Anda di halaman 1dari 18

A.

Biografi Mulyadhi Kartanegara

Mulyadi Kartanegara lahir di Tangerang pada tanggal 11 Juni 1959. 1 Ayahnya


bernama R.H. Supriyadi, sedang ibunya bernama Hj. Ety Suhaety. Mulyadi melewati masa
kecil yang tidak begitu baik, tempat tinggalnya kurang mendukung perkembangan intelektual.
Keluarga Mulyadi menganut aliran ASWAJA. Mulyadi kartanegara pernah menempuh
pendidikan di SD Legok Tangerang kemudian melanjutkan pendidikannya di PGAN
(Pendidikan Guru Agama Islam Negeri) tahun 1972-1975 di kota yang sama dan kemudian
pindah ke SP (Sekolah persiapan) IAIN Ciputat dikarenakan ia merasa bosan. Tidak seperti
sebelumnya, ia mengalami perkembangan intelektual yang mumpuni di IAIN Ciputat. Pada
tahun 1997, ketika ia menginjak usia 18 tahun ia sudah mempunyai karya tulis yang berjudul
Menuju Jalur Kehidupan sebagai syarat kelulusan di SP IAIN. Tahun 1978, ia diterima
sebagai mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan berhasil menyandang gelar Drs
pada tahun 1984. Setelah menyelesaikan pendidikan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
beliau mendapat tugas dari Departemen Agama RI untuk melanjutkan pendidikan di luar
negeri. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S2 di University of chicago, USA dengan
beasiswa dari Ford Foundation dan mendapat gelar master pada tahun 1989 dengan judul tesis
The Mystical Reflection of Rumi. 2Pada tahun 1996 ia juga berhasil meraih gelar Doktor di
universitas yang sama dengan judul disertasi The Mukhtasar Siwan al-Hikma of ‘Umar,
Sahlan al-Sawi Arabic Text and Introduction yang memuat sekitar 1000 kata-kata mutiara
dari 13 filsuf Muslim dan 60 filsuf Yunani. Dari pendidikan yang ia tempuh tersebut Mulyadi
Kartanegara mengalami perkembangan intelektual yang sangat besar.

Disamping membukukan karya-karya akademis yang ia buat selama menempuh


pendidikan, ada juga beberapa buku yang ia tulis, seperti:

a) Mozaik Khazanah Islam; Bunga Farabi, Psikologi Ibnu Sina,


Rampai dari Chicago yang diterbitkan Pendidikan Al-Gazali dan Manusia
oleh Paramadina pada tahun 2000 perspektif Ali Syari’ati.
yang memuat beberapa hal, seperti: 3. (3) Studi Bunga Rampai yang memuat
1. Studi biografis yang memuat biografi bermacam-macam artikel
pemikir muslim dari zaman klasik mengesankan terhadap berbagai
hingga modern. persoalan misalnya, masalah sosial,
2. (2) studi pemikiran yang memuat
pemikiran ilmiah filosofis para tokoh
pemikir muslim seperti; Logika Al-

1
Rusmiyanah, Konsep Epistemologi Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2018), h.10
2
Andi Muhammad Iqbal Salam, Integrasi Ilmu: Pemikiran Kritis Mulyadhi Kartanegara Terhadap Bangunan
IlmuModern, (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2014), h.27
spiritual, kehidupan dan ilmu
pengetahuan.3

3
Rusmiyanah, Konsep Epistemologi Mulyadhi
kartanegara, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2018)
b) Menembus Batas Waktu, Panorama m) Islam Bagi Yang Pengen Tahu yang
Filsafat Islam yang terbit pada tahun terbit pada tahun 2007 oleh Erlangga.
2002 oleh Mizan. n) Pengantar Studi Islam yang
c) Mengislamkan Nalar, Sebuah Respon diterbitkan uin press tahun 2010.
Terhadap Modernitas yang terbit pada o) Pengantar Ilmu Kalam diterbitkan
tahun 2007 oleh Erlangga. oleh masjid Sunda Kelapa pada 2009.
d) Menyibak Tirai kejahilan, Pengantar p) Sains dan Matematika dalam Islam
Epistemologi Islam yang terbit pada yang diterbitkan oleh Ushul Press
tahun 2003 oleh Mizan. pada tahun 2009.
e) Sejarah Filsafat Islam yang diterbitkan q) Seni Mengukir Kata: Kiat-kiat
Pustaka Jaya pada tahun 1986. Menulis Kreatif dan Efektif
f) Rumi, Guru Sufi Penyair Agung, diterbitkan oleh Mlc pada tahun 2005.
Teraju, 2004. r) Nalar Religius, Mengemal Hakikat
g) Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Tuhan, Alam dan Manusia yang
Holistik yang terbit pada tahun 2005 diterbitkan oleh Erlangga pada tahun
oleh Arasy. 2007.5
h) Translation of The Venture of Islam I
yang diterbitkan oleh Paramadina
pada 1999.
i) Translation of The Venture of islam II
yang diterbitkan paramadina tahun
2002.
j) Menyelami Lubuk Tasawuf yang
diterbitkan oleh Erlangga pada tahun
2006.
k) Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam
yang diterbitkan oleh BI pada tahun
2006
l) Gerang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam yang diterbitkan oleh
Lentera Hati pada tahun 2006.4

4
Mulyadi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah
Islam, h.225 5
Selain mempunyai banyak karya, ia juga pernah menjabat posisi penting dalam bidang
akademik, seperti: sebagai wakil Direktur Pasca Sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2000 sampai 2001, sebagai Direktur di Pusat Kajian
Epistemologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Senior Visitor
Professor di ISTAC, Kuala Lumpur. Prestasi-prestasi yang ia raih tentunya tak terlepas dari
usaha dan orang-orang yang memberinya inspirasi seperti Alm. Prof. Harun Nasution, dosen
ilmu kalam di UIN Syarif Hidayatullah yang pernah mengajarinya. Berkat karyanya yang
berjudul Teologi Islam membuat Mulyadi termotivasi untuk mempelajari aliran-aliran dalam
Islam. Disinilah awal mula Mulyadi mengerti tentang aliran sunni sehingga berkuranglah rasa
fanatismenya terhadap aliran terseut. Menurutnya, Alm. Prof. Harun Nasution merupakan
gerbang yang telah membuka nuansa berfikirnya karenanya ia menjadi pemikir yang
rasionalis.

Selain Alm. Prof. Harun Nasution, tokoh lain yang juga di anggap banyak
memberikan inspirasi kepada Mulyadi ia adalah Muhammad Iqbal. Kepercayaannya tentang
Tuhan sedikit memudar setelah menjadi pemikir yang rasionalis. Ontologi Anselmus dan
kosmologi Aristoteles pun tak dapat meyakinkannya tentang keeradaan Tuhan. Setelah
Mulyadi mengubah pandangannya untuk terfokus ke arah yang cenderung bersifat
keagamaan, disitulah awal mula perkenalan antara Muhammad Iqbal dengan Mulyadi
Kartanegara. Pandangan Muhammad Iqbal yang mengatakan Alam sebagai “medan kreatif”
Tuhan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Mulyadi. Menurutnya, memahami
alam berarti mempelajari “cara Tuhan dalam mencipta”. Mulyadi mengatakan, tatanan dan
keteraturan alam secara tidak langsung memberikan informasi tentang keadaan atau eksistensi
Tuhan. Berkat Muhammad Iqbal, kepercayaan Mulyadi terhadap eksistensi Tuhan kembali.

Selanjutnya, ada dua tokoh yang mampu memadukan perbedaan pendapat antara
teolog dengan filosof mengenai sifat Tuhan dengan zat Tuhan, mereka adalah Ibnu Arabi
dengan muridnya Shadr al-Din al-Qunawi. Kedua tokoh ini berhasil membuat Mulyadi
merasa berutang budi. Menurutnya, pertentangan antara pemikir tersebut terjadi karena pada
pembahasan zat, filsof meniadakan sifat-sifat Tuhan.

Beberapa tokoh seperti; Prof. Sabra, Abd. Karim Soroush, Alm. Prof Fazlur Rahman
dan Prof. Wadad al-Qadi juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemikiran
Mulyadi. Merekalah yang membuat Mulyadi mendapatkan kemajuan intelektual yang
mumpuni.

Dalam perjalanan intelektualnya, ia mengenal dan sangat mengagumi seorang penyair


asal Persia, yaitu Jalaluddin Rumi. Karenanya, ia memperoleh arahan dan solusi yang ia tidak
temukan filsuf dan sufi-sufi yang lain. Kendati kagum terhadap Rumi, Mulyadi tetap pada
titik perhatiannya terhadap filosof dalam sejarah Islam, seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu
Sina, Abu Al-Hasan, Al-Baghdadi dan lainnya.

Mengenai masa depan filsafat Islam, didalam bukunya yang berjudul “Nalar Religius:
Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia”, ia khawatir akan kenyataan lembaga
pendidikan Islam kontemporer, terutama yang ada di Indonesia. Misalnya PTAIN yang
menurutnya masih tertinggal. Ia mengatakan bahwa, PTAIN harus dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan. Mulyadi Kartanegara menginginkan PTAIN menjadi sentral pemikiran
Islam, utamanya filsafat.

B. Pemikiran Mulyadi Kartanegara Tentang islamisasi Ilmu

Berangkat dari biografi Mulyadi kartanegara, selanjutnya menelaah pemikirannya


tentang Islamisasi Ilmu. Dalam makalah ini, penulis juga akan mengkaji definisi Islam dan
ilmu serta hubungan keduanya.

a. Ilmu dan Islam

Kata ilmu secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ‘Alima yang artinya
mengetahui. Pengetahuan yang dimaksud versi filsafat Islam bukan ilmu dalam terjemahan
bahasa Inggris, yaitu “science”. Kata ilmu terdapat dalam bahasa Al-Qur’an sebanyak 105
kali dan kata jadiannya diulang sebanyak 744 kali. 6 Ilmu dan Islam merupakan dua perangkat
yang berbeda baik dari segi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ilmu lebih disandarkan pada
rasionalisme dan empirisme, sedang Islam sebagai struktur nilai yang cenderung didapatkan
dari proses pewahyuan tentang keyakinan adanya nabi dalam sejarah umat manusia. Dalam
buku filsafat islam karya Nani Widyanti, pengetahuan merupakan segala sesuatu yang
diketahui manusia. Sedangkan ilmu ialah pengetahuan yang telah melalui proses ilmiah
(eksperimen) dan telah tersistematis. 7Walau demikian, kedudukan ilmu dalam Islam sangat
jelas jika dilihat dari penempatan ilmu hingga penghargaan-penghargaan ilmuan Islam.
sedangkan menurut Mulyadi Kartanegara, terdapat kemiripan antara ilmu dengan science.
Ilmu berbeda dengan opini seperti science yang juga berbeda dengan knowledge.

Nani Widyanti dalam bukunya juga menjelaskan bahwa antara sains dengan ilmu
terdapat perbedaan dalam cakupan ruang lingkupnya. Sains dalam ruang lingkupnya hanya
berfokus pada objek-objek empiris, sedangkan ilmu dalam ruang lingkupnya memuat segala
realitas, baik yang non-empiris hingga yang metafisik. 8

6
Al Rasyidin, Mardianto.Filsafat Ilmu, (Medan: IAIN Sumatera Utara,2017), h.82.
7
Nani widyanti. Filsafat Ilmu, (Tasikmalaya: Pusta Ellios, 2021), h.224
8
Ibid, h.225
Dari pengertian diatas, penulis berpendapat bahwa ilmu ialah segala sesuatu yang
telah terbukti kebenarannya melalui eksperimen.

Perdebatan Islam dan ilmu sejak masa kejayaan tidak begitu mencuat terlebih lagi
mempermasalahkan keduanya. Saat Barat memgalami kemajuan intelektual, Islam malah
mengalami kemunduran. Perdebatan ilmu dan agama yang terjadi di Barat pada saat itu tidak
memberikan dampak yang cukup signifikan dalam dunia Islam. Saat itu, perbedaan antara
teolog dan filosof lebih ke pembahasan antara akal dan wahyu. Pada masa kontemporer, Umat
Islam seperti terperangkap dalam perdebatan ilmu dan agama di dunia Barat. Sukran
berpendapat bahwa Said Nursi tidak sepakat terhadap pertentangan ilmu dan agama didunia
Barat. Menurutnya, hal tersebut terjadi dikarenakan pemikiran ilmuan Barat setelah masa
renaisans. Menurutnya, ilmu dan agama tidak perlu dipersoalkan. Bahkan untuk membuktikan
kebenaran agama bisa menggunakan metode tafsir walau terus dikembangkan dan
diperbaharui.

b. Konsep Islamisasi Ilmu

Jikalau mendengar kalimat islamisasi, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa
dari kalimat tersebut terdapat sebuah makna science yang non-Islam yang penting untuk
diislamkan. Tetapi ada saja orang yang memandang islamisasi menjadi sebuah proses yang
berhubungan dengan kendaraan; alat elektronik dan lain sebagainya. Berdasarkan hal
tersebut, Mulyadi Kartanegara juga memberikan tanggapan bahwa kata Islam dalam
islamisasi ilmu tidak harus dipahami secara tekstual sebagaimana yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan Hadits, tetapi juga perlu dipahami secara kontekstual sehingga tidak kaku dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.9

Penggagas konsep islamisasi ilmu pertama kali adalah Al-Faruqi yang karena
keintelektualannya berhasil menunjukkan kekurangan metodologi ilmu spesial perspektif
Barat.10 Islamisasi ilmu merupakan sebuah langkah untuk menciptakan sebuah ilmu
pengetahuan yang sifatnya Islami (Ma’rifah Islamiyah). Sayyed Husein Nasr mengatakan
bahwa, kegiatan tersebut merupakan sebuah upaya penyesuaian ilmu pengetahuan modern
agar menjadi lebih mudah difahami oleh umat muslim berdasarkan tempat tinggalnya.
Maksudnya ialah islamisasi ilmu dominan terhadap upaya antara epistemologi dan aksiologi
muslim terhadap perkembangan zaman. 11 Sedangkan menurut Sayyed Naqui Al-Attas,
islamisasi ilmu adalah upaya manusia agar terbebas dari segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam seperti animistisme, mitologisme, mistisme. 12 Dengan adanya upaya
islamisasi ilmu, umat Islam akan terbebas dari belenggu-belenggu terhadap pemikiran
9
Salafudin, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Pekalongan, Forum Tarbiyah, 2013), Vol. 11, h.204.
10
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam (Malang: Bayu Media,2003), h.160
11
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.231
pemikiran yang menganut paham-paham sekuler dan keragu-raguan umat Islam akan berubah
menjadi keyakinan.

Berdasarkan hasil penelitian IIIT, beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya
krisis pemikiran umat muslim, yaitu:

1) Munculnya pemisah antara warisan khazanah Islam dengan muslim itu sendiri
2) Masuknya budaya Barat di segala bidang.13

Landasan utama munculnya pemikiran Mulyadi Kartanegara tentang islamisasi ilmu


berangkat dari kemunduran Islam dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang
dipengaruhi budaya Barat. Sebagai tokoh yang ahli dalam bidang akademik, ide pemikirannya
tentu tak terlepas dari persoalan sistem kelembagaan Islam yang ada di Indonesia, terutama
dalam wilayah PTAIN.

Membahas permasalahan bidang teologi, menurutnya dinamika perkembangan


agama Islam di Indonesia beberapa tahun silam membuatnya gelisah. Menurutnya, seakan-
akan Islam layaknya ajaran tidak toleran, non humanis dan sebagainya. Sedangkan Islam
yang bernuansa positif seolah-olah pudar karena viralnya Islam konservatif. Hal tersebut
dapat mendominasi media dan ruang-ruang publik lainnya. Wajah Islam pun memudar karena
hal terseut. Disinilah Mulyadi menemukan ide gagasannya.

Islam pada dasarnya mendukung pengembangan ilmu. Hal tersebut banyak tertuang
dalam Al-Qur’an dan hadits nabi, dimana ilmu sangat dimuliakan dan diagungkan. Tak hanya
itu, Islam juga tidak melarang adanya perbedaan pendapat terhadap ilmu pengetahuan yang
akan menyebabkan lahirnya banyak teori di dunia Islam.

Ada tiga hal yang perlu digaris bawahi tentang islamisasi ilmu perspektif Mulyadi
Kartanegara, yaitu: (a) unsur Islam yang terdapat pada istilah islamisasi tak harus difahami
secara ketat sebagai sebuah ajaran sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits,
tetapi juga perlu dipahami dari sisi spiritnya sehingga tidak kaku dan tidak bertentangan
dengan ajaran Islam; (b) Menurutnya, Islamisasi ilmu bukan hanya pelabelan sains dengan
Al-Qur’an dan hadits semata yang dianggap cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi juga
bekerja pada tingkat epistemologi; (c) Islamisasi ilmu dilandaskan pada asas bahwa ilmu
sifatnya tidak netral dan juga bebas nilai.

12
Budi Hardianto, Islamisasi Sains Sebuah UpayaMengislamkan Sains Barat Modern, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2010), h. 133.
13
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.234
c. Asumsi Dasar Islamisasi Ilmu

Adapun asumsi dasar Islamisasi Ilmu ada dua, yaitu:

I. Naturalisasi Ilmu
Istilah ini digunakan Mulyadi terfokus pada proses akulturasi ilmu dari luar terhadap
budaya yang ada. Dari proses tersebut ilmu dapat terasimilasi secara sempurna terhadap
tuntutan budaya yang berlaku dan agama yang ada di negara tersebut. Berdasarkan hal
tersebut, Mulyadi berpendapat bahwa naturalisasi ilmu dapat terjadi kapanpun dan
dimanapun disetiap sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Munculnya ilmu baru tidak
dapat berkembang tanpa proses tersebut. Seperti makhluk hidup yang tak dapat
beradaptasi dengan lingkungannya, maka ia tidak akan bisa bertahan hidup.
Mulyadi mengemukakan proses naturalisasi ilmu dan kaitannya dengan
kekuasaan, seperti yang dikutip dari Prof. Sabra. Ada tiga proses naturalisasi yang ia
kemukakan ketika Islam menjadi kekuatan politik dengan peradaan yang besar. Proses
naturalisasi itu ia sebut sebagai naturalisasi Yunani. Yang pertama, ilmu Yunani masuk
ke dunia islam sebagai tamu yang di undang, bukan sebagai penjajah dengan kekuatan
yang kuat dari pusatnya, seperti Iskandariyah. Yang kedua, pengambilan jarak dan
kewaspadaan membuka gerbang pada rasa keingin tahuan tinggi eksperimentasi tekstual.
Yang ketiga, ditemukannya praktif falsafah seperti ide pemikiran dalam tulisan para
filosof seperti Ibn Sina dan Al-Farabi yang sudah dipraktekkan dalam ilmu kalam.
Lebih rinci dijelaskan oleh Mulyadi bahwa proses naturalisasi ilmu Yunani ke
dalam dunia Islam ada tiga, yaitu: (1) justifikasi merupakan usaha seorang filsuf
membenarkan adanya adopsi filsafat Yunani dengan berbagai alasan. Contohnya saat Al-
Amiri berkata bahwa tidak menjadi masalah menerapkan ilmu Yunani dan filsafat karena
keduanya terdapat sumber kenabian yang sama dengan dunia islam. Misalnya Hermes,
tokoh yang sangat dihormati bahkan oleh Aristoteles sendiri. Tak lain adalah seorng nabi
Idris yang merupakan anak ketiga dari nabi Adam yang disebut Enoch dalam tradisi
Yahudi. Sama halnya dengan Empedokles yang berguru ke Lukman Hakim yang hidup di
Surya. Banyak yang mengatakan bahwa ia hidup di zaman nabi Daud. Hal demikian juga
terjadi pada Pythagoras, dikatakan bahwa ia hidup dengan sahabat setelah nabi Sulaiman
AS setelah pindah dari Surya. Sahabat nabi kemudian mengajarkan Pythagoras ilmu-ilmu
fisika dan metafisika seperti geometri, ilmu agama, fisika yang ia adopsi ke Yunani. (2)
Adaptasi, Mulyadi mengatakan bahwa proses naturalisasi ini merupakan sikap selektif
pemikir muslim dalam mengadaptasi ilmu yang ada sehingga tidak terbentur antara nilai
dan kepercayaan masa itu. Filosof muslim pada dasarnya senang dengan pemikiran
Yunani yang di anggap dapat mendukung pandangan tauhid Islam. pembuktian tentang
keberadaan dan keesaan Tuhan oleh filosof Yunani di anggap bermanfaat untuk
memperkuat keyakinan kita tentang keberadaan dan keesaan Tuhan. Tetapi, bila terdapat
ajaran-ajaran yang bertentangan dengan pokok agama dalam pemikiran filosof Yunani,
khususnya dalam hal tauhid dan monoteisme filosof muslim dengan tegas akan
menolaknya. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Al-Amiri, Empedokles setelah
berguru kepada Lukman Hakim, ia pulang ke Yunani dan berbicara soal otoritasnya
mengenai tabiat alam layaknya menyampaikan sebuah ajaran yang ia pahami secara
harfiah. Hal tersebut dapat merusak kepercayaan terhadap hari akhir. Sikapnya tersebut
dijelaskan secara lebih detail Al-Amiri, beliau mengkritik keras pemahaman rekan
senegerinya tersebut. (3) Kritik. Selain bersikap adaktif dan selektif, para ilmuan muslim
juga mengkritisi ajaran-ajaran ilmiah dan filosofis Yunani. Sebagian filosof muslim
bersikap kritis dalam kajian ilmiahnya dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran filosof
Yunani dengan ajaran Islam. sebagian filosof muslim seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd
telah mengkaji dengan seksama ajaran-ajaran filosof Yunani. Mereka sering menemukan
kerancuan dalam ajaran filsafat Yunani. Oleh karenanya, mereka merasa perlu untuk
mengkritik dan memperbaikinya agar sesuai dengan ajaran Islam. seperti yang dikatakan
Goodman, bahwa In Sina disejajarkan pengkritik Barat seperti Leiniz.
Ada kritik Ibnu Sina yang populer, yaitu kritikan terhadap argumen Aristoteles
mengenai keadaan Tuhan. Dengan mempelajari argumen kosmologis Aristoteles, ia
menemukan kesalahan metode pemuktian Tuhan versi Aristoteles dan komentatornya.
Sebagaimana kutipan Mulyadi yang menjelaskan bahwa Ibnu Sina mengatakan,
“Mereka menjadikan prinsip pertama seagai sebuah prinsip gerak dari benda-
benda angkasa tidak berarti bahwa mereka juga dapat menjadikannya sebagai
prinsip utama dari benda itu”.

Kemudian Ibn Sina membuat sebuah argumen sebagai jalan yang dikenal dengan
istilah argumen ontologis. Ia menganggap argumennya cocok untuk membuktikan adanya
Tuhan, menggambarkan Tuhan yang lebih substantif serta sesuai dengan pandangan
ketuhanan Islam dibanding hanya sebagai penggerak pasif.

II. Sekularisasi ilmu


Kata ini diadopsi dari bahasa latin “speculum” yang artinya bersifat duniawi yang
merupakan lawan dari kata ukhrawi. Kata sekuler menurut Mulyadi diartikan sebagai
pandangan yang hanya mementingkan kehidupan dunia dan mengabaikan akhirat (tidak
bersifat zuhud). Kata ini digunakan untuk menunjukkan antonim sebuah asumsi yang
mengatakan bahwa ilmu itu sifatnya netral. Mulyadi mengatakan bahwa ilmu berbeda
dengan fakta. Menurutnya, fakta boleh saja bersifat netral, sedang ilmu selain bersifat
fakta juga disertai penjelasan. Ilmu tidak lagi bersifat netral atau mungkin ojektif dalam
arti yang seenarnya jika ilmu itu disertai penjelasan.
Mulyadi menyusun gagasan sekularisasi ilmu sebagai gambaran realitas
epistemologi Barat yang cenderung mengarah pada paham sekuler. Dahulu, seelum teori
Barat dan metodologinya berkembang seperti sekarang, banyak sarjana Barat yang
mengadopsi khazanah keilmuan Islam ke Eropa.
Dapat kita amati contoh sekularisasi yang ditunjukkan oleh Mulyadi dalam filsfat
Barat yang dimana perlahan-lahan ditinggalkan dan akan digantikan oleh kaum ockhamis
yang dikenal sebagai teologi nominalis. Sekularisasi telah terjadi pada kosmologis
tradisional, seperti kosmologi Ibnu Sina. Menurutnya, alam semesta dihuni oleh malaikat
atau daya-daya spiritual. Pandangan tersebut sesuai dengan pandangan keagamaan yang
membahas dunia. Dalam bentuk malaikat, agen spiritual tentu saja riil dan integral dari
realitas kosmik. Tetapi, kosmologi Ibnu Sina hanya diterima intinya saja setelah
menyebar ke Barat dan malaikat ingin dilenyapkan dari alam semesta. Sarjana Eropa
mengambil bagian dalam menyekulerkan alam semesta menyelaraskan jalan terhadap
revolusi kopernikan dengan mengabaikan realitas benda angkasa yang digagas oleh Ibnu
Sina. Menurut Husein Nasr, revolusi seperti itu hanya dapat terjadi pada sebuah kosmos
yang telah kehilangan makna spiritual dan simbolisnya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa kosmos hanya menjadi sebuah fakta yang ditarik dari makna
metafisik dan hanya dijadikan sebagai ojek fisika saja.

Mulyadi menganggap bahwa revolusi kopernikan memiliki efek yang cukup besar
terhadap sekularisasi atau bisa disebut profanasi pandangan dunia sebelumnya. Ide yang
menyatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya bukan merupakan ide yang baru
karena telah diketahui sebelumnya oleh pemikir-pemikir Yunani, Hindu dan Muslim.
Tetapi gagasan itu dari masa renaissance tidak diikuti dunia spiritual. Dengan demikian,
hal tersebut sebagai dislokasi posisi manusia dalam kosmos disebabkan sistem astronomi
baru tersebut telah menggeser kedudukan manusia sebagai “citra Tuhan” di sentral dunia.
Sistem tersebut dinilai sebagai penyebab hilangnya sifat manusia yang termosfis yang
berada pada sentral dunia (antroposentrisme). Manusia setelah renaissance, menjadi
manusia sempurna bukan malaikat, bukan separuh manusia melainkan manusia yang
sepenuhnya terikat dengan bumi.

Mulyadi juga memberikan gambaran lebih jauh tentang sekularisasi ilmu lebih
spesifik, yaitu sekularisasi pada sistem ilmiah. Dari zaman Helenistik setelah setelah
Aristotelian hingga masa kejayaan Islam dan skolastik Kristen, penjabaran ilmiah
senantiasa berusaha memberi jawaban atau memberi penjelasan empat sebab aristotelian.
Menurut Aristoteles, mengetahui berarti tahu seanya dan jelas bahwa sebab-sebab
Aristotelian adalah unsur yang dibutuhkan. Misalnya ingin menguasai pengetahuan penuh
terhadap suatu benda, maka benda tersebut harus diketahui.
d. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu

Ada tiga ruang lingkup islamisasi ilmu, yaitu objek ilmu, klasifikasi ilmu dan
metode-metode ilmiah yang akan penulis uraikan berikut.

a) Status Ontologis Objek ilmu.


Status ontologis dalam filsafat islam tidak hanya diberikan pada objek yang bersifat
materiil, tetapi juga diberikan pada objek yang ersifat non-materiil. Filsafat Islam mengakui
adanya objek metafisik, sedang dalam filsafat Barat tidak mengakuinya bahkan
meninggalkannya.
Menurut Mulyadi, yang menjadi pokok dari sebuah epistemologi ialah yang
menjelaskan secara filosofis bagaimana sebenarnya ilmu tersebut. Kalau ilmu diartikan
sebagai pengetahuan terhadap sesuatu sebagaimana adanya, maka epistemologis bertugas
menerangkan seperti apa ilmu itu secara filosofis jika di artikan seperti di atas. Mungkin ilmu
bisa didapatkan dengan hanya meyakini adanya suatu objek. Terdapat keunikan-keunikan dari
objek tersebut, karena ada objek yang dapat diindra dan ada juga yang tidak dapat di indra
yang membuat manusia cenderung meninggalkannya.
Dalam perspektif filsafat Islam, status objek mempunyai keadaan ontologis yang
hierarkis. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Al-Farabi, bahwa hierarki wujud terbagi
menjadi empat macam, yaitu:
a) Tuhan menjadi penyebab keberadaan wujud lain
b) Malaikat merupakan wujud yang bersifat materiil
c) Benda-benda yang ada di langit atau angkasa
d) Benda-benda yang ada di bumi.14

Seperti Al-Farabi dan filososf-filosof muslim lainnya, Mulyadi juga membagi empat
macam status ontologis objek ilmu disertai penjelasan seperti:

a. Tuhan
Posisi Tuhan paling tinggi (puncak) pada hierarki wujud. Banyak filosof muslim
seperti Al-Kindi yang mengatakan Tuhan sebagai sebab keadaan wujud yang lain. Dilihat
dari status ontologisnya, posisi Tuhan tentunya lebih jauh dibandingkan wujud lain yang
ada karenanya. Sebab bisa dibayangkan tanpa akibat, sedangkan akibat bagaimana
mungkin ada jika tanpa sebab. Oleh karenanya, dapat difahami bahwa Tuhan, sekalipun
sifatnya immateriil menurut para filosof muslim, Dia lebih prinsipil dan lebih riil, sedang
yang ghaib dalam hal ini juga immateril terkadang dipandang sebagai delusi atau ilusi.

14
Hajar Mutahir, Pemikiran Mulyadhi Kartanegara Tentang Islamisasi Ilmu, (Tulungagung: IAIN Tulungagung,
2017), h.8
Ibnu Sina juga mengatakan hal demikian lebih dari sepuluh abad silam. Dalam
konsep Tuhan sebagai “Wajib Al-Wujud” atau Wujud Niscaya diperbandingkan dengan
status ontologis alam sebagai suatu wujud yang potensial yang berarti bahwa keberadaan
alam ini sangat bergantung kepada wujud niscaya dalam konteks wujud yang selalu
aktual. Alam akan tetap dalam keadaan potensial tanpa adanya wujud yang aktual.
Apabila ada wujud lain yang telah aktual yang mampu mengubah potensi alam tersebut
menjadi aktual, maka alam hanya akan “meng-ada”. Mulyadi mengatakan bahwa Tuhan
lebih fundamental status ontologisnya dan akan lebih tinggi sebagai suatu wujud yang
senantiasa aktual. Jika pemikir Barat sudah memandang tinggi status ontologis alam,
tentu saja Tuhan sebagai sebab awal keberadaan lebih fundamental dan lebih riil status
ontologisnya.15
b. Malaikat
Dalam ilmu filsafat, malaikat di anggap mempunyai nama dan penjelasan yang
berbeda. Terkadang, Ibnu Sina dan Al-Farabi menyebutnya sebagai akal. Misalnya,
dengan sebutan akal aktif kepada malaikat jibril yang melakukan kontak langsung kepada
para nabi. Suhrawardi juga menyebut malaikat jibril dengan istilah “nur” cahaya sebagai
malaikat pertama dengan kadar cahaya yang hampir sama dengan Tuhan karena dekatnya.
Tetapi, Mulyadi menganggap bahwa malaikat itu sifatnya immateriil. Dengan demikian,
jelas bahwa malaikat itu impersonal. Menurutnya, setelah Tuhan, malaikat berada pada
posisi kedua dalam status ontologis yang memiliki hierarki wujud. Lebih lanjut, ia
menegaskan bahwa malaikat-malaikat mempunyai banyak nama disertai dengan
penjelasan dan lebih dominan dalam status ontologisnya dibanding alam materi yang
pengaruhnya lebih besar pengaruhnya terhadap benda-benda fisik, seperti planet-planet.
Dalam filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina, malaikat sebagai akal merupakan sebuah
unsur penting dalam proses terentuknya dunia dan isinya. Pemberi bentuk terhadap alam
fisik yang dapat dilihat merupakan sebuah posisi penting, contohnya kegiatan akal aktif
terhadap alam materiil melahirkan alam fisik. Hal tersebut karena jika bentuk menyatu
dengan materi, maka alam fisik dapat terwujud. Tanpa tindakan mereka, alam fisik tidak
akan pernah tercipta. Itulah keutamaan malaikat terhadap alam fisik ini.
Sama seperti filosof-filosof sesudahnya, Mulyadi juga menganggap bahwa, malaikat
dapat di ilustrasikan sebagai sebuah wujud akal pikiran yang selalu melekat di kepala.
Dengan cara berpikir, kita dapat memahami dan dapat memberi arti. Sebagaimana yang di
ungkapkan fisikawan modern, seperti teori kuantum, semua unsur termasuk tubuh kita
merupakan sebuah ruang yang hampa yang di isi oleh ide-ide pikiran sehingga menjadi
sebuah bentuk yang dapat di indrai, seperti mobil, rumah dan lain-lain.

15
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 32-33
c. Benda-benda Langit
Di urutan ketiga ada benda-benda langit dalam status ontologis objek ilmu.
Menurut Mulyadi, benda-benda langit merupakan perpaduan antara benda materiil
dengan benda immateriil. Namun demikian, benda langit bentuk fisiknya tidak murni
karena berbagi dengan malaikat yang sifatnya non fisik. Ibnu Sina dalam
pemikirannya mengatakan bahwa, mereka mempunyai jiwa. Kedudukan benda langit
lebih riil dan lebih tinggi jika dibanding dengan benda fisik yang murni sifatnya.
Benda-benda angkasa mempunyai kelebihan jika di amati bahwa, benda-
benda angkasa pengaruhnya besar terhadap benda-benda yang ada dibawah bulan
yang sifatnya fisik.
Suhrawardi telah menunjukkan posisi hierarkis benda angkasa dengan sangat
baik dalam teori emanasinya sebagai benda dalam status Middle Occident (arat
tengah) yang dipisahkan dengan entitas posisi materiil (malaikat) dalam oriental
(dunia timur).

d. Benda-benda Bumi
Sama seperti yang dikemukakan Al-Farabi, Mulyadi membagi benda-benda bumi
menjadi lima, yaitu:
1) Unsur-unsur
Filsafat Islam telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani seperti Aristoteles.
Dimana unsur-unsur sebagai bagain terendah dari hierarki wujud yang biasanya
berjumlah empat, yaitu, udara dan api. Semua unsur tersebut harus dapat
dipahami sebagai unsur utama dikarenakan pada masa Al-Farabi dan ilmuan
muslim lainnya telah mengenal banyak unsur derivat. Keempat unsur tersebut
diselaraskan dengan empat sifat utama yang merupakan ciri khas dari benda
alami seperti panas, dingin, kering dan basah. Pembentukan benda-benda alami
seperti mineral, hewan dan tumbuhan merupakan hasil dari keempat unsur dasar
tersebut.
Pada dasarnya, filsafat Islam berbeda pandangan dengan ilmiah modern
terhadap status benda alami (bumi) secara umum dan unsur secara khusus. Dalam
pandangan filsafat Islam, materi berada pada posisi terendah dalam hierarki
wujud, sedang ilmiah modern beranggapan bahwa kedudukan alam materi ini
sangat tinggi, bahkan prinsipil. Sains modern beranggapan bahwa status ontologis
benda-benda metafisik berada pada posisi rendah dan sering di anggap seagai
halusinasi atau ilusi, sedang status benda-benda fisik berada pada status ontologis
yang tinggi. Perbedaan pandangan inilah yang secara diametris mampu
menjelaskan konsep yang diberikan sains modern terhadap materi, konsep islam
terhadap spiritualitas, pengabaian Islam pada materi dan pengabaian sains
modern pada spiritualitas.

2) Mineral
Benda ini biasanya dibagi menjadi dua bagian, seperti logam dan batu.
Proporsi batu dan logam memiliki perbedaan tetapi mempunyai unsur pembentuk
yang sama. Mineral menunjukkan derajat yang secara hierarkis tersusun dengan
jelas, seperti batu yang sifatnya kasar sampai batu mulia, sedang logam kasar
menuju logam yang lebih mulia. Status ontologis akan semakin tinggi apabila
benda mineral semakin halus dan semakin mulia.
3) Tumbuhan
Tumbuhan muncul sebagai akibat dari mineral yang telah sampai pada
puncak perkembangannya. Berbeda dengan mineral, menurut Ibnu Sina,
tumbuhan mempunyai daya hidup (jiwa/al-nafs). Makhluk hidup pertama
(organik) yang berpisah dari makhluk inorganik disebut tumbuhan.
Menurut Mulyadi, tumbuhan merupakan evolusi dari material. Daya
transenden tumbuhan membuatnya dapat berkembang secara spektakuler. Dengan
demikian, tumbuhan dapat memberi manfaat terhadap manusia.
4) Hewan
Dalam dunia hewan dikelompokkam menjadi dua, yaitu hewan rasional
(manusia) dan non rasional yang biasa disebut hewan saja. Gerak hewan
membuat status ontologisnya menjadi kuat. Perbedaan manusia dengan hewan
biasa pada umumnya terletak pada rasio (akal). Oleh karenanya, manusia dapat
merangsang berbagai informasi dan dapat mengerti makna abstrak. Hal tersebut
membuat status ontologis manusia lebih unggul. Walaupun dalam ukuran fisik
manusia tidak begitu menarik, manusia sebagai mikrokosmos dimana didalamnya
memuat semua unsur seperti mineral, hewan dan tumbuhan serta unsur malaikat
yang sifatnya immateril. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa filsafat
Islam tidak hanya memberikan status ontologis pada objek materiil, tetapi juga
terhadap benda yang sifatnya immateriil. Hierarki wujud juga berdampingan
dengan status ontologis objek ilmu. Status ontologis akan semakin riil dan
fundamental apabila posisi wujud dalam hierarki wujud juga semakin tinggi. Hal
tersebut karena yang berada pada posisi ialah objek-objek materiil. Selain itu,
status ontologisnya juga lebih riil dan fundamental dibanding yang lain.

e. Klasifikasi Ilmu
Mulyadi mengikuti pengelompokan ilmu-ilmu Islam yang sudah digagas oleh filosof-
filosof terdahulu seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi. Dalam klasifikasi ilmu, yang menjadi
pembahasan utama Mulyadi ialah penolakan ilmuwan dan filosof Barat terhadap metafisika
yang dipandang ilusif.
Menurut Mulyadi, sekarang ini telah banyak filosof dan pemikir Barat yang
meragukan status ontologis objek metafisik. Adanya perbedaan terhadap status ontologis
terhadap objek ilmu mempengaruhi cara pandang mereka terhadap pengelompokan ilmu.
Mereka mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi dua kelompok, yaitu matematika dan
fisik. Hal tersebut bisa menjadi peluang mereka menyalurkan ide gagasannya terhadap objek
empirik. Namun, dari epistemologi Barat materialis menyebabkan manusia berfokus pada
kehidupan materialisme saja. Hal ini dapat menimbulkan disintegrasi keilmuan.
Para ilmuan dan filosof muslim tidak hanya membagi ilmu Islam dalam bidang
matematika dan fisik, tetapi juga terdapat bidang fisik. Seperti Ibnu Sina yang membaginya
menjadi:
 Metafisika
Adalah wujud yang secara jelas tidak memiliki keterkaitan antara gerak dan materi.
 Matematika
Adalah wujud yang terkadang melakukan kontak langsung antara materi dengan gerak.
 Fisika
Adalah wujud yang sudah jelas memiliki keterkaitan antara gerak dan materi.

a. Ilmu Metafisika
Ilmu ini memahas tentang entitas-entitas yang berada dalam tabir alam fisik. Dalam
kita Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun, ia membagi ilmu metafisika menjadi lima bagian,
yaitu:
 Bagian yang mengkaji tentang wujud sebagai wujud, disebut ontologi
 Bagian yang membahas pengetahuan umum yang mempengaruhi benda jasmani dan
spiritual, seperti pluralitas, kesatuan dan kemungkinan.
 Bagian yang membahas tentang asal muasal benda yang ada dan memilih apakah
benda tersebut entitas spiritual atau tidak.
 Bagian yang membahas bagaimana cara benda yang ada lahir dari entitas spiritual
dan mempelajari susunan mereka.
 Bagian yang membahas kondisi jiwa setelah terpisah dengan jasadnya dan proses
kembalinya ia ke tempat asal (permulaannya). 16

16
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Dalam Perspektif Filsafat Islam, (UIN Jakarta Press, 2003), h.51.
Pada poin pertama dan kedua merupakan bagian dari bidang ontologi, ketiga dan keempat
bagian dari kosmologi serta yang terakhir merupakan bagian dari eskatologi menurut Ibnu
Khaldun. Ontologi sebagai cabang dari metafisika sangat penting dalam mempelajari
wujud sebagai wujud. Objek selanjutnya dalam kajian ontologi yaitu malaikat. Banyak
arti dari objek yang satu ini. Namun, semuanya mengarah pada hal yang sama bahwa
wujud immateriil tidak terikat dengan gerak dan materi. Ibn Sina menyebutnya intelek,
sedang Suhrawardi sebagai cahaya dan filososf muslim lainnya menyebutnya intelek atau
malaikat. Pembahasan ini penting menurut Ibn Khaldun dalam mempelajari asal usul dan
sifat immateriilnya cara muncul benda dari benda spiritul dan tatanan hierarkinya yang
disebut sebagai kosmologi.

b. Ilmu Matematika

Menurut Al-Kindi, matematika merupakan bidang ilmu yang harus dikuasai oleh
orang yang ingin belajar filsafat. Menurut para filsuf, status ontologis ilmu ini riil adanya.
Suhrawardi mengatakan dalam ide Plato itu, matematika sama riil dengan malaikat.
Menurut Ibnu Sina, matematika menjelaskan sifat ontologi wujud immateril yang
berhubungan dengan wujud materiil.

Ilmu matematika pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari tentang pengukuran yang
merupakan bidang kedua setelah metafisika. Menurut Ibnu Khaldun, matematika terbagi
menjadi empat subdivisi, yaitu geometri, aritmatika, musik dan astronomi. Sedang
menurut Al-Farabi dalam kitabnya Ihsha Al-Ulum membagi matematika menjadi tujuh
subdivisi, yaitu aritmatika, geometri, optika, ilmu perbintangan, musik, ilmu tentang
beban dan ilmu tentang pembuatan alat.

c. Ilmu Fisika

ilmu yang mempelajari benda-benda fisik dari sudut diam ataupun bergerak disebut
fisika. Mengkaji benda-benda langit dan substansi dari zat-zat elementer contohnya
manusia, tumbuhan, hewan dan mineral yang terbentuk dari unsur tersebut.

Ilmu alam dibagi berdasarkan objek dan jenis alamiahnya. Menurut Al-Farabi, benda
alam dapat diilustrasikan seperti wujud yang berhubungan dengan gerak dan materi yang
dibagi menjadi lima macam seperti unsur, tumbuhan, hewan, manusia dan mineral.

Selain mempelajari unsur-unsur dasar tersebut, fisika juga mempelajari segala yang
masuk pada bidang geologi, kajian meteorologi dan juga mempelajari asal usul gerak
pada tubuh baik pada hewan, tumbuhan dan manusia sehingga lahirlah displin ilmu
psikologi atau ilmu jiwa.
f. Metode-metode Ilmiah

Dalam metode ilmiah, harus disesuaikan dengan sifat dasar objek-objeknya. Sifat dasar, status
ontologis dan karakter objek ilmu berbeda-beda, secara otomatis metode ilmiahnya juga berbeda.
Contohnya, metode eksperimen atau observasi untuk objek fisik, untuk objek non fisik
menggunakan metode logis, sedang untuk objek non fisik secara langsung menggunakan metode
intuitif. Mulyadi menegaskan bahwa kita tidak boleh memahami secara sempit atau eksklusif
metode ilmiah karena hal tersebut seringkali menyebabkan terjadinya gabungan metode ilmiah
tersebut. Sama seperti Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa metode demonstratif bisa digunakan
dalam penelitian empiris. Sedangkan Al-Kindi mengatakan bahwa dibanding metode
demonstratif, metode matematika lebih mewakili sebagai metode ilmiah. Adapun Ibnu Haitsam
dalam penelitian optikanya, menganggap gabungan metode eksperimen dan matematika
merupakan metode paling sesuai.

Dalam epistemologi Islam, metode ilmiah dibagi menjadi tiga, yaitu:

i. Metode observasi eksperimen (percobaan)

Ibnu Haitsam dalam kitab Al-Manazhir menjelaskan secara terperinci bahwa metode
observasi membutuhkan metode matematika agar dapat memperoleh informasi yang
akurat. Ilmuan muslim lainnya juga menyempurnakan metode observasi dengan
menggunakan alat bantu untuk memperoleh gambaran bentuk objek yang akurat seperti
teleskop.

ii. Metode Demonstratif

Merupakan metode penalaran rasional yang digunakan dengan tujuan menguji


kebenaran atau kesalahan yang bersumber dari teori ilmiah dan filosofis dengan
memperhatikan akurasi dan keabsahan untuk penarikan kesimpulan ilmiah. Metode ini
dalam Islam biasa disebut dengan metode burhani. Salah satu metode rasional yang biasa
digunakan oleh ilmuwan muslim selain metode dialektik, sofistik, retorik dan poetika.
Namun, diantara semua metode rasional, metode demonstratif dianggap lebih akurat.

iii. Metode Intuitif


Metode ini berkaitan dengan hati. Selain itu, metode ini sederajat dengan metode
observasi dan demonstratif. Metode ini memiliki persamaan dengan metode oservasi
dalam hal menangkap objek secara langsung.

Dalam menangkap objeknya, metode intuitif dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
(1) melalui pengalaman, pengetahuan intuitif bisa didapat, (2) dalam ilmu hudhuri, kita
dapat melihat sifat langsung pengetahuan intuitif, (3) dari pengalaman eksistensial, sifat
langsung metode intuitif dapat dilihat.

KESIMPULAN

1. mulyadi merupakan tokoh intelektual muslim yang rasional dan banyak memberi sumbangsih
dalam bidang filsafat dan teologi. Ia telah menghasilkan karya lebih dari 20 buah buku terutama yang
bernuansa keislaman dan keilmuan. Selain itu, Mulyadi kartanegara aktif dalam banyak lembaga
keilmuan.

2. ide pokok pemikiran Mulyadi Kartanegara dalam gagasan islamisasi ilmu atau yang dimaknai
dengan istilah naturalisasi ilmu, yaitu meminimalisir efek negatif ilmu pengetahuan yang berbau
sekuler terhadap agama. mengenai asumsi dasar dari konsep islamisasi ilmu ada dua, yaitu naturalisasi
ilmu dan sekularisasi ilmu. Kemudian ruang lingkup islamisasi ilmu dalam status ontologis ilmu yang
mencakup Tuhan, malaikat, benda angkasa dan benda bumi. Untuk pengelompokan ilmu terdiri dari
metafisika, matematika dan fisika. Serta metode ilmiah yang termasuk yaitu observasi, demonstratif
dan intuitif.

Anda mungkin juga menyukai