Disusun oleh:
M. Fatchul Muslim
A. Latar Belakang
Revolusi Indonesia digagas pertama kali oleh presiden Soekarno pada tahun
1957. Dimana kondisi rakyat sedang “mandeg” dan belum tercapainya cita-cita
kemerdekaan. Soekarno pernah mengatakan revolusi mental dikobarkan sebagai
suatu gerakan untuk:
“Membimbing bangsa Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati
putih, berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali, berjiwa api yang
menyala-nyala”.
Setelah tujuh dekade, revolusi mental kembali diiklankan Joko Widodo. Suatu
jargon, dan program unggulan di kampanye pilpres 2014 guna menggaet massa,
mendulang suara. Tentu bukan sebatas spirit sosialisai, tentunya realisasi pada
kehidupan berbangsa dan bernegara harus jadi bukti bukan sekedar janji.6 Revolusi
mental harus mampu menjadi penawar luka, obat penyakit degradasi wibawa negara,
pil lesunya sendi perekonomian, penyambung pudarnya solidaritas dan toleransi,
serta pembangkit krisis kepribadian bangsa. Agar revolusi mental sebagai
pembaharuan tidak terpental, relevan dengan cita-cita „trisaki‟ pelopor bangsa, demi
kedaulatan NKRI, berdikari dalam ekonomi, masyarakat berkepribadian budi tinggi,
terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan, serta bangsa yang bermartabat dan
berperadaban. Maka dibutuhkan nilai agama, tradisi kebudayaan dan nilai falsafah
bangsa.
Integritas, etos kerja dan gotong royong, merupakan gagasan Joko Widodo
beserta tim-nya. Pelaksanaannya tidak berbenturan dan berlari dari pancasila dan
UUD 45 sebagai landasan dasar negara. Sulit kiranya mencapai keberhasilan jika
tidak memiliki landasan teologis yang jelas, bebas nilai, serta adanya ketidakserasian
misi pejabat (hulu) sebagai penerima amanah, dan rakyat (hilir) sebagai pemberi
amanah. Krisis multi dimensi, korupsi, kolusi dan nepotisme, intoleransi SARA,
pudarnya nasionalisme, maraknya perjudian, narkotika, free sex, merupakan PR
rusaknya mental bangsa yang harus diselesaikan bersama. Disinilah perlunya
pendidikan mental yang bernilai. Pendidikan yang mampu melahirkan manusia sadar
sebagai individu, sebagai sosial dan makhluk tuhan.
Mental yang dimaksud dalam Islam adalah akhlak. Untuk menjadi seseorang
berakhlak diperlukan proses agar menjadi manusia paripurna, proses itu pendidikan
namanya. Pendidikan yang mampu mencetak individu berakhlak mulia, shalih secara
individu dan shalih sosial. Dahulu orang yang memiliki keahlian dalam merevolusi
akhlak itu Muhammad Rasululloh SAW, menyempurnakan akhlak dan seruan pada
tauhid merupakan misi risalahnya. Petunjuk Al-Qur’an dan wahyu dijadikan
pijakannya, dakwahnya terprogram, dari teologis ke sosial tujuan revolusinya, dari
individu ke masyarakat dimulai pergerakannya, dan para sahabat sebagai kader
militannya. Revolusi yang diajarkan berupa internalisasi wahyu yaitu nilai-nilai
Qur’ani dan petunjuk Nabi (hadiṡt), sehingga terhimpun manusia berakhlak karimah,
masyarakat madani yang berkemajuan dan berperadaban.
Dari latar belakang diatas sehingga pada kesempatan kali ini penulis membuat
makalah ini dengan judul “Revolusi Mental Dalam Perspektif Islam”.
B. Rumusan Masalah
Berawal dari latar belakang diatas sehingga rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1. Apa pengertian dari revolusi mental?
2. Bagaimana perspektif Islam terhadap revolusi mental?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui pengertian dari revolusi mental?
2. Untuk mengetahui perspektif Islam terhadap revolusi mental?
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memeperoleh informasi dan wawasan tentang revolusi mental.
2. Memperoleh informasi dan wawasan dan tentang revolusi mental.
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Integritas
Integritas ialah kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, ketulusan hati,
kejujuran, dan tak tersuap. Jika di analisa isi integritas dalam nilai revolusi mental
yang dicanangkan oleh Joko Widodo adalah akhlak. Dari situlah sebenarnya
re;volusi mental memprioritaskan akhlak (SDM), sebelum SDS, dan SDA.
Akhlak adalah nilai akhir iman dan Islam. Kemajuan dan kemunduran suatu
bangsa dilihat dari ahklak masyarakatnya dan pemimpinya. Keberhasilan
Rasulullah dalam mendidik para sahabat adalah bukti nyata keberhasilan suatu
peradaban. Oleh sebab itu Islam memposisikan akhlak sebagai dimensi yang tidak
dapat dipisahkan dari disiplin iman, ilmu, dan amal. Ketiga dimensi itu menjadi
landasan utama dalam beragama, sehingga saling mengikat dan tidak bisa
diputuskan. Lebih hebatnya lagi akhlak adalah alat ukur kemuliaan sesorang.
Ketiga dimensi yang dimaksud ialah:
a. Aqidah
Jika akidahnya benar maka timbul akhlak baik terhadap Al-Khaliq sehingga
tidak menyekutukannya.
b. Shari’ah
Berupa pengabdian hamba terhadap Tuhan-Nya. Jika pengamalan mahḍah dan
gairu maḍhah sesuai Qur’an dan Sunnah maka telah menjaga dari ikhtilaf fil
ibadah.
c. Ihsan
Yaitu hubungan baik terhadap Allah Swt (mu’amalah ma’a Allah), hubungan
baik terhadap sesama manusia (mu’amalah ma’a al-naas), serta hubungan
terhadap seluruh makhluk di dunia (mu’amalah ma’a al-aalam). Ihsan inilah
pembuktian dari adanya pemahaman benar terhadap aqidah dan syari’ah.
Novi Hardian (2008:21), menyebut empat faktor pembentuk akhlak
sesDeorang, yaitu: 1). Al-wiraṡiyah (genetic), artinya keturunan atau nasab
sebagai pembentuk akhlak anak; 2). An-Nafsiyah (psikologis), yaitu nilai-nilai
yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya; 3). Shari’ah ijtimaiyyah (sosial),
artinya lingkungan pengaruhi aktulisasi nilai-nilai dalam diri; 4). AlQiyam (nilai
Islami), yaitu pemahaman ke-Islaman seseorang dapat mewarnai pembentukan
akhlak.
Jika seseorang berakhlak karimah pasti dimudahkan mendapat ridha Allah
dan kasih sayang-Nya, menjadi pantas, dan elegan, berbuat mulia menghidar dari
amal tercela. Atas dasar itulah, akhlak mempunyai kedudukan istimewa dalam
Islam, sehingga seorang Muslim dapat diukur kualitas keimanannya hanya dengan
melihat akhlaknya. Hasan al-Bashari, ulama besar kalangan tabi’in, mengatakan
bahwa, “seorang manusia disebut tidak berilmu jika tidak berakhlak”. hal itu
seperti dikutip oleh Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Asqalani sebagai berikut:
Orang yang tidak berakhlak, tidak berilmu, orang yang tidak beresabar, tidak
beragama, dan orang yang tidak wara’ (apik/kehati-hatian), tidak berkedekatan
dengan Allah.
Secara umum, akhlak dibagi dua. Pertama, akhlak mahmudah, (akhlak
terpuji) atau akhlak karimah (akhlak mulia). Kedua, akhlak mazdmumah (akhlak
tercela). Namun menurut al-Ghazali, bahwa pembagian akhlak baik dan buruk itu
ditentukan oleh adanya perbuatan yang bertolak ukur pada ketentuan akal dan
syari’at.
2. Etos kerja
Menurut Heddy, Etos yaitu perangkat nilai atau nilai-nilai yang mendasari
perilaku suatu golongan atau kolektivitas manusia. Basis etos adalah ilmu profetik
(penghayatan etos kerja keabadian untuk Allah). Sedangkan kata “kerja”
didefiniskan sebagai kegiatan melakukan sesuatu. Sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah, mata pencaharian. Selanjutnya menurut Heddy, etos kerja dibagi
dua yaitu: a). Etos kerja keabdian; 2). Etos kerja keabadian.
Bagi seorang Muslim etos kerja adalah upaya eksistensi keimanan,
mewujudkan keyakinan melalui pola prilaku dan tindakan, serta ketawadhuan.
Etos kerja keabadiannya ditujukan untuk: 1). Kemanusiaan; 2). Keilmuan; 3).
Kesemestaan. Nilai etos kerja inilah pembeda agama Islam dengan selainnya.
Islam mengatur berjuta persoalan, termasuk memenuhi kebutuhan hidup (kerja),
dengan asas agama (religiusitas) wajib jadi landasan. Islam juga memadukan
segala nilai material dan spiritual agar simbang, menyeluruh, dan memudahkan
manusia dalam mengarungi kehidupan yang telah ditentukan Allah untuk akhirat
nanti.
Dalam Q.S. Al-Taubah: 105, Allah memerintahkan seseorang untuk
bekerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja mawas.
3. Gotong Royong.
Melirik sejarah bangsa Indonesia, Nusantara tidak dapat dipisahkan dari
gotong royong. Leluhur bangsa Indonesia sejak jaman kerajaan, penjajahan,
hingga awal kemerdekaan sentiasa terikat erat dalam budaya gotong-royong.
Budaya bahu-membahu ampuh menggalang kekuatan dan menggiring gelombang
ombak kebersamaan menuju dermaga kemerdekaan. Lain zaman lain generasi,
masakini sapuan angin ribut dan derasnya budaya asing hampir menghanyutkan
budaya bangsa. Budaya yang sebenarnya hampir mirip budaya jepang kyodo
(gotong royong), hanya saja mereka tetap konsekuen menjalankan sifat tradisonal
yang sudah turun temurun, sedangkan kita sudah banyak bergeser akibat berbagai
faktor.
Sejak zaman kerajaan Majapahit, doktrin agama sipil untuk
mensenyawakan keragaman-keragaman ekpresi keagamaan telah di formulasikan
oleh mpu tantular dalam sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrwa,” berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. Dalam
Islam kebersamaan tolong menolong, bermusyawarah, tenggang rasa, bahu-
membahu bagian dari universalitas Islam menyangkut aspek sosial yang sangat di
anjurkan bahkan diwajibkan, perhatikan bunyi ayat berikut:
B. Saran
Nilai-nilai integritas, etos kerja dan gotong royong harus benar-benar dapat
diamalkan oleh setiap masyarakat kita. Selain itu integritas, pembangunan sektor
ekonomi, dan menjaga kedaulatan negara tidak harus memutus urusan politik dan
agama. Karena pemutusannya menyebabkan terjadinya bangsa yang tak
berkeperibadian dan tak berperadaban. Pembangungan sektor material: SDA, SDS,
prastruktur dan suprastruktur hanya akan menimbulkan ketergantungan pada bangsa
asing-aseng jika tidak diiringi pembangunan SDM pribumi dan sektor immaterial
yang kompeten dan berkepribadian unggul. Sehingga harus seimbang antara
pembangunan sektor material dengan pembangunan SDM dan sektor immaterial.