Anda di halaman 1dari 47

Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1

Agustus 1868 meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun)


adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari
tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang
ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa
itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga
menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

Latar belakang keluarga dan pendidikan


Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia
merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan
yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang
terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di
Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq,
Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen),
Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru
Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH.
Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun.
Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiranpemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya
tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang
juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya


sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai
Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai
Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]
KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.

Pengalaman organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan
yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan
profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan
mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah
diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga
dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi
Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad
SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin
mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal
18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan
bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga
mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi
agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniruniru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta
bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan
priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan
sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada
pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk

melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa


mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan
badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan
Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu
hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah
lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, AlMunir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat
pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta
sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, diantaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[5] Taqwimuddin,
Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam,
Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu
wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[6]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti
Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang
diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan
tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak
ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.[7]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad
Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga
melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata
mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di
Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan
kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini
dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September
1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota

Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin


dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota
(sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene
Vergadering (persidangan umum).

Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasardasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam
untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih
harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran
yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal
usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan
dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah)
telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Film
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sang Pencerah
Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah
diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya
menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita
tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam
merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan
dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar
belakang suasana Kebangkitan Nasional.[8]

Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 meninggal di Yogyakarta,


13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Ia adalah ketua umum Muhammadiyah
yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim adalah putra
dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan
Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan ia adalah adik
kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim adalah ulama yang hafal Al-Quran
(hafidh), ahli seni baca Al-Quran (qira'at), serta mahir dalam bahasa Arab. Pada
periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak didirikan di
berbagai tempat di Indonesia.

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei


1874. Ia adalah putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu
Hakim
Negeri
Kesultanan
Yogyakarta
pada
zaman
Sultan
Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan adik
kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias
Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan
Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. KH.
Ibrahim kemudian menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH.
Abdulrahman dan adik kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia
cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September
1998.
KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada
awal tahun 1934 setelah menderita sakit agak lama.

Pendidikan
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan
mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam
ilmu agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan
ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di

Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke
tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah
Setibanya di tanah air dari menuntut ilmu di Mekkah, KH. Ibrahim
mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, dan banyak orang
mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim memakai metode
sorogan dan weton. Sorogan adalah mengaji dengan diajar satu per satu,
terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu;
sedangkan weton adalah kyai membaca sedang santri-santrinya
mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian
dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam
menerapkan dua macam metode tersebut dipakai waktu yang berbeda,
yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara
sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul
17.00 dengan cara weton.
Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan agar kepemimpinan
Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mulamula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabatsahabatnya akhirnya ia bersedia menerimanya. Kepemimpinannya dalam
Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan
Anggota
Muhammadiyah
sebagai
Voorzitter
Hoofdbestuur
Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).
KH Ibrahim termasuk seorang yang cerdas, luas wawasannya, dalam
ilmunya dan disegani. Ia adalah seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan
ahli qira'ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai
seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan
kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah
orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah
al-'arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah
ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan
dalam bahasa Arab yang fasih.
Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah berkembang di
seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan
Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta,
seperti
Kongres
Muhammadiyah
ke-15
di
Surabaya,
Kongres
Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di
Solo,
Kongres
Muhammadiyah
ke-19
di
Bukittinggi,
Kongres
Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di
Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam
periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya
tempat
kongres
tersebut,
maka
Muhammadiyah
mengalami
perkembangan
yang
sangat
pesat,
bahkan
cabang-cabang
Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air di bawah
kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah agar rajin beramal
dan beribadah melalui sebuah perkumpulan yang diberi nama AdzDzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak
memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak
membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU,
Bagian Tabligh, dan bagian Taman Poestaka.
Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH.


Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan
patut dicatat adalah:

Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan


membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga
mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan
perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga
Muhammadiyah.
Dakwah
Muhammadiyah
juga
secara
gencar
disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928
mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin,
Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air,
yang kemudian di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR
Fachruddin, 1991).

Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa
kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu
badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung
di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan
gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan
beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada
tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar
(dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus
Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.

KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali
Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia lebih
banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk
mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di
samping itu, ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah untuk
semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan
kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula
dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.

Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah


dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah.
Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan
Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh
persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah untuk
mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosialbudaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB
mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang bertujuan

untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk


mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan
demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin
besar karena Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama
dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda.
Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam
kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabangcabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di
Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa
fitnahan tersebut tidak benar.

Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh


kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus memilihnya
sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah
Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah
yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Kiai

Haji Hisyam lahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November


1883 meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin
Muhamadiyah selama tiga tahun. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai
Ketua
Pengurus
Besar
Muhammadiyah
dalam
Kongres
Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah murid
langsung dari KH. Ahmad Dahlan.

Asal mula
KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November
1883.
Muhammadiyah
Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta
tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di
Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam
Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen
organisasinya.
Pada
periode
kepemimpinannya,
titik
perhatian
Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan
pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini
terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan
sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis
Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.
Sekolah Muhammadiyah
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka
sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan
menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana
volkschool

gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah


sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool
dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika
pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah
dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang
semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands
Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah untuk menyamai usaha
masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met
de Bijbel.
Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah
Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang
dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia
berpikir bahwa masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke
sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolahsekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah
sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu
yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula
dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus
memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang
didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan
dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada
periode Hisyam, maka pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah
memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollandsch-Inlandsche
School (HIS), dan 25 Schakel School, yaitu sekolah lima tahun yang akan
menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat
SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool
kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai
bahasa
Belanda
sebagai
bahasa
pengantar.
Sekolah-sekolah
Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
didirikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolahsekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.
Bantuan keuangan
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam mau
bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima
bantuan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat
sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolahsekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan
Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan
Syarekat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif.
Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat itu
merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari
masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut,
Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan

bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik


dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik
daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi
tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah
kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.
Pendidikan keluarga
Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di beberapa perguruan yang
didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru,
yang saat itu disebut sebagai bevoegd. Satu orang putranya menamatkan
studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan
studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut
merupakan sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda untuk
mendidik calon guru yang berwenang untuk mengajar sekolah HIS milik
pemerintah (gubernemen). Akhirnya mereka menjadi guru di HIS met de
Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.
Bintang jasa
Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat,
maka ia pun akhirnya mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial
Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje
Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan
Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam
sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.
Wafat
KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei 1945.

Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 meninggal di


Surabaja, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh
Islam dan pahlawan nasional Indonesia.
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari
keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama
KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal
di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan
Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib
di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.
Pendidikan
Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di
samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai
Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur
berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan
mendalami kitab Alfiyah ibnu Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia
belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia,
sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke
Surabaya.
Belajar di Mekkah dan Mesir
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang
tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah
pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan
Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi

politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif


Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan
Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas
Mansoer tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu
kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang
dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan
keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup
karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya
sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering
berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari
masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan
setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di
Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad
Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya
membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan
pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik
melalui media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan
kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa
dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang
lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah
dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke
Indonesia.
Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji
Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil
pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah,
Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek. Di samping
menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia
menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua
tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Bergabung dengan Sarekat Islam
Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari belajar di luar negeri ialah
bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami
baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu
munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal
baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada
saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai
organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat
Pengurus Besar SI.
Taswir Al-Afkar

Di samping itu, Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi bersama


Wahab Hasboellah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala
Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya
yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan
mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang
mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para
ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan
pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang
dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan
murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di
berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang
menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan,
Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang
bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl alWathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang
Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di
Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan
yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka
terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa
Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air
dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan
bangsa lain itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau
permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada masalah
khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara
Mas Mansoer dengan Abdoel Wahab Hasboellah mengenai masalahmasalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansoer keluar dari Taswir alAfkar.
Kepenulisan
Mas Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot.
Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa.
Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Soeara Santri. Kata santri
digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat
digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat
sukses yang gemilang. Djinem merupakan majalah kedua yang pernah
diterbitkan oleh Mas Mansoer. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan
menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut
merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak
para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan.
Melalui majalah itu Mas Mansoer mengajak kaum muslimin untuk
meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer
juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.

Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di


Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam
dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui
majalah-majalah, Mas Mansoer juga menuliskan ide dan gagasannya
dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja
Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Kegiatan di Muhammadiyah
Mulai aktif di Muhammadiyah
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam
organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya
dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah membawa
angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai
organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu
dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya,
yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi
Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut
adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
pada tahun 1937-1943.
Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober
1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansoer terpilih sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat
itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap
kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan
pendidikan,
yaitu
hanya
mengurusi
persoalan
sekolah-sekolah
Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama
Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa
Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu
KH. Hisjam (Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH.
Sjuja' sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di
Jogjakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak
memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di
lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi
dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo
diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia
yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada
Mas Mansoer (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya

Mas Mansoer menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia


menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda
dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa
Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap
aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah,
bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar
Muhammadiyah pada periode Mas Mansoer juga banyak didominasi oleh
angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.
Gaya kepemimpinan
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
meniscayakannya untuk pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya. Untuk
menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji,
melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah
tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer
juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar
Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga
dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari
Pengurus
Besar
Muhammadiyah
sebelumnya
yang
seringkali
menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing,
Mas Mansoer selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik
bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah
memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya.
Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu
Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang
tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut
Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang
dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat gebrakan
dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk
pula dicatat, Mas Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang
hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan
dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa
secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa
perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,
sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang
kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak
memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi
perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan
demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk
memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian
ummat Islam.
Kegiatan politik

Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak
melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang
cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis
Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah
yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai
berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya
sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas
Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat
diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke
Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan
kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang
yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan
dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali
ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh
Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Meninggal dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar
dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat
kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda
(NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di
Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk
itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai
Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH.
Fakhruddin.

Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo (lahir di


Jogjakarta, 24 November 1890 meninggal di Jakarta, 4 November 1954
pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di
kampung Kauman dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H
(24 November 1890). Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara
Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama
Islam di Kraton Yogyakarta.
Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di
pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya
dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang
bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa
Inggris dari seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad
Baig.
Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua
Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926),
dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia sempat pula aktif
mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu,
bersama kawan-kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal
Club (KVC), yang kelak dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul
Wathan (PSHW).
Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil
Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur
dipaksa Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki
Bagus menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini
dijabat hingga tahun 1953.
Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam anggota
BPUPKI dan PPKI. Ki Bagus Hadikusumo sangat besar peranannya dalam
perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan

ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok


pikirannya
dengan
memberikan
landasan-landasan
itu
dalam
Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
Ki Bagus aktif membuat karya tulis, antara lain Islam Sebagai Dasar
Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah
Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940),
Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Setelah meninggal, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur
(lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember
1895 meninggal 25 Maret 1985 pada umur 89 tahun) adalah
seorang tokoh dan pemimpin Muhammadiyah.

Pendidikan
Selain mendapatkan gemblengan agama, dia juga mendapatkan pendidikan formal. Adapun
pendidikan formal didapat sejak tahun 1902 saat menimba ilmu di Tweede Class School
(sekolah kelas dua), juga di Maninjau, hingga tahun 1909.
Kemudian atas rekomendasi dari controlleur Maninjau, Sutan Mansur melanjutkan
pendidikan ke Kweekschool (sekolah guru) di kota Bukitinggi. Akan tetapi karena sejak awal
Sutan Mansur sudah berkeinginan bersekolah di Mesir, maka dia memutuskan untuk belajar
ilmu agama terlebih dahulu kepada H Abdul Karim Amrullah, ayahanda Buya Hamka.

Karier
Pada saat perkumpulan Sumatera Thawalib dibentuk pada Februari 1918 di Padang Panjang,
oleh beberapa sejawat, Sutan Mansur sudah dipandang mampu berperan sebagai guru. Oleh
karenanya, Sumatera Thawalib langsung mengutusnya menjadi guru di Kuala Simpang,
Aceh, selama dua tahun.
Pindak ke Pulau Jawa Tahun 1920, dia pindah ke Pekalongan ketika cita-citanya untuk
menempuh pendidikan di Mesir tidak tercapai. Namun kekecewaannya tidak berlangsung
lama, sebab pada tahun 1922 Sutan Mansur bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Tokoh kharismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan tabligh
Muhammadiyah.
Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidupnya kemudian. Dia begitu terkesan
dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama.
Kepribadiannya yang lembut, bersahaja, serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati
dari banyak orang, termasuk dirinya.

Dari ulama itulah, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai Muhammadiyah.
Maka pada tahun yang sama, dia masuk menjadi anggota organisasi kemasyarakatan ini dan
sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH AR Fakhruddin
dan KH Mas Mansur. Dan kembali Sutan Mansur makin mengenal Islam tidak hanya dari
aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan, dan ekonomi dari dua tokoh
tadi.
Tahun 1923 dia menjadi guru serta mubaligh Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari pelbagai
kalangan, antara lain bangsawan Jawa (R Ranuwihardjo, R Tjitrosoewarno, dan R Oesman
Poedjooetomo), keturunan Arab, serta orang Minang perantauan yang menetap di Pekalongan
dan sekitarnya. Dua tahun kemudian dia kembali ke daerah kelahirannya sebagai mubaligh
Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera.
Mengembangkan Muhammadiyah Sejatinya, sebelum Sutan Mansur, pikiran-pikiran dari
Muhammadiyah sudah lebih dulu disebarluaskan oleh H Abdul Karim Amrullah, bahkan
beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Padang Panjang. Dengan
kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih
mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru
semakin pesat setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan
sejumlah alim ulama 'kaum muda'.
Di samping itu, selaku mubaligh tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan
mengadakan tabligh keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai dan Kuala
Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam lembaga Kulliyatul Muballigin yang
didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah.
Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi).
Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad
(penulis tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatera Barat),
Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.
Pada tahun 1930 diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah
satu keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan.
Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan Mansur
sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat hingga 1944. Kemudian atas
usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera setuju untuk mengangkat Sutan Mansur
selaku imam Muhammadiyah Sumatera.
Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih
sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada
Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas
pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP
Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan
khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan
dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu,
mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan

penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi
administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu
mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak
pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi
Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan
pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota
Muhammadiyah.

K.H.R. Muhammad Yunus Anis (Lahir: Yogyakarta, 3 Mei 1903, Wafat:


1979) adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah periode 1959-1962.
Pendidikan

Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta


Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia (Jakarta), bimbingan
Syekh Ahmad Syurkati.

Kehidupan
Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh
Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah
pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan.
Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu,
Yunus Anis diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Ia pernah
mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga
kepemimpinannya
semakin
terlihat
menonjol
dan
memperoleh
kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936
dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam.
Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi
demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan,
termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang
sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR
GR
sebenarnya
mengundang
banyak
kritik
dari
tokoh-tokoh
Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak
mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi,

serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun,


kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya
dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek,
melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat
Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Yunus Anis sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1959-1962. Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal
gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut
digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan
diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang
bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

KH Ahmad Badawi (lahir di Yogyakarta, 5 Februari 1902 meninggal di


Yogyakarta, 25 April 1969 pada umur 67 tahun), adalah mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965
Pendidikan

Santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, 1908-1913.


Santri di Pondok Pesantren Termas, Pacitan (K.H. Dimyati), 19131915.

Santri di Pondok Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan, 1915-1920.

Santri di Pondok Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di


Semarang pada tahun 1920-1921

Madrasah Muhammadiyah Standaarschool.

Karier

Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963).


Imam III Angkatan Perang Sabil (APS), 1947-1949.

Anggota laskar rakyat(instruksi Sri Sultan Hamengku Buwono

Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta, 1950.

Anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1968.

Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah,1933

Kepala Madrasah Zai'mat,1942

Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi


Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965

Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi


Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.

Karya
1. Pengadjian Rakjat
2. (Jawa) Kitab Nukilan Sjuabul-Imam
3. (Jawa) Kitab Nikah (huruf Arab Pegon)
4. (Jawa) Kitab Parail (huruf Latin)
5. (Jawa) Kitab Manasik Hadji
6. (Arab) Miah Hadits
7. (Arab) Mudzakkirat fi Tasjiil Islam
8. (Arab) Qawaidul-Chams
9. (Indonesia) Menghadapi Orla
10.
Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis,
tt: 27)

Kyai Haji Fakih Usman (juga ditulis Faqih Usman; lahir 2 Maret
1904 meninggal 3 Oktober 1968 pada umur 64 tahun) adalah aktivis
Islam di Indonesia dan politikus dari Partai Masyumi. Ia menjadi Menteri
Agama dalam dua kali masa jabatan: pertama, dengan Kabinet Halim saat
Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat, dan
kedua sebagai Menteri Agama dengan Kabinet Wilopo. Saat masih muda
Fakih dikritik karena kaitannya dengan organisasi Islam Muhammadiyah,
tetapi kini dikenang oleh organisasi tersebut. Sebuah jalan di Gresik
dinamakan untuk Fakih.
Fakih dibesarkan di Gresik, Hindia-Belanda. Ia belajar tentang Islam dari
ayahnya dan di sejumlah pesantren hingga tahun 1920-an. Pada tahun
1925 ia bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi ketua untuk
cabang Surabaya pada tahun 1938; ia juga ikut serta dalam kancah politik
setempat. Ketika sejumlah organisasi Islam bekerjasama pada tahun 1940
untuk mendirikan Majilis Islam Ala Indonesia, Fakih menjadi bendahara.
Selama pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia, Fakih terus
bergerak dalam bidang tersebut. Sekaligus menjalani dua periode sebagai
Menteri Agama Republik Indonesia, Fakih menjadi lebih berpengaruh di
Muhammadiyah. Ia berjasa sebagai wakil ketua di bawah beberapa
pemimpin sebelum dijadikan Ketua Umum Muhammadiyah pada akhir
tahun 1968, beberapa hari sebelum ia meninggal.
Kehidupan awal
Fakih dilahirkan di Gresik, Jawa Timur, Hindia Belanda, pada 2 Maret 1904.
Ayahnya, Usman Iskandar, bekerja sebagai pedagang kayu, sementara
ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang merupakan keturunan
ulama.[1] Pasangan itu, yang hidupnya pas-pasan, mempunyai empat anak
lain. Karena mereka tidak berasal dari kaum priyayi, anak-anak tersebut
tidak bisa mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda.[2][3] Fakih belajar

Islam dari waktu kecil; ia banyak diajari ayahnya. [3] Ketika ia berusia
sepuluh tahun ia mulai belajar di sebuah pesantren di Gresik. Setelah lulus
pada tahun 1918, ia belajar di beberapa pesantren di luar kota Gresik,
termasuk di Bungah.[1]
Bekerja di Muhammadiyah
Fakih mengikuti ayahnya menggeluti bidang perdagangan; pada saat
yang sama ia juga belajar bahasa dan Islam secara mandiri. [2] Ketika
organisasi Islam modernis Muhammadiyah masuk ke Gresik pada tahun
1922, Fakih menjadi salah satu anggota pertamanya. Oleh karena sangat
aktif dengan Muhammadiyah Gresik, dalam waktu tiga tahun ia menjadi
pemimpinnya; saat Fakih memimpin kelompok itu, Muhammadiyah Gresik
diakui secara resmi sebagai cabang Muhammadiyah.[4] Melalui kerjanya
dengan cabang Gresik, Fakih menjadi lebih dikenal dalam kalangan
Muhammadiyah dan dipindahkan ke cabang Surabaya. Ia juga aktif dalam
politik, dan pada tahun 1929 ia dipilih sebagai anggota dewan kota
Surabaya.[5] Sementara, Fakih terus berdagang alat pembangunan; ia juga
mempunyai perusahaan pembuatan kapal.[3]
Selama periode 1932 sampai 1936 Fakih menjadi anggota dewan daerah
Muhammadiyah, sekaligus menjadi redaktur majalah Muhammadiyah
Bintang Islam dan Ketua Majelis Tarjih.[4] Dengan semakin aktifnya, Fakih
mulai bolak-balik dari Surabaya ke Gresik dengan mobil pribadinya,
sebuah barang mewah yang jarang dipunyai orang pribumi pada saat itu;
di Surabaya ia mengurus kepentingan Muhammadiyah, sementara di
Gresik ia mengurus usahanya. Dalam waktu luangnya Fakih belajar
bahasa Belanda dan mendalami ilmu Islam dengan mempelajari
pemikiran Muhammad Abduh.[5]
Pada 21 September 1937, Muhammadiyah, organisasi Islam konservatif
Nahdatul Ulama (NU), kooperasi pedagang Sarekat Islam, dan sejumlah
organisasi Islami lain yang sudah lama bermusuhan bergabung untuk
membentuk sebuah payung organisasi bernama Majelis Islam A'la
Indonesia (MIAI), yang berpusat di Surabaya.[6] Fakih menjadi bendahara
organisasi tersebut.[7] Pada tahun 1938 Fakih menjadi ketua cabang
Muhammadiyah Surabaya, menggantikan Mas Mansoer.[5] Pada tahun
1940 ia mengundurkan diri dari jabatan ketua cabang Muhammadiyah
Surabaya dan anggota dewan kota untuk menjadi pemimpin sekretariat
MIAI.[7]
Masyumi
Setelah Jepang menduduki Hindia-Belanda pada awal tahun 1942, pada
9 Maret 1942 Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan
ketua Koninklijk Nederlands-Indische Leger Jenderal Hein ter Poorten
menyerah.[8] Penguasa Jepang melarang semua jenis organisasi, sehingga
MIAI terpaksa dibubarkan pada bulan Mei. MIAI terbentuk lagi pada
5 September 1942 dan, pada akhir tahun 1943, diberi nama Partai Majelis

Syura Muslimin Indonesia, atau Masyumi.[9] Sewaktu menjabat di dewan


Masyumi,[10] Fakih menjadi anggota Syu Sangi In, dewan penasihat Jepang,
di Surabaya; ia memegang jabatan ini hingga tahun 1945. [11]
Setelah serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945, [12] pihak Jepang mulai
mengundurkan diri. Setelah itu Fakih mulai membuka hubungan kerja
dengan pihak pemerintah Republik. [13] Dari tanggal 7 hingga 8 November
1945 Fakih bergabung dengan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta,
yang membawa hasil Masyumi dijadikan partai politik yang mewakili
kepentingan Islam. Biarpun ia kembali ke Gresik setelah pertemuan
tersebut, karena adanya Pertempuran Surabaya ia dan keluarganya
mengungsi ke Malang.[14]
Di Malang, Fakih bergabung dengan Masjkur dan Zainul Arifin untuk
membentuk kelompok revolusi yang dibentuk dari kelompok Sabilillah dan
Hizbullah, yang pernah dilatih Jepang; Fakih sendiri menjadi wakil
pemimpin satuan tersebut. Setelah Agresi Militer Belanda II diluncurkan
pada bulan Desember 1948, Fakih dan keluarganya melarikan diri ke
Surakarta; di kota itu Fakih menjadi aktif dengan Muhammadiyah lagi. Ia
menjadi salah satu wakil ketua, di bawah Bagus Hadikusumo, dan harus
pulang pergi kerja antara Surakarta dan Yogyakarta.[10]
Menteri Agama

Fakih sebagai Menteri Agama, tahun 1952


Pada akhir tahun 1949 pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan
Konferensi Meja Bundar, yang berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh Belanda pada 27 Desember 1949.[15] Ini menjadi salah satu penyebab
dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari enam belas
negara bagian. Pada 21 Januari 1950 Fakih menggantikan Masjkur sebagai
Menteri Agama dalam Kabinet Halim, mewakili Republik Indonesia; pada
saat itu, republik terdiri dari Yogyakarta, Banten, dan sebagian besar
Sumatera.[16] Bekerja sama dengan Menteri Agama RIS Wahid Hasyim,
Fakih mulai menetapkan kurikulum pelajaran agama standar di sekolah

umum dan memodernisasi pendidikan di sekolah berbasis agama. [17]


Sementara, mereka juga bekerja untuk menyatukan kedua kementerian
agama. Pada 17 Agustus 1950 RIS dan anggotanya menjadi satu republik,
dengan Hasyim sebagai menteri agama.[18]
Di bawah Hasyim, Fakih bertugas sebagai pemimpin bagian pendidikan
agama. Sementara, masing-masing anggota Masyumi berselisih pandang
atas tujuan partai;[19] NU beranggapan bahwa Masyumi sudah terlalu
mengutamakan politik, sehingga dasarnya dalam Islam diabaikan. Saat
Kabinet Natsir mulai runtuh dan Fakih diajukan Masyumi sebagai calon
Menteri Agama sebuah tindakan yang kontroversial karena belum ada
orang NU sebagai calon menteri NU mengundurkan diri dari Masyumi,
mulai 5 April 1952.[20] Fakih dipilih dengan mayoritas lima suara,
sementara kandidat lainnya, Usman Raliby, mendapatkan empat.[21]
Fakih dijadikan Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo. Ia dilantik pada
3 April 1952; setelah itu, ia dan keluarga berpindah ke ibu kota Indonesia
di Jakarta. Setiba di sana, Fakih mulai program reformasi dalam
Kementerian Agama,[22] termasuk meresmikan tujuan kementerian: untuk
menyediakan guru agama, mempromosikan hubungan antar-agama yang
baik, dan menentukan tanggal hari raya. Ia juga berusaha untuk meninjau
ulang struktur kementerian. Ini termasuk meresmikan hierarki
kepemimpinan dan membentuk cabang di tingkat provinsi dan daerah.
Kementerian juga melanjutkan peningkatan mutu pendidikan agama [23]
dan mengurus ribuan haji yang berangkat dari Indonesia ke Mekkah setiap
tahun.[24] Kabinet Wilopo bubar pada 30 Juli 1953,[22] setelah adanya
masalah imigrasi dan sengketa tanah di Medan. Fakih diganti Masjkur.[25]
Pekerjaan lanjutan

Fakih menyampaikan pidato di pertemuan Muhammadiyah, tahun 1952


Setelah menjabat sebagai Menteri Agama, Fakih terus bekerja dengan
kementerian dan Muhammadiyah, sehingga menjabat sebagai Wakil Ketua
I Muhammadiyah di bawah Ahmad Rasyid Sutan Mansur;[3][25] pada tahun
1956 ia menjadi salah satu dari tiga anggota Muhammadiyah yang
menyampaikan pandangan mereka mengenai masyarakat Islam sejati,
yang mengutamkan pendidikan sosial.[26] Namun, Fakih lebih aktif dengan
Masyumi. Setelah Pemilihan Konstituante pada tahun 1955, Fakih
dijadikan anggota Konstituante, yang dimaksud untuk membentuk
Undang-Undang Dasar baru. Namun, Konstituante tidak bisa mencapai
kesepakatan, sehingga dibubarkan oleh Presiden Soekarno dalam Dekret

Presiden 5 Juli 1959.[27] Pada tahun 1959 pula Fakih mendirikan majalah
Pandji Masjarakat dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Joesoef Poear
Abdullah, dan Ahmad Joesoef.[3]
Soekarno membubarkan Masyumi pada 17 Agustus 1960, setelah
pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin
Prawiranegara terlibat dengan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI);[28] Fakih sendiri pernah ikut dalam negosiasi dengan
pemerintah revolusioner, bekerja sama dengan Mohammad Roem.[3]
Bubarnya Masyumi membuat Fakih lebih mengutamakan Muhammadiyah,
sehingga menjadi Wakil Ketua II di bawah Muhammad Yunus Anis.[28]
Dalam sebuah acara pendidikan kepemimpinan yang diadakan selama
bulan Ramadan 1961, Fakih mulai membentuk suatu identitas
kelembagaan melalui pidatonya "Apakah Muhammadiyah Itu?", yang
menggambarkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang berdasarkan
dakwah, yang mengutamakan isu duniawi, dan hendak bekerja sama
dengan pemerintah untuk menentukan masa depan yang lebih baik untuk
kaum Muslim.[29] Konsep ini dirumuskan selama tahun 1962, sehingga
"Kepribadian Muhammadiyah" menetapkan bahwa organisasi tersebut
harus menuju masyarakat Islam sejati sekaligus melawan politik sayap
kiri.[30] Ini diikuti oleh penataan kembali hierarki Muhammadiyah, sehingga
Kepribadian Muhammadiyah ini lebih mudah diwujudkan.[31]
Dari tahun 1962 hingga 1965 Fakih menjadi Wakil Ketua I Muhammadiyah
di bawah Ahmad Badawi, sekaligus menjadi penasihat untuk para
pemimpin agama muda. Setelah gagalnya Gerakan 30 September, yang
diikuti pembantaian ribuan orang komunis dan Soekarno digantikan oleh
Soeharto sebagai presiden, Fakih dan beberapa anggota Muhammadiyah
lainnya meminta izin untuk membentuk kembali Masyumi; namun, izin ini
tidak diberikan.[32][3]
Dalam periode kedua Ahmad Badawi, Fakih bertugas sebagai penasihat
dan bertanggung jawab atas pengelolaan organisasi. Karena ia semakin
sakit-sakitan, ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah pada
Kongres Muhammadiyah Ke-37 pada tahun 1968, Fakih langsung mulai
mencari penggantinya.[32] Pada 2 Oktober ia mengadakan pertemuan
Dewan Muhammadiyah di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut ia
menggarisbesari rencananya untuk tiga tahun ke depan. Fakih juga
menentukan Rasjidi dan Abdul Rozak Fachruddin sebagai pemimpin
sementara saat Fakih pergi ke luar negeri untuk perawatan. Namun,
meninggal pada hari berikutnya, hanya beberapa hari setelah dipilih. Ia
digantikan Abdul Rozak Fachruddin pada hari yang sama; [a][33] Fachruddin
dipilih secara aklamasi dari calon-calon lain, dan menjadi ketua umum
selama 24 tahun.[34]
Warisan

Pada tahun 1930-an, orang-orang Muslim konservatif tidak setuju dengan


kegiatan Fakih, sehingga ia diberi julukan "Londho silit ireng" ("Orang
Belanda berpantat hitam").[5] Orang-orang itu juga melempari rumahnya
dengan batu.[5] Namun, dalam Muhammadiyah ia sampai sekarang
dikenang dengan baik. Ia dianggap telah menentukan "Kepribadian
Muhammadiyah", identitas kelembagaan Muhammadiyah.[3] Untuk
menghormati Fakih, Muhammadiyah beranggapan bahwa periodenya
sebagai ketua berlangsung selama tiga tahun, biarpun Fakih sudah
meninggal setelah beberapa hari. [35] Didin Syafruddin, seorang dosen di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis bahwa Fakih
beranggapan bahwa pendidikan sangat penting, sehingga lima dari tujuh
anaknya bergelar doktor.[36] Syafruddin juga menulis bahwa reformasi
Fakih sebagai Menteri Agama terbatas karena terbatasnya daya sumber
manusia.[1] Jalan tempat rumah Fakih sewaktu kecil sekarang diberi nama
Jalan Fakih Usman.[1]
Keterangan
1.

^ Kebijakan Muhammadiyah menentukan bahwa, sebelum


seorang ketua umum yang sudah meninggal dikebumikan, harus
ada penggantinya (Djurdi 2010, hal. 182).

Kyai Haji Abdul Rozak Fachruddin (lahir di Pakualaman, Yogyakarta, 14


Februari 1915 meninggal di Solo, Jawa Tengah, 17 Maret 1995
pada umur 80 tahun) adalah seorang ketua umum Muhammadiyah.
Ia dikenal dengan sebutan A.R. Fachruddin atau nama panggilan
lainnya adalah Pak A.R. Abdul Rozak Fachruddin dikenal sebagai
ketua umum Muhammadiyah yang paling lama, yaitu 22 tahun
(1968-1990).
Kehidupan awal
Fachruddin lahir di Pakualaman, Yogyakarta pada tanggal 14 Februari
1916. Ayahnya adalah K.H. Fachruddin adalah seorang lurah naib atau
penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku
Alam VIII, berasal dari Kulonprogo. Sementara ibunya adalah Maimunah
binti K.H. Idris, Pakualaman.[1]
Ia belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. [2] Pada tahun 1923, untuk
pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standaard School
Muhammadiyah Bausasran. Setelah ayahnya tidak lagi menjadi penghulu
dan usaha dagang batiknya juga jatuh, maka ia pulang ke Bleberan.
Pada tahun 1925, ia pindah ke Sekolah Dasar Muhammadiyah Kotagede
dan setamat dari sana tahun 1928, ia masuk ke Madrasah Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah dua tahun belajar di Muallimin,
ayahnya memanggil dia untuk pulang dan belajar kepada beberapa kiai
seperti K.H. Fachruddin, ayahnya sendiri.[1][2]
Karier awal
Pada tahun 1934, ia dikirim oleh Muhammadiyah untuk misi dakwah
sebagai guru di sepuluh sekolah dan sebagai mubaligh di Talangbalai
(sekarang Ogan Komering Ilir) selama sepuluh tahun.[2] Dan ketika Jepang
datang, ia pindah ke Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944.
Selama tahun 1944, Fachruddin mengajar di sekolah Muhammadiyah
serta memimpin dan melatih Hizbul Wathan, dan barulah ia pulang ke
kampung halaman.[1]
Pada tahun 1944, ia masuk BKR Hizbullah selama setahun. Sepulangnya
ia dari Palembang, ia berdakwah di Bleberan dan menjadi pamong desa di
Galur selama setahun. Selanjutnya, ia menjadi pegawai Departemen
Agama.[2] Pada tahun 1950, ia pindah ke Kauman dan belajar kepada

tokoh-tokoh awal Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Basyir


Mahfudz, Badilah Zuber dan Ahmad Badawi.[1][3]
Bekerja di Muhammadiyah
Pengabdiannya bukan saja di lingkungan Muhammadiyah, tapi juga di
pemerintahan dan perguruan tinggi. Pak AR misalnya, pernah menjabat
sebagai kepala Kantor Urusan Agama, Wates (1947). Tidak lama di
jabatannya itu, dia ikut bergerilya melawan Belanda. Pada 1950-1959, ia
menjadi pegawai di kantor Jawatan Agama wilayah Yogyakarta, lalu
pindah ke Semarang, sambil merangkap dosen luar biasa bidang studi
Islamologi di Unissula, FKIP Undip, dan STO.
Sedangkan di Muhammadiyah, dimulai sebagai pimpinan Pemuda
Muhammadiyah (1938-1941). Ia menjadi pimpinan mulai di tingkat
ranting, cabang, wilayah, hingga sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Jabatan sebagai ketua PP Muhammadiyah dipegangnya pada 1968 setelah
di fait accompli menggantikan KH Faqih Usman, yang meninggal.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujungpandang, Pak AR terpilih
sebagai ketua. Hampir seperempat abad ia menjadi orang paling atas di
Muhammadiyah, sebelum digantikan oleh almarhum KH Azhar Basyir
(setelah tidak lagi bersedia dicalonkan dalam Muktamar Muhammadiyah
1990). Setelah dirawat di RS Islam Jakarta, Pak AR wafat pada 17 Maret
1995, meninggalkan 7 putra dan putri.
Sesuatu yang nampak menonjol dari pribadi Pak AR adalah
kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan. Tiga sifat itulah, menurut Dr
Amien Rais, warisan utama Pak AR yang perlu terus dihidupkan tidak
hanya oleh kalangan Muhammadiyah. Selaku pemimpin umat, Pak AR
sangat sepi dari limpahan harta benda. Beliau sangat mungkin untuk
memiliki mobil mengkilap, atau rumah mewah. Tetapi Pak AR memilih
untuk tidak punya apa-apa, kata Amien.
Kesejukannya sebagai pemimpin umat Islam juga bisa dirasakan oleh
umat agama lain. Ketika menyambut kunjungan pemimpin umat Kristiani
sedunia, Paus Yohannes Paulus II, di Yogyakarta dalam sebuah kunjungan
resmi ke Indonesia, Pak AR menyampaikan 'uneg-uneg' dan kritik kepada
Paus.
Pak AR mengeluhkan, bahwa tak sedikit umat Islam yang lemah dan tak
berkecukupan seringkali dirayu umat Kristen untuk masuk agama mereka.
Kesempatan itu juga digunakan Pak AR menjelaskan pada Paus, bahwa
agama harus disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif.
Kritik ini diterima dengan lapang dada oleh umat lain karena disampaikan
dengan lembut dan sejuk, serta dijiwai dengan semangat toleransi tinggi.
Tak hanya kesejukan, Pak AR juga dikenal sangat merakyat. Meski ia
menduduki jabatan puncak di organisasi Muhammadiyah, namun dia tidak

pernah jauh dari umat yang dipimpinnya. Ia memberikan seluruh diri dan
hidupnya kepada Muhammadiyah. Suatu ketika pada tahun 1975, becak
yang dinaikinya dicegat seorang pedagang kaki lima. Pedagang itu
ternyata hanya ingin bertanya tentang hukum pinjam-meminjam. Lebih
setengah jam, Pak AR memberi penjelasan kepada pedagang tersebut.
Setelah si penanya puas, Pak AR kembali melanjutkan perjalanan.
Pak AR yang memang selalu ingin dekat dengan rakyat kecil itu, paling
senang jika diundang berceramah di kalangan rakyat bawah di lembah
Kali Code dan kampung-kampung pinggiran di Yogyakarta. Suatu kali,
dalam sebuah kultum (kuliah tujuh menit), Pak AR menjelaskan mengapa
dirinya senang ceramah di kalangan rakyat kecil dan miskin. "Karena
itulah sunnah Nabi SAW," jawabnya.
Para pengikut Islam, pertama-tama, jelas Pak AR, adalah rakyat miskin
dan budak belian. "Karena itu, sebagai dai jangan berharap pada orangorang besar dan kaya. Bukankah Nabi pernah mendapat teguran dari
Allah karena menyepelekan orang kecil demi berdakwah untuk orang
besar?" jelasnya.
Sikapnya yang merakyat inilah yang membuat periode kepemimpinannya
dinilai sangat berhasil. Totalitas Pak AR dalam ber-Muhammadiyah, itu
juga ditunjukkan dalam bentuk penolakannya ketika pemerintah Orde
Baru berkali-kali menawarinya menjadi anggota DPR dan jabatan lainnya.
Di sisi lain, Pak AR juga tetap menjaga hubungan baik dengan pemerintah,
dan bekerja sama secara wajar. Sikap dan kebijakannya ini membuat
warga Muhammadiyah merasa teduh, aman dan memberikan
kepercayaan yang besar kepadanya.
Bagaimana Pak AR di mata keluarganya? "Bapak tidak pernah marah.
Kepada kami, juga kepada orang lain. Kalaupun menasihati kami,
dilakukannya secara halus kadang diselingi dengan humor," ujar Siti
Zahanah, anak ketiga Pak AR, sebagaimana dituturkannya dalam buku
Pak AR, Profil Kiai Merakyat.
Meski sebagai teladan dan sangat dihormati di keluarga, bukan berarti
urusan keluarga menjadi prioritas. Baginya, keluarga adalah nomor dua,
sementara Muhammadiyah dan umat adalah urusan pertama dalam
hidupnya. Namun, dukungan keluarga sangat penting bagi Pak AR untuk
menjalankan aktivitas dan amanat organisasi.
Setiap akan meninggalkan rumah lebih dari sehari semalam, Pak AR
mempunyai kebiasaan berpesan kepada sang istri, Siti Qomariyah, dan
anak-anaknya. "Aku arep lungo nang kene semene dino. Kowe kabeh tak
pasrahke Gusti Allah (Aku akan pergi ke kota ini sekian hari. Kamu
sekalian saya titipkan kepada Allah)," tutur Qomariyah, menirukan pesan
Pak AR. Pak AR memang berharap istrinya benar-benar berperan sebagai
ibu rumah tangga secara penuh. Menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga
yang istiqomah, yang mampu membimbing dan memberi motifasi kepada

anak-anak. Pak AR sadar betul, tugasnya yang berat sebagai ketua


Muhammadiyah, membuatnya tak cukup waktu untuk keluarga. Karena
itulah, sang istri yang mengambil alih tugas-tugas keseharian di rumah
ketika Pak AR tugas keluar.
Toh demikian, sudah menjadi rahasia umum, jika keluarga Pak AR yang
tergolong keluarga besar (9 orang) ini tidak mempunyai rumah pribadi.
Padahal, sebagai orang penting, bila ia mau, bisa saja hal itu terpenuhi
dalam hitungan hari. Tapi tidak demikian dengan Pak AR.
Rumah cukup besar yang ditempatinya sejak 1971 adalah milik
persyarikatan Muhammadiyah. Sebelumnya, Pak AR sekeluarga menghuni
rumah sewa sederhana di Kauman nomor 260, Yogyakarta. Tapi, bukan
berarti Pak AR tidak ingin memiliki rumah pribadi. Hal itu pun sudah ia
usahakan saat menjabat sebagai kepala Kantor Agama Jawa Tengah di
Semarang tahun 1959-1964, dengan cara membeli rumah secara
angsuran yang diusahakan pihak swasta.
Karena memang sifatnya yang tidak pernah berburuk sangka, angsuran
rumah yang tanpa disertai surat jaminan itu pun tak berumur panjang.
Pak AR tertipu oleh pengembang yang membawa lari uangnya. "Wis ora
usah dirembug maneh. Sesuk bakal diijoli omah sing luwih apik neng
suwargo (Sudah, tidak usah dibicarakan lagi. Nanti akan mendapat ganti
rumah yang lebih baik di surga)," tutur Qomariyah, ketika menanyakan
kelanjutan dan status rumah yang diangsur itu. Kalau nyebut pak AR,
benak saya langsung mengarah kepada pak AR Fachruddin (alm), ketua
PP Muhammadiyah. Saya sangat mengagumi gaya pak AR (alm) kalau
ceramah: Santun, lembut, sejuk.
Tahun-tahun terakhir di Muhammadiyah
Pada tanggal 9-14 Oktober 1989, Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke
Indonesia. Setelah ia melawat ke Jakarta, ia pergi Yogyakarta. Dalam
lawatannya ke Yogyakarta, Fachruddin membuat sebuah brosur bersampul
kuning setebal 12 halaman yang bertuliskan bahasa Jawa Inggil,
Mengayubagia Sugeng Rawuh Lan Sugeng Kundur.[4] Dan surat itu dimuat
di Suara Muhammadiyah.[4] Dalam surat itu, ia memperkenalkan diri,
memaparkan keadaan Muhammadiyah dari Sabang sampai Merauke,
rukun iman dan Islam, dan ulasan ganjaran umat Islam Indonesia
terhadap praktik penyebarluasan ajaran Kristen yang mengeksploitasi
kemiskinan.[4]
Pada akhir kepemimpinannya, ia bekerja sama dengan BRI dalam rangka
penataan
administrasi
keuangan
dan
konsolidasi
organisasi.
Penandatangan kerja sama tersebut terjadi pada tanggal 25 April 1989 di
Jakarta.[4]

Pada Muktamar ke-42 Muhammadiyah yang dibuka oleh Presiden


Soeharto di Stadion Mandala Krida, pembukaannya dihadiri oleh 30.000
orang.

KH. Ahmad Azhar Basyir, MA (lahir di Yogyakarta, 21 November 1928 meninggal di


Yogyakarta, 28 Juni 1994 pada umur 65 tahun) adalah tokoh intelektual yang
kharismatik dan pejuang perang sabil yang dikenal sebagai ulama sederhana.

Pendidikan

Sekolah Rendah Muhammadiyah, Suronatan Yogyakarta.


Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah Tremas, Pacitan.

Madrasah Al-Fallah Kauman, 1944.

Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta.

Madrasah Aliyah Yogyakarta, 1952.

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta.

Jurusan Adab, Fakultas Sastra, Universitas Baghdad, Iraq.

Studi Islam, Facultas Dar al-'Ulum, Universitas Kairo, Mesir.

Karier

Anggota Hizbullah, Battalion 36 Yogyakarta.


Ketua Pemuda Muhammadiyah.

Dosen Universitas Gadjah Mada.

Dosen IAIN Sunan Kalijaga.

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ketua Umum Muhammadiyah.

Ketua Majelis Ulama Indonesia, 1990-1995.

Dewan Pengawas Shariah, Bank Muamalat Indonesia.

Anggota MPR-RI 1993-1998.

Anggota Lembaga Fiqih Organisasi Konferensi Islam.

Karya
1. Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi)
2. Garis-garis Besar Ekonomi Islam
3. Hukum Waris Islam
4. Sex Education
5. Citra Manusia Muslim
6. Syarah Hadits
7. Missi Muhammadiyah
8. Falsafah Ibadah dalam Islam
9. Hukum Perkawinan Islam
10. Negara dan Pemerintahan dalam Islam
3 Mazhab Mutazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam)
1. Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila
2. Agama Islam I dan II
3. dan lain-lain.

Muhammad Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 70
tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua
MPR periode 1999 - 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh
MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat
akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang
kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Setelah partai-partai
politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien
Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat
sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai King Maker. Julukan itu
merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan
presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun
2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam
pemilu 1999.

Awal karier
Lahir di Solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis
Muhammadiyah. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta.
Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana
dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan
baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari
Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari
Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah
Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT,
dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru,

Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap
dijuluki Lokomotif Reformasi.

Terjun ke politik
Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien
membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform
nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN,
Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan
politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan
presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden tetapi kalah dan
hanya meraih kurang dari 15% suara nasional.
Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT.
Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding
Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian
dibantah kembali oleh Syamsir Siregar. [1]
Pada Mei 2007, Amien Rais mengakui bahwa semasa kampanye pemilihan
umum presiden pada tahun 2004, ia menerima dana non bujeter
Departemen Kelautan dan Perikanan dari Menteri Perikanan dan Kelautan,
Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Ia sekaligus menuduh bahwa
pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana
dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan
wakil presiden.[2][3]

Kehidupan pribadi
Amien Rais menikah dengan Kusnasriyati Sri Rahayu. Dari pernikahannya,
Amien dikaruniai lima orang anak, yaitu Ahmad Hanafi Rais, Hanum
Salsabiela Rais, Ahmad Mumtaz Rais, Tasnim Fauzia, dan Ahmad Baihaqi.
Tanggal 8 Oktober 2011 Putra Amien Rais, Ahmad Mumtaz Rais menikah
dengan Futri Zulya Safitri, anak dari Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.[4]

Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (lahir di Sumpurkudus, Sijunjung,


Sumatera Barat, 31 Mei 1935; umur 79 tahun) adalah seorang
ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia. Ia pernah menjabat Ketua
Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference
on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan juga
dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen
kebangsaan yang tinggi.[1] Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja
telah memposisikannya sebagai "Bapak Bangsa". Ia tidak segansegan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu
adalah temannya sendiri.

Kehidupan
Kehidupan awal

Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau


pada 31 Mei 1935.[2] Ia lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo
Malayu, dan Fathiyah.[a] Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan
seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu. [3] Ayahnya adalah
saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di
kaumnya.[4] Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya
meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang
bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama
A. Wahid.[4]
Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di
Sumpur Kudus.[2] Sepulang sekolah, Pi'i, panggilan akrabnya semasa kecil,
[5]
belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah
pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di
sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di
Minangkabau pada masa itu.[4] Pendidikannya di SR, yang harusnya ia
tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia
tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena
pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.[6] Namun, setelah
tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat
meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.[2] Baru pada tahun 1950,

ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau


sampai duduk di bangku kelas tiga.[3]
Merantau ke Jawa

Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung


halamannya untuk merantau ke Jawa. Bersama dua adik sepupunya, yakni
Azra'i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief.[6]
Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan
sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak
sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah
penuh.[6] Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada
saat bersamaan, ia bersama Azra'i mengikuti sekolah montir sampai
akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar. [6] Setelah itu, ia kembali
mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus
mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut,
ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi
pemimpin redaksi majalah Sinar, sebuah majalah pelajar Muallimin di
Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari
Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan
sekolahnya, terutama karena masalah biaya.[5] Dalam usia 21 tahun, tidak
lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan
Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di
Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu
menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai
guru.[5] Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah
Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22
tahun, ia mengunjungi kampung halamannya,[7] kemudian kembali lagi ke
Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.[7]
Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan
memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. [8] Setelah itu, ia
melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral pada Fakultas
Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan
tamat pada tahun 1968.[9] Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa
pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru
mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada
1958.[7] Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia
membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat
menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.[7][8] Selain itu, ia juga sempat
menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan
Indonesia.[9]
Karier

Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus


meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di

Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya


diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat,
Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as the Basis of State: A
Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent
Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat
secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan
bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur
Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish
Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.
Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil
Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul 'Si Anak Kampung'. [10] Novel ini telah
difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film
Festival (AIFF).[11]
Aktivitas

Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah,


kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar
IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara
dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalahmasalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia
juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah
terbit antara lain berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?,
kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam
dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karyakaryanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon
Magsaysay dari pemerintah Filipina.[12]

Karya tulis

Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKISIKIP, Yogyakarta, 1975
Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984

Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984

Percik-percik Pemikiran Iqbal, Shalahuddin Press, 1984

Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985

Keterangan
1.

^ Ayahnya beberapa kali menikah, dan Fathiyah merupakan istri


pertama dari tiga istri ayahnya. Setahun setelah ibunya meninggal,
ayahnya kembali menikah dengan dua orang perempuan, yakni Maran dan
Lamsiah.[3]

Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din
Syamsuddin (lahir di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 31
Agustus 1958; umur 56 tahun), adalah seorang politisi yang saat ini
menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang
anak. Ia diamanati untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia Pusat, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat menggantikan Dr (HC). KH.
Sahal Mahfudz yang meninggal dunia pada Jumat 24 Januari 2014.

Riwayat pendidikan
Din Syamsuddin menempuh pendidikan mulai dari:[2]

Pondok Modern Darussalam Gontor Jawa Timur (1975)


IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Sarjana Muda, Fakultas Ushuluddin
(BA, 1980)

IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Fakultas Ushuluddin Jurusan


Perbandingan Agama (Drs, 1980)

University of California, Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat,


Interdepartmental Programme in Islamic Studies (MA, 1988)

University of California, Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat,


Interdepartmental Programme in Islamic Studies (Ph.D, 1991).

Karier
Berikut karier yang diikuti oleh Din Syamsuddin:[3]

Ketua Umum PP Muhammadiyah (2005-sekarang)

Chairman of Center for Dialogue


Civilizations/ CDCC (2007 - sekarang)

and

Cooperation

among

Member, Strategic Alliance Russia based Islamic World (2006 sekarang)

Member, UK-Indonesia Islamic advisory Group (2006 - sekarang)

Chairman, World Peace Forum/ WPF (2006 sekarang)

Honorary President, World Conference on Religions for Peace/ WCRP,


based in New York (2006 - sekarang)

Wakil Ketua Umum MUI Pusat (2005-2010)

Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI Pusat (2005-2010)

Vice Secretary General, World Islamic People's Leadership, based in


Tripoli (2005 - sekarang)

Member, World Council of World Islamic Call Society, based in Tripoli


(2005 - sekarang)

President, Asian Committee on Religions for Peace/ ACRP, based in


Tokyo (2004 - sekarang)

Ketua, Indonesian Committee on Religions for Peace/ IComRP (2000


- sekarang)

Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005)

Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005)

Wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan MPR-RI (1999)

Wakil Sekjen DPP Golkar (1998-2000)

Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan MPR-RI (1998)

Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, DEPNAKER RI (19982000)

Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP Golkar (19931998)

Anggota Dewan Riset Nasional (1993 1998)

Sekretaris Dewan Penasihat ICMI Pusat (1990-1995)

Wakil Ketua Mejelis Pemuda Indonesia (1990 - 1993)

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993)

Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, 1985)

Dosen/ Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1982 - sekarang)

Dosen di berbagai Perguruan Tinggi (UMJ, UHAMKA, UI, 1982 - 2000)

Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta (1980 1982)

Ketua IPNU Cabang Sumbawa (1970 - 1972).

Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia seringkali diundang untuk


menghadiri berbagai macam konferensi tingkat internasional berkenaan
dengan masalah hubungan antara umat beragama dan perdamaian. Barubaru ini, misalnya, ia diundang ke Vatican untuk memberikan ceramah
umum tentang terorisme dalam konteks politik dan idiologi. Ia
memandang bahwa terorisme lebih relevan bila dikaitkan dengan isu
politik dibandingkan dengan isu idiologi. Sejalan dengan itu, ia juga tidak
senang bila sebagian kelompok umat Islam menggunakan label Islam
dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka. Menurutnya, aksi-aksi
terorisme yang mengatasnamakan Islam justru sangat merugikan umat
Islam baik pada tingkat internal umat Islam maupun pada skala global.
Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan
hanya karena dia Ketua Umum Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu
karena kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen
umat beragama baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat
beragama lainnya.
Din Syamsuddin merupakan salah-satu penumpang
Indonesia Penerbangan 200, ia mengalami luka
penerbangan yang menewaskan 21 orang tersebut.

dalam Garuda
ringan dalam

Menjadi Ketua MUI


Din Syamsuddin Resmi Jadi Ketua Umum MUI sebagai ketua umum baru.
Din menggantikan Sahal Mahfudz yang meninggal dunia pada Jumat 24
Januari 2014. Keputusan penggantian ditetapkan pada rapat pimpinan MUI
yang diselenggarakan pada Selasa 18 Februari 2014. Hasil ini akan
diplenokan dan dibuat keputusan rapat secepatnya. Namun ketua umum
baru berlaku secara definitif per Selasa 18 Februari 2014.[4]

Anda mungkin juga menyukai