Anda di halaman 1dari 15

Kasidah Burdah Di Mesir dan Pengaruhnya Di Indonesia: Masyarakat dan

Pesantren

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Al Adab Al Araby Al Hadist

Dosen pengampu : Dr. R. Yani'ah Wardani M. Ag

Disusun oleh :

Disusun :

Siti Masitoh 11200210000155

Tia Damayanti 112002100001

Muhammad Sulthan Nadhif 11200210000149

Siti Sarah 112002100001

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

BAHASA DAN SASTRA ARAB

2022
PENDAHULUAN

Di dunia Arab sejak zaman jahiliyah, sastra sudah berkembang pesat. Bahkan, menjadi
aset negara yang sangat penting. Aset ini hasil dari budaya orangdi zamannya. Adapun karya
sastra merupakan buah dari pikiran pengarang yang bisa dinikamti pembaca. Dalam
kesussastraan Arab muncul berbagai bentuk karya sastra. Pada zaman jahili, puisi merupakan
karya sastra yang muncul pertama kali. Bahkan puisi berkembang hingga beradab-abad. Namun,
dalam perjalanan sejarah, kasidah burdah tak kalah populer dari puisi.
Kasidah burdah yang muncul pertma kali itu pda masa Rasulullah, yang merupakan buah
pikiran dari Ka’ab bin Zuhair karena kagum melihat akhlak Rasulullah.Nampaknya, kasidah
pada masa ini tidak begitu masyhur, hingga muncul kembali kasidah burdah sebagai ekspresi
dari seorang pengarang bernama Imam Bushiri. Kasidah burdah ini berkembang luas hingga ke
berbagai belahan dunia. Hal ini terlihat pada fakta sejarah yang mengisahkan bahwa banyak
ditemukan salinan dan penerjemahan kasidah burdah ke berbagai bahasa. Bahkan di Indonesia,
kasidah burdah diterjemahkan ke Bahasa Sunda, dan banyak digunakan di kalangan masyarakat
juga Pesantren.
Sebagaimana uraian di atas, pemakalah ingin membahas bagaimanaproses
perkembangan kasidah burdah di Mesir dan pengaruhnya di Indonesia, khusunya di masyarakat
dan Pesantren. Semoga, dengan adanya makalah ini menambah wawasan pembaca dan menjadi
pahala bagi pemakalah. Aamin
PEMBAHASAN

1. Istilah Kasidah Burdah


Kasidah berasal bahasa Arab: "‫"قصيدة‬,  adalah bentuk syair epik kesusastraan Arab yang
dinyanyikan. Penyanyi menyanyikan lirik berisi puji-pujian (dakwah keagamaan dan satire)
untuk kaum muslim. Adapun dalam KBBI kasidah bermakna bentuk puisi, berasal dari
kesusastraan Arab, bersifat pujaan (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan).
Al-Burdah menurut etimologi banyak mengandung arti, antara lain: pertama, baju
(jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini,
seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya, teman-teman dan rakyatnya.
Kedua, nama dari kasidah yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW yang digubah oleh
Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma. Ia pernah membenci Rasulullah saw dan menyerangnya
sampai kaki beliau berdarah. Ketika ingin masuk Islam dia takut bertemu beliau. Ia datang
menghadap Nabi di Madinah dengan diantar Abu Bakar ra. Di hadapan Rasulullah saw dia
menyatakan keislamannya. Ternyata beliau memafkannya dan menyambutnya dengan baik.
Ka’ab bin zuhair kagum akan akhlak beliau. Ia bersyair memuji beliau dengan kasidahnya
yang masyur: banat su’adu. Rasululah saw melepas burdahnya dan memberikan kepadanya.
Sejak saat itu puisi: Banat Su’adu dinamakan burdah. 1
Pengertian mengenai burdah diartikan sebagai baju (jubah) khalifah, yaitu jubah yang
dimiliki Ka’ab bin Zuhair. Jubah yang menjadi kepemilikan kelurga Ka’ab dibeli Khalifah
Muawiyah pada masa Bani Umayyah dengan harga dua puluh dirham, kemudian dibeli pada
Masa Bani Abbasiyah oleh Khalifah Ja’far Al Mansur seharga empat puluh dirham. Kemudian,
jubah tersebut digunakan Khalifah pada moment tertentu yang dianggap istimewa. Pemakaian
jubah tersebut digunakan secara turun-temurun, sehingga pada masanya jubah tersebut menjadi
pembeda antara Khalifah dengan rakyat ataupun kerabatnya.
Dapat disimpulkan bahwa kasidah burdah merupakan puisi yang dilantukan dengan lagu.
Di mana puisi ini merupakan ungkapan rasa kecintaan, kekaguman kepada Rasulullah. Adapun
istilah penggunaan kata burdah bermula dari pemberian jubah (burdah) Rasulullah kepada
Ka’ab bin Zuhair.

2. Sejarah Kasidah Burdah di Mesir


Kasidah burdah yang pertama kali muncul di sesusastraan Arab adalah kasidah Banat
Su’adu yang dibuat oleh Ka’ab bin Zuhair karena kekagumannya akan akhlak Rasulullah.

1
Ulin Nihayah,”Konsep Seni Kasidah Burdah Imam Al Bushiri Sebagai Alternatif Menumbuhkan Kesehatan
Mental”. Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang: Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 34, No.1, Januari ² Juni
2014.
Sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa kasidah Banat Su’adu disebut juga dengan burdah.
Kedua, kasidah burdah yang diciptakan oleh Imam Bushiri. Ia membuatnya sebagai luapan rasa
cintanya kepada Rasulullah juga sebagai nasehat bagi masyarakat pada masa itu. Dan kasidah
burdah ini yang kemudian dipakai di berbagai kalangan hingga berkembang di masyarakat dan
Pesantren di Indonesia.
Kasidah Burdah merupakan cermin perjalanan sufistik Imam Bushiri. Nama aslinya
adalah Abu ‘Abdillah Syaraf ad-Din Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin
‘Abdillah bin al-Shanhaj bin Mallal al-Bushiri. 2 Ia dilahirkan di Dalash, di desa Bani Yusuf
pada tahun 1212 M. Ayahnya keturunan Maroko, dari desa Abû Shayr. Dari kedua nama,
Dalash dan Abû Shayr, muncul sebuah ungkapan ad-Dalâshîry untuk nama Muchammad bin
Sa’îd. Namun, karena mungkin bagi orang Arab ungkapan itu sulit diucapkan dan sukar diingat,
akhirnya ungkapan yang populer adalah al-Bûshîry. Al-Bûshîry adalah seorang penyair Arab
yang sekaligus juga sufi terkenal yang wafat di Iskandariyyah, Mesir pada tahun 1296 Masehi.
Al-Bûshîry meninggalkan warisan Kasidah Burdah yang dibaca di sejumlah besar masjid di
Mesir, di antaranya Masjid al-Bûshîry di Iskandariyah, Masjid Imam Husayn, Masjid Tarekat
Ja’fariyah, dan Masjid Siti Zaynab di Kairo, juga Masjid Nabawi di Madinah. Di dinding-
dinding masjid tersebut, bait-bait Kasidah Burdah ditempelkan.3
Kasidah Burdah al-Bûshîry dapat digolongkan ke dalam puisi keagamaan yang berisi
ungkapan mendalam al-Bûshîry kepada Nabi Muhammad saw. Kasidah Burdah karya al-
Bûshîry merupakan karya sastra Arab populer di Mesir pada abad ke-13 Masehi. Al-Bûshîry
hidup pada masa transisi perpindahan kekuasaan dari Dinasti Ayyubiyah ke Dinasti Mamlûk.
Masa ini adalah masa pergolakan politik yang terus menerus terjadi, kemorosotan akhlak
melanda hampir seluruh negeri, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan
kemewahan. Pada masa yang suram inilah kemudian muncul Kasidah Burdah sebagai reaksi
terhadap situasi politik, sosial, dan budaya yang terjadi pada masa itu. Al-Bûshîry menyusun
kasidahnya tersebut dimaksudkan agar umat Islam mencontoh kehidupan Nabi dalam
mengendalikan hawa nafsu dan kembali kepada ajaran Alquran dan Hadis. 4
Kasidah burdah awalnya di ciptakan oleh Imam Al-bushiri saat menderita sakit yang

cukup parah dan berkepanjangan. Pada saat masa-masa sulit menjalani penyakit lumpuh yang
dideritanya, imam al bushiri menggubag kasidah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan tujuan memohon syafa’at kepada Allah SWT supaya disembuhkan dari segala penyakit

2
Ulin Nihayah,” Kasidah Burdah Imam Al-Bushiri; Model Alternatif Dakwah Pesantren”. Universitas Islam
Nahdlatul Ulama Jepara: Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 7 No. 1, 2015.
3
Fadlil Munawwar Mansur.”Resepsi Kasidah Burdah Al-Bûshîry Dalam Masyarakat Pesantren”. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta: Jurnal Humaniora VOLUME 18 No. 2 Juni 2006.
4
Fadlil Munawwar Mansur.”Resepsi Kasidah Burdah Al-Bûshîry Dalam Masyarakat Pesantren”. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta: Jurnal Humaniora VOLUME 18 No. 2 Juni 2006.
yang dideritanya selama ini, kasidah itu berjudul ”Al Kawakibuddruriyah fi Madhi Khairil
Bariyah”. Hingga pada suatu malam, usai melantunkan kasidah burdah yang dibuatnya, imam
al bushiri tertidur, dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan
memberikan imam al bushiri sebuah surban (burdah) yang kemudian diletakkan pada tubuh al
bushiri yang sakit. Saat terbangun dari tidurnya, imam al bushiri merasakan keajaiban yang
tidak ia sangka-sangka, karena penyakit yang ia derita selama bertahun-taun tiba-tiba sembuh
sama sekali. Keajaiban yang dialami oleh imam al bushiri tersebutlah yang menjadi alasan
utama terhadap penamaan kasidah burdah itu sendiri. Keajaiban yang dialami oleh imam al
bushiri sendiri berkembang dari zaman ke zaman hingga muncul kepercayaan bahwa kasidah
burdah memiliki kekuatan supranatural5
Burdah juga memiliki dimensi mistik, karena oleh sebagian umat Islam, Burdah sering
dijadikan sebagai wasilah untuk memperoleh syafa’at serta rahmat dari Allah. Diceritakan
bahwa sahabat al-Bushiri sendiri, as-Shahib Baha’ ad-Din ibn Ali Muhammad ibn Salim ibn
Hana, seorang pejabat di Mesir waktu itu, bahkan meminta salinan Burdah al-Bushiri yang
digunakan untuk mengobati kebutaan salah satu pegawai kerajaan yang bernama Sa’d ad-Din
al-Fariqi. Setelah salinan Burdah itu diusapkan pada matanya, syahdan kebutaan itu sembuh.
Sejak saat itu as-Shahib bersumpah untuk selalu berdiri, berwudlu, memakai jubah dan
mengenakan tutup kepala di saat membaca syair Burdah. Semua itu dilakukannya sebagai
bentuk penghormatan terhadap syair madah Nabi tersebut.6
Dapat disimpulkan bahwa kemunculan kasidah burdah Imam Bushiri disebabkan kondisi
sosial masyarakat yang berada pada kemorosotan moral, dan kasidah ini sebagai reaksi untuk
mengajak masyarakat kembali mencontoh kehidupan Rasulullah dan mengendalikan hawa
nafsu. Kemudian, pembuatnnya dibarengi dengan keadaan Bushiri yang sedang sakit. Kasidah
ini dimaksudkan sebagai permintaan syafaat kepada Rasulullah agar Allah mengangkat
penyakitnya. Dengan mimpinya, menjadikan pembacaan kasidah burdah dianggap sebagai
wasilah untuk meminta kesembuhan dari penyakit.
Kasidah Burdah, sebagai karya sastra keagamaan, mendapat sambutan besar masyarakat
sastra di sejumlah negara di lima benua dari awal kelahirannya, pada abad ke-13, sampai dengan
abad ke-21 M. Bahasa yang digunakan dalam teks Kasidah Burdah adalah bahasa puisi Arab
yang indah, baik dalam tataran teksnya maupun maknanya. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila kasidah ini mendapat sambutan besar dari masyarakat sastra di sejumlah
negara di lima benua: Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia. Di Asia, khususnya

5
Ulin Nihayah,”Konsep Seni Kasidah Burdah Imam Al Bushiri Sebagai Alternatif Menumbuhkan Kesehatan
Mental”. Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang: Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 34, No.1, Januari ² Juni
2014.
6
Ulin Nihayah,” Kasidah Burdah Imam Al-Bushiri; Model Alternatif Dakwah Pesantren”. Universitas Islam
Nahdlatul Ulama Jepara: Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 7 No. 1, 2015
Indonesia, kasidah ini disambut oleh masyarakat pesantren, antara lain di pesantren-pesantren
Sunda di Jawa Barat.7
Teks matan Kasidah Burdah yang paling awal terdapat dalam antologi puisi al-Bûshîry
yang berjudul Hamziyyah. Naskah Hamziyyah yang di dalamnya terkandung teks Kasidah
Burdah itu, telah diberi komentar oleh Ibnu Hajar al-Haytâmy yang diberi judul al-Minah al-
Makiyyah. Pada tahun 1310, di Kairo, Chasan ath-Thûkhy Achmad menulis syarah Kasidah
Burdah dengan judul Majmû’ul-Lathîf. Pada tahun 1722, teks matan dan komentar Kasidah
Burdah Khâlid al-Azhary disalin oleh Ibrâhîm Ibnu Syaykh Ibrâhîm Ibnu Salâmah. Khâlid al-
Azhary adalah komentator Kasidah Burdah yang dikenal luas sepanjang zaman, ia wafat pada
tahun 1499. Penyalinan teks Kasidah Burdah versi Khâlid al-Azhary yang berikutnya dilakukan
oleh Abdur-Rachîm bin Abdul-Qâdir pada tahun 1844. Teks Kasidah Burdah versi al-Azhary
ini juga tersimpan dalam bentuk microfilm di Manuscript in Microformat pada University of
Chicago Library. Pada tahun 1761, untuk pertama kalinya, naskah Kasidah Burdah berbahasa
Latin disebarkan oleh Uri, seorang orientalis dari Universitas Leiden, dengan judul Carmen
Mysticum Borda Dictum. Resepsi Kasidah Burdah tidak hanya dalam penamaan judul kasidah
seperti Nahjul- Burdah karya Syauqy, tetapi resepsi juga dalam pilihan kata (diksi) pada
kasidah-kasidah yang muncul setelah Kasidah Burdah al-Bûshîry. Hal ini bisa dilihat pada
Kasidah Kasyful-Ghummah fy Madchi Sayyidil-Ummah karya Muchammad Sâmy al-Bârûdy
yang sebagian besar teks kasidahnya itu menggunakan kata-kata yang sama dengan Kasidah
Burdah al-Bûshîry. Teks kasidah al-Bârûdy ini memuat 450 bait, jauh lebih banyak daripada
teks Kasidah Burdah al-Bûshîry yang terdiri atas 160 bait. Jadi, ada keterkaitan
(intertekstualitas) yang besar antara Kasidah Kasyful-Ghummah fy Madchi Sayyidil-Ummah
karya al-Bârûdy.8
Adapun kaidah isi dari kasidah burdah, yaitu sebagai berikut:
a. Kecintaan pada Rasullah. Prolog pada bagian burdah yang dimaksud dalam ilmu sastra

disebut syakwa al-gharam (ekperesi batin sang penyair). Pada bagian ini, seorang
penyair mengungkapkan isi hatinya dengan bahasa kiasan dan perlambang

(hiperbolis). Kecintaan pada Nabi ini diungkapkan Bushiri pada bait 1-12.

7
Fadlil Munawwar Mansur.”Resepsi Kasidah Burdah Al-Bûshîry Dalam Masyarakat Pesantren”. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta: Jurnal Humaniora VOLUME 18 No. 2 Juni 2006.
8
Fadlil Munawwar Mansur.”Resepsi Kasidah Burdah Al-Bûshîry Dalam Masyarakat Pesantren”. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta: Jurnal Humaniora VOLUME 18 No. 2 Juni 2006.
b. Nasihat akan hawa nafsu. Pada bagian kedua dari syair burdah, berisi peringatan akan
bahaya hawa nafsu. Terkait dengan hawa nafsu ini, al bushiri mengungkapkan watak
dari nafsu di dalam Burdah, jumlahnya ada 16 bait dimulai dari bait 13-28.

c. Puji-pujian kepada Rasullah SAW. Pujian al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas pada sifat
dan kualitas pribadi, tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu
mukjizat paling besar dalam bentuk Al Quran, mukjizat yang abadi. Bagian ini
merupakan bagian inti dari burdah yaitu tentang Rasullah SAW. Bila memuji Rasullah
termasuk ibadah shalawat, maka burdah dapat dikatakan dalam bentuk shalawat,
adapun Bab ini dimulai dari bait 29-58.
d. Maulid Nabi Muhammad SAW. Bagian burdah ini, bercerita tentang kelahiran Nabi
Muhammad SAW, beserta berbagai peritiwa menakjubkan di sekitarnya sebagai tanda
kelahiran Rasullah. Jumlah bait pada bagian keempat ini ada 13 dan dimulai dari bait
59-71.

e. Mukjizat. Bagian burdah yang kelima adalah cerita tentang mukjizat- mukjizat Nabi
Muhammad SAW, yang bersifat lahiriah. Jumlah baitnya terdiri dari 16 bait dan
dimulai dari bait 72-87.
f. Keistimewaan Al-Qur’an. Bagian enam burdah menuturkan keistimewaan -
keistimewaan mukjizat Rasullah SAW, yang berupa turunnya kitab Al-qur’an sebagai
pedoman. Adapun Jumlah baitnya terdapat 16 dan pada bait ke 88-103.

g. Isra’ Mi’raj. Bagian ketujuh menuturkan isra’mir’raj, perjalanan suci Rasullah SAW,
dari Masjidil Haram sampai sidratul Muntaha. Jumlah baitnya ada 13, dari bait 104-
116.
h. Perjuangan Nabi SAW di Medan Perang. Bagian kedelapan berisi kisah perjuangan
Nabi, keperkasaan nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam peperangan
melawan musuh-musuh Islam. Didalamnya menggambarkan betapa keberanian Nabi
SAW membuat musuh lari ketakutan. Jumlah pada bagian ke delapan ini adalah 22 bait
pada bagian 117-138.

i. Penyesalan Al bushiri. Bagian kesembilan burdah berisi penyesalan dan permohonan


ampunan. Dalam bait-bait ini imam Al-bushiri menggambarkan penyesalan yang
mendalam atas kebiasaan al bushiri yang membuat puisi dengan mengharapkan materi,
penyesalan albushiri pada bagian ke sembilan ini terdapat 12 bait dan terlihat pada bait
ke 139-150.
j. Penutup. Pada bagian terakhir ini, merupakan penutup dan doa. Pada bagian ini, terlihat
kemahiran al bushiri dalam mengungkapkan matla’ sehingga pada akhir bab ini, al
bushiri menyusun kalimat seindah mungkin. Bagian ini juga merupakan harapan al
bushiri agar dosa-dosanya terampuni. Jumlah syirnya ada10 bait yang dimulai dari bait
151-160. 9

3. Pengaruh Kasidah Burdah di Indonesia: Masyarakat dan Pesantren


Kasidah burdah yang berkembang di Mesir, menyebar luas di Indonesia. Menurut
sebagian kalangan, syair kasidah Burdah dikenalkan oleh pedagang yang menyebarkan Islam
dari Gazarat bersamaan dengan Barzanji. Alasan kuat diterimanya syair ini dan menjadi populer
9
Ulin Nihayah,”Konsep Seni Kasidah Burdah Imam Al Bushiri Sebagai Alternatif Menumbuhkan Kesehatan
Mental”. Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang: Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 34, No.1, Januari ² Juni
2014.
karena mengandung nilai-nilai sufistik yang sejalan dengan Islam di tanah Nusantara.
Untuk melihat posisi Kasidah Burdah dalam sejarah sastra keagamaan dan perkiraan
masuknya ke Indonesia, dapat dilihat pada kelahiran karya-karya keagamaan di pesantren, yang
selalu dikaitkan dengan kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang sudah dikenal dan dipelajari
pada abad ke-16 Masehi. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jawa dan Melayu, sementara beberapa pengarang Indonesia telah menulis kitab-kitab dalam
bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa dengan kitab ortodoks. Sekitar tahun 1600
Masehi, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa, dan Arab dibawa ke Eropa.
Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan
Islam di Nusantra saat itu 10 Sambutan hangat untuk karya sastra indah dan fenomenal ini
dibuktikan juga dengan adanya terjemahan yang muncul di Aceh.
Sambutan masyarakat daerah di Nusantara (di Aceh, 1896) terhadap Kasidah Burdah
dapat dilihat pada karya terjemahan van Ronkel dalam bahasa Melayu yang kemudian pada
tahun 1955 diedit oleh Drewes. Tulisan J. Kreemer juga menyebutkan bahwa di Aceh terdapat
terjemahannya yang terkumpul dalam Nalam Mo’lot yang diterjemahkan oleh Teungku Tjeh
Köb dari teks Arab yang berjudul Aqîdatul-Awâm yang kemudian diterbitkan. Pada penerbitan
yang kedua sekitar tahun 1925, di Koetaraja muncul pula terjemahan Kasidah Burdah yang
terkumpul dalam naskah berjudul Majmû’atur-Rasâ‘il.11
Teks pertama Kasidah Burdah yang dicipta di Nusantara diperkirakan yang terdapat
dalam dua naskah tulisan tangan yang berjudul qashîdatul-burdah, naskah pertama ditulis oleh
Haji Kami Ibnu Hûmy, Haji Muchammad Sa’îd al-’Âsyy, seorang ulama Aceh, sedangkan
naskah kedua tidak diketahui penulisnya (anonim). Adapun naskah (kitab) Kasidah Burdah yang
pertama masuk ke dunia pesantren adalah châsyiyatul-bâjûry ‘ala matanil-burdah, karya Ibrâhîm
al-Bâjûry dan 'ashîdatusy-syahdah syarchu qashîdatil-burdah ditulis oleh al-Kharbûthy. Asumsi
ini dipilih karena Naskah Ibrâhîm al-Bâjûry dan Naskah al-Kharbûthy paling banyak disambut
oleh masyarakat pesantren. Dalam hal ini, naskah châsyiyatul-bâjûry ‘ala matanil-burdah dan
naskah 'ashîdatusy-syahdah syarchu qashîdatil-burdah dapat dipandang sebagai teks
transformasi yang secara turun-menurun melahirkan teks-teks Kasidah Burdah dalam bentuk
terjemah dan syarah, antara lain dalam bahasa Sunda.12
Kasidah Burdah diterjemahkan ke dalam Bahasa Sunda oleh seorang kiai kharismatik
bernama K.H. Ahmad Fadlil pada abad ke-19. Ia berasal dari Ciamis, Salah satu kabupaten

10
Dadang Gani. (2010 September 04). Pembacaan Kasidah Burdah Dan Tradisi Keilmuan Di Pesantren Sunda (Kh.
Dr Fadlil Munawwar Manshur, Ms/Pengasuh Pp Darussalam Ciamis).
11
Fadlil Munawwar Mansur.”Resepsi Kasidah Burdah Al-Bûshîry Dalam Masyarakat Pesantren”. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta: Jurnal Humaniora VOLUME 18 No. 2 Juni 2006.
12
Dadang Gani. (2010 September 04). Pembacaan Kasidah Burdah Dan Tradisi Keilmuan Di Pesantren Sunda (Kh.
Dr Fadlil Munawwar Manshur, Ms/Pengasuh Pp Darussalam Ciamis).
bagian selatan Jawa Barat yang berdekatan dengan salah satu pantai terkenal, Pantai
Pangandaran. K.H. Ahmad Fadlil adalah sosok kiai yang sangat mencintai sastra. Ia juga
merupakan kiai yang juga mencintai nilai-nilai lokalitas budaya. Pada tahun 1929, ia mendirikan
sebuah pondok pesantren Cidewa yang saat ini kemudian berubah nama menjadi Darussalam
Ciamis.
Penerjemahan ini menjadi perantara tersebarluasnya kasidah burdah di masyarakat,
khususnya suku sunda. Bahasa yang digunakan dalam kasidah burdah mengandung banyak
keindahan, tak heran bila pembaca tenggelam dalam kenikmatan makna kasidah burdah.
Pembacaan kasidah burdah di kalangan masyarakat biasanya dilantunkan ketika perayaan
Maulid Nabi. Hal ini selaras dengan isi kasidah burdah yang ditujukan sebagai luapan kecintaan
kepada Baginda Rasulullah, juga nasihat-nasihat dalam kasidah relevan dengan masyarakat
sekarang. Maka, pembacaan kasidah burdah selain sebagai bukti kecintaan seorang umat, juga
menjadi nasihat bagi setiap pendengarnya.
Kasidah burdah dalam perkembangannya di Indonesia berkaitan erat dengan kehidupan
Pesantren. Pesantren sebagai tempat bergolaknya ilmu keagamaan, menyambut hangat
kehadiran kasidah burdah. Kasidah Burdah dapat dikategorikan sebagai kitab keagamaan yang
bercorak sastra. Dalam tradisi pesantren pada umumnya, dan di Jawa Barat khususnya, teks
Kasidah Burdah merupakan objek kajian santri dan kiai. Teksnya yang dikaji itu ada yang
berupa karangan ulama yang sudah berbentuk kitab berbahasa Arab, tetapi juga ada teks yang
ditulis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda.
Adapun pengaruh burdah bagi masyarakat dan pesantren, berupa manfaat mencakup
agama, spiritual dan pendidikan.
1. Keagamaan, burdah dapat diketahui melalui pengamalan matan burdah secara
keseluruhan sebagai amal ibadah. Pengalaman mereka didasarkan atas alasan bahwa
burdah itu selaras dengan Al-qur’an dan sunnah serta didorong oleh kecintaan kepada
Nabi dan rasa hormat kepada ulama (Al-Bushiri). Mereka memandang Al-Bushiri
sebagai wali Allah yang layak untuk diminta barakanya. Disamping itu, bait-bait
burdah tertentu diamalkan secara integral dengan ibadah shalat fardu. Bait ke-79,
misalnya dibaca sebanyak tiga kali setelah shalat maghrib dengan tujuan untuk
memperoleh kekuatan dalam beragama.
2. Spiritual, tampak dalam khasiat faedah yang dikandung syair burdah. Bait-bait burdah
memiliki tiga fungsi spiritualm yaitu: mengobati penyakit rohaniah, jasmaniah dan
sebagai penolak bala. Untuk memperoleh khasiat tersebut, burdah yang dilakukan
dengan kaitan perkembangan individu, upacara-upacara keagamaan, pertanian,
perdaganagan, kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar, pengobatan, permintaan keputusan
dari Allah bagi yang sakit keras dan hal - hal yang magis.
3. Pendidikan, pada kasidah burdah ini dengan memberikan pengajaran kepada santri dan
masyarakat, baik secara langsung maupun tida langsung. Ia dipandang sebagai salah satu
sumber ajaran Islam dalam hal mencintai Nabi dan memujinya, serta mengetahui berbagai
mukjizatnya.
4. Hiburan, dapat diketahui oleh masyarakat indonesia untuk menghibur diri, menggairahkan
santri atau jama'ah dan menyenangkan pihak pengundang. Karena itu masyarakat Indonesia
membaguskan suaranya, mengimprovisasikannya, dan memvariasikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Gani, Dadang. (2010 September 04). Pembacaan Kasidah Burdah Dan Tradisi Keilmuan Di
Pesantren Sunda (Kh. Dr Fadlil Munawwar Manshur, Ms/Pengasuh Pp Darussalam
Ciamis). Dipetik Oktober 15, 2022 dari
http://dadanggani.blogspot.com/2010/09/pembacaan-kasidah-burdah-dan-tradisi.html

Manshur, Fadlil Munawwar. Resepsi Kasidah Burdah Al-Bûshîry Dalam Masyarakat


Pesantren. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2006. Juga dapat diuduh pada
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/868

Nihayah, Ulin. Konsep Seni Qasidah Burdah Imam Al Bushiri Sebagai Alternatif
Menumbuhkan Kesehatan Mental. Semarang: Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo. 2014. Juga dapat diunduh pada
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/dakwah/article/view/488
Nihayah, Ulin. Qasidah Burdah Imam Al-Bushiri; Model Alternatif Dakwah Pesantren.
Jepara: Universitas Islam Nahdlatul Ulama. 2015. Juga dapat diunduh pada
https://ejournal.unisnu.ac.id/JKIN/article/view/289/0

Anda mungkin juga menyukai