Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH dan PERKEMBANGAN ZAKAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ekonomi Makro Islam

Dosen pengampu: Hikmatul Hasanah, S.E.I., M.E.

Oleh:

1. faridatul Jannah (E20173015)


2. fatimatus Zahroh (E20173016)
3. Dedy Febriansyah (E20173036)
4. Anis viyatul hamidah (E20173028)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya serta
meng-Anugerahkan tetesan ilmu, kesehatan, dan kekuatan, dan tak lupa pula shalawat serta
salam kita haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam mari kita curah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam terang
benderang yang kita rasakan pada zaman ini.

Sebelunya kami mengucapkan banyak terima kasih kepeda Dosen yang telah rela
merelakan waktunya untuk mengajari kami tentang Ekonomi Makro Islam. Makalah ini
alhamdulillah telah kami susun dengan usaha maksimal kami walupun masih banyak kekurangan
yang harus diperbaiki kedepannya.

Semoga pembaca yang budiman bisa mengambil intisari dari makalah yang telah kami
susun ini.

Jember, 20 November 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Setiap umat Muslim berkewajiban untuk memberikan sedekah dari rezeki yang
dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Al-Qur’an
hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak
wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat.
Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan
perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk
meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan
dalam negara-negara Islam.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan
kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda,
budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak
mampu membayar.
Sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana untuk
kepentingan pengembangan agama islam terutama. Dalam perjuangan bangsa Indonesia
menentang penjajahan Barat pendahulu, zakat, bagian sabilillahnya, merupakan sumber
dana perjuangan ketika satu persatu tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda.
Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang
berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Dan untuk melemahkan (dana)
kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda melarang
semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian zakat?
b. Bagaimana syari’at zakat pra-rasulullah?
c. Bagaimana perkembangan zakat pada masa Rasulullah?
d. Bagaimana perkembangan zakat pada masa Khulafaur Rasyidin?
e. Bagaimana perkembangan zakat pasca Khulafaur Rasyidin?
f. Bagaimana perkembangan zakat di Indonesia?
g. Bagaimana Efek Multiplier Zakat?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian zakat.
b. Untuk mengetahui syari’at zakat pra-rasulullah.
c. Untuk mengetahui perkembangan zakat pada masa Rasulullah.
d. Untuk mengetahui perkembangan zakat pada masa Khulafaur Rasyidin.
e. Untuk mengetahui perkembangan zakat pasca Khulafaur Rasyidin.
f. Untuk mengetahui perkembangan zakat di Indonesia.
g. Untuk Efek Multiplier Zakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zakat
Al-Zakah berasal dari kata zaka. Ibn Manzhur menyebutkan dua definisi al-
Zakat. Pertama, al-Zakah bermakna al-shalah (kesalehan) dengan empat bentuk kata kerja
yaitu zaka, zakiya, zakka, dan tazakka. Kedua, al-Zakah bermakna zakat harta atau
penyucian harta dengan satu bentuk kata kerja yaitu zakka. Al-Zakah adalah harta yang
dikeluarkan untuk menyucikan harta itu dengannya.
Zakat menurut bahasa berarti “tumbuh dan bertamba”. Sedangkan zakat menurut
istilah agama islam zakat aialah ukuran atau kadar harta yang harus dikeluarkan oleh
pemiliknya untuk diserahkan kepada golongan atau orang-orang tertentu dengan lafadz
zakat yang juga digunakan terhadap bagian tertentu yang dikeluarkan dari orang yang
telah dikenai kewajiban untuk mengeluarkan zakat. 1
B. Syari’at zakat pra-rasulullah
Salah satu misi al-Qur’an adalah sebagai informasi tentang sejarah ummat
kenabian Muhammad saw. Menurut Nuruddin Mhd. Ali, “kewajiban zakat telah
disyariatkan kepada nabi dan rosul sebagaimana telah dialaksanakan oleh Nabi Ibrahim
as, dan Nabi Ismail as. Bahkan terhadab bani Israil, umat Nabi Musa as, syariat zakat
telah diterapkan. Demikian pula terhadap umat Nabi Isa as, ketika bailiau masih dalam
buaian.
Ini berlandaskan pada al-Qur`an surat al-Anbiya’ ayat 73 untuk persoalan zakat
dalam syari’ah Nabi Ibrahim As, pada surat Maryam ayat 55 untuk persoalan zakat dalam
syari’ah Nabi Isma’il As, pada surat al-Baqarah ayat 83 untuk persoalan zakat dalam
syari’ah Nabi Musa As. atas Bani Israil, pada surat Maryam ayat 31 untuk persoalan
zakat dalam syari’ah Nabi Isa As, dan pada surat al-Bayyinah ayat 5 untuk persoalan
zakat atas Ahli Kitab. Hanya saja, dia tidak menyebutkan surat al-Ma’idah ayat 12.
Berdasarkan informasi zakat adalah ritual turun-temurun agama samawi sejak Nabi
Ibrahim as. hingga Nabi Muhammad saw.2

1
Ibn Manzhûr, Lisan al-‘Arab, hlm. 1849
2
Nuruddin Mhd Ali, zakat sebagai Intrumen dalam Kajian Fiskal, Jakarta: Raja Grindo Persada, 2006, hal.28
C. Perkembangan zakat pada masa Rasululla
Peradaban islam adalah cerminan cultural dari kalangan-kalanagan elit yang dibangun
dalam kekuatan-kekuatan ekonomi dan perubahan sosial. Peradaban Islam terbentuk
berkat penaklukan bangsa Arab selama delapan tahun masa pertempuran. Nabi
Muhammad saw. berusaha meraih kekuasaan atas suku-suku dalam rangka menundukkan
Mekah. Sejumlah utusan dan duta dikirim ke seluruh penjuru Arabia. Sementara suku-
suku bangkit untuk menyampaikan kesetiaan, membayar zakat dan pajak, sebagai simbol
keanggotaan dalam komunitas muslim dan simbol menerima Muhammad sebagai Nabi
dan Utusan Allah swt. 3
Rasulullah saw. pernah mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa sahabat
sebagai ‘amil zakat (pengumpul zakat) di tingkat daerah. Mereka bertanggung jawab
membina berbagai negeri guna mengingatkan para penduduknya tentang kewajiban
zakat. Zakat diperuntukkan untuk mengurangi kemiskinan dengan menolong mereka
yang membutuhkan. Pada masa Nabi Muhammad saw., ada lima jenis kekayaan yang
dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang dagangan, hasil pertanian (gandum dan padi)
dan buah-buahan, dan rikaz (barang temuan). Selain lima jenis harta yang wajib zakat di
atas, harta profesi dan jasa sesungguhnya sejak periode kepemimpinan Rasullah saw.
juga dikenakan wajib zakat. Dalam bidang pengelolaan zakat Nabi Muhammad saw.
memberikan contoh dan petunjuk oprasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat
teknis tersebut dapat dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari:
1. Katabah, petugas yang mencatat para wajib zakat
2. Hasabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat
3. Jubah, petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki
4. Khazanah, petugas yang menghimpun dan memelihara harta
5. Qasamah, petugas yang menyalurkan zakat pada mustahiq.4
D. Perkembangan Zakat pada Masa Khalifaur Rasyidin
1. Periode Abu Bakr as-Siddiq ra. Pengelolaan zakat pada masa Abu Bakr as-Siddiq ra.
sedikit mengalami kendala. Pasalnya, beberapa umat muslim menolak membayar

3
Ira M. Lapidus, Sejara Sosial Ummat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal.247
4
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kancana, 2006, hal.214
zakat. Mereka meyakini bahwa zakat adalah pendapat personal Nabi saw.5 Menurut
golongan ingkar zakat ini, zakat tidak wajib ditunaikan pasca wafatnya Nabi saw.
Pemahaman yang salah ini hanya terbatas di kalangan suku-suku Arab Baduwi. Suku-
suku Arab Baduwi ini menganggap pembayaran zakat sebagai hukuman atau beban
yang merugikan.
2. Periode ‘Umar ibn al-Khattab ra. ‘Umar ra. adalah salah satu sahabat Nabi saw.. Ia
menetapkan suatu hukum berdasarkan realitas sosial. Di antara ketetapan ‘Umar ra.
adalah menghapus zakat bagi golongan mu’allaf, enggan memungut sebagian ‘usyr
(zakat tanaman) karena merupakan ibadah pasti, mewajibkan kharraj (sewa tanah),
menerapkan zakat kuda yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad saw.
Tindakan ‘Umar ra. menghapus kewajiban zakat pada mu’allaf bukan berarti
mengubah hukum agama dan mengenyampingkan ayat-ayat al-Qur’an. Ia hanya
mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang jelas berbeda dari zaman
Rasulullah saw. Sementara itu ‘Umar tetap membebankan kewajiban zakat dua kali
lipat terhadap orang-orang Nasrani Bani Taglab, hal ini disebut zakat muda‘afah.
Zakat muda‘afah itu adalah terdiri dari jizyah (cukai perlindungan) dan beban
tambahan. Jizyah sebagai imbangan kebebasan bela negara, kebebasan Hankamnas,
yang diwajibkan kepada warga negara muslim. Sedangkan beban tambahannya
adalah sebagai imbangan zakat yang diwajibkan secara khusus kepada umat Islam.
Umar ra. tidak merasa ada yang salah dalam menarik pajak atau jizyah dengan nama
zakat dari orang-orang Nasrani karena mereka tidak setuju dengan istilah jizyah
tersebut.6
3. Preriode ‘Usman ibn ‘Affan ra. Pengelolaan zakat pada masa ‘Usman dibagi menjadi
dua macam yaitu:
a. Zakat al-amwal az-zahirah (harta benda yang tampak), seperti binatang ternak dan
hasil bumi.
b. Zakat al-amwal al-batiniyah (harta benda yang tidak tampak atau tersembunyi),
seperti uang dan barang perniagaan. Zakat kategori pertama dikumpulkan oleh

5
Ahmat Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Gazali, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, hal.104
6
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan HUkum Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1994, hal. 184
negara, sedangkan yang kedua diserahkan kepada masing-masing individu yang
berkewajiban mengeluarkan zakatnya sendiri sebagai bentuk self assessment.
4. Periode ‘Ali ibn Abi Thalib ra. Situasi politik pada masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali
ibn Abi Thalib ra. berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah.
Akan tetapi, ‘Ali ibn Abi Thalib ra. tetap mencurahkan perhatiannya yang sangat
serius dalam mengelola zakat. Ia melihat bahwa zakat merupakan urat nadi kehidupan
bagi pemerintahan dan agama. Ketika ‘Ali ibn Abi Talib ra. bertemu dengan orang-
orang fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non-muslim (Nasrani), ia
menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung oleh Baitul Mal. Khalifah ‘Ali ibn
Abi Talib ra. juga ikut terjun langsung dalam mendistribusikan zakat kepada para
mustahiq (delapan golongan yang berhak menerima zakat). Harta kekayaan yang
wajib zakat pada masa Khalifah ‘Ali ibn Abi Talib ra. ini sangat beragam. Jenis
barang-barang yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan jenis
kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat.7
E. Zakat Pada Masa pasca Khalifaur Rasyidin
Bila pada zaman Nabi dan Khulafaurrasyidin, secara konsisten pengelolaan zakat
dalam wujud kelembagaan berada di bawah tanggung jawab pemerintahan, maka pada
masa pasca Khulafaurrasyidin, tanggung jawab pengelolaan itu sedikit terlepas dari
otoritas pemerintah. Karena rasa tanggung jawab terhadap rakyat yang semakin kurang
pada masa kekhalifahan setelah khulafaur rasyidin. Akibat kepercayaan rakyat yang besar
terhadap kepemimpinan Nabi dan Khalifah-Khalifahnya, ketaatan rakyat untuk
menyerahkan pengelolaan zakat kepada negara tampak begitu besar. Kepercayaan rakyat
yang demikian itu, tidak lagi dirasakan oleh penguasa-penguasa pasca Khulafaurrasyidin.
Ini akibat kelalaian-kelalaian mendasar yang mereka lakukan secara sengaja dan terbuka.
Bila pemerintahan Nabi dan Khulafaurrasyidin berwatak demokratis dan secara
consist en mengabdi kepada kepentingan rakyat terutama yang berada pada lapisan
bawah, maka kepemimpinan pada masa sesudahnya, merupakan pemerintahan yang
dibangun atas dasar kekuatan dan dipertahankan dengan sistem pewarisan yang
dikembangkan. Pemerintah model pertama, meskipun sederhana, jelas adalah
pemerintahan (yang berorientasi pada kepentingan) umat, dimana kesejahteraan rakyat

7
Ahmad Syalabi, Sejara Kebudayaan Islam, Jakarta: Mutiara,2000, hal.144
menjadi tujuan utama dalam pembangunan. Sehingga pembangunan yang dilakukan
selalu berupaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara pemerintahan
model kedua, betapapun canggihnya, lebih merupakan pemerintahan (yang berorientasi
kepada kepentingan) penguasa/kelompok, sehingga kebijakan yang diambil hanya akan
mementingkan keuntungan segelintir kelompok saja.
Pemerintahan Bani Umayyah, seperti diketahui, merupakan periode
pengembangbiakkan benih-benih feodalisme-nepotisme. Pola demikian sebenarnya, akar-
akarnya telah tertanam pada periode Usman bin Affan. Usman, atas permintaan
Muawiyah bin Abi Sofyan di Syria, menyerahkan harta kekayaan dan tanah peninggalan
bangsawan Syria sebagai milik pribadi Muawiyah. Demikian pula, dia memberikan
tanah-tanah yang lain kepada teman-teman Muawiyah sebagai khumus. Pola kebijakan
seperti itu, kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya (kecuali pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Azis). Tanah-tanah tersebut sebenarnya adalah kekayaan umat
dan untuk kepentingan bersama. Dari situ kemudian muncullah tuan-tuan tanah besar di
lingkungan kerajaan, misalnya, Muawiyah, Abdul Malik Al-Walid, serta para wali
mereka seperti Al-Hajjaj, Maslamah dan Walid Al-Qasari. Pada masa tersebut telah
terjadi pemusatan kekayaan kepada sekelompok golongan tertentu yang dekat dengan
pusat kekuasaan pada masa tersebut.
Sistem pertanahan seperti itu, sebagai salah satu ilustrasi kebijakan pemerintah
Bani Umayyah menyangkut kekayaan negara, di satu sisi telah menimbulkan
kecemburuan sosial di kalangan kaum muslimin Mekkah, Madinah dan Irak yang merasa
tidak puas dengan status istimewa keluarga-keluarga Syiria. Masyarakat di Mekkah,
Madinah dan Irak merasa telah terjadi ketidakadilan dengan munculnya pemusatan
kekayaan yang diberikan kepada kelompok tertentu di Syiria. Di sisi lain, hal tersebut
telah mempercepat proses urbanisasi masyarakat desa yang kehilangan tanah menuju
kota, dan menimbulkan problem tersendiri. Hal ini tidak ubahnya dengan urbanisasi pada
masa ini, yang pasti akan menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat.
Pergeseran substansial sistem pemerintahan tersebut telah mengundang reaksi
rakyat yang tak kalah mendasarnya. Rakyat yang semula bersikap partisipasi dan
mendukung pemerintah, lalu berubah, sebagian besar bersikap apatis dan pesimis
terhadap pemerintahan yang ada. Muncul kelompok kecil baik sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan bertekad terus memusuhi. Mayoritas umat yang bersikap apatis
inilah yang kemudian dikenal dengan faksi sunni, kelompok ini sudah bersikap pasrah
atas kondisi yang ada serta pesimis akan terjadi perubahan berarti bagi kesejahteraan
masyarakat. Sedangkan yang bersikap konfrontatif dikenal sebagai faksi khawarij,
mereka bersikap memusuhi dan bahkan rela membunuh kelompok yang dekat dengan
pemerintahan. Selebihnya adalah kelompok oportunis yang secara bulat dapat menerima
model pemerintahan tersebut. Mereka terdiri dari para birokrat yang umumnya terdiri dari
orang-orang Persia.
Implikasi dari perkembangan politik di atas adalah bahwa kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah sebagai imam yang berwenang mengelola zakat, kian lama kian
memudar. Dengan daya kepemimpinan yang otoriter dan gaya hidup penguasa yang serba
mewah, umat semakin sulit untuk bisa diyakinkan bahwa zakat bahwa zakat yang mereka
tunaikan dengan niat ikhlas karena Allah itu benar-benar dibelanjakan untuk tujuan yang
dikehendaki Allah. Pada sisi lain rakyat waspada bahwa penyerahan zakat kepada
pemerintahan yang dzalim bisa berarti pengakuan atas kedzaliman yang dilakukan.
Alasan lain keengganan masyarakat untuk membayar zakat kepada pemerintah adalah
faktor ketidakpercayaan karena tidak adanya transparansi dalam pengelolaan dana, dan
dikhawatirkan hanya dipergunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya sendiri
saja.
Perhatian pada pendapatan non-zakat itu misalnya tergambar pada masa Al-
Makmur, salah satu khalifah terkemuka Bani Abbasiyah. Pada masa Al-Makmur terdapat
berbagai macam jenis pajak. Ini karena semakin luas wilayah kekuasaan Al-Makmur dan
muncul berbagai macam jenis usaha yang dapat dijadikan sebagai objek pajak bagi
pemasukan dan pendapatan pemerintah. Pajak-pajak resmi yang terdapat pada masa Al-
Makmun antara lain sedekah (termasuk zakat), Jizyah, Kharaj, pajak awak kapal dan
ikan, pajak tambang galian, pajak barang yang memasuki perbatasan, pajak perniagaan
dan pembuatan uang, pajak perdagangan (ekspor), dan pajak pembuatan produk.
Pendapatan terbesar dari semua jenis pajak tersebut adalah Kharaj.
Kharaj dan jizyah Secara ekonomis dikatakan memadai, karena pemasukan dari
dua sektor ini saja sudah cukup melimpah untuk sekedar mencukupi kebutuhan belanja
negara yang hanya diperlukan untuk membiayai pegawai dan tentara serta kebutuhan
rutin kerajaan. Bagaimanapun majunya pemerintahan pada saat itu belum ada program
pembangunan besar-besaran yang memerlukan mobilisasi dana secara habis-habisan
seperti dewasa ini. Karena pendapatan dari kharaj dan jizyah saja sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan negara, maka zakat kurang menjadi prioritas utama sumber
pendanaan negara pada masa itu.
Dikatakan lebih murah secara politis, karena berbeda dengan zakat, sasaran
kewajiban kharaj dan jizyah adalah rakyat yang dilihat dari sudut psiko-politik cenderung
tidak akan berani menuntut hak yang macam-macam. Sasaran jizyah adalah warga non-
muslim, sedangkan sasaran kharaj adalah rakyat muslim dan non-mulim yang di mata
kerajaan adalah warga negara taklukan. Selain faktor ekonomi dan politik, dari sudut
agama juga ada kelebihannya. Berbeda dengan zakat yang karena kedudukanya sebagai
rukun Islam dipandang sakral, sehingga menuntut sikap kehati-hatian, sementara jizyah
dan kharaj tidaklah demikian.
F. Pekembangan Islam di Indonesia
Sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana untuk
kepentingan pengembangan agama islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia
menentang penjajahan Barat pendahulu, zakat, terutama bagian sabilillahnya, merupakan
sumber dana perjuangan ketika satu persatu tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda.
Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang
berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Yang menjadi pendorong
pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim kolonial yaitu
mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau naib
bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi tidak
diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka beserta
keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat
itu. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi
ikut serta membantu pelaksanaan zakat.
Menurut Profesor Hazairin, dalam penyusunan ekonomi indonesia, di samping
komponen-komponen yang telah ada dalam sistem adat kita yaitu gotong-royong dan
tolong-menolong. Pengertian zakat seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an besar
manfaatnya. Kalau dipahami dengan seksama. Kata beliau, mengenai cara
pelaksanaannya memang diperlukan perubahan sehingga memenuhi keperluan bank masa
kini dan keadaan di Indonesia. Dan jika diadakan bank zakat misalnya, tempat
mengumpulkan dana yang tidak adalagi golongan yang menerimanya dari mustahiq yang
delapan itu, manfaatnya akan besar sekali. Dari Bank zakat itu akan dapat disalurkan
pinjaman-pinjaman jangka panjang yang tidak berbunga untuk rakyat miskin guna
membangun lapangan hidup yang produktif. Zakat yang di organisasikan dan
diselenggarakan dengan baik, akan sangat berfaedah bukan saja bagi umat islam, tetapi
juga bagi mereka yang bukan muslim.
Demikian sejak Indonesia merdeka, di beberapa daerah di tanah air kita, pejabat-
pejabat pemerintah yang menjadi penyelenggara negara telah ikut serta membantu
pemungutan dan pendayagunaan zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan pula dengan
pelaksanaan pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak – anak
terlantar di pelihara oleh negara. Kata-kata “ fakir miskin “ yang dipergunakan dalam
pasal tersebut jelas menunjukkan pada para mustahiq yaitu mereka yang berhak
menerima bagian zakat.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini secara kualitatif, mulai
meningkat pada tahun 1962. Pada tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri
Agama Nomor 4 dan Nomor 5 / 1968. Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil
Zakat dan pembentukan Baitul Mal ( Balai Harta Kekayaan ) di tingkat pusat, propinsi
dan kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya, yakni pada tahun 1967, pemeritah telah
pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi
undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam jawabannya kepada Menteri
Agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam
undang-undang, cukup dengan peraturan Menteri Agama saja. Karena pendapat itu,
Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968
tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan Isra’ dan Mi’raj di
Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto manganjurkan untuk
menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti Badan Amil Zakat Nasional
yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah khusus Ibukota Jakarta.
G. Efek Multiplier Zakat
Zakat Sebagai Multiplier (Efek Pengganda) Ekonomi Kesenjangan antara yang
kaya dan miskin menyebabkan perbedaan dalam pemenuhan kebutuhan dan berperilaku
dalam ekonomi. Dalam sistem ekonomi konvensional, pendapatan yang diperoleh
sesorang digunakan untuk kepentingan pribadinya terutama untuk kebutuhan konsumsi.
Bahkan, jika seseorang memiliki pendapatan yang lebih, cenderung digunakan untuk
kebutuhan barang-barang mewah atau untuk bersenang-senang. Hal ini dapat
menimbulkan kecemburuan sosial antara si kaya dan si miskin yang berakibat si miskin
tetap tidak mampu berkonsumsi dan memenuhi kebutuhannya.
Menurut Islam (Suprayitno, 2005:92), anugerah-anugerah Allah adalah milik
semua manusia sehingga suasana yang menyebabkan di antara anugerah-anugerah itu
berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan
anugerah- anugerah itu untuk mereka sendiri. Seseorang yang memiliki harta berlebih
harus selalu ingat bahwa harta tersebut hanya titipan dari Allah sehingga ada hak-hak
yang harus diberikan kepada yang berhak menerima (mustahik). Allah berfirman dalam
Alquran surat Al-Baqarah ayat 261 yang artinya: “Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah Maha luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Dari ayat tersebut digambarkan secara implisit
efek multiplier dari zakat.
Pelaksanaan ibadah zakat bila dilakukan secara sistematis dan terorganisasi akan
mampu memberikan efek pengganda yang tidak sedikit terhadap peningkatan pendapatan
nasional suatu negara dikarenakan percepatan sirkulasi uang yang terjadi dalam
perekonomian. Bagaimanakah mekanisme efek multiplier zakat ini? Zakat dalam bentuk
bantuan konsumtif yang diberikan kepada mustahik akan meningkatkan pendapatan
mustahik, yang berarti daya beli mustahik tersebut atas suatu produk yang menjadi
kebutuhannya akan meningkat pula. Peningkatan daya beli atas suatu produk ini akan
berimbas pada peningkatan produksi perusahaan. Imbas dari peningkatan produksi adalah
penambahan kapasitas produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga
kerja lebih banyak. Hal ini berarti tingkat pengangguran akan semakin berkurang.
Sementara itu di sisi lain,14 peningkatan produksi akan berakibat pada
meningkatnya pajak yang dibayarkan kepada negara, baik pajak perusahaan, pajak
pertambahan nilai maupun pajak penghasilan. Jika penerimaan negara dari pajak
bertambah, negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan
serta mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Apabila zakat mampu
dikumpulkan secara signifikan, pendidikan dan kesehatan gratis dapat diberikan kepada
masyarakat. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa dari pembayaran zakat mampu
menghasilkan efek pengganda dalam bahasa ekonomi dikenal dengan multiplier effect
dalam perekonomian yang pada akhirnya secara tidak langsung akan berimbas pula
kepada kita. Walaupun bantuan yang diberikan dalam bentuk bantuan konsumtif saja, hal
itu sudah mampu memberikan efek pengganda yang cukup signifikan. Apalagi, zakat
diberikan dalam bentuk bantuan produktif seperti modal kerja atau dana bergulir, maka
tentunya efek pengganda yang didapat akan lebih besar lagi dalam suatu perekonomian,
dikarenakan zakat memberikan efek dua kali lipat lebih banyak dibandingkan zakat
dalam bentuk bantuan konsumtif.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah nabi hijrah ke madinah, dan menetap selama 17 bulan disana, pada
bulan sya’ban tahun ke 2 hijryah, turunlah ayat 183-184 surah al baqarah sebagai
syari’atkannya puasa ramadhan. Tidak lama setelah turunnya ayat itu, masih di
bulan ramadhan itu pula mulai di wajibkannya zakat kepada kaum muslimin,
sebagaimaa di terangkan oleh ibnu Umar dan sejak itulah mulia di sebut dengan
zakat. Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang di wajibkan Allah
SWT untuk di keluarkan dan di berikan kepada yang berhak menerimanya dengan
persyaratan tertentu pula. Zakat mal adalah zakat yang di kenakan atas harta yang
di miliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat tertentu dan ketentuan
yang telah di tetapkan hukum syara’. Dalam konteks keindonesiaan hal itu
tercermin dari undang-undang republik indonesia nomer 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat, dimana dalam undang-undang tersebut mengatur dengan
cukup terperinci mengenai fungsi peran dan tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Nuruddin Mhd. 2006. Zakat sebagai Instumen dalam Kajian Fiskal. Jakarta: Raja Grafindo
Persada

Manzhur, Ibn. 2001. Lisan al-‘Arabi. Kairo: Dar al- Ma’arif.

Lapidus, Ira M. 2000. Sejara Sosial Ummat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasution, Mustafa Edwin.2006. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kancana.

Suratmaputra, Ahmat Munif.2002. Filsafat Hukum Islam al-Gazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan HUkum Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

Syalabi, Ahmad. 2000. Sejara Kebudayaan Islam. Jakarta: Mutiara,

Anda mungkin juga menyukai