h
ahmad
ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan
dahlan
bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang
mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912. Pahlawan Nasional
Indonesia ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923.
Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yakni:
Pertama, KH Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Sedangkan di Solo
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang
berdiri perkumpulan
Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang
Diasuh di Lingkungan Pesantren
Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan pelopor penyebaran dan pengembangan
Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di
Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H.
Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima saudaranya perempuan dan dua lelaki
yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas
dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali
Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di
Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). 2)Idem
Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH
Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo
bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin
Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin
Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Sejak kecil Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya
pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan
ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di
Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn
Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada
semangat, jiwa dan pemikiran Darwisy.
Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak
keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat
ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia
memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-
Hadits.
Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun, Darwisy
kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat
menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan
dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti
Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).
Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah.
Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Mendirikan Muhammadiyah
Semangat, jiwa dan pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, yang diperolehnya dari
Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan lain-lain selama belajar
Makkah (1883-1888 dan 1902-1904), kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak
keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat
ortodoks (kolot).
Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam,
serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang,
pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan
purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Dahlan sendiri sadar bahwa semaangat pembaharuannya tidak akan serta-merta dapat
dipahami dan diterima keluarga dan masyarakat sekitarnya. Tidak mudah melakukan
pemharuan pada suatu sifat ortodoks yang sudah membeku. Maka, entah terkait atau
tidak, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri.
Bunyinya demikian: "Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-
peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau
mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya.
Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama
Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan
dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan
(dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Dijelaskan dalam artikel itu, kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat
merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa
bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan
sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus
dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa
orang itu tidak mungkin tanpa organisasi. Perkumpulan, parsyarikatan dan gerakan dakwah:
Muhammadiyah.
Dahlan pun memilih strategi yang amat baik dengan lebih dahulu membina angkatan muda
untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, sekaligus meneruskan
cita-citanya memajukan bangsa ini. Apalagi ia berkesempatan mengakselerasi dan
memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah itu dengan mendidik para
calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru
yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena, ia sendiri diizinkan oleh pemerintah
kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Tentu saja para calon pamongpraja tersebut dapat diharapkan mengaselerasi dan
memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai
pengaruh luas di tengah masyarakat. Begitu pula para calon guru akan segera mempercepat
proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, kepada murid-muridnya.
Guna mengintensifkannya, Dahlan pun mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal
dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat
(Kweekschool Istri Muhammadiyah). Di sekolah ini, Dahlan mengajarkan agama Islam dan
menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Dahlan dikenal sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Dengan gagasan-
gagasan cemerlang dan kegiatan kemasyarakatannya, Dahlan juga dengan mudah diterima
dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Termasuk dengan cepat mendapatkan
tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela
Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Pada tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan
organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam. Ia punya visi
untu melakukan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia
menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini
mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin,
Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam,
Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-
Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam
kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna
mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut,
Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah
pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam
ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang
telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar
mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum
ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut,
Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita
mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang
menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus
kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak
hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Season 2
Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad
Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang
yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di
Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana
'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki
Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru
Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan
Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama
menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad
Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak
Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah,
KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan
pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi
Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera
dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta.
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo
- organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau
memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang
diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para
anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri
yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang
terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah
organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah
1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui
organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun
masyarakat Islam.
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern
sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau
mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat
tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat
memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan
membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri.
Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam
dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya
merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang
khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan
bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita
dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.
Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang
dikenal dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana
para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek,
berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian
seragam, mirip Pramuka sekarang.
Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh
sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa
melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak
dan mempunyai risiko. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan
menerima perubaban yang diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya. Segala tindak
perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat
umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa
dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak
golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang dipraktekkan
Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi
massa Islam terbesar di Indonesia.
Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama
atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan
perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab
karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak
pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan
sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab
atau buku agama.
Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad
Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata
bahasa); dari KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud
dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock
di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan
racun binatang
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad
Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen,
Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara
menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657
Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
Season 3
K.H. Ahmad Dahlan merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir di
suatu daerah bernama Kauman yang tepatnya berada di Yogyakarta pada tanggal 1
Agustus 1868. Beliau merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dengan ayah
bernama K.H. Abu Bakar. Ibu beliau bernama Siti Aminah yang merupakan putri dari
H. Ibrahim yang pada masa itu menjabat sebagai penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. K.H. Ahmad Dahlan lahir dengan nama kecil Muhammad
Darwis. Beliau adalah generasi ke-12 dari salah seorang walisongo yang terkemuka
dalam mendakwahkan Islam di daerah Gresik yang bernama Maulana Malik Ibrahim.
K.H. Ahmad Dahlan telah menunaikan haji ketika beliau masih berusia 15 tahun dan
menetap di kota Mekah selama 5 tahun. Selama di Mekah, beliau memperdalam ilmu
agama dan juga berinteraksi dengan Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha,
dan Ibnu Taimiyah yang memiliki pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam. Pada
tahun 1888 beliau kembali ke kampung halaman dan mengubah nama beliau dari
Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Beliau kembali ke Mekkah dan menetap
selama dua tahun di sana pada tahun 1903. Selama dua tahun di Mekkah, beliau
sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga merupakan guru dari K.H.
Hasyim Asyari, pendiri NU.
Pada tahun 1896, nama K.H. Ahmad Dahlan menjadi pembicaraan khususnya di
Yogyakarta, karena beliau melakukan pembetulan terhadap arah kiblat pada
langgar-langgar dan masjid-masjid di Yogyakarta. Pada masa itu kebanyakan tempat
ibadah menghadap ke arah Timur dan banyak orang yang melakukan sholat
menghadap lurus ke Barat. Beliau melakukan pembetulan tersebut dengan Ilmu
Falak yang beliau kuasai. Berdasarkan Ilmu Falak tersebut, arah kiblat Pulau Jawa
seharusnya condong ke Utara kira-kira 24,5 derajat.
Dalam perjalanan hidup K.H. Ahmad Dahlan, beliau sempat menikah sebanyak lima
kali. Dari istri pertama beliau yang bernama Siti Walidah yang juga sepupu beliau
sendiri, beliau mendapatkan enam keturunan. Anak-anak beliau dari Siti Walidah
adalah Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti
Zaharah. Istri pertama beliau, Siti Walidah,juga merupakan seorang Pahlawan
Nasional yang juga pendiri Aisyiyah dan lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan.
Dalam pernikahan yang kedua, beliau menikahi Nyai Abdullah janda dari H. Abdullah.
Pernikahan ketiga beliau dengan adik dari Kyai Munawwir Krapyak yang bernama
Nyai Rum. Dari pernikahan beliau yang keempat dengan Nyai Aisyah Cianjur adik
Adjengan Penghulu, beliau dianugerahi seorang putra yang diberi nama Dandanah.
Pernikahan beliau yang terakhir adalah dengan Nyai Yasin Pakualam Yogyakarta.
K.H. Ahmad Dahlan mengalami gangguan kesehatan sejak tahun 1922 karena
mobilitas beliau yang begitu tinggi. Dengan saran dokter, pada tahun 1923, beliau
menyempatkan diri untuk beristirahat di Gunung Tretes, Malang, Jawa Timur,
sebelum akhirnya beliau kembali ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat tahunan
Muhammadiyah. Dalam pembukaan rapat tahunan tersebut, beliau masih sempat
untuk memberikan sambutan. Kesehatan beliau terus menurun hingga akhirnya
beliau meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen,
Yogyakarta, serta diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik
Indonesia
organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela
mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18
Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai
palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam
tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini
hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
dibatasi.
Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muhammadiyah. Hal ini
Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam
Setelah itu pada tanggal 20 Desember 1912, KH. Ahmad Dahlan mengurus izin
kepada pemerintahan Hindia Belanda agar Persyarikatan Muhammadiyah memiliki
badan hukum yang resmi. Selang dua tahun kemudian izin itu keluar tepatnya pada
yanggal 22 Agustus 1914. Sadar akan pergerakan Muhammadiyah dalam pendidikan
dan potensi amal usaha lainnya, pemerintah Hinda Belanda hanya mengizinkan
Muhammadiyah bergerak hanya di daerah Yogyakarta.
Untuk mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan tersebut dan bertepatan dengan
bulan Nopember, maka penulis mencoba untuk mengumpulkan beberapa serpihan-
serpihan sejarah dari berbagai sumber untuk mengenang jasa-jasa KH. Ahmad
Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan. Semoga bisa bermanfaat terutama untuk kaum
muda dan bangsa Indonesia.
KH. Ahmad Dahlan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Bahkan
diantara beberapa pahlawan lainnya pasangan KH. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad
Dahlan adalah pasangan suami istri yang mendapatkan gelar pahlawan setelah Teuku
Umar dan Cut Nyak Dien. Sangat jarang sekali pasangan suami istri diberikan gelar
pahlawan nasional. Maka atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan,
mereka diberikan gelar oleh pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional.
KH. Ahmad Dahlan pada saat kecil dikenal dengan nama Muhammad Darwis. Ia
adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah KH. Abu Bakar,
seorang khatib amin Masjid Gedhe Kesultanan Yogyakarta. Ibunya, Siti Aminah pun
adalah puteri seorang penghulu dari Kesultanan Yogyakarta. Artinya Muhammad
Darwis memang lahir dari keluarga yang cukup berpendidikan dengan latar belakang
pendidikan Islam yang cukup kuat.
Darwis kecil memang sudah dikenal sebagai pribadi yang supel. Bahkan jiwa
kepemimpinannya sudah muncul sejak kecil. Dari tujuh bersaudara, Darwis adalah
anak laki-laki paling besar dan adik bungsunya menjadi anak laki-laki terakhir dari
Pasangan KH. Abu Bakar dan Siti Aminah. Saudara Darwis lainnya adalah
perempuan.
Darwis kecil memang dipersiapkan sejak dini sebagai pengganti ayahnya kelak
menjadi imam Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Maka pada usia 15 tahun pada
tahun 1883, Darwis dikirim ke Makkah dan belajar disana selama lima tahun. Saat
belajar di Makkah, Darwis mulai mengenal beberapa pemikiran-pemikiran
pembaharu tokoh-tokoh Islam dunia diantaranya adalah Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Setelah lima tahun lamanya menimba ilmu
di Makkah, Darwis kembali ke tanah air pada tahun 1888. Sepulang dari Makkah,
Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Nama Ahmad Dahlan diberikan
oleh gurunya saat mendapatkan ijazah kelulusan setelah belajar di Makkah.
Setelah menikah Ahmad Dahlan juga berjualan batik. Karena mertuanya adalah
seorang pedagang batik selain dikenal sebagai penghulu di Kesultanan Yogyakarta.
Dalam bidang wirausaha Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai pedagang yang handal.
Beliau memiliki bakat berwirausaha seperti kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1896 kabar buruk pun datang, Ayahanda Dahlan, KH. Abu Bakar
meninggal dunia setelah sebelumnya Dahlan ditinggalkan ibunya setahun setelah
pernikahannya dengan Siti Walida. Sepeninggal ayahnya, akhirnya Sultan
mengangkat Ahmad Dahlan sebagai Khatib Amin di Masjid Gedhe Kauman
Yogyakarta. Saat itu usia Ahmad Dahlan masih terbilang muda, 28 tahun.
Melihat potensi yang begitu besar dari sosok KH. Ahmad Dahlan, Sultan akhirnya
mengirim kembali KH. Ahmad Dahlan ke Makkah untuk melaksanakan ibadah Haji.
Pada kunjungannya yang kedua ini sosok Syaikh Rashid Ridha lah yang banyak
mempengaruhi pemikiran Ahmad Dahlan tentang perjuangan Islam. Rashid Ridha
mengingatkan bahwa tradisi di belahan dunia manapun masih tetap ada, bahkan
seseorang bisa lebih taat pada tradsinya ketimbang agama yang dianutnya.
Pemikiran Rasyid Ridha ini mengingatkan penulis terhadap salah satu guru penulis
saat belajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Guru tersebut
bernama Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. Guru bidang studi Hadis lulusan dari Madinah.
Ia juga adalah alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta.
Ustadz Ridwan saat itu menjelaskan Bid’ah. Bid’ah itu bukanlah sesuatu yang selalu
buruk. Karena ada juga yang dinamakan dengan Bid’ah Hasanah. Bid’ah sendiri
berarti sesuatu yang baru. Contoh bid’ah hasanah adalah sendok. Sendok adalah
sesuatu hal yang baru. Sendok merupakan bid’ah, tapi bid’ah hasanah.
Bid’ah hasanah inilah yang ternyata ditunjukkan oleh KH. Ahmad Dahlan
sekembalinya dari tanah suci. Seperti dikisahkan dalam film sang pencerah karya
Hanung Bramantyo, KH. Ahmad Dahlan mulai banyak mengenakan pernak-pernik
orang-orang Belanda seperti mulai dari pakaian hingga alas kaki berupa sandal.
Meskipun KH. Ahmad Dahlan difitnah berbagai macam hal namun KH. Ahmad Dahlan
bergeming. Sesuatu yang baru tidak selamanya buruk. Asal tidak bertentanggan
dengan syariat Islam.
Saat itu mulai banyak teknologi yang dikembangkan oleh orang-orang Eropa. Pada
masa itu segala perkembangan teknologi dan kemajuan zaman dianggap bid’ah dan
tidak sesuai dengan Islam. Karena penciptanya dianggap bukan golongan umat
Islam. Namun, ternyata ada bid’ah hasanah. Kemajuan teknologi yang bermanfaat
tentunya bisa dikategorikan sebagai bid’ah hasanah.
Sikap Ahmad Dahlan yang melawan arus ini tentu saja banyak di tentang dan
menjadi sorotan beberapa ulama sepuh di Yogyakarta pada saat itu. Yang
fenomenal adalah perubahan posisi kiblat di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. KH.
Ahmad Dahlan sadar bahwa posisi kiblat Masjid Gedhe itu salah, kemudian KH.
Ahmad Dahlan berusaha untuk meluruskannya dengan ilmunya.
Sayang usaha KH. Ahmad Dahlan dianggap menyalahi aturan. KH. Ahmad Dahlan
secara terang-terangan dianggap sudah sesat dan keluar dari Islam pada masa itu.
Hingga akhirnya untuk menghindari konflik KH. Ahmad Dahlan mengundurkan diri
sebagai Khatib Masjid Gedhe Kauman Yogakarta. Akhirnya KH. Ahmad Dahlan
mendirikan langgarnya sendiri bersama murid-muridnya.
Diasuh di Lingkungan Pesantren Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan
pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Wakil
Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga
menjabat penghulu Kasultanan Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta pada masa itu.
Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima saudaranya Lihat Daftar Tokoh
Perempuan
perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam silsilah, ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali
besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan
Safwan, 1991). 2)Idem
Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar
bin KH Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung
Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul
Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun,
Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu,
ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta.
Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus
dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah
hingga tahun 1904.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak
Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah
(Kutojo dan Safwan, 1991).
Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H.
Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH.
Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah
(adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula
menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Mendirikan Muhammadiyah
Semangat, jiwa dan pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, yang diperolehnya
dari Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan lain-lain selama
belajar Makkah (1883-1888 dan 1902-1904), kemudian diwujudkannya dengan
menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam
saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran
Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia
memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui,
dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-
Qur'an dan al-Hadits.
Bunyinya demikian:
Dalam artikel riwayat Ahmad Dahlan di situs resmi Parsyarikatan Muhammadiyah
(muhammadiyah.or.id), pesan ini disebut menyiratkan sebuah semangat yang besar
tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka
Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat
itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama
Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada
amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah.
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus
diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Dijelaskan dalam artikel itu, kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan
sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan
hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan
memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan
seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara
seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Perkumpulan, parsyarikatan dan gerakan dakwah: Muhammadiyah.
Dahlan pun memilih strategi yang amat baik dengan lebih dahulu membina angkatan
muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, sekaligus
meneruskan cita-citanya memajukan bangsa ini. Apalagi ia berkesempatan
mengakselerasi dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah itu dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang
belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis
Yogyakarta. Karena, ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk
mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Tentu saja para calon pamongpraja tersebut dapat diharapkan mengaselerasi dan
memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang
mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Begitu pula para calon guru akan
segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, kepada murid-muridnya. Guna mengintensifkannya, Dahlan pun
mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri
Muhammadiyah). Di sekolah ini, Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan
cita-cita pembaharuannya.
Dahlan dikenal sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Dengan
gagasan-gagasan cemerlang dan kegiatan kemasyarakatannya, Dahlan juga dengan
mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Termasuk dengan
cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Pendiri dan Ketua Budi
Utomo
Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Pada tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad Dahlan pun
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan
Islam. Ia punya visi untu melakukan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan
beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia
untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut
kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan
tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah
berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang.
Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an
dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus
mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Kata Kauman, menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Adaby Darban,
berarti “Tempat Para Penegak Agama”.
Di kampung ini berkumpul para ulama, penghulu keraton dan para ketib masjid.
Keberadaan Masjid Gede Kauman yang didirikan pada 1773 menjadi bukti sejarah
identitas Kauman hingga kini.
Kampung Kauman pada masa lalu juga memiliki hubungan yang erat dengan kampung-
kampung lain yang menjadi basis para santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Kampung Kauman inilah, Muhammad Darwis bin KH Abu Bakar bin KH Sulaiman
dilahirkan. Muhammad Darwis yang belakangan berganti nama menjadi KH Ahmad
Dahlan dilahirkan pada tahun 1868.
Sebagai anak yang lahir di lingkungan ulama dan keraton, maka pada usia 23 tahun,
Dahlan muda sudah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia berangkat ke Tanah
Suci, bahkan sambil menimba ilmu di sana.
Pada saat itu, bacaan-bacaan dari Timur Tengah dilarang, karena dianggap oleh
Belanda membawa ajaran Pan-Islamisme yang menyuarakan penentangannya
terhadap penjajahan di negara-negara Muslim.
Dalam pertemuan tahunan ibadah haji di Tanah Makkah, tokoh-tokoh Islam dari
berbagai belahan dunia, termasuk dari Nusantara, membincangkan upaya untuk
menyelamatkan negeri-negeri Muslim dari kolonialisme negara-negara kafir. Kiai
Ahmad Dahlan terlibat dalam ide-ide itu selama mukim di Makkah.
Arabia tak hanya menjadi tempat berkumpul dan bersatunya umat Islam yang naik
haji pada masa itu, tetapi tempat berkumpulnya para ahli-ahli politik dari berbagai
dunia Islam, untuk saling bertemu dan berembuk soal politik dan rencana-rencana
mereka.
Kontak langsung dengan Arabia melalui pertemuan dalam ibadah haji di Makkah
menimbulkan ketakutan tersendiri bagi penjajah terhadap munculnya fanatisme
yang digerakkan lewat usaha-usaha membangun persaudaraan Muslim dunia.
Karenanya, tak heran jika elit-elit di Jawa pada masa lalu, terutama mereka yang
berasal dari keraton dan priayi yang menjadi kepanjangan tangan kolonial, tak ada
yang melaksanakan ibadah haji.
Sepulang dari Makkah, KH Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi
Oetomo pada 1909. Namun keberadaanya dalam organisasi yang berada dalam
pengaruh kuat Gerakan Freemason ini tak lama.
Kiai Dahlan melihat Boedi Oetomo tak mempunyai kepedulian terhadap Islam. Para
aktivisnya ketika itu lebih kental mengamalkan kebatinan, dibandingkan
menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Sejak awal berdiri, Boedi Oetomo sudah didekati oleh kelompok Freemason, yang
pada masa lalu disebut oleh orang Jawa sebagai “Gerakan Kemasonan”. Ketua
pertama Boedi Oetomo, Raden Mas Tirtokoesoemo, adalah seorang Mason, begitu
pun ketua-ketua selanjutnya.
Kiai Dahlan juga gencar melakukan dakwah kepada tokoh-tokoh lain di kalangan
Kemasonan dan Kristen, seperti Dirk van Hinloopen Labberton (Tokoh Theosofi-
Freemasonry) dan Van Lith (Tokoh Katolik Serikat Jesuit), juga dikalangan elit
keraton Jawa seperti Ki Ageng Soerjomentaram.
Pada masa itu, kelompok kebatinan-kejawen dan sekular seperti para aktivis Boedi
Oetomo memang seringkali menyerang ajaran-ajaran Islam. Bahkan, pelecehan
terhadap ajaran Islam dilakukan secara terbuka lewat rapat-rapat umum (
Inilah yang juga menjadi keprihatinan Kiai Dahlan, sehingga ketika ramai-ramainya
Nabi kaum Muslimin dihina oleh kelompok tersebut, KH Ahmad Dahlan bersama
para tokoh Islam lainnya terlibat dalam organisasi Tentara Kandjeng Nabi
Muhammad yang bertujuan membela kemurnian Islam.
Sebagai seorang Muslim yang berilmu, KH Ahmad Dahlan pada waktu itu sangat
prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah netral (neutrale school) yang bercorak
netral agama dan mendapat dukungan pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, ia juga prihatin dengan menjamurnya sekolah-sekolah yang dikelola oleh
misi Kristen dan kelompok Freemasonry. Ia khawatir, banyak anak-anak Muslim
yang masuk dalam sekolah tersebut sehingga rusak akidahnya. Ia juga miris dengan
banyaknya kaum Muslimin yang masih hidup dalam kekurangan, sehingga hanya
berpikir bagaimana bisa makan, tanpa memikirkan pendidikan dan masa depan.
Dalam buku ini, dijelaskan keprihatinan KH Ahmad Dahlan dengan tumbuh suburnya
pendidikan netral bercorak barat, yang dikelola oleh Gerakan Kemasonan.
Tujuan pendidikan netral yang didirikan oleh Gerakan Kemasonan dan menjamurnya
sekolah-sekolah Kristen tak lain adalah upaya mematikan peran pesantren.
Karena itu, untuk mendapatkan kaki tangan yang setia bagi pemerintah kolonial
dalam bidang pemerintahan dan jaksa, dibuatlah sekolah pamong praja, Opleiding
School voor Indische Ambtenaren (OSVIA).
Kebijakan ini berlanjut sampai hari ini, sehingga di Indonesia yang mayoritas
Muslim, hari liburnya itu Minggu, bukan hari Jumat. Inilah di antara keberhasilan
Politik Kristenisasi.
Alwi Shihab memaparkan, ”Lembaga ini (Freemason, pen) telah berhasil menggaet
berbagai kalangan Indonesia terkemuka, dan dengan demikianmempengaruhi
berbagai pemikiran berbagai segmen masyarakat lapisan atas… Merasakan bahwa
perkembangan Freemasonry dan penyebaran Kristen saling mendukung, kaum
Muslim mulai merasakan munculnya bahaya yang dihadapi Islam… Dalam upayanya
menjaga dan memperkuat iman Islam di kalangan Muslim Jawa, (Ahmad) Dahlan
bersama-sama kawan seperjuangannya mencari jalan keluar dari kondisi yang
sangat sulit ini. Untuk menjawab tantangan ini, lahirlah gagasan mendirikan
Muhammadiyah. Dari sini, berdirinya Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari
Sudah sepatutnya, generasi pewaris perjuangan KH Ahmad Dahlan saat ini, yang
menjadi kader Persyarikatan Muhammadiyah, meniru ketegasan ulama tersebut,
terutama dalam mencegah upaya-upaya kelompok yang merusak akidah!
(Artawijaya)