyak kontribusi pemikiran Masdar dalam hal sosial yang berbasis
keagamaan, terutama sejak aktif di P3M, diantara karya-karyanya adalah:

1. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta: P3M, 1993.

2. Islam Dan Hak-Hak Reproduki Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan, Bandung: Mizan,
1997.

3. Pajak Itu Zakat Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2010.

4. Artikel berjudul,” Zakat Sebagai Paradigma Pajak dan Negara”, dalam M. Tuwah
dkk, Islam Humanis: Islam dan Persoalan Kepeimpinan, Pluralitas, Lingkungan
Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, Jakarta: Moyo Segoro Agung,
2001.

5. Artikel berjudul, ”Hak Milik dan Ketimpangan Sosial (Telaah Sejarah dan Kerasulan)”,
dalam Nurcholish Madjid dkk, Islam Universal, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007.

6. Artikel berjudul,” Zakat dan Keadilan Sosial”, dalam M. Imdadun Rahmat et., Islam
Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta, Erlangga, 2003.

5. Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid Mas’udi

Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang
normal (wajar), Islam tidak saja harus bisa dicerna oleh logika penalaran (ma’qul), tetapi juga

3
harus bisa dicerna oleh logika kesejarahan (ma’mul). Orang bisa saja menilai seluruh
rukun Islam adalah ma’qul, tetapi dari rukun Islam tersebut, satu-satunya yang ma’qul dan
ma’mul hanyalah zakat, Karena pencapaian keadilan sosial berawal dari persoalan harta.
Sebagaimana para fuqaha, Masdar mendefinisikan zakat sebagai: “Suatu sebutan untuk kadar
tertentu dari harta tertentu yang wajib dibagikan untuk pihak yang juga tertentu” Bertolah
dari sejarah pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW bersama para sahabat
membentuk suatu lembaga negara. Namun lembaga negara tersebut dibangun dengan
penuh waspada, serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial (amar ma’ruf
nahi munkar) secara berkesinambungan, agar keberadaan lembaga negara tetap sebagai alat,
bukan hanya bagi kalangan tertentu saja, melainkan bagi kepentingan seluruh rakyat yang ada
dalam otoritasnya. Dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan
pemerintah adalah amil yang harus melayani kepentingan segenap rakyat, dengan
memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.2

Terkait dengan pajak, pada masa Islam merupakan upeti atau pungutan yang hanya ditarik
Baitul Mal ketika mengalami kekosongan dana. Ketika dana zakat telah disalurkan,
sementara negara memerlukan sesuatu dan bersifat mendesak, maka negara berhak menarik
pajak terutama kepada orang- orang yang memiliki harta berlebih. 3 Pajak memiliki arti yang
sangat berbeda dengan zakat, perbedaan arti pajak dan zakat juga dapat dilihat dari
kata asalnya. Zakat berasal dari kata kerja zaka yang berarti ketenangan jiwa,
sedangkan pajak menurut syariah berasal dari kata daraba yang berarti memberatkan
manusia.

Secara bahasa maupun tradisi, daribah dalam pengunaannya memang mempunyai


banyak arti, namaun para ulama memakai ungkapan daribah untuk menyebut harta yang
dipungut secara wajib. Bahwa menyebut kharaj danjizyah merupakan daribah.

2
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Neo Libral, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 354.
3
Gazi Inayah, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
2003. hlm. 24.

4
Dalam sejarah Islam, zakat dan pajak pernah ditetapkan secara bersamaan. Dalam
literature fikih dan sejarah ditemukan istilah kharaj, jizyah dan usyr, dengan pengertian sebagai
berikut:4

a. Kharaj pada awalnya merupakan pajak tanah yang dipungut dari non- muslim
ketika Khaiba ditaklukkan. Jumlah kharaj adalah tetap, yaitu setengah dari hasil produksi
kepada negara. Sedangkan Masdar berpendapat bahwa kharaj bukanlah pajak tanah, melainkan
semacam retribusi sewa tanah negara yang dibayarkan oleh penggarapnya.19

b. Jizyah merupakan kewajiban keuangan atas penduduk non- muslim di negara


Islam sebagai pengganti biaya perlindungan atas hidup, properti dan kebebasan untuk
menjalani agama mereka masing-masing.20

c. Usyr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali
dalam setahun dan hanya berlaku terhadap orang yang nilainya lebih dari 20 dirham.
Rasulullah berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun terjadi beban
pendapatan negara.21

Berbeda dengan zakat yang karena kedudukannya sebagai rukun Islam. Maka dipandang
sakral dan oleh sebab itu siapapun yang menanganinya dituntut sikap yang ekstra hati-hati,
sedangakan kharaj, jizyah dan usyr tidak demikian. Secara eksplisit penyaluran
dana zakat telah ditentukan dalam al-Quran, sedangkan kharaj, jizyah dan usyr lebih memiliki
ruang kebebasan dalam menyalurkannya.

Sebagai negara mayoritas penuduk muslim, Indonesia sejatinya telah mencanangkan tujuan dan
konsep bernegara yang benar dan mulia. Tujuannya adalah keadilan sosial bagi semua, dengan
landasan spiritual ketuhanan YME, landasan moral kemanusiaan yang adil dan beradab, landasan
sosial persatuan dan kebinekaan dan acuan politik kerakyatan dalam
kebermusyawaratan perwakilan.

4
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat,
2002, hlm. 183.

5
Cita keadilan bagi manusia bukanlah suatu yang asing. Secara fitrah, dan sabda keadialan itu
tersirat melalui ilham ketuhanan pada nurani setiap manusia. Oleh sebab itu, boleh
dikatakan bahwa keislaman manusia pada dimensi ini adalah merupakan keislamannya
pada suara nuraninya sendiri untuk menegakkan keadilan disatu pihak dan
mnghindarkan kedzaliman dipihak lain. Seperti halnya suara nurani untuk mengenal
dan luluh. Tuhan itu bersifat universal, maka suara nurani untuk cita-cita keadilan pun
demikian. Konsep keadilan Masdar tersebut bisa dikatakan sebagai konsep yang universal,
bernilai kebenaran dan mutlak. Sehingga konsep keadilan yang secara tidak
langsung mensejajarkan tuhan dengan prinsip keadilan, tidak memerlukan sebuah
ijtihat ataupun modifikasi. Konsep keadilan dalam Islam sangat relevan dihubungkan
dengan zakat. Keadialan bersifat primer dan masalah paling mendasar adalah
ekonomi. Bagaimana orang yang kurang beruntung dapat merasakn
kebahagiaan orang kaya. Oleh karena itu, dalam rangka mengentaskan kemiskinan
tersebut, harus ada usaha sungguh-sungguh. Hal tersebut merupakan tanggung
jawab sosial dan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan yang mulia dari keadilan
ekonomi. Itulah sebabnya, zakat merupakan salah satu rukun dalam Islam yang bisa
mengunakan kekuasaan negara (sebagai pajak).

6
DAFTAR PUSTAKA

Ash-shiddieqy, Hasbi, pedoman zakat, jakarta. Bulan bintang, 1984


Ali, Muhammad Daud, hukum islam:pengantar ilmu hukum dan tata hukum islam di
indonesia, jakarta 1999
Qardhawi, Yusuf, hukum zakat, 1996

Anda mungkin juga menyukai