Pengalaman organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan
yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan
profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan
mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah
diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga
dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi
Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad
SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin
mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal
18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan
bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga
mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi
agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniruniru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta
bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan
priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan
sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada
pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasardasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam
untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih
harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran
yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal
usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan
dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah)
telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Film
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sang Pencerah
Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah
diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya
menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita
tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam
merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan
dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar
belakang suasana Kebangkitan Nasional.[8]
Pendidikan
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan
mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam
ilmu agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan
ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di
Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke
tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.
Memimpin Muhammadiyah
Setibanya di tanah air dari menuntut ilmu di Mekkah, KH. Ibrahim
mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, dan banyak orang
mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim memakai metode
sorogan dan weton. Sorogan adalah mengaji dengan diajar satu per satu,
terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu;
sedangkan weton adalah kyai membaca sedang santri-santrinya
mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian
dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam
menerapkan dua macam metode tersebut dipakai waktu yang berbeda,
yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara
sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul
17.00 dengan cara weton.
Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan agar kepemimpinan
Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mulamula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabatsahabatnya akhirnya ia bersedia menerimanya. Kepemimpinannya dalam
Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan
Anggota
Muhammadiyah
sebagai
Voorzitter
Hoofdbestuur
Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).
KH Ibrahim termasuk seorang yang cerdas, luas wawasannya, dalam
ilmunya dan disegani. Ia adalah seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan
ahli qira'ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai
seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan
kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah
orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah
al-'arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah
ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan
dalam bahasa Arab yang fasih.
Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah berkembang di
seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan
Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta,
seperti
Kongres
Muhammadiyah
ke-15
di
Surabaya,
Kongres
Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di
Solo,
Kongres
Muhammadiyah
ke-19
di
Bukittinggi,
Kongres
Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di
Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam
periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya
tempat
kongres
tersebut,
maka
Muhammadiyah
mengalami
perkembangan
yang
sangat
pesat,
bahkan
cabang-cabang
Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air di bawah
kepemimpinannya.
KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah agar rajin beramal
dan beribadah melalui sebuah perkumpulan yang diberi nama AdzDzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak
memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak
membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU,
Bagian Tabligh, dan bagian Taman Poestaka.
Peristiwa penting
Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa
kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu
badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung
di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan
gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan
beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada
tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar
(dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus
Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali
Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia lebih
banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk
mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di
samping itu, ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah untuk
semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan
kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula
dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
Kiai
Asal mula
KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November
1883.
Muhammadiyah
Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta
tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di
Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam
Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen
organisasinya.
Pada
periode
kepemimpinannya,
titik
perhatian
Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan
pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini
terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan
sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis
Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.
Sekolah Muhammadiyah
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka
sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan
menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana
volkschool
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak
melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang
cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis
Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah
yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai
berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya
sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas
Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat
diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke
Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan
kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang
yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan
dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali
ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh
Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Meninggal dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar
dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat
kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda
(NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di
Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk
itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai
Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH.
Fakhruddin.
Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur
(lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember
1895 meninggal 25 Maret 1985 pada umur 89 tahun) adalah
seorang tokoh dan pemimpin Muhammadiyah.
Pendidikan
Selain mendapatkan gemblengan agama, dia juga mendapatkan pendidikan formal. Adapun
pendidikan formal didapat sejak tahun 1902 saat menimba ilmu di Tweede Class School
(sekolah kelas dua), juga di Maninjau, hingga tahun 1909.
Kemudian atas rekomendasi dari controlleur Maninjau, Sutan Mansur melanjutkan
pendidikan ke Kweekschool (sekolah guru) di kota Bukitinggi. Akan tetapi karena sejak awal
Sutan Mansur sudah berkeinginan bersekolah di Mesir, maka dia memutuskan untuk belajar
ilmu agama terlebih dahulu kepada H Abdul Karim Amrullah, ayahanda Buya Hamka.
Karier
Pada saat perkumpulan Sumatera Thawalib dibentuk pada Februari 1918 di Padang Panjang,
oleh beberapa sejawat, Sutan Mansur sudah dipandang mampu berperan sebagai guru. Oleh
karenanya, Sumatera Thawalib langsung mengutusnya menjadi guru di Kuala Simpang,
Aceh, selama dua tahun.
Pindak ke Pulau Jawa Tahun 1920, dia pindah ke Pekalongan ketika cita-citanya untuk
menempuh pendidikan di Mesir tidak tercapai. Namun kekecewaannya tidak berlangsung
lama, sebab pada tahun 1922 Sutan Mansur bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Tokoh kharismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan tabligh
Muhammadiyah.
Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidupnya kemudian. Dia begitu terkesan
dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama.
Kepribadiannya yang lembut, bersahaja, serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati
dari banyak orang, termasuk dirinya.
Dari ulama itulah, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai Muhammadiyah.
Maka pada tahun yang sama, dia masuk menjadi anggota organisasi kemasyarakatan ini dan
sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH AR Fakhruddin
dan KH Mas Mansur. Dan kembali Sutan Mansur makin mengenal Islam tidak hanya dari
aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan, dan ekonomi dari dua tokoh
tadi.
Tahun 1923 dia menjadi guru serta mubaligh Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari pelbagai
kalangan, antara lain bangsawan Jawa (R Ranuwihardjo, R Tjitrosoewarno, dan R Oesman
Poedjooetomo), keturunan Arab, serta orang Minang perantauan yang menetap di Pekalongan
dan sekitarnya. Dua tahun kemudian dia kembali ke daerah kelahirannya sebagai mubaligh
Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera.
Mengembangkan Muhammadiyah Sejatinya, sebelum Sutan Mansur, pikiran-pikiran dari
Muhammadiyah sudah lebih dulu disebarluaskan oleh H Abdul Karim Amrullah, bahkan
beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Padang Panjang. Dengan
kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih
mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru
semakin pesat setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan
sejumlah alim ulama 'kaum muda'.
Di samping itu, selaku mubaligh tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan
mengadakan tabligh keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai dan Kuala
Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam lembaga Kulliyatul Muballigin yang
didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah.
Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi).
Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad
(penulis tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatera Barat),
Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.
Pada tahun 1930 diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah
satu keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan.
Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan Mansur
sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat hingga 1944. Kemudian atas
usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera setuju untuk mengangkat Sutan Mansur
selaku imam Muhammadiyah Sumatera.
Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih
sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada
Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas
pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP
Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan
khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan
dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu,
mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan
penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi
administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu
mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak
pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi
Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan
pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota
Muhammadiyah.
Kehidupan
Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh
Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah
pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan.
Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu,
Yunus Anis diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Ia pernah
mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga
kepemimpinannya
semakin
terlihat
menonjol
dan
memperoleh
kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936
dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam.
Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi
demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan,
termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang
sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR
GR
sebenarnya
mengundang
banyak
kritik
dari
tokoh-tokoh
Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak
mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi,
Karier
Karya
1. Pengadjian Rakjat
2. (Jawa) Kitab Nukilan Sjuabul-Imam
3. (Jawa) Kitab Nikah (huruf Arab Pegon)
4. (Jawa) Kitab Parail (huruf Latin)
5. (Jawa) Kitab Manasik Hadji
6. (Arab) Miah Hadits
7. (Arab) Mudzakkirat fi Tasjiil Islam
8. (Arab) Qawaidul-Chams
9. (Indonesia) Menghadapi Orla
10.
Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis,
tt: 27)
Kyai Haji Fakih Usman (juga ditulis Faqih Usman; lahir 2 Maret
1904 meninggal 3 Oktober 1968 pada umur 64 tahun) adalah aktivis
Islam di Indonesia dan politikus dari Partai Masyumi. Ia menjadi Menteri
Agama dalam dua kali masa jabatan: pertama, dengan Kabinet Halim saat
Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat, dan
kedua sebagai Menteri Agama dengan Kabinet Wilopo. Saat masih muda
Fakih dikritik karena kaitannya dengan organisasi Islam Muhammadiyah,
tetapi kini dikenang oleh organisasi tersebut. Sebuah jalan di Gresik
dinamakan untuk Fakih.
Fakih dibesarkan di Gresik, Hindia-Belanda. Ia belajar tentang Islam dari
ayahnya dan di sejumlah pesantren hingga tahun 1920-an. Pada tahun
1925 ia bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi ketua untuk
cabang Surabaya pada tahun 1938; ia juga ikut serta dalam kancah politik
setempat. Ketika sejumlah organisasi Islam bekerjasama pada tahun 1940
untuk mendirikan Majilis Islam Ala Indonesia, Fakih menjadi bendahara.
Selama pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia, Fakih terus
bergerak dalam bidang tersebut. Sekaligus menjalani dua periode sebagai
Menteri Agama Republik Indonesia, Fakih menjadi lebih berpengaruh di
Muhammadiyah. Ia berjasa sebagai wakil ketua di bawah beberapa
pemimpin sebelum dijadikan Ketua Umum Muhammadiyah pada akhir
tahun 1968, beberapa hari sebelum ia meninggal.
Kehidupan awal
Fakih dilahirkan di Gresik, Jawa Timur, Hindia Belanda, pada 2 Maret 1904.
Ayahnya, Usman Iskandar, bekerja sebagai pedagang kayu, sementara
ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang merupakan keturunan
ulama.[1] Pasangan itu, yang hidupnya pas-pasan, mempunyai empat anak
lain. Karena mereka tidak berasal dari kaum priyayi, anak-anak tersebut
tidak bisa mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda.[2][3] Fakih belajar
Islam dari waktu kecil; ia banyak diajari ayahnya. [3] Ketika ia berusia
sepuluh tahun ia mulai belajar di sebuah pesantren di Gresik. Setelah lulus
pada tahun 1918, ia belajar di beberapa pesantren di luar kota Gresik,
termasuk di Bungah.[1]
Bekerja di Muhammadiyah
Fakih mengikuti ayahnya menggeluti bidang perdagangan; pada saat
yang sama ia juga belajar bahasa dan Islam secara mandiri. [2] Ketika
organisasi Islam modernis Muhammadiyah masuk ke Gresik pada tahun
1922, Fakih menjadi salah satu anggota pertamanya. Oleh karena sangat
aktif dengan Muhammadiyah Gresik, dalam waktu tiga tahun ia menjadi
pemimpinnya; saat Fakih memimpin kelompok itu, Muhammadiyah Gresik
diakui secara resmi sebagai cabang Muhammadiyah.[4] Melalui kerjanya
dengan cabang Gresik, Fakih menjadi lebih dikenal dalam kalangan
Muhammadiyah dan dipindahkan ke cabang Surabaya. Ia juga aktif dalam
politik, dan pada tahun 1929 ia dipilih sebagai anggota dewan kota
Surabaya.[5] Sementara, Fakih terus berdagang alat pembangunan; ia juga
mempunyai perusahaan pembuatan kapal.[3]
Selama periode 1932 sampai 1936 Fakih menjadi anggota dewan daerah
Muhammadiyah, sekaligus menjadi redaktur majalah Muhammadiyah
Bintang Islam dan Ketua Majelis Tarjih.[4] Dengan semakin aktifnya, Fakih
mulai bolak-balik dari Surabaya ke Gresik dengan mobil pribadinya,
sebuah barang mewah yang jarang dipunyai orang pribumi pada saat itu;
di Surabaya ia mengurus kepentingan Muhammadiyah, sementara di
Gresik ia mengurus usahanya. Dalam waktu luangnya Fakih belajar
bahasa Belanda dan mendalami ilmu Islam dengan mempelajari
pemikiran Muhammad Abduh.[5]
Pada 21 September 1937, Muhammadiyah, organisasi Islam konservatif
Nahdatul Ulama (NU), kooperasi pedagang Sarekat Islam, dan sejumlah
organisasi Islami lain yang sudah lama bermusuhan bergabung untuk
membentuk sebuah payung organisasi bernama Majelis Islam A'la
Indonesia (MIAI), yang berpusat di Surabaya.[6] Fakih menjadi bendahara
organisasi tersebut.[7] Pada tahun 1938 Fakih menjadi ketua cabang
Muhammadiyah Surabaya, menggantikan Mas Mansoer.[5] Pada tahun
1940 ia mengundurkan diri dari jabatan ketua cabang Muhammadiyah
Surabaya dan anggota dewan kota untuk menjadi pemimpin sekretariat
MIAI.[7]
Masyumi
Setelah Jepang menduduki Hindia-Belanda pada awal tahun 1942, pada
9 Maret 1942 Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan
ketua Koninklijk Nederlands-Indische Leger Jenderal Hein ter Poorten
menyerah.[8] Penguasa Jepang melarang semua jenis organisasi, sehingga
MIAI terpaksa dibubarkan pada bulan Mei. MIAI terbentuk lagi pada
5 September 1942 dan, pada akhir tahun 1943, diberi nama Partai Majelis
Presiden 5 Juli 1959.[27] Pada tahun 1959 pula Fakih mendirikan majalah
Pandji Masjarakat dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Joesoef Poear
Abdullah, dan Ahmad Joesoef.[3]
Soekarno membubarkan Masyumi pada 17 Agustus 1960, setelah
pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin
Prawiranegara terlibat dengan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI);[28] Fakih sendiri pernah ikut dalam negosiasi dengan
pemerintah revolusioner, bekerja sama dengan Mohammad Roem.[3]
Bubarnya Masyumi membuat Fakih lebih mengutamakan Muhammadiyah,
sehingga menjadi Wakil Ketua II di bawah Muhammad Yunus Anis.[28]
Dalam sebuah acara pendidikan kepemimpinan yang diadakan selama
bulan Ramadan 1961, Fakih mulai membentuk suatu identitas
kelembagaan melalui pidatonya "Apakah Muhammadiyah Itu?", yang
menggambarkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang berdasarkan
dakwah, yang mengutamakan isu duniawi, dan hendak bekerja sama
dengan pemerintah untuk menentukan masa depan yang lebih baik untuk
kaum Muslim.[29] Konsep ini dirumuskan selama tahun 1962, sehingga
"Kepribadian Muhammadiyah" menetapkan bahwa organisasi tersebut
harus menuju masyarakat Islam sejati sekaligus melawan politik sayap
kiri.[30] Ini diikuti oleh penataan kembali hierarki Muhammadiyah, sehingga
Kepribadian Muhammadiyah ini lebih mudah diwujudkan.[31]
Dari tahun 1962 hingga 1965 Fakih menjadi Wakil Ketua I Muhammadiyah
di bawah Ahmad Badawi, sekaligus menjadi penasihat untuk para
pemimpin agama muda. Setelah gagalnya Gerakan 30 September, yang
diikuti pembantaian ribuan orang komunis dan Soekarno digantikan oleh
Soeharto sebagai presiden, Fakih dan beberapa anggota Muhammadiyah
lainnya meminta izin untuk membentuk kembali Masyumi; namun, izin ini
tidak diberikan.[32][3]
Dalam periode kedua Ahmad Badawi, Fakih bertugas sebagai penasihat
dan bertanggung jawab atas pengelolaan organisasi. Karena ia semakin
sakit-sakitan, ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah pada
Kongres Muhammadiyah Ke-37 pada tahun 1968, Fakih langsung mulai
mencari penggantinya.[32] Pada 2 Oktober ia mengadakan pertemuan
Dewan Muhammadiyah di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut ia
menggarisbesari rencananya untuk tiga tahun ke depan. Fakih juga
menentukan Rasjidi dan Abdul Rozak Fachruddin sebagai pemimpin
sementara saat Fakih pergi ke luar negeri untuk perawatan. Namun,
meninggal pada hari berikutnya, hanya beberapa hari setelah dipilih. Ia
digantikan Abdul Rozak Fachruddin pada hari yang sama; [a][33] Fachruddin
dipilih secara aklamasi dari calon-calon lain, dan menjadi ketua umum
selama 24 tahun.[34]
Warisan
pernah jauh dari umat yang dipimpinnya. Ia memberikan seluruh diri dan
hidupnya kepada Muhammadiyah. Suatu ketika pada tahun 1975, becak
yang dinaikinya dicegat seorang pedagang kaki lima. Pedagang itu
ternyata hanya ingin bertanya tentang hukum pinjam-meminjam. Lebih
setengah jam, Pak AR memberi penjelasan kepada pedagang tersebut.
Setelah si penanya puas, Pak AR kembali melanjutkan perjalanan.
Pak AR yang memang selalu ingin dekat dengan rakyat kecil itu, paling
senang jika diundang berceramah di kalangan rakyat bawah di lembah
Kali Code dan kampung-kampung pinggiran di Yogyakarta. Suatu kali,
dalam sebuah kultum (kuliah tujuh menit), Pak AR menjelaskan mengapa
dirinya senang ceramah di kalangan rakyat kecil dan miskin. "Karena
itulah sunnah Nabi SAW," jawabnya.
Para pengikut Islam, pertama-tama, jelas Pak AR, adalah rakyat miskin
dan budak belian. "Karena itu, sebagai dai jangan berharap pada orangorang besar dan kaya. Bukankah Nabi pernah mendapat teguran dari
Allah karena menyepelekan orang kecil demi berdakwah untuk orang
besar?" jelasnya.
Sikapnya yang merakyat inilah yang membuat periode kepemimpinannya
dinilai sangat berhasil. Totalitas Pak AR dalam ber-Muhammadiyah, itu
juga ditunjukkan dalam bentuk penolakannya ketika pemerintah Orde
Baru berkali-kali menawarinya menjadi anggota DPR dan jabatan lainnya.
Di sisi lain, Pak AR juga tetap menjaga hubungan baik dengan pemerintah,
dan bekerja sama secara wajar. Sikap dan kebijakannya ini membuat
warga Muhammadiyah merasa teduh, aman dan memberikan
kepercayaan yang besar kepadanya.
Bagaimana Pak AR di mata keluarganya? "Bapak tidak pernah marah.
Kepada kami, juga kepada orang lain. Kalaupun menasihati kami,
dilakukannya secara halus kadang diselingi dengan humor," ujar Siti
Zahanah, anak ketiga Pak AR, sebagaimana dituturkannya dalam buku
Pak AR, Profil Kiai Merakyat.
Meski sebagai teladan dan sangat dihormati di keluarga, bukan berarti
urusan keluarga menjadi prioritas. Baginya, keluarga adalah nomor dua,
sementara Muhammadiyah dan umat adalah urusan pertama dalam
hidupnya. Namun, dukungan keluarga sangat penting bagi Pak AR untuk
menjalankan aktivitas dan amanat organisasi.
Setiap akan meninggalkan rumah lebih dari sehari semalam, Pak AR
mempunyai kebiasaan berpesan kepada sang istri, Siti Qomariyah, dan
anak-anaknya. "Aku arep lungo nang kene semene dino. Kowe kabeh tak
pasrahke Gusti Allah (Aku akan pergi ke kota ini sekian hari. Kamu
sekalian saya titipkan kepada Allah)," tutur Qomariyah, menirukan pesan
Pak AR. Pak AR memang berharap istrinya benar-benar berperan sebagai
ibu rumah tangga secara penuh. Menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga
yang istiqomah, yang mampu membimbing dan memberi motifasi kepada
Pendidikan
Karier
Karya
1. Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi)
2. Garis-garis Besar Ekonomi Islam
3. Hukum Waris Islam
4. Sex Education
5. Citra Manusia Muslim
6. Syarah Hadits
7. Missi Muhammadiyah
8. Falsafah Ibadah dalam Islam
9. Hukum Perkawinan Islam
10. Negara dan Pemerintahan dalam Islam
3 Mazhab Mutazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam)
1. Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila
2. Agama Islam I dan II
3. dan lain-lain.
Muhammad Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 70
tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua
MPR periode 1999 - 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh
MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat
akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang
kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Setelah partai-partai
politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien
Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat
sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai King Maker. Julukan itu
merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan
presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun
2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam
pemilu 1999.
Awal karier
Lahir di Solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis
Muhammadiyah. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta.
Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana
dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan
baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari
Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari
Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah
Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT,
dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru,
Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap
dijuluki Lokomotif Reformasi.
Terjun ke politik
Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien
membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform
nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN,
Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan
politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan
presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden tetapi kalah dan
hanya meraih kurang dari 15% suara nasional.
Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT.
Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding
Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian
dibantah kembali oleh Syamsir Siregar. [1]
Pada Mei 2007, Amien Rais mengakui bahwa semasa kampanye pemilihan
umum presiden pada tahun 2004, ia menerima dana non bujeter
Departemen Kelautan dan Perikanan dari Menteri Perikanan dan Kelautan,
Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Ia sekaligus menuduh bahwa
pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana
dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan
wakil presiden.[2][3]
Kehidupan pribadi
Amien Rais menikah dengan Kusnasriyati Sri Rahayu. Dari pernikahannya,
Amien dikaruniai lima orang anak, yaitu Ahmad Hanafi Rais, Hanum
Salsabiela Rais, Ahmad Mumtaz Rais, Tasnim Fauzia, dan Ahmad Baihaqi.
Tanggal 8 Oktober 2011 Putra Amien Rais, Ahmad Mumtaz Rais menikah
dengan Futri Zulya Safitri, anak dari Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.[4]
Kehidupan
Kehidupan awal
Karya tulis
Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKISIKIP, Yogyakarta, 1975
Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
Keterangan
1.
Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din
Syamsuddin (lahir di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 31
Agustus 1958; umur 56 tahun), adalah seorang politisi yang saat ini
menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang
anak. Ia diamanati untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia Pusat, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat menggantikan Dr (HC). KH.
Sahal Mahfudz yang meninggal dunia pada Jumat 24 Januari 2014.
Riwayat pendidikan
Din Syamsuddin menempuh pendidikan mulai dari:[2]
Karier
Berikut karier yang diikuti oleh Din Syamsuddin:[3]
and
Cooperation
among
dalam Garuda
ringan dalam