Sekolah Muhammadiyah
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka
sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai
persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu,
dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan
demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di
Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka
standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun
mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga
mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah untuk
menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse
School met de Bijbel.
Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah
Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa
masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum
tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah
kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum
yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan
masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun
harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang
didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan
persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
4. Kyai H.Mas Mansoer
Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di
Surabaja, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan
pahlawan nasional Indonesia.
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga
Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad
Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada
masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura.
Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan
terhormat pada saat itu.
Pendidikan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di
samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad
Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh
tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan,
Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah ibnu
Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun,
Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu
dan pulang ke Surabaya.
Oleh :
Rizma Nurhasna Fauziah
XI ADKL