Anda di halaman 1dari 31

Nama : Shella Salsabila

Kelas : IX F

Profil Singkat KH. Ahmad Dahlan

Lahir: 1 Agustus 1868, Yogyakarta, Indonesia


Meninggal: 23 Februari 1923, Yogyakarta, Indonesia
Pasangan: Siti Walidah - Nyai Ahmad Dahlan
Orang tua: KH Abu Bakr (Ayah) dan Nyai Abu Bakr (Ibu)
Anak-anak:

Laki-laki: Dandanah, Irfan Dahlan, Siradj Dahlan.

Perempuan: Djohanah, Siti Aisyah, Siti Zaharah, Siti Busyro.

Organisasi Yang Didirikan: Muhammadiyah, 'Aisyiyah


Penghargaan: Pahlawan Nasional

Biografi KH. Ahmad Dahlan


KH. Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu
Bakar, ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta saat itu. Ibunya adalah
putri H. Ibrahim, yang juga bekerja sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta. Sejak kecil,
pendidikan agama Islam sudah ditanamkan oleh sang ayah kepada Ahmad Dahlan yang terlahir
dengan nama Muhammad Darwisy. Karena itulah, Ahmad Dahlan kemudian pergi ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji sebagai pengabdiannya pada agama Islam.

Usai menjalankan ibadah haji, Ahmad Dahlan menetap di Mekkah selama 5 tahun untuk
memperdalam ilmu agamanya. Ia berguru ilmu agama kepada siapa saja karena bagi beliau, ilmu
bisa didapatkan dari siapa pun. Di antara gurunya terdapat Muhammad Abduh Al-Afghani,
Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Tidak lama setelah kembali ke tanah air, Muhammad Darwis
mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan dan juga menikah dengan Siti Walidah (sepupu
beliau).Siti Walidah kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan yang juga merupakan seorang
Pahlawan Nasional.
Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam (SI) sebelum akhirnya
Ahmad Dahlan membentuk organisasi bernapaskan Islam bernama Muhammadiyah pada 18
November 1912 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Namun, Ahmad Dahlan menegaskan bahwa
organisasi yang dibentuknya ini bukan bersifat politik, melainkan organisasi yang bersifat sosial
dan bergerak di bidang pendidikan. Ahmad Dahlan mencoba menerapkan Muhammadiyah untuk
aktif melakukan dakwah dan pendidikan yang disemangati oleh nilai-nilai pembaruan dalam Islam.
Pada awalnya, Muhammadiyah banyak ditentang dan dianggap menyalahi agama Islam. Bahkan
KH. Ahmad Dahlan difitnah sebagai Kyai Palsu dan Kyai Kafir. Namun, berkat usaha dan kerja
keras Ahmad Dahlan yang dibantu oleh kawan-kawannya, Muhammadiyah tetap berdiri tegar dan
membantu perjuangan kemerdekaan.
Karena pengikut Muhammadiyah terus berkembang pesat maka KH. Ahmad Dahlan memohon izin
badan hukum untuk Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia Belanda pada 20 Desember 1912,
sayang permohonan tersebut ditolak. Dengan semangat dan kegigihan beliau, pada 22 Agustus
1914 turunlah izin dari Belanda, namun khusus untuk wilayah Yogyakarta saja. Hal ini dikarenakan
ada kekhawatiran dari pihak Belanda bahwa Muhammadiyah berkembang sangat pesat. Benar
saja, sekitar tahun 1921 Muhammadiyah sudah berkembang hampir di seluruh Indonesia. Dengan
adanya Muhammdiyah, kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Yogyakarta sudah lebih
maju dalam hal pemikiran, maupun kehidupan sosialnya.
Semakin hari organisasi Muhammadiyah semakin berkembang dan menjadi salah satu organisasi
sosial yang bermanfaat dan banyak membantu masyarakat. KH. Ahmad Dahlan memimpin
Muhammadiyah dengan demokratis. Dia selalu memberi kesempatan kepada para anggotanya
untuk selalu dapat berpartisipasi memberi masukan dan ide demi kemajuan organisasi
Muhammadiyah. Pada tanggal 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan wafat dalam usia 54 tahun di
Yogyakarta dan dimakamkan di Karangkajen.
Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pergerakan yang banyak berjasa bagi bangsa dan agama.
Beliau merupakan salah satu tokoh pembaruan Islam yang demokratis. Atas jasa dan
perjuangannya itu, pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan. Beliau adalah salah satu tokoh
pelopor yang peduli pada kehidupan sosial masyarakat dan patut menjadi contoh dan teladan.
Pada tanggal 27 Desember 1961, KH. Ahmad Dahlan resmi menjadi Pahlawan Indonesia.

Nama : Sri Wahyuni


Kelas : IX F
Biografi dan Profil KH. Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad Dahlan
adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Pendiri Muhammadiyah ini
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka
di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang
Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH.
Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Masuk Organisasi Budi Utomo
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaranpelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna
bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai
Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang
bersifat permanen.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa
tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia. Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan
dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912
(8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui
organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Madrasah Muhammadiyah Pertama

Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan
panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an
dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan
Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan
Quran itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari
Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan
suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu,
yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan
menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolahsekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda.
Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun
memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan
dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan
sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk
kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari
Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan
perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.
Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal
dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari
baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan
ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Novel Sang Pencerah Ahmad Dahlan
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang
merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader
terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif.
Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada
saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering
diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.
Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai
kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu
pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko. Dengan
penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya. Tujuan
mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya.
Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai
Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para
sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada
Muhammadiyah.
Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan
dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.
Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah
bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara

menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.


Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27
Desember 1961.

Nama : Raudatun Nazifah


Kelas : IX F
Biografi dan Profil KH. Ahmad Dahlan

Nama Lengkap : Ahmad Dahlan


Alias : Muhammad Darwis
Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Kauman, Yogyakarta
Tanggal Lahir : Sabtu, 1 Agustus 1868
Zodiac : Leo
Warga Negara : Indonesia
Istri : Siti Walidah, Nyai Abdullah, Nyai Rum, Nyai Aisyah Cianjur, Nyai Yasin Pakualam
Yogyakarta
Anak : Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah,
Dandanah
BIOGRAFI
K.H. Ahmad Dahlan merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir di suatu
daerah bernama Kauman yang tepatnya berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus
1868. Beliau merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dengan ayah bernama K.H.

Abu Bakar. Ibu beliau bernama Siti Aminah yang merupakan putri dari H. Ibrahim yang
pada masa itu menjabat sebagai penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. K.H.
Ahmad Dahlan lahir dengan nama kecil Muhammad Darwis. Beliau adalah generasi ke12 dari salah seorang walisongo yang terkemuka dalam mendakwahkan Islam di daerah
Gresik yang bernama Maulana Malik Ibrahim.
K.H. Ahmad Dahlan telah menunaikan haji ketika beliau masih berusia 15 tahun dan
menetap di kota Mekah selama 5 tahun. Selama di Mekah, beliau memperdalam ilmu
agama dan juga berinteraksi dengan Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan
Ibnu Taimiyah yang memiliki pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam. Pada tahun
1888 beliau kembali ke kampung halaman dan mengubah nama beliau dari Muhammad
Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Beliau kembali ke Mekkah dan menetap selama dua
tahun di sana pada tahun 1903. Selama dua tahun di Mekkah, beliau sempat berguru
kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri
NU.
Sekembalinya beliau dari Mekkah pada tahun 1912, beliau mendirikan Muhammadiyah di
kampung halamannya, Kauman, Yogyakarta. Baru pada tahun 1921 Muhammadiyah
diberi izin oleh pemerintah untuk mendirikan cabangnya di daerah lain. Kemudian beliau
melakukan banyak usaha besar yang terarah, seperti mendirikan rumah pengobatan,
rumah sakit, panti asuhan, pemeliharaan kaum miskin, sekolah, serta madrasah setelah
Muhammadiyah kukuh berdiri. Sebelum beliau mendirikan Muhammadiyah, beliau pernah
tercatat dalam anggota Boedi Utomo dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1896, nama K.H. Ahmad Dahlan menjadi pembicaraan khususnya di
Yogyakarta, karena beliau melakukan pembetulan terhadap arah kiblat pada langgarlanggar dan masjid-masjid di Yogyakarta. Pada masa itu kebanyakan tempat ibadah
menghadap ke arah Timur dan banyak orang yang melakukan sholat menghadap lurus ke
Barat. Beliau melakukan pembetulan tersebut dengan Ilmu Falak yang beliau kuasai.
Berdasarkan Ilmu Falak tersebut, arah kiblat Pulau Jawa seharusnya condong ke Utara
kira-kira 24,5 derajat.
Dalam perjalanan hidup K.H. Ahmad Dahlan, beliau sempat menikah sebanyak lima kali.
Dari istri pertama beliau yang bernama Siti Walidah yang juga sepupu beliau sendiri,
beliau mendapatkan enam keturunan. Anak-anak beliau dari Siti Walidah adalah
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Istri
pertama beliau, Siti Walidah,juga merupakan seorang Pahlawan Nasional yang juga
pendiri Aisyiyah dan lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dalam pernikahan yang
kedua, beliau menikahi Nyai Abdullah janda dari H. Abdullah. Pernikahan ketiga beliau
dengan adik dari Kyai Munawwir Krapyak yang bernama Nyai Rum. Dari pernikahan
beliau yang keempat dengan Nyai Aisyah Cianjur adik Adjengan Penghulu, beliau
dianugerahi seorang putra yang diberi nama Dandanah. Pernikahan beliau yang terakhir
adalah dengan Nyai Yasin Pakualam Yogyakarta.
K.H. Ahmad Dahlan mengalami gangguan kesehatan sejak tahun 1922 karena mobilitas
beliau yang begitu tinggi. Dengan saran dokter, pada tahun 1923, beliau menyempatkan
diri untuk beristirahat di Gunung Tretes, Malang, Jawa Timur, sebelum akhirnya beliau
kembali ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat tahunan Muhammadiyah. Dalam
pembukaan rapat tahunan tersebut, beliau masih sempat untuk memberikan sambutan.
Kesehatan beliau terus menurun hingga akhirnya beliau meninggal pada tanggal 23
Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, serta diberi gelar Pahlawan
Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Biografi Walisongo

1. Walisongo Maulana Malik Ibrahim


Walisongo yang pertama adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau diperkirakan lahir di
Samarkan, Asia Tengah pada paruh awal abad ke 14. Maulana malik Ibrahim ini kadang
disebut juga sebagai syekh Maghribi. Bahkan, ada juga sebagian rakyat yang
menyebutnya sebagai kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim yang merupakan saudara kandung Maulana Ishak merupakan
anak dari seorang ulama Persia, Maulana Jumadil Kubro yang diyakini juga sebagai
keturunan ke-10 dari cucu Nabi Muhammad, Syayidina Husein. Pernah bermukim di
Campa (sekarang Kamboja) pada 1379, beliau akhirnya meninggalkan keluarganya dan
hijrah ke tanah jawa pada 1392.
Tanah Jawa yang pertama kali disinggahi oleh Maulana Malik Ibrahim adalah desa
Sembalo (sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, sekitar 9 km dari utara
Kota Gresik). Adapun aktivitas pertama maulana Malik Ibrahim di tanah ini bukanlah
berdakwah, melainkan menyediakan diri mengobati masyarakat secara gratis. Usai
mendapatkan hati masyarakat, barulah Maulana Malik Ibrahim memulai misi dakwahnya
dengan membangun sebuah pondok pesantren di Leran.
2. Walisongo Sunan Ampel
Sunan Ampel memiliki nama kecil Raden Rahmat. Beliau lahir di Campa pada 1401
Masehi. Sunan Ampel merupakan putra tertua Maulana Malik Ibrahim. Nama Ampel
sendiri diidentikan dengan nama daerah tempat beliau menyebarkan agama Islam, yakni
daerah Ampel, yang kini merupakan bagian dari Surabaya.

3. Walisongo - Sunan Giri


Sunan Giri merupakan anak dari Maulana Ishak, saudaranya Maulana Malik Ibrahim.
Selama tinggal di Jawa. Sunan Giri menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel.
Barulah setelah merasa cukup ilmu, beliau membangun pondok pesantren di daerah
perbukitan desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dari sanalah beliau memulai misi
menyebarluaskan islam.
4. Walisongo - Sunan Bonang
Sunan Bonang merupakan anak dari Sunan Ampel. Dengan demikian, Sunan Bonang ini
merupakan cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Sunan Bonang ini dilahirkan dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Mulia pada 1465 M di daerah Tuban. Tak hanya sebagai
tempat kelahirannya saja, Tuban juga kemudian menjadi pusat penyebaran agama islam
oleh Sunan Bonang.
5. Walisongo Sunan Kalijaga
Sunan kalijaga memiliki nama kecil Raden Said. Ia dilahirkan pada 1450 Masehi. Ayahnya
adipati Tuban, Arya Wilatikta. Sunan Kalijaga merupakan yang paling banyak disebut di
tanah Jawa, bahkan masyarakat Cirebon percaya bahwa namanya sendiri diambil dari
daerah Kalijaga yang terdapat di Cirebon.
6. Walisongo Sunan Gunung Jati
Masyarakat jawa sangat mengagumi Sunan gunung Jati. Bahkan sangat kagumnya
kepada beliau, banyak kisah yang menyebutkan bahwa beliau pernah mengalami
perjalanan spiritual Isra Miraj dan bertemu Muhammad saw (Babad Cirebon Naskah
Klayan hal.xxii).
7. Walisongo Sunan Drajat
Sunan Drajat merupakan anak dari Sunan Ampel. Tugas berdakwah yang pertamanya
beliau lakukan di pesisir Gresik, namun ia kemudian terdampar di sebuah dusun Jelog
(sekarang Lamongan).
8. Walisongo Sunan Kudus
Sunan Kudus merupakan murid Sunan Kalijaga. Beliau berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya
pun hamper sama dengan pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.
9. Walisongo Sunan Muria

Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal
terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara Kota Kudus. Gaya
berdakwahnya banyak meniru cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan
sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat
kota untuk menyebarkan agama Islam.
Biografi Wali Songo

1. Sunan Gunung Jati


Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah yang kemudian digelari dengan Sunan Gunung
Jati, beliau lahir pada tahun 1448 / 1450 dan wafat pada tahun 1569 Masehi, ayah beliau
bernama Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar (musafir dari Gujarat yang
hijrah ke jawa), terkenal dengan nama Syekh Maulana Akbar dan ibunya yaitu Nyai Rara
Santang (Putri Prabu Siliwangi). Makam beliau terletak di Gunung Sembung, Desa
Astana, Kec. Gunung Jati, Kab. Cirebon, Jawa Barat
Keterangan Lain menyebutk beliau termasuk keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW
2. Sunan Kali Jaga.
Nama asli beliau yaitu Raden said, dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan
Sunan Kalijogo, beliau lahir sekitar tahun 1450, namun mengenai wafatnya tidak ada
sumber menyebutkannya mengenai waktunya. Nama ayahnya bernama Tumenggung
Wilwatikta (Adiapti Tuban), dan dari keturuanan ibu tidak ada yang menyebutkan siapa
ibu beliau. Makam beliau terletak di Desa Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Dalam menyebarkan agama Islam beliau Terkenal menggunakan kesenian sebagai
media dakwah, (Wayang dan Suluk) Pencipta lagu lir ilir dan gundul-gundul pacul.
Beberapa muridnya yang terkenal adalah Sunan Bayat (Klaten), Sunan Geseng (Kediri),
Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak)
3. Sunan Kudus.
Nama Asli belua adalah Jafar Shodiq dan kemudia dipanggil dengan panggilan Sunan
Kudus. Beliau wafat pada tahun 1550 Masehi dan Beliau dimakamkan di Kota Kudus,
Jawa Tengah Ayah beliau bernama Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan ibu
bernama Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai
Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Beliau dimakamkan di Kota Kudus, Jawa Tengah.
Beliau termasuk Keturunan ke 24 Dari Nabi Muhammad SAW dan Pernah menjadi
panglima perang kerajaan demak
4. Sunan Muria

Nama Aslinya Raden Umar Said, menenai kapan lahir dan wafatnya tidak ada sumber
yang sahih menyebutkannya, akan tetapi dimana dimakamkannya beliau dimakamkan
Gunung Muria, Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Beliau
termasuk keturunan Sunan Kalijaga dan sunan kalijaga sendiri sebagai ayahandanya
dengan ibunya bernama Dewi Sarah (Adik Sunan Giri) binti Maulana Ishaq. Beliau
Terkenal sangat dekat dengan rakyat jelata
5. Sunan Bonang
Nama Aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim yang dipanggil dengan kanjeng Sunan
Bonang. Lahir beliau pada tahun 1465 Masehi dan wafatnya pada tahun 1525 M dan
dimakamkan di Tuban, Jawa Timur. Ayah beliau adalah Sunan Ampel dan ibunya Nyai
Ageng Manila (Putri Addiapti Tuban Arya Teja). Keterangan menyebutkan beliau
Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan beliau juga adalah
Pengarang tembang tombo ati
6. Sunan Derajat
Nama Aslinya Raden Qosim dilahirkan pada tahun 1470 M yang kemudian wafat pada
tahun 1522 M. beliau juga termasuk anak dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila (Putri
Addiapti Tuban Arya Teja). Makam beliau ada di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kab.
Lamongan, Jawa Timur dan beliau Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad
SAW, Pencipta tembang Macapat Pangkur.
7. Sunan Gresik
Nama Aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkandy (Asia Tengah) awal
abad 14 dari Maulana Jumadil Kubro (Keturunan ke 10 dari Husein / Cucu Nabi
Muhammad SAW) dan wafat pada tahun 1419 Masehi kemudian dimakamkan di Desa
Gapuro Wetan, Kota Gresik, Jawa Timur. Menurut keterangan beliau Merupakan
keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW dan juga Merupakan Walisongo paling tua /
pertama.
8. Sunan Giri.
Nama Aslinya adalah Raden Paku / Raden Ainul Yaqin lahir di Blambangan, 1442 M.
Ayah beliau adalah Maulana Ishak dan ibunya Dewi Sekardadu, (Putri Prabu Menak
Sembuyu, Raja Blambangan), beliau Wafat pada tahun1506 M dan dimakamkan di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur . beliau Merupakan keturunan
ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan Pencipta mainan cublak-cublak suweng
9. Sunan Ampel
Nama Aslinya adalah Raden Rahmad yang kemudian digelari dengan pangggilan Sunan
Ampel lahir di Champa (Kamboja) 1401 Masehi dari ayah yaitu Sunan Gresik / Maulana
Malik Ibrahim dan ibu beliau adalah Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari
Dinasti Ming. Beliau wafat pada tahun 1481 M dan makam beliau ada di Sebelah Barat
Masjid Sunan Ampel, Desa Ampel, Kota Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan
keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW, Beliaulah yang mengenalkan istilah Molimo
(moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), 2 Orang muridnya yang
sangat terkenal yaitu mbah sholeh (Penjaga Masjid Ampel yang makamnya ada 9) dan

mbah bolong (Melubangi pengimaman untuk melihat kabah/arah kiblat dalam


pembangunan Masjid Ampel).

Biografi WaliSongo

1. Maulana Malik Ibrahim


Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di
Samarkan, Asia Tengah, pada awal abad 14. maulana Malik Ibrahim juga kadang juga
disebut Syekh Maghribi dan Kakek Bantal. Ia adalah anak dari Maulana Jumadil Kubro.
Maulana Malim Inrahim pernah bermukim di Campa, selama 13 tahun, dan ia menikahi
putrid raja yang memberinya 2 putra. Mereka adalah Sunan Ampel dan Raden Santri.
Pada tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan
keluarganya.
2. Sunan Ampel
Ia putra tertua Maulana Malik Ibrahim, lahir di Campa pada 1401 Masehi. Sunan Ampel
masuk Jawa pada tahun 1443M bersama Raden Santri. Sunan Ampel menikah dengan
putrid seorang adipati di Tuban, dan di karuniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya
adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan
Kesultanan Demak, Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah Untuk menjadi Sultan
Demak pada tahun 1475M.
Di Ampel Denta ia membangun pondok pesantren. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menladi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara dan mancanegara. Sunan Ampel menganut Fiqih mahzab Hanafi. Dialah yang
mengenalkan istilah Mo Limo (moh main, moh ngombe, moh madon, moh maling, moh
madat). Yakni seruan untuk tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak berzina, tidak
mencuri dan tidak memakai narkoba. Sunan Ampel wafat pada tahun 1481M di Demak
dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel Surabaya.
3. Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri Lahir di
Balmbangan (Banyuwangi) pada 1442M. Semasa kecilnya ia pernah di buang oleh
keluarga ibunya yaitu Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut oleh Nyai
Semboja. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren Sunan Ampel, Ia sempat berkelana
ke Malaka & Pasai.Setelah itu ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa
Sidomukti, selatan Gresik. Pesantren itu berkembang menjadi salah satu pusat
kekuasaan yang disebut juga Giri Kedaton.
4. Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir pada tahun
1465M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila. Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan
Kalijaga, sangat toleran pada budaya setempat. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan symbol-simbol Hindu-Budha. Hal itu
terliaht dari arsitektur masjid Kudus.
5. Sunan Kalijaga
Ia lahir sekitar tahun 1450M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban yang
menganut agama Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Sunan Kalijaga
pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Masa hidup
Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ia ikut merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang tatal (pecahan
kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
6. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448M.
ibunya adalah Nyai Rara Santang dan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana
Huda. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama
Mesir. Ia mendirikan Kesultanan Cirebon atau Kesultanan Pakungwati. Dalam
berdakwah, ia mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulanan Hassanudin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten.
7. Sunan Drajat
Nama kecilnya adalah Raden Qosim, Ia adalah anak dari Sunan Ampel dan lahir pada
tahun 1470M. sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah
ke pesisir Gresik, melalui laut dan setahun kemudian Sunan Drajat berpindah 1km ke
selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur. Sunan Drajat secara langsung
dan tidak banyak mendekati budaya local, tapi ia tetap menggunakan seni yaitu seni
suluk.Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di
pondok pesantrennya ia banyak memelihara anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
8. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jafar Sadiq. Ia putra Sunan Ngudung dan Syarifah. Sunan Ngudung
adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Sunan Kudus
banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya sangat toleran pada budaya
setempat. Caranya adalah denagn memanfaatkan symbol Hindu-Budha.
Sunan Kudus juga mengubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan demikianlah Sunan Kudus mengikat Masyarakatnya.
9. Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto.
Gayanya berdakwah banyak mengambil cara ayahnya. Namun berbeda dengan sang
ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata sekaligus mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.

Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun


rumitnya masalah itu. Solusinya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang
berseteru. Sunan Miuria berdakwah di Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan
Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinim dan Kinanti

Biografi Abdur Rauf Singkel

Syekh Abdurrauf Singkil ( - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh
yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan
Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala
(bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Masa muda dan pendidikan
Abdurrauf Singkil lahir di Singkil, Aceh pada 1024 H/1615 M, beliau memiliki nama lengkap
Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat,
keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada
akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian
juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan
ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah
untuk mendalami agama Islam.
Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu Islam, selain 27 ulama
terkemuka lainnya.

Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha
(Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi keislamannya dimulai
di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir.
Hasil karya
Sepanjang hidupnya, tercatat Syiah Kuala sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari
satu kitab tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih, dan selebihnya kitab tasawuf. Bahkan Tarjuman alMustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir Syiah Kuala yang pertama dihasilkan di
Indonesia dan berbahasa Melayu.
Namun di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi
kemajuan Islam di nusantara, yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini ditulis ketika
Syiah Kuala masih berada di Aceh. Kitab ini beredar di kawasan Melayu-Indonesia, bahkan luar
negeri.
Diyakini banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di
Melayu. Selain itu, kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir
Alquran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.
Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam, Seulimum, Aceh Besar.
Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan Ulama Aceh di
Tengah Konflik yang berdasarkan hasil penelitian Al Yasa Abubakar.
Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab. Bahkan
salah satu kitab yang dikarangnya diabadikan oleh Profesor A. Meusingge dalam buku yang wajib
dibaca mahasiswa Koninklijke Academic Delft, Leiden. Di dalam buku tersebut diulas isi kitab AsSingkili yang berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari'yyah li al Malik al-Wahhab.
Mufti kerajaan
Selain sebagai penulis yang produktif, Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercayakan sebagai mufti
kerajaan Aceh pada masanya. Pengaruhnya sangat besar dalam mengembangkan Islam di Aceh
dan meredam gejolak politik di kerajaan tersebut. Salah satu kebijakan populis pada abad
pertengahan adalah restunya terhadap kepemerintahan ratu-ratu di Aceh.
Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi
adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang
pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan
terjemahan dan tafsir Al-Quran bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil
Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Pengajaran dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta
mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak
dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal
ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat
dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
Mir'at al-Thullab f Tasyil Mawa'iz al-Bad'rifat al-Ahkm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di
bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Quran yang lengkap berbahasa
Melayu.

Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Bad', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin il Masyrah al-Muwahhidin al-Qilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan
tentang konsep wahdatul wujud.
Daqiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di
samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15
Km dari Banda Aceh. Namanya kini dilakabkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau
Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh.
Keberadan makam
Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. Satu berada di Desa Deah Raya,
Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil. Makam di Singkil
berada di bibir Krueng Singkil. Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun
dari luar daerah seperti Sumatera Barat.
Sementara di Banda Aceh, lokasi makam Syiah Kuala berada di bibir Selat Malaka. Seperti halnya
di Singkil, lokasi makam ini juga banyak dikunjungi peziarah. Bahkan makam dijadikan sebagai
lokasi wisata religi di Tanah Rencong oleh pemerintah daerah.

Biografi Abdur Rauf Singkel

Asalasah ~ Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh
1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh
yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya.
Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya
Syekh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.
Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang
dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula
belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan
Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses
pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama
Islam.

Kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala
membangun jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga
dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu lahir saja tetapi juga ilmubatin.
Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang
sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.
Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di
seantero ranah Melayu dan dunia Islan international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf
Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur
Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai
tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di
Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama
universitas di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung
jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya
orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah
kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani,
Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.
Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayan (Madrasah)
Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke
sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di
sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan
juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin
oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli
Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa
Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia
Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
http://asalasah.blogspot.com/2013/03/syekh-abdurrauf-ulama-besar-dan-terkenal-dariaceh.html
Sultanah Safiatuddin Tajul Alam
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai
perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang
dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak
belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh
ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia
menjadi ladang pencarian ilmu secara informal.
Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di
Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh
Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah.
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu lahir dari Syeikh
Ibrahim bin Abdullah Jaman di Bait al faqih dan Mauza. Lewat gurunya ini, ia berkenalan
dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani.
Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang
gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.

Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat


Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun
berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling
terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi,
Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata
yang berbunyi Adat bak peutus Merehom, Humkom bak Syiekh di Kuala maksudnya,
Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh
Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf
dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika
gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara
itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah
menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama
terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari
(meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: Maka adalah saya
Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil
pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib
waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan
khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh
Abdurrauf.
Biografi Abdur Rauf Singkel

A. Riwayat hidup syeh abdur rauf as-singkili/syiah kuala


Ulama terakhir yang terkenal dalam pemerintahan kerajaan aceh Darussalam adalah syeh abdul
rauf al-singkili. Nama panjang nya adalah SYEH ABDUR RAUF BIN ALI AL-JAWI AL-FANSURI ALSINGKILI Ia merupakan salah satu ulama terkemukayang pernah hidup pada empt masa
kesultanah ratu aceh. Dia lahir pada saat pemerintahan kekuasaan iskandar muda mulai
mengalami kejatuhan pada tahun 1615 di fansur lalu dibesarkan di singkil, daerah selatan aceh.
Pada abad ke-17 M. Ayahnya adalah syeh ali alfansuri, yang masih bersaudara dengan syeh
hamzah fansuri. A.rinkes memperkirakan bahwa abdul rauf as-singkili lahir pada tahun 1615 M. ini
didasarkan perhitungan, ketika abdul rauf kembali dari mekah, usianya antara 25 dan
30ntahun.Namun, Namun abdulhadi menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena abdul
rauf berada dimekkah sekitar 19 tahun, dan kembali ke aceh pada 1661. Bila usia 30 tahun ia
kembali dari mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.
Hampir seluruh masa studi nya dhabiskan di berbagai pusat studi islam di jazirah arab. Pada
waktu syeh abdur rauf pergi ke arab, saat itu perdebatan teologis yang disebabkan oleh tuduhan
Nuruddin Ar-raniry terhadap ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fansury dan
Syamsuddin as-samatrani sedang mencapai puncaknya di aceh . Karena abdurrauf tidak begitu
menguasai persoalan teologis, ia mengembara pusat-pusat kajian islam untuk mendalami ilmu
tersebut. Sehingga Abdurrauf dalam pendidikannya pernah menghabiskan waktu selama 19 tahun

di arab dan berguru pada lebih 15 ulama terkemuka disana. Selama menuntut ilmu agama islam
dijazirah arab abdurrauf mampu membangun hubungan baik dengan guru-gurunya di beberapa
pusat studi dimekkah,Jeddah,bayt al-faqih,zabid, dan madinah. Selama disana ia belajar antara
lain Ahmad al-qusyasyi dimadinah, setelah itu dengan murid qusyasyi, Ibrahim al-kurani. Dengan
qusyasyi al-singkili mempelajari ilmu tasawuf da ilmu-ilmu lainnya. Sebagai tanda selesainya
pelajaran tasauf Al-qusyasyi menunjukkan nya khalifah tarekat syathariah dan qadiriah.
Disebutkan hubungan sa-singkili dal al-qusyasyi memang sangat baik. Sebuah riwayat mengenai
syatariah disumatra barat menyatakan as-singkili belajar dan mengabdi kepada alqusyasyi selama
beberapa tahun. Sementara guru as;singkili Ibrahim alkurani, secara intelektual telah member
andil terbesar bagi kehidupan as-singkili. Tidak hanya dalam bidang pemikiran, etapi juga dalam
bidang tingkah laku dan kepribadian. Dengan kata lain bagi as-singkili Al-qusyasyi lebih
merupakan gurur spiritual dan mistik, sementara alkurani lebih menjadi guru intelektual.
B. Syeh abdurrauf as-singkili kembali ke aceh
Abdurrauf as-singkili kembali ke aceh pada tahun 1661 M ketiak itu kerajaan aceh telah dipimpin
oleh ratu Sri sultan Taj al-alam Safiatuddin Syah. Tantangan yang dihadapi oleh abdurrauf tidak
gampang, dan trauma akibat fatwa ar-raniry masih belum reda. Sebagai seorang sufi dan khalifah
tariqat syattariah, peran yang diamainkan oleh abdurrauf terkadang sangat riskan. Apalagi ratu
safiatuddin saat itu meminta syaikh abdurrauf untuk menulis kitab fiqh terlengkap sebagai
pegangan hokum bagi istana kerajaan aceh. Pemintaan sang ratu safiatuddin dipenuhi abdurrauf
dengan menulis sebuah kitab yang diberi judul, Miratul tullab yang selesai pada 1074/1663. Kitab
ini mengemukakan tentang aspek muamalat dari fiqh, termasuk kehidupan politik , social ,
ekonomi , dan keagamaan kaum muslim. Melalui kitab ini pula ia menjelaskan kepada kaum
muslim melayu bahwa doktrin-doktrin hokum islam tidak terbatas pada ibadah, tatapi juga
mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka.
Dalam karya fiqhnya mi.ratul tullab, dia tidak membahas masalah dari pertanyaan-pertanyaan
yang dilemparkan secara langsung . Seperti ketika ditanya syarat-syarat untuk menjadi
hakim(penguasa) As-singkili tampaknya secra sengaja tidak memberikan terjemahan melayu untuk
kata dzakar(laki-laki). Kalau begitu ia dianggap memkompromikan integritas intelektualnya bukan
hanya dengan menerima pemerintahan seorang perempuan tpi juga tidak memecahkan masalah
itu dengan cara yang lebih layak.
Pemecahan seperti kasus di atas dapat dianggap as-singkili sebagai indikasi lebih jauh dari
toleransi pribadinya sehingga semakin besar membuka peluang hakim itu dari kelompok
perempuan yang sebelumnya hal ini sangat jarang terjadi di dunia islam .
Oleh sebab itu setelah abdurrauf meinggal pada tahun 1693 , ratu terkhir yaitu ratu keempat
memeimpin kerajaan aceh Sultanah Kamalat Syah diturunkan dari tahtanya berdasarkan fatwa
ulama dari mekkah bukan di aceh. Meskipun pada waktu itu fatwa tersebut telah ada saat
abdurrauf masih aktif . Mereka nampaknya menunggu kapan waktu tepat untuk mengumumkan
fatwa ulama dari mekah yang tidak membolehkan seorang wanita menjadi pemimpin dalam
sebuah kerajaan islam.
C. Pemikiran syeh abdurrauf
a.
Tasawuf
Dalam banyak tulisannay abdurrauf singkil menekankan tentang transendensi tuhan diatas
makhluk ciptaannya. Ia menyanggah pandangan wujuddiyah yang menekankan imajinasi tuhan
dalam makhluk ciptaannya. Dalam karyanya yang berjudul kifayat almuktajin abdurrauf
berpendapat bahwa sebelum tuhan menciptakan alam semesta ini Dia menciptakan Nur
Mugammad . Dari nur Muhammad inilah tuhan kemudian menciptakan permanent archetypes(alayan al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial yang menjadi sumber bagi exterior
archetypes, bentuk konkret makhluk ciptaan. Selanjutnya abdul rauf menyimpulkan bahwa
walaupun ayan al-kharijiyyah adalah emanasi (pancaran) yang mutlak ia tetap berbeda dari tuhsn.
Abdul rauf megumpamakan perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya. Walaupun tangan
sangat sukar untuk dipisahkan dari bayangannya tetapi bayangan itu bukanlah tangan yang
sebenarnya .
b.
Syariat
Abdul rauf singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. yang terpenting adalah mirat turab fi
tashil marifah al-ahkam al-syariyyah li al-malik al-wahab ( Cermin para penuntut ilmu untuk
memudahkan tahu hokum-hukum syara dari tuhan, bahasa melayu). kitab ini merupakan kitab

melayu terlengkap yang membicarakan syariat . sejak terbit kitab ini menjadi rujukan para kadi
atau hakim diwilyah kesultanan aceh . Dalam kitabnya ini, tidak membicarakan fiqih ibadat,
melainkan tiga cabang ilmu hokum islam dari mazhab Syafii, yaitu hokum mengenai perdagangan
dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hokum perkawinan, dan hokum tentang jinayat
atau kejahatan .
c.
Tafsir
Dalam bidang tafsir abdurrauf mengasilkan karya berjudul tarjuman al-musafid. Pada hakiktanya,
karya ini merupakan terjemahan melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-jalain. Karya ini
diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan
megambil agak banyak bagian dari tafsir al-baidawi dan al-kazin.
Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir braginsky mengangapnya sebagai terjemahan lengkap
al-Quran lengkap dalam bahasa melayu Yng pertama, yang seperti lazimnya bebentuk sebagai
tafsir dan bukan karangan eksegesis yang rinci .
d.
Sastra
Dalam sebuah naskah yang disalin dibukit tinggi pada 1859, diberitakan bahwa abdurrauf lah yang
telah mengarang syair marifat . Dalam syair ini dibahas tentang empat kompanen agama islam
yaitu iman, islam,tauhid, dan makrifat dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang
memahkotai keempat kompanen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya orang yang paham
akan makna semuanya yang layak disebut sebagai orang yang telah menganur agama yang
sempurna.

Biografi Arsyad Al Banjari

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan
nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 meninggal di
Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 6 Syawwal 1227 H)
adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan
Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah.
Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak
pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.
Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri
Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan
Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan
Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein
bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu
Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark
bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad

Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shamaah bin Alawi Abi
Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad
An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Jafar As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir
bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Muminin Ali
Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
Masa kecil
Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu
hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7
tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan
pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka
Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar
bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia
mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.
Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu
keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat
hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya
isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka,
setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan
cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara
guru beliau adalah Syekh Athoillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdi dan al-Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di
bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat
ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman.
Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang di arak barisan pepohonan aren yang
menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya
rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu
sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M,
sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada
masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan
digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan
Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat
menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap
rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga,
kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang
muridnya sehingga jadilah dia raja yang alim lagi wara. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari
tujuh isterinya.
Pengajaran dan bermasyarakat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah
membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lamakelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama
yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang
merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya
serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang
merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh
Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan
di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau
selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam
terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami
urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta
pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:
Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh
murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang
syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana
biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiranpikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Biografi Arsyad Al Banjari

Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang juga dikenal dengan nama Tuanta Salamakka dan
Datuk Kalampayan, lahir di Desa Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada 15
Safar 1122 H, bertepatan dengan 19 Maret 1710 M. Dia merupakan putra tertua dari lima
bersaudara, ayahnya bernama Abd Allah dan ibunya bernama Siti Aminah. Muhammad
Arsyad lahir di lingkungan keluarga yang terkenal taat beragama. Kondisi lingkungan
yang baik ini mempunyai andil yang besar dalam membentuk kepribadian Muhammad
Arsyad selanjutnya.
Ketika dia berumur sekitar tujuh tahun, Sultan Tahlil Allah (1700-1745 M), penguasa
Kesultanan Banjar pada waktu itu, meminta kepada orang tua Arsyad agar bersedia
menyerahkan anaknya untuk dididik dan dibesarkan di lingkungan istana sekaligus
diadopsi sebagai anak angkatnya. Keinginan ini dilakukan, karena Sultan tertarik dengan
kecerdasan dan ketrampilan Arsyad muda ketika mengadakan kunjungan kerja ke Desa
Lok Gabang. Meskipun Abd Allah dan Aminah, orang tua Arsyad, sebetulnya merasa
keberatan untuk melepaskan anak tertuanya itu untuk diadopsi sultan, namun mereka
tidak kuasa untuk menolak maksud baik Sultan. Merekapun menyerahkan anaknya
kepada Sultan untuk tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucu keluarga istana.
Muhammad Arsyad tinggal di lingkungan istana Kesultanan Banjar ini selama sekitar 23
tahun, karena pada umur sekitar 30 tahun dia merantau untuk menuntut ilmu di
Haramain; Mekkah dan Madinah. Ia belajar di Mekkah kurang lebih 30 tahun dan belajar
di Madinah kurang lebih 5 tahun. Dia kembali lagi ke Banjar pada Ramadhan 1186
H/Desember 1772.
Sebelum berangkat untuk menuntut ilmu ke Mekkah dan Madinah, Muhammad Arsyad
dikawinkan oleh Sultan dengan seorang wanita bernama Bajut yang ditinggalkannya
dalam kondisi hamil. Istrinya ini melahirkan seorang bayi perempuan yang kemudian
diberi nama Syarifah, ketika Muhammad Arsyad masih berada di perantauan, sibuk
menggeluti pelajaran-pelajarannya. Ketika Syarifah sudah beranjak dewasa, dia (sebagai
wali mujbir) mengawinkannya dengan sahabatnya sendiri, Abd Al-Wahab Bugis,

sedangkan Sultan (sebagai wali hakim) juga menikahkan dengan seseorang yang
bernama Usman (permasalahan ini dibahas lebih lanjut dalam pemikiran Syekh Arsyad
dalam Ilmu Falak).
Sekembalinya dari tanah suci, Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di
wilayah Kalimantan Selatan melalui jalur pendidikan, dakwah, tulisan dan keluarga.
Dalam jalur pendidikan, dia mendirikan pondok pesantren lengkap dengan sarana dan
prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya.
Dalam jalur dakwah, dia mengadakan pengajian-pengajian umum baik untuk kalangan
kelas bawah maupun kalangan istana. Dalam tulisan, dia aktif menulis kitab-kitab yang
bisa dibaca hingga sekarang.
Sedangkan dalam jalur keluarga, dia melakukan dakwah dengan mengawini para wanitawanita terhormat untuk mempermudah penyebaran Islam di masyarakat, sehingga dalam
catatan sejarah, ada sebelas orang isteri dalam kehidupannya. Dia mengawini para
isterinya tidak bersamaan dan tidak lebih dari empat orang dalam hidupnya, tetapi apabila
salah seorang isterinya meninggal, dia menikah lagi dan begitu seterusnya. Syekh Arsyad
dapat berlaku bijaksana dan adil terhadap para isterinya, sehingga mereka hidup rukun
dan damai. Isteri-isteri Syekh Arsyad tersebut adalah: 1. Bajut; melahirkan Syarifah dan
Aisyah. 2. Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Naim, dan Khalifah H.
Syahab Al-Din. 3. Lipur; melahirkan Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H. Abd
Allah, Abd Al-Rahman, dan alim al-fadhil Abd Al-Rahim. 4. Guwat (keturunan Cina; Go
Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain Al-Din, Rihanah,
Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad berusaha
menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya untuk
menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak bertentangan
dengan ajaran pokok Islam. 5. Turiyah; melahirkan Nurain, Amah, dan Caya. 6. Ratu
Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah, Muhammad, dan
Maryamah. 7. Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman. 8. Kadarmik. 9.
Markidah. 10. Liyyuhi, dan 11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak memberikan
keturunan (Kadir, 1976).
Syekh Arsyad melakukan dakwah di Banjar selama kurang lebih 40 tahun. Menjelang
ajalnya, dia menderita sakit lumpuh, darah tinggi, dan masuk angin dan akhirnya dia
meninggal dalam usia 105 tahun (hitungan tahun Hijriyah) atau 102 tahun (hitungan tahun
Masehi). Sebelum meninggal, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di
Kalampayan apabila sungai dapat dilayari. Namun apabila tidak bisa, dia minta
dikebumikan di Karang Tengah, tempat isteri pertamanya, Bajut dimakamkan. Ketika dia
meninggal, air sedang surut, maka wasiat pertamanya yang dilaksanakan. Dia meninggal
pada 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan, Astambul,
Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).

Biografi Singkat Arsyad Al Banjari

Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19
Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti
Aminah.
Jalur Nasab
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri
Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan
Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu Abu
Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash
Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh
keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula
Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali
Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad
Maula Shamaah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar
Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Jafar As Shadiq bin
Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al
Imam Amirul Muminin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah
SAW.
Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang
membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan tazim kepada kedua
orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah SWT juga
menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan
khat (kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke
kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan
manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa
pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui
kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk mengasuh dan
mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru berusia 7 tahun.

Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh. Arsyad. Pada mulanya
Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang
buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua,
maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam membawa diri, sifatnya
yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap
warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak
kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan
BAJUT, seorang perempuan yang taat lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan
saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho
Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muh. Arsyad
suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah
hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti
Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah
mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan citacitanya.Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara
guru dia adalah Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman alKurdi dan al-Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di
bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat
ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad
Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al
Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin
Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin
Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin
Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah
Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih
Jalaludin Aceh.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama
penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan
Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi
(Melayu).[10]
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk
menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan
agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya
masing-masing.
Menikahkan anak
Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada
saat itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung dia yaitu
Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa kabar berita
bahwa anak dia yaitu Fatimah sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada
dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan
lamaran untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad
memeutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran
Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.

Untuk itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan antara Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah
binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil
disaksikan dua sahabat lainnya.
Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah
Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang, kampung halaman Syekh
Abdussamad Al Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung
halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad diminta menetap
sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi. Salah satu peristiwa penting
selama di Betawi adalah ketika Syekh Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid
Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut,
masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara arab melayu
(tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh
Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.
Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar
menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.
Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung
halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah,
seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada
ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta
kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidulla II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap
rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga,
kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang
muridnya sehingga jadilah dia raja yang alim lagi wara.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa metode, di mana antara
satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun metode-metode tersebut, yaitu:
- Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan
tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
- Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga,
kerabat, sahabat dan handai taulan.
- Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman
penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental
adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia,
Brunei dan Pattani (Thailand selatan).

Biografi K.H. Hasyim Ashari

KH Hasyim Asyari lahir di Demak, Jawa Tengah. Beliau mendapat


pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman.
Setelah cukup besar, beliau juga ikut membantu mengajar. Kyai Hasyim
lalu belajar di berbagai pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Di
tahun 1892, K.H. Hasyim Asyari menunaikan ibadah haji dan menimba
ilmu di Mekah. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor,
Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kyai
Hasyim Asyari mendirikan pesantren di Tebuireng yang menjadi pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Bagi beliau, mengajarkan
agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan
utama perjuangan Kyai Hasyim Asyari.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya,
Kyai Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), yang berarti
kebangkitan ulama. NU berkembang dengan pesat dan menjadi wadah
meningkatkan kualitas umat serta sarana perjuangan melawan Belanda.
Pada masa awal pendudukan Jepang, Kyai Hasyim ditangkap karena alasan
yang tidak jelas. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa
bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala
Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya dengan terpaksa, tetapi ia tetap
mengasuh pesantrennya di Tebuireng. Setelah Indonesia merdeka, melalul
pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asyari membakar semangat para pemuda
supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia
meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 dan dimakamkan diTebuireng.

Tempat/Tgl. Lahir : Demak, 10 April 1875

Tempat/Tgl. Wafat : Tebu Ireng, 25 Juli 1947

SK Presiden : Keppres No. 294/TK/1964, Tgl. 17 November 1964

Gelar : Pahlawan Nasional

KH. Hasyim Asyari terpilih menjadi Rois Akbar NU, sebuah gelar yang
hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Di samping itu, beliau juga
menyusun qanun asasi NU yang mengembangkan paham ahli sunnah
waljamaah. KH Hasyim Asyari

Biografi K.H. Hasyim Ashari

KH Hasyim Asyari lahir di Demak, Jawa Tengah. Beliau mendapat


pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman.
Setelah cukup besar, beliau juga ikut membantu mengajar. Kyai Hasyim
lalu belajar di berbagai pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Di
tahun 1892, K.H. Hasyim Asyari menunaikan ibadah haji dan menimba
ilmu di Mekah. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor,
Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kyai
Hasyim Asyari mendirikan pesantren di Tebuireng yang menjadi pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Bagi beliau, mengajarkan
agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan
utama perjuangan Kyai Hasyim Asyari.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya,
Kyai Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), yang berarti
kebangkitan ulama. NU berkembang dengan pesat dan menjadi wadah
meningkatkan kualitas umat serta sarana perjuangan melawan Belanda.

Pada masa awal pendudukan Jepang, Kyai Hasyim ditangkap karena alasan
yang tidak jelas. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa
bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala
Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya dengan terpaksa, tetapi ia tetap
mengasuh pesantrennya di Tebuireng. Setelah Indonesia merdeka, melalul
pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asyari membakar semangat para pemuda
supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia
meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 dan dimakamkan diTebuireng.

Tempat/Tgl. Lahir : Demak, 10 April 1875

Tempat/Tgl. Wafat : Tebu Ireng, 25 Juli 1947

SK Presiden : Keppres No. 294/TK/1964, Tgl. 17 November 1964

Gelar : Pahlawan Nasional

KH. Hasyim Asyari terpilih menjadi Rois Akbar NU, sebuah gelar yang
hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Di samping itu, beliau juga
menyusun qanun asasi NU yang mengembangkan paham ahli sunnah
waljamaah. KH Hasyim Asyari

Biografi K.H. Hasyim Ashari

KH Hasyim Asyari lahir di Demak, Jawa Tengah. Beliau mendapat


pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman.
Setelah cukup besar, beliau juga ikut membantu mengajar. Kyai Hasyim
lalu belajar di berbagai pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Di
tahun 1892, K.H. Hasyim Asyari menunaikan ibadah haji dan menimba
ilmu di Mekah. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor,
Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kyai
Hasyim Asyari mendirikan pesantren di Tebuireng yang menjadi pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Bagi beliau, mengajarkan
agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan
utama perjuangan Kyai Hasyim Asyari.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya,
Kyai Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), yang berarti
kebangkitan ulama. NU berkembang dengan pesat dan menjadi wadah
meningkatkan kualitas umat serta sarana perjuangan melawan Belanda.
Pada masa awal pendudukan Jepang, Kyai Hasyim ditangkap karena alasan
yang tidak jelas. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa
bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala
Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya dengan terpaksa, tetapi ia tetap
mengasuh pesantrennya di Tebuireng. Setelah Indonesia merdeka, melalul
pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asyari membakar semangat para pemuda

supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia


meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 dan dimakamkan diTebuireng.

Tempat/Tgl. Lahir : Demak, 10 April 1875

Tempat/Tgl. Wafat : Tebu Ireng, 25 Juli 1947

SK Presiden : Keppres No. 294/TK/1964, Tgl. 17 November 1964

Gelar : Pahlawan Nasional

KH. Hasyim Asyari terpilih menjadi Rois Akbar NU, sebuah gelar yang
hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Di samping itu, beliau juga
menyusun qanun asasi NU yang mengembangkan paham ahli sunnah
waljamaah. KH Hasyim Asyari.

Anda mungkin juga menyukai