Anda di halaman 1dari 11

1.

Kyai Haji Ibrahim


Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di
Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Ia adalah ketua umum
Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH.
Ibrahim adalah putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim
Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan
ia adalah adik kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim adalah ulama yang
hafal Al-Quran (hafidh), ahli seni baca Al-Quran (qira'at), serta mahir dalam
bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah
banyak didirikan di berbagai tempat di Indonesia.
Keluarga
KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei
1874. Ia adalah putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim
Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII
(Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias
Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti
Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim
kemudian menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan
adik kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai
108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.\
KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada
awal tahun 1934 setelah menderita sakit agak lama.
Sumber referensi dari artikel atau bagian ini belum dipastikan dan
mungkin isinya tidak benar.
Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber yang benar
pada bagian yang diperlukan.
Pendidikan
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan
mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu
agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji
pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih
kurang 7-8 Ahmad Dahlan
2. Kyai Haji Ahmad Dahlan
Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1
Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dia adalah putra keempat dari tujuh
bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama
dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan
ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat
penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Latar belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dia
merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dia termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara
Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya
tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru
Kapindo, kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar,
dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-
pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun
1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, dia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga
guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan
Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, dia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya
dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1]
Di samping itu K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda
H. Abdullah. Dia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik kiai Munawwir Krapyak.
K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya dengan Nyai
Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Dia pernah
pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Pengalaman organisasi
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang
cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi
wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati
di tengah kalangan masyarakat, sehingga dia juga dengan cepat mendapatkan
tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite
Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara
berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat
Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga
mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya.
Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh
hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang
menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen,
mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang
kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu
Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priayi. Bahkan ada pula
orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari
Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi
ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi
di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya
dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai
nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang,
Ahmadiyah[7] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah,
di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[8] Taqwimuddin, Cahaya Muda,
Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[9]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van
Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh
Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan
keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja
dengan pakaian hajinya.[10]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad
Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama
dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan
terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang
hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali
dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan
umum).tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke tanah air kareKyai Haji Hisyam
3. Kyai Haji Hisyam
Kiai Haji Hisyam lahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 –
meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Ia
dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam
Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah murid
langsung dari KH. Ahmad Dahlan.
Muhammadiyah
Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di
Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah
ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam
Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan
manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian
Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran,
baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali
karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua
Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar
Muhammadiyah.

Sekolah Muhammadiyah
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka
sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai
persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu,
dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan
demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di
Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka
standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun
mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga
mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah untuk
menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse
School met de Bijbel.
Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah
Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa
masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum
tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah
kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum
yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan
masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun
harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang
didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan
persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
4. Kyai H.Mas Mansoer
Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di
Surabaja, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan
pahlawan nasional Indonesia.
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga
Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad
Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada
masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura.
Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan
terhormat pada saat itu.
Pendidikan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di
samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad
Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh
tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan,
Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah ibnu
Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun,
Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu
dan pulang ke Surabaya.

Belajar di Mekkah dan Mesir


Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang
tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai
Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan Jawa Timur. Setelah
kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya
pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi
bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu.
Pada mulanya ayah Mas Mansoer tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra
Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat
bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap
melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan
hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya
sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa
Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid.
Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya
kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad
Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan
menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak
tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun
pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-
tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia
berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air,
terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915
dia pulang ke Indonesia.
Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji
Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil
pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq,
Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek. Di samping menikah dengan
Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri
kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939
Halimah meninggal dunia.
5. Kyai H. Kibagoes Hadikoesoemo
Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Yogyakarta,
24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63
tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman dengan
nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November 1890). Ki Bagus
adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi
dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.
Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di
pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam
sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama Ngabehi
Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh
Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig.
Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua
Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan
Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia sempat pula aktif mendirikan
perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-
kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kelak
dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).
Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil
Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa
Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus
menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat hingga
tahun 1953. Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam
anggota BPUPKI dan PPKI.
Ki Bagus aktif membuat karya tulis, antara lain Islam Sebagai Dasar Negara
dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati
(1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan
Poestaka Iman (1954).
Setelah meninggal, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai
Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia. Muhammad Yunus Anis
6. Kyai Haji Muhammad Yunus Anis
K.H.R. Muhammad Yunus Anis (Lahir: Yogyakarta, 3 Mei 1903, Wafat:
1979) adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1959-1962.
Pendidikan
Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta
Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia (Jakarta), bimbingan
Syekh Ahmad Syurkati.
Kehidupan
Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh
Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatra Barat. Serta pernah pula mukim
di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan.
Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu,
Yunus Anis diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Ia pernah
mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga
kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari
keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus
Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam.
Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi
demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk
A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun
Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya
mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab
disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno
yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota
parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa
keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka
pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat
Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Yunus Anis sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1959-1962. Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan
tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah
tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar
MKH Ahmad Badawi (Ketua 1962 - 1965)
7. KH Ahmad Badawi
Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir di
Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya,
K.H. Muham-mad Fakih (salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912
sebagai Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik
kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka Ahmad
Badawi memiliki garis keturunan dengan Panembahan Senopati.
Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanam-kan nilai-nilai agama. Hal ini
sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Diantara saudara-
saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini
menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia
masih menempuh pendi-dikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok
pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/organisasi yang mendukung
kelancaran proses mengajinya.
Usia kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri.
Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar,
untuk belajar tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada
K.H. Dimyati di Pondok Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal
sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat
di Pondok Lerab. Pada tahun 1915-1920 Ahmad Badawi mondok di Pesantren
Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di
Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921.
Pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, yang belakangan
berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi SD
Muhammadiyah.uhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan
setengah abaKH Faqih Usman (Ketua 1968 - 1971)
8. KH Faqih Usman
Kyai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret
1904. Ia berasal dari keluarga santri sederhana dan taat beribadah. Faqih Usman
merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan,
baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu
pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar di
pondok pesantren di Gresik tahun 1914-1918. Kemudian, antara tahun 1918-1924
dia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik.
Dengan demikian, ia juga banyak mengua-sai buku-buku yang diajarkan di
pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia
juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari
Mesir yang berisi tentang pergerakan kemer-dekaan. Apalagi, pada penghujung
abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia Islam pada umumnya sedang terjadi
gerakan kebangkitan.
Faqih Usman dikenal memiliki etos enter-preneurship yang kuat. Kegiatan
bisnis yang dilakukannya cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan
yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan
pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan
Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia
diangkat sebagai Ketua Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam
perkembangan selanjutnya menjadi salah satu Cabang Muhammadiyah di
Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena kepiawaiannya sebagai ulama-
cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa
Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur
dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menggantikan
kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada tahun
1936.
Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam
susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu
terpilih sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menjelang meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di
Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya
beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada
tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan
oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.d MuhammaKH Abdur
Rozak Fachdrudin (1971 - 1985)
9. KH Abdur Rozak Fachdrudin
Pak AR demikian nama panggilan akrab Kiai Haji Abdur Rozak
Fachruddin, adalah pemegang rekor paling lama memimpin Muhammadiyah,
yaitu selama 22 tahun (1968-1990). Pak AR lahir 14 Februari 1916 di Cilangkap,
Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin adalah
seorang Lurah Naib atau Penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek
Sri Paduka Paku Alam VIII, berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo.
Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman.
Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah
formal di Standaard School Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta. Setelah
ayahnya tidak menjadi Penghulu dan usahanya dagang batik juga jatuh, maka ia
pulang ke desanya di Bleberan, Galur, Kulonprogo. Pada tahun 1925, ia pindah ke
sekolah Standaard School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede,
Yogyakarta. Setamat dari Standaard School Kotagede tahun 1928, ia masuk ke
Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di
Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan, dan belajar kepada
beberapa kiai di sana, seperti ayahnya sendiri, K.H. Abdullah Rosad, dan K.H.
Abu Amar. Sehabis Mahgrib sampai pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah
Wustha Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.
Setelah ayahnya meninggal di Bleberan dalam usia 72 tahun (1930), pada
tahun 1932 A.R. Fach-ruddin masuk belajar di Madrasah Darul Ulum
Muham-madiyah Wanapeti, Sewugalur. Selanjutnya, pada tahun 1935 A.R.
Fachruddin melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tablighschool (Madrasah
Muballighin) Muhammadiyah kelas Tiga.
Pada tahun 1935, A.R. Fachruddin dikirim (dibenum) oleh Hoofdbestuur
Muhammadiyah ke Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) dengan tugas
mengembangkan gerakan dakwah Muham-madiyah. Di sana, ia mendirikan
Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah, setingkat SMP. Pada tahun 1938, ia
juga mengembangkan hal yang sama di Ulak Paceh, Sekayu, Musi Ilir (sekarang
Kabu-paten Musi Banyu Asin). Pada tahun 1941, ia pindah ke Sungai Batang,
Sungai Gerong, Palembang sebagai pengajar HIS (Hollandcse Inlanders School)
Muhammadiyah, setingkat dengaAmien Rais
10. Amien Rais
Dr. H. Muhammad Amien Rais (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 April
1944; umur 75 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai
Ketua MPR periode 1999—2004. Jabatan ini dipgangnya sejak ia dipilih oleh
MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat
akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan
lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan
Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat
PAN berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai King Maker. Julukan itu
merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden
pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal,
perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.
Awal karier
Lahir di Solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga
aktivis Muhammadiyah. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta.
Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada
1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984 dengan
menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan
gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah
Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan
beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien
adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki
Lokomotif Reformasi.
Terjun ke politik
Amien Rais dan Abdurrahman Wahid berdiskusi saat sidang MPR 1999.
Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien membentuk
Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform nasionalis terbuka.
Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN, Amien masih mampu
bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan
politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan
presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden tetapi kalah dan hanya
meraih kurang dari 15% suara nasional.
Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT.
Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Amien Rais dan
LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian dibantah kembali oleh
Syamsir Siregar.[1]
Pada Mei 2007, Amien Rais mengakui bahwa semasa kampanye
pemilihan umum presiden pada tahun 2004, ia menerima dana non bujeter
Departemen Kelautan dan Perikanan dari Menteri Perikanan dan Kelautan,
Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Ia sekaligus menuduh bahwa pasangan
calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana dari departemen
tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang
kemudian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.[2][3]n SD.diyah.
BIOGRAFI SINGKAT
10 TOKOH MUHAMMADIYAH
Mata Pelajaran Kemumahhamadiyahan

Oleh :
Rizma Nurhasna Fauziah
XI ADKL

SMK MUHAMMADIYAH GARUT


Jl. Ahmad Yani 257 Garut

Anda mungkin juga menyukai