Anda di halaman 1dari 13

Reaktualisasi Fikih Indonesia

(Telaah atas pemikiran Dr. Masdar Farid Mas’udi)*

_Oleh Wahid Nur Hasyim*_

”Agama akhir-akhir ini di tuduh sebagai salah satu faktor penyebab ketidak setaraan
jender.”1

A. Pendahuluan
Abdurrahman Wahid [Gus Dur] mendefinisikan reaktualisasi sebagai upaya
penafsiran kembali yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan untuk
menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Konsfigurasi antara nilai-nilai
normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata,
selama kaum Muslimin tetap pada pendirian untuk tidak ‘melangkahi’ ketentuan
tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa
berubah.2 Sejalan dengan Ide ini Masdar Farid Mas’udi berpendapat, Islam datang ke
bumi bukanlah untuk kepentingan Allah (yang maha Kaya) maupun ajaran Islam itu
sendiri (yang sudah sempurna). Islam adalah rahmat Allah bagi umat manusia untuk
kemuliaan martabat manusia sendiri secara lahir-batin, jasmani-ruhani, personal-sosial.
Oleh sebab itu, keberislaman, harus dibangun melalui empat tahap
pembebasan: pertama  adalah kepedulian yang mendalam terhadap problem
kemanusiaan; kedua, mendefinisikan akar problem kemanusian itu secara
kritis; ketiga, merumuskan kerangka perubahan (transformasi); dan keempat, langkah-
langkah praksis amaliyah pembebasan itu sendiri.3 Dalam keseluruhan empat langkah

1
*Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan dan perceraian
didunia Islam yang diampu Oleh.Prof. Dr. Khoirudin Nasution, MA.
*) Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Jender adalah sebuah pendefinisian sosial yang menunjuk pada perbedaan karakteristik lelaki dan 1
perempuan. karakter yang memang dibentuk oleh mamusia. Lihat indrawasih “fenomena kawin Muda dan
kondisi semula ada masih ada, Manssour fakih Analisis Gender dan transformasi sosial. Cet. Ke-4
yogyakarta; pustaka
2
2 Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar Ensiklopedi Ijma’, Pustaka Firdaus & P3M,
1987:xvi]
3
Ahmad Kosasi Marzuki, "Masdar Farid Mas'udi: Berakar pada Tradisi Bervisi Modern", dalam
http:www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=9, akses pada 24 Maret 2006.

1
keberislaman itu, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, merupakan sumber inspirasi, motivasi
dan petunjuk (guidence/ al-huda) yang tidak pernah kering. “Tanpa kerangka
keberislaman seperti itu, rasanya sulit Islam bisa menjadi motor perubahan yang
mempu membawa umat manusia keluar dari tata kehidupan yang semakin disesaki
dengan kezaliman sekarang ini.
Selanjutnya, Sejumlah gagasan orisinal (nyleneh?) telah muncul dari pikiran
Masdar yang secara paradigmatik memang bertolak dari kepedulian mendalam
terhadap problem-problem kemanusiaan dimaksud. Yang paling diseriusi adalah
penafsirannya kembali atas ajaran  ZAKAT yang tertuang dalam bukunya (1991)
setebal 250-an halaman. Kemudian mengenai masalah jender ”Hak-hak Reproduksi
Wanita, Menyusul kemudian, konsepnya yang tidak kalah kontroversial tentang
“peninjauan kembali waktu pelaksaaan ibadah haji”. Titik tolaknya adalah
keprihatinan yang mendalam atas terjadinya tragedi kemanusiaan Muisim Haji tahun
1992 dengan korban lebih dari 2000 jemaah yang mati mengenaskan karena terinjak-
injak.

B. Biografi singkat Masdar farid Mas’udi


1. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Masdar Farid Mas'udi lahir di dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto
pada tahun 1954. Ibunya bernama Hj. Hasanah dan ayahnya bernama Mas'udi bin
Abdurrahman. Masdar memilki "trah" kyai. Ayahnya adalah seorang kyai masyarakat
yang aktif dalam kegiatan ta'lim dari kampung ke kampung. Kakeknya, Kyai
Abdurrahman Jombor, dikenal dengan pesantren salafnya yang telah dirintis oleh
moyangnya, Kyai Abdussomad yang makamnya hingga kini masih sering diziarahi
oleh masyarakat Islam Banyumas.4
Pendidikan dasarnya dimulai di Sekolah Dasar di kampungnya selama 5 tahun.
Setamat dari Sekolah Dasar, Masdar langsung dikirim oleh ayahnya ke Pesantren salaf
API di Tegalrejo, Magelang, di bawah asuhan Kyai Khudhori. Selama di Pesantren
Tegalrejo (1966-1969) Masdar telah menamatkan dan menghafalkan Alfiyah Ibn
Malik. Selepas di pesantren Tegalrejo, Masdar melanjutkan ke Pesantren Krapyak,
4
Ahmad Kosasi Marzuki, "Masdar Farid Mas'udi: Berakar pada Tradisi Bervisi Modern", dalam
.http:www.islamemansipatoris.com

2
Yogyakarta berguru kepada KH. Ali Maksum. Meskipun dari Tegalrejo baru
menyelesaikan pendidikan setara dengan kelas 3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar
langsung diterima di kelas 3 Aliyah.5
Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh KH. Ali Maksum untuk
tidak langsung ke IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga) melainkan
untuk mengajar dan menjadi asisten pribadi Kyai terutama dalam tugas-tugas beliau
sebagai dosen luar biasa IAIN Sunan Kalijaga. Masdar sering diminta oleh Kyai Ali
Maksum untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana IAIN dan membuat
pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk diujikan. Dalam kapasitasnya sebagai
asisten pribadi inilah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan
perpustakaan pribadi Kyai Ali yang berisi kitab-kitab pilihan, baik yang salaf (klasik)
maupun yang khalaf (modern).6
Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di Pesantren Krapyak, Masdar
melanjutkan studi di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan
Tafsir-Hadis. Selama kuliah di IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru pengajian
kitab kuning dengan mengajar Alfiyah untuk kalangan mahasiswa di Masjid Jami'
IAIN Sunan Kalijaga. Masdar menyelesaikan kuliah S1 di IAIN pada tahun 1979.
Masdar juga pernah mengenyam pendidikan di S2 Filsafat UI (1997) dan menjadi
dosen di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta bidang Islamologi.7
Berbagai seminar ilmiyah telah diikutinya sebagai pembicara mewakili sudut
pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan Mindanau
(Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di Singapura, di Kairo (Mesir), Sidney
(Australia), Belanda dan Denmark. Pernah mengadakan kunjungan di pusat-psat
keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986. Berbagai karya ilmiyah berupa
makalah, artikel dan juga buku telah berhasil diterbitkan. Yang utama, berupa buku
utuh, bukan kumpulan karangan adalah: 1) AGAMA KEADILAN; Risalah Zakat /
5
Ibid. Lihat pula Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet.ke-2
(Bandung; Mizan,1997),hlm. 5.

Ahmad Kosasi Marzuki, "Masdar Farid Mas'udi: Berakar pada Tradisi Bervisi Modern”, dalam 6
.http:www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=94, akses pada 24 Maret 2006
7
Masdar Farid Mas'udi, Menggagas Ulang Zakat sebagaiEtika Pajak dan Belanja Negara..., hlm
v-vi. Lihat pula Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Drs. Iqbal Abdrrauf Saimima (ed) cet.1 (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1988) hlm. 193

3
Pajak dalam Islam; 2) Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Yang terakhir ini,
pada tahun 2002, bahkan telah diterbitkan dalam versi Inggris berjudul  “Islam&
Women’s Reproductive Rights” oleh Penerbit Sisters in Islam, Kuala Lumpur,
Malysia. 
Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di Pesantren Krapyak, Masdar
melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan
Tafsir-Hadits. Di masjid Jami’ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru pengajian
kitab kuning dengan mem-balah (mengajar) Alfiyah untuk  kalangan Mahasiswa. 

C. Garis Besar Pemikiran Masdar Farid Mas'udi


Secara global pemikiran Masdar yang paling menonjol adalah di bidang
pemikiran keagamaan khususnya tema pemikiran hukum Islam. Ada beberapa tema
yang pernah dikemukakan oleh Masdar yakni tentang risalah zakat (pajak) dan hak-
hak reproduksi perempuan. Lahirnya dua tema pemikiran Masdar tersebut ditandai
dengan terbitnya dua buku masing-masing berjudul Agama Keadilan: Risalah Zakat
(Pajak) dalam Islam (P3M, 1991) yang kemudian direvisi dan berganti judul menjadi
Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara untuk Rakyat
(Mizan, 2005) dan buku keduanya adalah Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan:
Dialog Fiqh Pemberdayaan (Mizan, 1997).
Selain dua tema pemikiran tersebut, Masdar juga menggagas konsep Islam
Emansipatoris (al-Islam al-Taharrury) yang merupakan kerangka paradigmatik
pemikiran Masdar. Dalam pembahasan ini, akan dibahas tiga tema pemikiran tersebut
yang merupakan representasi pemikiran Masdar secara global.
1 Masalah Zakat (Pajak)
Zakat merupakan salah satu pilar Islam (rukun) yang dianggap paling potensial
untuk dapat memberdayakan dan mensejahterakan kondisi sosial masyarakat tetapi
juga sekaligus paling terabaikan. Dikatakan paling potensial karena dalam zakat, Islam
bukan saja telah menunjukkan keterlibatannya yang bulat pada tata kehidupan
masyarakat yang sehat, adil dan demokratis, melainkan juga sekaligus mencanangkan

4
tonggak-tonggak strategis kelembagaannya.8 Sehingga zakat diharapkan dapat
mewujudkan salah satu cita-cita luhur Islam yakni kesalehan sosial.
Di samping sebagai ibadah yang potensial, zakat juga ibadah yang
terabaikan. Sebab, di balik cita-cita luhur tersebut, dalam tataran praksis, zakat belum
mampu mewujudkan cita-cita sosial yakni kesalehan sosial. Menurut pandangan
Masdar, ketidakmampuan mewujudkan zakat sebagai penggerak perbaikan
kesejahteraan sosial dikarenakan kelemahan dalam tiga dasar. Pertama, kelemahan
pada segi filosofisnya yakni kelemahan yang disebabkan ketiadaan pandangan yang
mendasari praktik zakat. Selama ini zakat hanya dipahami sebagai amaliah ritual
(ibadah mahdlah) yang terpisah dari konteks sosialnya. Pandangan dogmatis-
ritualistik inilah, menurut Masdar, yang telah menyebabkan zakat menjadi a-sosial dan
teralienasi dari fungsi dasarnya (dogmatis a-sosial).9
Kedua, kelemahan pada segi struktur dan lembaga. Persoalan operasional zakat
selama ini hanya menjadi monopoli bahasa ahli-ahli fiqh yang legal-formalistik. Pada
tataran ini, mereka masih mengacu definisi operasional zakat pada 14 abad yang lalu
dan mengabaikan realitas sosial saat ini. Kelemahan ini, oleh Masdar, disebut
formalistik a-historis karena pemahaman yang mengesampingkan sisi sejarah dan
terpaku pada ajaran formal. Sedangkan kelemahan ketiga, menurut Masdar, adalah
kelemahan pada segi manajemen operasionalnya. Pada titik ini, Masdar mengkritik
pengelolaan zakat yang tidak melibatkan pihak negara. Pengelolaan zakat yang hanya
diserahkan pada tokoh keagamaan menyebabkan pen-tasharuf-an zakat tidak optimal
dan terpusat. Akhirnya, zakat hanya sekedar santunan karitatif dan konsumtif yang
bersifat sesaat. Pada wilayah ini, zakat kandas di tangan feodal keagamaan.10
Berangkat dari beberapa kelemahan zakat tersebut, Masdar menawarkan
pemikiran tentang pelaksanaan zakat. Dalam pandangan Masdar zakat sesungguhnya
adalah ajaran moral atau etika transendental untuk pajak serta pembelanjaannya yang
pada gilirannya juga untuk negara.11 Oleh karena itu, pemaknaan zakat dan pajak harus
8
KH. Abdurrahman Wahid, “Kasus Menafsir yang Tuntas” dalam Menggagas Ulang Zakat…,
hlm. xviii

.Masdar F. Mas'udi, Menggagas Ulag Zakat…, hlm. 19 9


.Ibid, hlm. 35-4410
11
Ibid, hlm. 70.

5
disinergikan sebab selama ini antara zakat dan pajak dipahami terpisah. Pajak
dipahami sebagai kewajiban kepada negara sedangkan zakat dipahami sebagai
kewajiban kepada agama.
Pemisahan tersebut, bagi Masdar, berarti telah memisahkan negara dari agama.
Akibat dari pemisahan tersebut akan menyebabkan ketidakadilan semesta yang
disebabkan oleh negara.12 Padahal, antara agama dan negara tidak bisa dipahami
sebagai hubungan antara dua institusi kekuasaan (power institution) seperti selama ini
pada hubungan dualistik antara gereja dan negara di Barat. Pandangan dari paham
sekulerisme yang memisahkan agama dan negara serta paham toesentris yang
bersikeras bahwa tidak ada satu ruang kehidupan di dunia yang boleh lepas dari
agama, pada akhirnya hanya akan melahirkan dikotomi yang simplistik dan hitam-
putih yang justru akan mengaburkan konsep agama dan negara.13
Oleh karena itu, Masdar menawarkan definisi (baru) tentang hubungan agama-
negara sebagai hubungan antara jiwa dan raga, ruh dan badan, nilai dan institusi atau
visi dan aksi. Artinya, antara agama dan negara memang beda tetapi tidak untuk
dipisahkan. Agama (religiusitas) memberi arah dan negara memberi bentuk.14
Berangkat dari konsep ini, Masdar menawarkan relasi antara zakat sebagai konsep
keagamaan (keruhaniaan), di satu sisi, dan pajak sebagai konsep keduniawiaan
(kelembagaan), di sisi lain. Hal ini bukan dualisme yang dikotomis melainkan
hubungan keesaan yang dialektis. Zakat bukanlah sesuatu yang harus dipisahkan,
diparalelkan dan apalagi dipertentangkan dengan pajak, melainkan justru harus
disatukan sebagaimana disatukannya ruh dengan badan. Oleh karena itu, pertanyaan
yang menyangkut operasionalisasi dan ketentuan tersebut adalah pertanyaan yang
hanya relevan untuk pengaturan pajak, bukan zakat. Zakat adalah soal niat, motivasi,
komitmen spritual-moral yang ada pada pribadi-pribadi beriman selaku rakyat yang
membayarkan pajak. Berdasarkan keimanannya itu, orang bukan saja merasa
berkewajiban membayar pajak pada atau melalui negara, akan tetapi juga berhak
12
“Zakat dan Pajak: Jawaban Masdar Farid Mas’udi untuk Kiai Kholil Bisri Rembang”, Aula,
No. 7, Agustus 1992, hlm. 70-71.
13
Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat…, hlm. 149-150.
14
Ibid, hlm. 166.

6
mentransendentasikan pembayaran pajaknya untuk penuaian zakat.15 Pembayaran
pajak dengan niat zakat akan menumbuhkan kesadaran bahwa pajak yang dibayarkan
itu bukan sebagai persembahan atau pembayaran utang kepada negara tetapi kewajiban
yang harus ditunaikan karena Allah SWT, sesuai dengan perintah-Nya. Ikrar batiniah
ini dapat menjadikan pembayaran pajak ini bersifat duniawi tetapi bernilai ukhrawi
dan sekaligus memberikan efek dari kungkungan negara.16
Selain itu, konsep integrasi zakat-pajak tersebut akan berimplikasi pada sistem
penyusunan anggaran negara (APBN/APBD). Dalam konteks administrasi negara
modern, delapan as}na>f (sektor) yang merupakan mustahiq zakat harus mendapat
prioritas utama dalam pembelanjaannya. Selain itu, konsep integrasi tersebut juga
berefek pada kuatnya kontrol sosial (social control) terhadap negara/pemerintah
dengan argumen ganda: Pertama, argumen transendental-teologis karena uang yang
ditanganinya secara hakiki milik Allah; kedua, argumen material-sosiologis karena
uang yang ditangannya secara faktual sosiologis merupakan amanat dari rakyat
(pemajak) yang harus diperuntukkan untuk kepentingan segenap rakyat (mustahiq).17
Ide penggabungan zakat dan pajak oleh Masdar ini memang kontroversial.
Banyak yang masih menganggap bahwa ide tersebut telah keluar dari frame atau
koridor hukum Islam yang telah lama dipegang. Ide tersebut sering disalahpahami
sebagai upaya penyamaan antara zakat dan pajak. Padahal, yang dikehendaki Masdar
adalah bahwa zakat pada dasarnya adalah konsep etik atau moral, sementara wujud
institusinal atau kelembagaannya adalah pajak dan pembelanjaannya yang ada dalam
kewenangan negara.18
2. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan
Ide tentang hak-hak perempuan yang dilontarkan Masdar berangkat dari
keprihatinan masih dominannya anggapan bahwa perempuan merupakan subordinasi
dari kaum laki-laki. Anggapan negatif ini berimplikasi pada kehidupan nyata yang
15
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta,LkiS,2005),hlm. 103.
16
Masdar F. Mas’udi, "Kembalikan Konsep Pajak-Zakat pada Tempatnya", Aula, NO. 5 Tahun
1992, hlm. 78.
17
Masdar F. Mas’udi, MenggagasUlang Zakat…,hlm. 92-93.

.Masdar F. Mas'udi, "Prakata", dalam Masdar F. Mas'udi, Menggagas Ulang Zakat..., hlm. xi-xii 18

7
menyebabkan wanita kehilangan haknya dalam mengakses peran di masyarakat
bahkan dalam rumah tangga sendiri. Dalam banyak kasus, hak-hak reproduksi
perempuan terutama di dalam kehidupan rumah tangga telah dinomorduakan. Artinya,
kaum perempuan merupakan kelas kedua setelah laki-laki.
Menurut Masdar, masih dominannya anggapan negatif terhadap perempuan
disebabkan karena faktor budaya (sosio-historis) dan juga penafsiran atau pemahaman
yang tidak tepat terhadap ajaran-ajaran agama.19 Untuk mengatasi problem tersebut
pertama-tama Masdar menawarkan gagasan tentang perlunya rekonstruksi konsep
qat}’i>-z\anni>. Menurut Masdar, ajaran qat}’i> adalah ajaran yang bersifat prinsip
dan absolut, seperti kebebasan, pertanggungjawaban individu, kesetaraan manusia,
keadilan dan sebagainya. Semuanya itu tidak terikat ruang dan waktu. Inilah yang
disebut qat}’i> atau muhkamat yakni yang mengandung nilai-nilai universal dan
fundamental. Sedangkan z\anni> yang secara harfiah berarti persangkaan atau
hipotesis, yang merupakan kebalikan dari qat}’i> adalah ajaran atau petunjuk agama
baik dari al-qur’an maupun hadis Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari
prinsip-prinsip yang muhkam atau qat}’i>. Ajaran yang z\anni> tidak mengandung
kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri (self evident) karena terikat oleh ruang
dan waktu, oleh situasi dan kondisi.20
Secara aplikatif, Masdar mencontohkan dalam surat al-Hujurat: 13, an-Nisa':
124 dan sebagainya, tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah
adalah ajaran yang bersifat qat}'i (fundamental) yakni bahwa derajat manusia lelaki
dan perempuan tidak ditentukan secara apriori (begitu saja) oleh jenis kelamin
melainkan ditentukan oleh amal dan ketakwaan. Inilah ajaran qat}'i> perihal hubungan
lelaki dan perempuan, kesetaraan sebagai sesama manusia. Sementara ajaran-ajaran
lain yang bersifat juz'iyyah, partikular, dan jabaran seperti soal waris, kesaksian, hak
menikahi/menjatuhkan talak, semuanya itu adalah ajaran-ajaran yang bersifat
kontekstual, terkait dengan dimensi ruang dan waktu tertentu. Ajaran-ajaran itu
bersifat z\anni>, tidak mutlak, bisa terjadi modifikasi atau tetap dipertahankan

19

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan…, hlm. 50.

.Ibid, hlm. 29-31 20

8
sebagaimana bunyi harfiahnya. Dalam hal ini yang penting rasa keadilan bagi pihak-
pihak yang bersangkutan tetap bisa diwujudkan.21
Persoalan yang sering menjadi perdebatan mengenai bias gender laki-laki dan
perempuan oleh Masdar dicontohkan kasus pembagian waris 2:1. Bagi Masdar, untuk
menilai kepastian hukum itu harus dilihat dari nilai keadilan dan kesetaraan. Apakah
ketentuan tersebut sudah mencerminkan rasa keadilan dan kesetaraan atau belum.
Untuk melihat hal tersebut, harus melalui kajian kontekstual (historis-sosiologis).
Setting masa penetapan hukum pembagian waris haruslah dilihat. Dengan demikian
penerapannya untuk saat inipun bisa disesuaikan dengan keadaan atau setting sosial
ekonomi. Sayangnya, kajian kontekstual justru sering ditinggalkan dan justru hanya
berpegang pada bunyi harfiah. Hal ini sering mengorbankan ajaran prinsip (qat}'i>)
dalam Islam yakni keadilan.22
Selain karena faktor pengabaian sisi konteksnya, ketimpangan relasi laki-laki
dan perempuan disebabkan penafsiran agama yang bias gender, cenderung didominasi
kaum laki-laki. Masdar kemudian mencontohkan beberapa penafsiran yang bias yakni
tentang hak kepemimpinan. Pemberangusan kepemimpinan perempuan sedemikian
menyeluruh mulai dari wilayah intelektual, sosial, keluarga dan negara. Anggapan
menurut agama bahwa perempuan tidak berhak menjadi pemimpin semata-mata
karena jenis kelamin harus ditinaju kembali. Kepemimpina bisa dipegang siapapun
asalkan ada kemampuan. Demikian pula hak-hak dalam keluarga, perempuan
selayaknya mendapatkan hak yang sama sesuai asas keadilan. Bagi Masdar, ayat atau
hadis yang selama inin dijadikan dasar pengekangan peran perempuan dalam keluarga
harus ditinjau lagi. Pemahaman bahwa perempuan selamanya berada pada posisi
nomor dua tidak bisa dipertahankan dan sudah harus direkonstruksi. Isu-isu rumah
tangga seperti memilih pasangan, menikamti hubungan seks, memilki keturunan,
menceraikan pasangan dan sebagainya haruslah dilandasi rasa keadilan bukan
berdasarkan jenis kelamin.
Menurut pandangan Masdar, persoalan mendasar tentang relasi laki-laki dan
perempuan adalah menyangkut prinsip kesetaraan, keadilan dan nondiskriminasi.
21

Ibid, hlm 51.

.Ibid, hlm. 53-54 22

9
Prinsip-prinsip itu tampak belum terejawantahkan ketika melihat relasi gender yang
timpang dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat beragama.23
3. Islam Emansipatoris
Secara garis besar pemikiran Masdar dapat diidentifikasi dalam sebuah
kerangka paradigmatik yang disebutnya Islam Emansipatoris, Islam Pembebasan, atau
al-Islam at-Taharruri. Dari sudut visi dan akar keprihatinannya, Islam Emansipatoris
memiliki karakter yang berbeda dengan kedua gerakan yang kini banyak dibicarakan,
yakni Islam Liberal maupun antitesanya, Islam Fundamentalis. Bahkan Islam
Emansipatoris ini bisa dikatakan sebagai kritik terhadap kedua wacana atau gerakan
tersebut. Sebagaimana diketahui, Islam Liberal dan Islam Fundamentalis mengambil
fokus utamanya pada isu polarisasi Islam dan Barat. Islam Liberal seolah menyuarakan
aspirasi dan nilai-nilai Barat ke dalam Islam sementara Islam Fundamentalis justru
hendak meneguhkan identitas Islam untuk melawan Barat. Maka pertengkaran antara
keduanya terjebak pada isu-isu jilbab, kawin campur, aurat, jenggot dan isu-isu sejenis
yang berkisar pada perebutan identitas (syi’ar) Islam versus Barat. Islam
Emansipatoris lebih pada persoalan riil keumatan-kerakyatan yang secara akut akan
menghimpit lapisan besar masyarakat yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, politik
maupun budaya.
Titik tolak Islam Emansipatoris adalah problem kemanusiaan, bukan teks suci
(teks-ide) sebagaimana Islam skripturalis, ideologis maupun modernis.24 Teks-teks suci
hanyalah subordinat terhadap pesan moral atau etik atau spiritual sehingga teks tidak
dipahami sebagai undang-undang tetapi sinaran pembebasan. Setidaknya ada tiga hal

.Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia …, hlm. 107 23


24
Masdar memetakan wacana keislaman menjadi tiga, yakni Islam skripturalis, ideologis, dan
modernis. Pertama, Islam skripturalis, tekstualistik atau formalistik, yaitu Islam yang fokusnya atau titik
mula dan titik akhirnya adalah teks. Teks berfungsi sebagai alpha dan omeganya atau sebagai sentralnya:
dari teks dan berakhir kepada teks. Kedua, Islam ideologis, yaitu Islam yag berangkat tidak dari memuja
teks, tetapi dari pilihan kebenaran dan idenya sendiri diideologikan. Teks menjadi sekunder dan yang
primer adalah ideologinya. Pola keislaman ini menjadikan teks sebagai pembenaran, legitimasi dan
justifikasi. Ketiga, Islam modernis, yaitu Islam yang sedang melakukan justifikasi dan penyesuaian
teologis (is}la>h) terhadap fakta-fakta kemodernan. Berbeda dengan Islam fundamentalis yang berpusat
pada kebenaran ideologis, Islam modernis berpusat pada kebenaran yang didefinsikan orang lain. Isu yang
diangkat adalah isu-isu modernisme sedangkan musuhnya adalah yang melawan realitas dominan
(kebenaran) itu sendiri. Lihat Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”,
dalam Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan(Jakarta:
P3M, 2004), hlm.xi-xv.

10
yang hendak disampaikan Islam Emansipatoris. Pertama, Islam Emansipatoris ingin
memberikan perspektif baru terhadap teks. Teks dipahami dari kaca mata konteks dan
problem kemanusiaan, sebab teks lahir dari konteks dan sosio-kultur masyarakat pada
zamannya. Kedua, Islam emansipatoris menempatkan manusia sebagai subyek
penafsiran keagamaan. Hal ini untuk memperpendek jarak antara teks dan realitas.
Ketiga, Islam Emansipatoris mempunyai concern kepada persoalan-persoalan
kemanusiaan daripada persoalan-persoalan teologis. Islam Emansipatoris mengalihkan
perhatian agama dari teosentrisme menuju antroposentrisme.25
Walaupun demikian sebenarnya Islam Emansipatoris tidaklah meninggalkan
teks begitu saja dan berpaling kepada realitas. Teks diberlakukan sebagai ruh dalam
perubahan sosial yang menjadi inti gerakan atau perubahan. Hal ini bisa dilihat dari
metode Tafsir Emansipatoris yakni analisis historisitas teks, hermeneutika dan dimensi
praksis.26 Islam Emansipatoris sendiri dibangun atas beberapa prinsip dasar
paradigmatiknya yaitu al-Quran sebagai kitab terbuka yang memungkin untuk
ditafsirkan sesuai perubahan sosial, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kemausiaan,
pluralisme, sensitifitas gender dan non-diskriminatif. Jadi, Islam Emansipatoris yang
digagas oleh Masdar berusaha mendekati teks dengan berangkat dari realitas sosial
(problem kemanusiaan) dengan melakukan refleksi kritis atas problem sosial yang
dihadapi masyarakat. Kemudian membangun strategi-strategi perubahan yang
dipraksiskan dalam bentuk aksi perubahan (teoritis-praktis).27 sehingga cita-cita Islam
sebagai agama rahmat benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata, tidak sekedar
slogan.
4. Pengkajian kembali waktu penyelenggaraan ibadah Haji
Titik tolak dari wacana ini adalah keprihatinan yang mendalam atas terjadinya
tragedi kemanusiaan Muaishim tahun 1992 dengan korban lebih dari 2000 jemaah
yang mati mengenaskan karena terinjak-injak. Musibah ini selalu terjadi berulang tiap
tahun, akibat terbatasnya ruang (space) pelaksanaan ibadah haji yang semakin tidak

25
Zuhairi Misrawi, “Islam Emansipatoris: Dari Tafsir Menuju Pembebasan”, dalam Very
Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan ..hlm.xxv.

.Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan.. hlm.105-123 26
27
Ibid, hlm. 177.

11
seimbang dengan jumlah jemaah yang terus meningkat sampai 2 juta lebih. Untuk ini,
Masdar menawarkan wacana, bagaimana kalau umat Islam kembali kepada ketentuan
waktu pelaksanaan ibadah haji yang secara jelas (sharih) disediakan al-Qur’an, Al-
hajju asyhurun ma’luumat/bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa
bulan yang sudah maklum (Al-Baqarah: 192). Yakni: Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul
Hijjah. “Dengan kembali kepada ayat ini, maka 10 juta jemaah haji/tahun pun tidak
perlu ada kesulitan”, katanya sambil meyakinkan bahwa dengan pertumbuhan jumlah
umat Islam dan kesejahteraannya di seluruh dunia jemaah haji pasti akan terus berlipat
ganda jumlahnya di tahun-tahun mendatang. 
Dalam hal ini Masdar menolak anggapan telah mengabaikan hadits Nabi yang
mengatakan, Al-hajju arafah (Puncak haji itu wuquf di Arafah) maupun hadits Khudzu
‘anni manasikakum (Ikuti aku tatacara hajimu). Menurutnya, hadits itu harus
diamalkan tapi tidak boleh  menganulir (ilgha) ayat Al-Baqarah: 192 yang begitu
sharih dan jelas lebih tinggi kedudukannya. Caranya, ayat dan hadits-hadits tadi harus
diacu sesuai dengan kapasitas masing-masing: Ayat “al-hajju asyhurun ma’lumat”
diacu untuk patokan waktu, dalam arti hari-harinya;  Hadits “al-hajju ‘arafah” diacu
untuk tempat, bukan hari wuquf, dan hadits “khudzu anni manasikakum” diacu untuk
tatacara, urut-urutan manasik dan waktu jam-jamnya. Untuk ini Masdar berpegang
pada garis  Rasulullah saw, bahwa berbagai pamahaman boleh dikembangkan untuk
memenuhi kemaslahatan manusia, asal jangan sampai menghalalkan yang haram, atau
mengharamkan yang dihalakan: Al muslimuuna ala syuruthihim, illa syarthan ahalla
haraman aw harrama halalan” (al-Hadits)

DAFTAR PUSTAKA

Mas’udi, Masdar Farid,"Kembalikan Konsep Pajak-Zakat pada Tempatnya", Aula, No. 5


Tahun 1992

_______________Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh


Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 1997

12
_______________ “Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji”,
Makalah Muktamar Pemikiran Islam di PP. Salafiyah Syafi’iyyah, Situbondo,
Jawa Timur, tanggal 3-5 Oktober 2003.

________________, “Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Syari’ah” dalam


Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, 1995

________________, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara
untuk Rakyat, Bandung: Mizan, 2005

_______________, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”, dalam Very


Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,
Jakarta: P3M, 2004.

Misrawi, Zuhairi, “Islam Emansipatoris: Dari Tafsir Menuju Pembebasan”, dalam Very
Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,
Jakarta: P3M, 2004.

Wahid, Abdurrahman, “Nilai-nilai Normatif dan Reaktualisasi Ajaran Islam: Sebuah


Pengantar” dalam Ensiklopedi Ijma’: Perpektif Ulama dalam Hukum Islam, alih
bahasa KH. A. Sahal Mahfudz dan KH. Mustafa Bisri, Jakarta: Pustaka Firdaus
dan P3M, 1997

13

Anda mungkin juga menyukai