Anda di halaman 1dari 14

MUSABAQAH MAKALAH AL-QUR’AN

REVOLUSI MENTAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Disusun oleh:
M. Fatchul Muslim

MUSABAQAH TILAWATIL QUR’AN KE VIII


TINGKAT KABUPATEN LAMANDAU
KAFILAH MTQ KECAMATAN DELANG
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Revolusi Indonesia digagas pertama kali oleh presiden Soekarno pada tahun
1957. Dimana kondisi rakyat sedang “mandeg” dan belum tercapainya cita-cita
kemerdekaan. Soekarno pernah mengatakan revolusi mental dikobarkan sebagai
suatu gerakan untuk:
“Membimbing bangsa Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati
putih, berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali, berjiwa api yang
menyala-nyala”.
Setelah tujuh dekade, revolusi mental kembali diiklankan Joko Widodo. Suatu
jargon, dan program unggulan di kampanye pilpres 2014 guna menggaet massa,
mendulang suara. Tentu bukan sebatas spirit sosialisai, tentunya realisasi pada
kehidupan berbangsa dan bernegara harus jadi bukti bukan sekedar janji.6 Revolusi
mental harus mampu menjadi penawar luka, obat penyakit degradasi wibawa negara,
pil lesunya sendi perekonomian, penyambung pudarnya solidaritas dan toleransi,
serta pembangkit krisis kepribadian bangsa. Agar revolusi mental sebagai
pembaharuan tidak terpental, relevan dengan cita-cita „trisaki‟ pelopor bangsa, demi
kedaulatan NKRI, berdikari dalam ekonomi, masyarakat berkepribadian budi tinggi,
terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan, serta bangsa yang bermartabat dan
berperadaban. Maka dibutuhkan nilai agama, tradisi kebudayaan dan nilai falsafah
bangsa.
Integritas, etos kerja dan gotong royong, merupakan gagasan Joko Widodo
beserta tim-nya. Pelaksanaannya tidak berbenturan dan berlari dari pancasila dan
UUD 45 sebagai landasan dasar negara. Sulit kiranya mencapai keberhasilan jika
tidak memiliki landasan teologis yang jelas, bebas nilai, serta adanya ketidakserasian
misi pejabat (hulu) sebagai penerima amanah, dan rakyat (hilir) sebagai pemberi
amanah. Krisis multi dimensi, korupsi, kolusi dan nepotisme, intoleransi SARA,
pudarnya nasionalisme, maraknya perjudian, narkotika, free sex, merupakan PR
rusaknya mental bangsa yang harus diselesaikan bersama. Disinilah perlunya
pendidikan mental yang bernilai. Pendidikan yang mampu melahirkan manusia sadar
sebagai individu, sebagai sosial dan makhluk tuhan.
Mental yang dimaksud dalam Islam adalah akhlak. Untuk menjadi seseorang
berakhlak diperlukan proses agar menjadi manusia paripurna, proses itu pendidikan
namanya. Pendidikan yang mampu mencetak individu berakhlak mulia, shalih secara
individu dan shalih sosial. Dahulu orang yang memiliki keahlian dalam merevolusi
akhlak itu Muhammad Rasululloh SAW, menyempurnakan akhlak dan seruan pada
tauhid merupakan misi risalahnya. Petunjuk Al-Qur’an dan wahyu dijadikan
pijakannya, dakwahnya terprogram, dari teologis ke sosial tujuan revolusinya, dari
individu ke masyarakat dimulai pergerakannya, dan para sahabat sebagai kader
militannya. Revolusi yang diajarkan berupa internalisasi wahyu yaitu nilai-nilai
Qur’ani dan petunjuk Nabi (hadiṡt), sehingga terhimpun manusia berakhlak karimah,
masyarakat madani yang berkemajuan dan berperadaban.
Dari latar belakang diatas sehingga pada kesempatan kali ini penulis membuat
makalah ini dengan judul “Revolusi Mental Dalam Perspektif Islam”.

B. Rumusan Masalah
Berawal dari latar belakang diatas sehingga rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1. Apa pengertian dari revolusi mental?
2. Bagaimana perspektif Islam terhadap revolusi mental?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui pengertian dari revolusi mental?
2. Untuk mengetahui perspektif Islam terhadap revolusi mental?

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memeperoleh informasi dan wawasan tentang revolusi mental.
2. Memperoleh informasi dan wawasan dan tentang revolusi mental.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Revolusi Mental


Revolusi mental secara etimologi terdiri dari dua kata “revolusi dan mental”
yang berlainan makna. Dalam bahasa Arab disebut al-ṡarwah, wa al-inqilabu wa
alhayaju, al-ṡauru wa ẓuḥuru al-dam (perubahan radikal yang menyebabkan
pertumpahan darah), dan al-waṡbu (loncatan), yang terjadi apabila terdapat
penyebab. Rohi Balbaki mengartikan “ṡarwah” dengan revolution, sehingga dari
struktur bahasa terdapat titik temu Arab-Inggris. Kata “revolusi” dalam kamus
umum bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, juga ditemukan kemiripan arti, yaitu:
(1). Perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan
dengan kekerasan (pemberontakan bersenjata); dan, (2). (berevolusi) mengadakan
pemberontakan untuk mengubah ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial).
Menurut Amin Rais, revolusi adalah perubahan radikal yang menyangkut
pemerintahan dan masyarakat suatu negara dengan kekerasan disebabkan tidak
berjalannya sistem pemerintahan. Pendapat itu senada dengan pandangan Islam
klasik yang memaknai revolusi sebagai (1). Fitnah (godaan, hasutan); (2). Ma’siyah
(ketidakpatuhan, pembangkangan, perlawanan); dan (3). Riddah (berpaling). Islam
klasik melihat “revolusi” identik dengan gerakan untuk menggulingkan tatanan
kehidupan orang beriman, kekerasan, intimidasi, krimininalisasi dan diskriminasi
perjuangan Islam. Revolusi juga selalu terkait gagasan perubahan total,
pembaharuan, diskontinuitas yang erat hubungannya dengan transformasi sosial
budaya. Oleh karena itu, revolusi bisa saja terjadi karena adanya pengaruh sosial dan
budaya bangsa lain. Sehingga revolusi dapat diartikan sebagai perubahan individu,
sosial masyarakat, negara dan ketatanegaraan secara otomatis berbasis pada
kesadaran atau perubahan karena adanya pengaruh atau paksaan.
Mental secara etimologi diartikan dengan kejiwaan; rohani, batin; mengenai
pikiran, dan keadaan batin. Dalam bahasa Arab disebut, Sajiyyah (tabi’at), Khulq
(akhlak), Nafs (jiwa), Ikhtibar ruhiyah (latihan kerohanian), dan Tahdzib an-Nafs
(perbaikan jiwa). Sifat-sifat tersebut, memiliki tujuan akhir (gardu al-aqsha) yaitu
memperbaiki perilaku manusia lahir dan batin. Menurut Moeljono “mental” berasal
dari bahasa Yunani, yaitu, “psyche” (psikis), jiwa atau kejiwaan. Namun menurut
Kartini dan Jenny, mental diambil dari bahasa Latin, yaitu mens atau metis yang
berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, dan semangat. Walau berbeda pendapat tetapi dari
keduanya memiliki kesamaan makna yaitu jiwa. Dalam bahasa inggris mental di
artikan way of thingking (berfikir solutif), dan revering to the mind (sesuatu yang
berhubungan dengan pikiran). Syed Muhammad Naquib al-Attas menyamakan
mental dengan jiwa. Asal kata “jiwa” dalam bahasa Indonesia adalah jiwa dari
bahasa sangsakerta artinya benih kehidupan, adapun mental image adalah gambaran
kejiwaan. Pendapat al-Attas relevan dengan istilah psikologi, yaitu (mental)
menyinggung masalah pikiran, akal, ingatan atau proses-proses yang berasosiasi
dengan pikiran, perbuatan, kesigapan, sikap, impuls, dan intelektual. Dengan
demikian mental dapat diartikan sebagai pola pikir, jiwa, kebiasaan, keperibadian,
dan sikap seseorang yang mempengaruhi perilaku individu dimana mental (akhlak)
sebagai barometernya.
Perilaku individu Muslim, disebut Abdul Mujid dengan kepribadian Islam
(syahshiyat) artinya fitrah, yaitu struktur kepribadian utuh yang mencakup dimensi-
dimensi ragawi (biologis), kejiwaan (psikologi), lingkungan (sosio multikultural)
dan ruhani (spiritual). Dalam leksikologi Al-Qur’an disebut al-nafsiyat, dan dalam
ilmu akhlak disebut al-khulq, al-huwiyat, dan al-żatiyat. Jauh sebelum Abdul Mujid,
AlGahzali telah berpendapat, bahwa manusia memiliki citra lahiriyah (khalq), dan
citra bathiniyah (khulq). Al-Ghazali mendefinisikan khulq suatu kondisi (hai’at)
dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhat), yang melahirkan aktivitas spontan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sedangkan menurut Miskawih, khulq
ialah suatu kondisi (hal) jiwa (nafs) yang menghasilkan aktivitas tanpa berpikir
terlebih dahulu.
Dari beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa; pertama, revolusi mental
adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat dan negara menyangkut pola pikir
(mindset), sikap dan kepribadian (akhlak) dalam tempo singkat. Kedua, revolusi
mental merupakan sebuah gerakan ke dalam, untuk memperbaiki sikap diri sebagai
individu, mengevaluasi sistem yang rusak karena korup, ketidakadilan, dan
bertentangan dengan tujuan pendidikan. Ketiga, revolusi mental sebagaimana
disampaikan Joko Widodo, adalah “gerakan nasional untuk mengubah cara pandang,
pola pikir, sikap-sikap, nilai-nilai, dan prilaku bangsa Indonesia yang berdaulat,
berdikari dan berkepribadian”.

B. Revolusi Mental dalam Perspektif Islam


Menurut Azyumardi Azra dalam Ubaidillah dan Abdul Rozak (2013: 133),
“hubungan Islam dan Negara Modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga paradigma: integralistik, simbiotik dan sekularistik”. Indonesia mempraktekkan
pada katagori urutan dua, karena adanya nilai pancasila “ketuhanan yang maha esa”
sebagai pijakan sila-sila berikutnya, dan selaras dengan lintas sejarah Nusantara
yang menjadikan agama tidak sekedar urusan privat (personal) namun termasuk
urusan publik (sosial).
Pondasi yang harus dipersiapkan dalam revolusi mental adalah ajaran agama
Allah SWT secara utuh, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga asas tersebut
merupakan integrasi ajaran Islam yang meliputi keilmuan syariat, adab, kelembutan,
ibadahẓahiriyah dan ibadah baṭiniyah. Ihsan merupakan level tertinggi dalam
beragama, karena cakupannya iman dan Islam. Sebagai out put perubahan mental
yang menyangkut kejiwaan, roh, spiritual dan nilai-nilai dapat merubah seseorang
atau kelompok dalam sebuah ruang lingkup kecil atau bahkan dalam sebuah Negara.
Sehingga alumni revolusi mental mampu menjadi agen perubahan karakter sosial,
menumbuhkan jati diri bangsa, memperjuangkan kewargaan, dapat dipercaya,
berkemandirian, kreatif, menjunjung tinggi nilai gotong royong dan saling
menghargai. Serta melahirkan manusia bermental pancasila yang religius, humanis,
nasionalis, demokratis, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Lebih dekatnya
ketuhanan yang maha Esa adalah ajaran tauhid agama Islam, yang berlandaskan
pada (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Islam sama sekali tidak berseberangan dengan
pilar negara (Pancasila, UUD 45,Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Bahkan
berkontribusi besar demi terwujudnya generasi bangsa yang berkarakter, berbekal
iman dan taqwa. Soekarno pernah menyampaikan, bahwa, “salah satu barisan terkuat
dalam pergerakan revolusi tahun 1945 adalah agama”. Dari itulah seharusnya
revolusi mental masa kini pun bermula dari pendidikan akhlak dan pembenahan jiwa
(roh) berlandaskan agama (Islam).
Beberapa waktu lalu Bapak Joko Widodo pernah mengatakan bahwa, “…Tidak
ada pihak yang mencampuradukkan politik dan agama, dipisah betul, sehingga
rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik”. Sebetulnya upaya dikotomi
politik dan agama mesti tidak terjadi lagi di negeri ini, megingat pancasila adalah
bagian dari nilai Islam. Walaupun tidak jelas maksud dan tujuannya dari ungkapan
itu, namun Ia seolah amnesia terhadap sila satu Pancasila, dan pembukaan UUD 45,
atau mungkin candu dengan agama. Sehingga agama harus dilepas dari aspek
kehidupan manusia. Atau mungkin menurutnya, agama hanya pada sektor rituil saja,
Tuhan tidak usah mengurusi urusan politik, sehingga perannya harus dibatasi. Hamid
Fahmi seolah memberitahu pola pemikir semacam itu pun terjadi di Barat,
menurutnya, bahwa konsep Tuhan di Barat hampir sepenuhnya hasil rekayasa
manusia. Tuhan harus mengikuti aturan manusia. Dan tuhan tidak boleh ikut campur
dalam kebebasan dan kreativitas manusia.
Islam adalah agama shumul (universal), totalitas, syariatnya mengatur urusan
dunia dan akhirat, urusan agama dan negara. Urusan agama yang meliputi masalah-
masalah keyakinan, aqidah dan ibadah. Sedangkan yang bertalian dengan negara,
hubungan sosial masyarakat, muamalah, hukum, privat, perundang-undangan,
pemerintahan, kepemimpinan, ekonomi, administrasi, politik, akhlak dan
sebagainya. Abdul Qadir Audah pernah menyampaiakan,yang artinya:
Keistimewaan syariat Islam ialah karena bersifat universal, yaitu diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh ummat
manusia baik Arab maupun ajam (selain Arab), bangsa timur maupun barat
yang berbeda adat istiadatnya, tradisinya, dan sejarah pertumbuhannya. Yaitu
syariat yang merupakan undang-undang keluarga, undang-undang kabilah,
undang-undang jama’ah, dan undang-undang negara, bahkan merupakan
undang-undang seluruh alam semesta yang pernah diimpikan oleh sarjana-
sarjana hukum tetapi mereka tidak mampu membuat hukum seperti itu.
Al-Qur’an banyak berbicara tentang perubahan sosial kemasyarakatan.
Walaupun tidak ditemukan term khusus “revolusi mental” secara inflisit tetapi secara
ekplisit banyak ditemukan makna yang menunjukan perubahan. Seperti: Q.S: Ar-
Ra’d : 11.
... ...
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra’d:
11).
Menurut Al-Qurṭubi, ayat di atas menunjukkan keharusan adanya tokoh
perubahan dalam gerakan perubahan. Baik terlahir dari kalangan suatu kaum,
pengawas, atau salah seorang dari kaum tersebut. Dalam konteks ke-Indonesia-an
gerakan revolusi mental harus diampu revolusioner yang mampu menjadi penggerak
dan tauladan dalam perubahan, mengajak manusia pada perbaikan tatanan
kehidupan, ekonomi, sosial, politik berbasis agama untuk kesejahteraan bersama.
Kebaikan yang direncanakan dapat berbuah kebaikan, perubahan keburukan yang
direncakan dapat berbuah buruk, pembangunan yang dilandasi tipu daya dapat
membawa petaka, itulah sunnatullah.
Sedangkan menurut al-Sa’di, mengatakan bahwa, “Allah tidak akan merubah
keadaan suatu kaum”, berupa kenikmatan (ihsan), dan kehidupan yang
menyenangkan sampai mereka merubah keimanan kepada kekafiran, dari ketaatan
kepada kemaksiatan, atau dari mensyukuri nikmat Allah kepada mengkufurinya,
sehingga Allah mencabut kenikmatan itu. Demikian pula, ketika manusia merubah
keadaan diri dari maksiat pada ketaatan kepada Allah, maka Allah akan merubah
keadaan mereka dari kesengsaraan kepada kebaikan, kesenangan, kegembiraan, dan
rahmat.
Sektor pendidikan revolusi mental menuju good character dalam perspektif
Islam setidaknya meliputi pendidikan aqidah (teologi), pendidikan pola pikir
(mindset), pendidikan akhlak (character), pendidikan adab kenabian, pendidikan
fisik, dan pendidikan kesucian jiwa. Dari proses pendidikan itu menghasilkan
pembiasaan nilai akhlak yang bertumpu pada hikmah, syaja’ah, iffah, dan adil.
Syariat Islam merupakan satu-satunya ajaran agama bersifat sempurna
(kāmilah) dan menyeluruh (shamilah). Sempurna karena tidak didapatkan
kekurangan, kelemahan, dan menyeluruh karena meliputi lapangan individu,
kelompok masyarakat, maupun negara. Islam mengatur cara hidup seseorang, etika
bergaul, juga memanaje persoalan-persoalan hukum administrasi, politik dan
sebagainya. Seperti; integritas, etos kerja, dan gotong royong. Hanya saja agama
masih merupakan teks pasif, sehingga agama dapat terlihat bila diaplikasikan
pengikutnya, serta diyakini dan dipamahi nilai teks ajarannya. Jika pada
kenyataannya Islam belum maju, tidak berarti menunjukan bahwa Islam yang tidak
sempurna tetapi ke munduran itu disebabkan kelalaian pengikutnya. Dari itulah
tuntutan Islam dalam variable keimanan tidak sekedar pernyataan, tetapi butuh
realisasi dalam bentuk aksi (amal) perbuatan dan budi luhur, seperti termaktub dalam
Q.S. Al-Hujurat: 14.

Artinya: Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.”Katakanlah


(kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah
tunduk (Islam), “karena iman belum masuk kedalam hatimu. Dan jika kamu
taat kepaa Allah dan Rosul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun
(pahala) amalmu. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.(Q.S.
Al-Hujurat: 14)

1. Integritas
Integritas ialah kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, ketulusan hati,
kejujuran, dan tak tersuap. Jika di analisa isi integritas dalam nilai revolusi mental
yang dicanangkan oleh Joko Widodo adalah akhlak. Dari situlah sebenarnya
re;volusi mental memprioritaskan akhlak (SDM), sebelum SDS, dan SDA.
Akhlak adalah nilai akhir iman dan Islam. Kemajuan dan kemunduran suatu
bangsa dilihat dari ahklak masyarakatnya dan pemimpinya. Keberhasilan
Rasulullah dalam mendidik para sahabat adalah bukti nyata keberhasilan suatu
peradaban. Oleh sebab itu Islam memposisikan akhlak sebagai dimensi yang tidak
dapat dipisahkan dari disiplin iman, ilmu, dan amal. Ketiga dimensi itu menjadi
landasan utama dalam beragama, sehingga saling mengikat dan tidak bisa
diputuskan. Lebih hebatnya lagi akhlak adalah alat ukur kemuliaan sesorang.
Ketiga dimensi yang dimaksud ialah:
a. Aqidah
Jika akidahnya benar maka timbul akhlak baik terhadap Al-Khaliq sehingga
tidak menyekutukannya.
b. Shari’ah
Berupa pengabdian hamba terhadap Tuhan-Nya. Jika pengamalan mahḍah dan
gairu maḍhah sesuai Qur’an dan Sunnah maka telah menjaga dari ikhtilaf fil
ibadah.
c. Ihsan
Yaitu hubungan baik terhadap Allah Swt (mu’amalah ma’a Allah), hubungan
baik terhadap sesama manusia (mu’amalah ma’a al-naas), serta hubungan
terhadap seluruh makhluk di dunia (mu’amalah ma’a al-aalam). Ihsan inilah
pembuktian dari adanya pemahaman benar terhadap aqidah dan syari’ah.
Novi Hardian (2008:21), menyebut empat faktor pembentuk akhlak
sesDeorang, yaitu: 1). Al-wiraṡiyah (genetic), artinya keturunan atau nasab
sebagai pembentuk akhlak anak; 2). An-Nafsiyah (psikologis), yaitu nilai-nilai
yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya; 3). Shari’ah ijtimaiyyah (sosial),
artinya lingkungan pengaruhi aktulisasi nilai-nilai dalam diri; 4). AlQiyam (nilai
Islami), yaitu pemahaman ke-Islaman seseorang dapat mewarnai pembentukan
akhlak.
Jika seseorang berakhlak karimah pasti dimudahkan mendapat ridha Allah
dan kasih sayang-Nya, menjadi pantas, dan elegan, berbuat mulia menghidar dari
amal tercela. Atas dasar itulah, akhlak mempunyai kedudukan istimewa dalam
Islam, sehingga seorang Muslim dapat diukur kualitas keimanannya hanya dengan
melihat akhlaknya. Hasan al-Bashari, ulama besar kalangan tabi’in, mengatakan
bahwa, “seorang manusia disebut tidak berilmu jika tidak berakhlak”. hal itu
seperti dikutip oleh Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Asqalani sebagai berikut:
Orang yang tidak berakhlak, tidak berilmu, orang yang tidak beresabar, tidak
beragama, dan orang yang tidak wara’ (apik/kehati-hatian), tidak berkedekatan
dengan Allah.
Secara umum, akhlak dibagi dua. Pertama, akhlak mahmudah, (akhlak
terpuji) atau akhlak karimah (akhlak mulia). Kedua, akhlak mazdmumah (akhlak
tercela). Namun menurut al-Ghazali, bahwa pembagian akhlak baik dan buruk itu
ditentukan oleh adanya perbuatan yang bertolak ukur pada ketentuan akal dan
syari’at.
2. Etos kerja
Menurut Heddy, Etos yaitu perangkat nilai atau nilai-nilai yang mendasari
perilaku suatu golongan atau kolektivitas manusia. Basis etos adalah ilmu profetik
(penghayatan etos kerja keabadian untuk Allah). Sedangkan kata “kerja”
didefiniskan sebagai kegiatan melakukan sesuatu. Sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah, mata pencaharian. Selanjutnya menurut Heddy, etos kerja dibagi
dua yaitu: a). Etos kerja keabdian; 2). Etos kerja keabadian.
Bagi seorang Muslim etos kerja adalah upaya eksistensi keimanan,
mewujudkan keyakinan melalui pola prilaku dan tindakan, serta ketawadhuan.
Etos kerja keabadiannya ditujukan untuk: 1). Kemanusiaan; 2). Keilmuan; 3).
Kesemestaan. Nilai etos kerja inilah pembeda agama Islam dengan selainnya.
Islam mengatur berjuta persoalan, termasuk memenuhi kebutuhan hidup (kerja),
dengan asas agama (religiusitas) wajib jadi landasan. Islam juga memadukan
segala nilai material dan spiritual agar simbang, menyeluruh, dan memudahkan
manusia dalam mengarungi kehidupan yang telah ditentukan Allah untuk akhirat
nanti.
Dalam Q.S. Al-Taubah: 105, Allah memerintahkan seseorang untuk
bekerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja mawas.

Artinya: “Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya


serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan”.
(QS. At-Taubah: 105)
Wahbah al-Zuhaili menafsirkan, Q.S. At-taubah: 105, bahwa manusia
diperintah untuk menjalankan pekerjaan sesuka hati “bekerjalah kalian sesuai
kehendakmu” baik berupa kebajikan maupun kemaksiatan. Sedangkan Abu Ja’far
al-ṭabari menyebutkan, bahwa ayat I’malū merupakan “peringatan”, karena
konsekuensi dari kerja dalam Islam ialah penilaian orang beriman, di lihat Rasul
berarti bekerja sesuai tuntunannya, dihisab Allah karena hasil kerja baik
buruknya. Dengan demikian etos kerja dalam Islam adalah ibadah, bernilai dunia
akhirat. Sehingga bekerja tidak sekedar memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi
berlandas pada Iman, Taqwa, dan kerjaas untuk kemaslahatan bersama.

3. Gotong Royong.
Melirik sejarah bangsa Indonesia, Nusantara tidak dapat dipisahkan dari
gotong royong. Leluhur bangsa Indonesia sejak jaman kerajaan, penjajahan,
hingga awal kemerdekaan sentiasa terikat erat dalam budaya gotong-royong.
Budaya bahu-membahu ampuh menggalang kekuatan dan menggiring gelombang
ombak kebersamaan menuju dermaga kemerdekaan. Lain zaman lain generasi,
masakini sapuan angin ribut dan derasnya budaya asing hampir menghanyutkan
budaya bangsa. Budaya yang sebenarnya hampir mirip budaya jepang kyodo
(gotong royong), hanya saja mereka tetap konsekuen menjalankan sifat tradisonal
yang sudah turun temurun, sedangkan kita sudah banyak bergeser akibat berbagai
faktor.
Sejak zaman kerajaan Majapahit, doktrin agama sipil untuk
mensenyawakan keragaman-keragaman ekpresi keagamaan telah di formulasikan
oleh mpu tantular dalam sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrwa,” berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. Dalam
Islam kebersamaan tolong menolong, bermusyawarah, tenggang rasa, bahu-
membahu bagian dari universalitas Islam menyangkut aspek sosial yang sangat di
anjurkan bahkan diwajibkan, perhatikan bunyi ayat berikut:

Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan


dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah:2).
Menurut Wahbah al-Zuhaili, tolong-menolong dalam kebajikan, taqwa, dan
perkara yang dapat menenangkan hati, adalah wajib. Sedangkan bahu-membahu
dalam permusuhan, kriminal, melanggar hukum, merampas hak orang,
kemaksiatan dan dosa adalah haram. Pada ayat 71 Q.S. Al-Maidah, Allah Swt
memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk saling bahu-membahu dalam
menegakakan kebenaran, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan ketaatan pada Allah. Konteknya dalam berbangsa dan
bernegara, kita diwajibkan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dari
neokolonialisme, mempersatukan kebhinekaan dalam bingkai ukhuwah islamiyah,
ukhuwah wathaniyah, dan ukhwuwah basyariyah. Menstabilkan keterpurukan
ekonomi dari keberpihakan asing yang menghancurkan, membangun akhlak
bangsa yang hampir roboh, melawan ganasnya budaya barat yang telah mengubah
aspek tertentu dari kehidupan dan prilaku kalangan elit yang berperan sebagai
pengambil keputusan karena pola pikirnya barat.
Sudah saatnya ummat bersatu, bergotong-royong, bahu-membahu,
berupaya membangun National Character Building (NCB) dari tangan-tangan
panas, mulut berbisa, wajah ganda para pejabat dan elit bangsa yang tidak lagi
memprioritaskan kesejahteraan, kemandirian, kedaulatan, dan kemaslahatan
bangsa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Revolusi mental sebagaimana disampaikan oleh presiden Joko Widodo,
adalah “gerakan nasional untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap-sikap,
nilai-nilai, dan prilaku bangsa Indonesia yang berdaulat, berdikari dan
berkepribadian”.
Secara ekpisit ayat Al-Qur’an yang membahas tentang Revolusi mental
yaitu:

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga


mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.(Q.S. Ar-Ra’d:
11).
Integritas, etos kerja dan gotong royong dalam perspektif Islam memiliki
tujuan dunia-akhirat. Sehingga tujuan revolusi mental untuk memenuhi kebutuhan
dan mengatur masyarakat, melindungi susunan masyarakat, menciptakan suasana
tenang, menciptakan keharmonisan, bekerjasama, solidaritas dan gotong royong,
damai antara anggota masyarakat; suku, agama, ras, dan adat, dapat dijalankan
melalui konsep Islam yang komprehensif yang sudah jelas tidak bertentangan
dengan nilai pancasila dan UUD 45.

B. Saran
Nilai-nilai integritas, etos kerja dan gotong royong harus benar-benar dapat
diamalkan oleh setiap masyarakat kita. Selain itu integritas, pembangunan sektor
ekonomi, dan menjaga kedaulatan negara tidak harus memutus urusan politik dan
agama. Karena pemutusannya menyebabkan terjadinya bangsa yang tak
berkeperibadian dan tak berperadaban. Pembangungan sektor material: SDA, SDS,
prastruktur dan suprastruktur hanya akan menimbulkan ketergantungan pada bangsa
asing-aseng jika tidak diiringi pembangunan SDM pribumi dan sektor immaterial
yang kompeten dan berkepribadian unggul. Sehingga harus seimbang antara
pembangunan sektor material dengan pembangunan SDM dan sektor immaterial.

Anda mungkin juga menyukai