Nim : 18.1472.S
Kelas : 2a /Semester 4
Film ini menceritakan potret kedua ulama saat menuntut ilmu dari guru yang sama
baik ketika di Indonesia maupun saat keduanya memperdalam ilmu agama di Makkah Al-
Mukarramah. film ini menggambarkan mulai dari masa kecil dua ulama besar ini hingga
keduanya mendirikan dua organisasi masyarakat berbasis agama terbesar di Indonesia.
Memahami perbedaan dan menjunjung persamaan seakan menjadi slogan film ini.
Karena dua ulama inilah yang memberi fondasi baru demi terciptanya kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan kemajuan Islam itu sendiri di bumi. Bedanya ruang
perjuangan dan model dakwah keduanya. Masing-masing memiliki andil dan peran yang
berbeda dalam mencerdaskan dan membangun atmosfer masyarakat saat itu.
Ialah KH. Ahmad Dahlan giat dengan semangat pergerakan Islamnya di daerah
perkotaan dengan mendirikan lembaga pendidikan formal dengan mengadopsi sistem sekolah
kolonial. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari fokus di daerah pedesaan dengan mendirikan
pesantren dan mengkaji kitab-kitab kuning. Keduanya memang terkesan memiliki cara
pandang yang berbeda, namun hakikat keduanya sama. Yaitu ingin mencapai tujuan yang
satu, ridla Allah SWT. Menyuguhkan Islam di bumi nusantara ini yang rahmatan lil ‘alamin.
Salah satu ulama nusantara yang memiliki kontribusi besar atas Indonesia adalah KH.
Ahmad Dahlan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, ia telah lebih dulu berjuang demi
mengentaskan kemiskinan. Bukan hanya miskin materi saja, tetapi juga miskin pengetahuan,
ia penuhi dengan membuka madsarah bagi rakyat kecil. Itu semua ia lakukan sebagai
pengabdian kepada negeri dan agama.
Sebagai manusia yang hidup di tanah jajahan, KH. Ahmad Dahlan telah berjuang
dengan sebaik-baiknya. Ia tidak hanya berjuang untuk kaum muslimin, tapi juga masyarakat
secara umum. Yang membedakan ia dengan Kiai lain pada waktu itu adalah pandangannya
terhadap ilmu Barat. Jika tokoh agama kebanyakan mengharamkan ilmu Barat, KH. Ahmad
Dahlan justru mempelajarinya.
Perpaduan antara ilmu agama dan pengetahuan Barat terbukti mampu memunculkan
inisiatif gerakan dalam diri KH. Ahmad Dahlan. Ia yang dikenal berpikiran terbuka, memulai
perjuangannya dengan mendirikan madrasah diniyah, sekolah agama Islam yang dalam
beberapa hal mengadopsi sistem Barat. Model madrasah rintisan beliau juga merupakan
madrasah alternatif, yang selain mempelajari ilmu agama juga pengetahuan umum.
Kiai Hasyim berpandangan, sebesar apapun kepentingan suatu kelompok, jika hanya
memunculkan perpecahan di antara umat Islam Indonesia harus segera diakhiri untuk prospek
perjuangan yang lebih besar mengingat bangsa Indonesia masih terjajah oleh Belanda kala
itu. Perhatian sangat besar dari Kiai Hasyim Asy’ari untuk keberlangsungan umat Islam
Indonesia menjadi perhatian bersama dari para ulama ketika itu. Kiai Hasyim kembali
menyerukan: Jangan kalian jadikan perdebatan itu menjadi sebab perpecahan, pertengkaran,
dan bermusuh-musuhan. Ataukah kita teruskan perpecahan, saling menghina, dan
menjatuhkan; saling mendengki kembali kepada kesesatan lama? Padahal agama kita satu:
Islam, madzhab kita satu: Syafi’i, Daerah kita juga satu: Indonesia (ketika itu sebutannya
Jawa). Dan kita semua juga serumpun Ahlussunnah wal Jamaah. Demi Allah, hal semacam
itu merupakan musibah dan kerugian yang amat besar. Untuk memperkuat persatuan tersebut,
langkah tindak lanjut dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari ketika NU menyelenggarakan
Muktamar ke-12 tahun 1937 di Malang, Jawa Timur.
Kiai Hasyim mengajak golongan Islam manapun untuk ikut menghadiri Muktamar
NU tersebut. Ajakan itu tertulis dalam sebuah undangan yang berbunyi: “.....kemarilah tuan-
tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kami, marilah kita
bermusyawaralah tentang apa-apa yang terjadi baiknya agama dan umat, baikpun urusan
agamanya dan dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan
tergantung pula atas beresnya perikeduniaan...” Seruan dan ajakan Kiai Hasyim Asy’ari
selaku pemimpin tertinggi NU itu cukup mengetuk kesadaran seluruh pemimpin
perkumpulan Islam. Jika sejak 1927-1936 tidak lagi terdengar kegiatan Kongres Al-Islam
(setelah Muktamar Dunia Islam di Mekkah tahun 1926 diubah namanya menjadi MAIHS,
Muktamar ‘Alam Islami Far’ul Hidis Syarqiah), yang biasanya diprakarsai Syarikat Islam
dan Muhammadiyah, maka sejak ada seruan Kiai Hasyim itulah usaha untuk mengumpulkan
kembali sisa-sisa persatuan dan melepaskan simpul-simpul pertengkaran, mulai tampak
dirintis kembali atas kepeloporan Kiai Hasyim.
Upaya Kiai Hasyim tidak hanya berhasil menyatukan seluruh komponen umat Islam,
tetapi juga mampu mengikis usaha Belanda untuk memecah belah rakyat Indonesia. Karena
walau bagaimana pun, seluruh elemen masyarakat masih menjadikan ulama dan kiai sebagai
tokoh panutan dan subjek utama untuk dimintai pandangan dan pemikirannya. Hal ini
menjadikan titik utama kenapa Belanda berupaya menggemboskan peran dan posisi ulama
dengan menjadikan mereka terus bertengkar.