Anda di halaman 1dari 7

PEMBERIAN CONTOH ANALOGI

UNTUK MENGATASI MISKONSEPSI SISWA

Taufiq Hidayanto dan Subanji


Universitas Negeri Malang
taufiqhidayanto749@gmail.com; subanji.fmipa@um.ac.id
Abstrak: Miskonsepsi merupakan salah satu masalah serius yang perlu segera
ditangani oleh seorang pendidik. Miskonsepsi dapat menyebabkan kesalahankesalahan lain yang lebih sistemik bagi siswa. Penelitian ini merupakan studi kasus
miskonsepsi dalam menyelesaikan soal matematika yang dialami oleh dua siswa
sekolah dasar dan upaya untuk mengatasinya. Upaya tersebut berupa pemberian
contoh analogi yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengonstruksi ide
penyelesaian masalah sehingga mencapai solusi yang tepat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa contoh analogi dapat membantu siswa mengatasi kesalahan
konsep dalam menyelesaikan masalah matematika.
Kata Kunci: Contoh Analogi, Miskonsepsi, Siswa SD

Miskonsepsi merupakan masalah yang


sering menjadi perhatian para peneliti
(Radatz dalam Sarwadi & sahrill, 2014;
Subanji, 2015; Zazkis & Leikin, 2008).
Miskonsepsi berdasarkan oxford dictionary
diartikan sebagai A view or opinion that is
incorrect because based on faulty thinking
or understanding atau suatu pandangan
atau opini yang tidak tepat yang disebabkan oleh pemikiran atau pemahaman yang
salah. Miskonsepsi siswa perlu segera diatasi karena akan menyebabkan kesalahankesalahan lain dalam belajar matematika.
Hal ini didukung oleh pernyataan Radatz
dalam Sarwadi & Shahrill (2014) bahwa
miskonsepsi dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan sistemik yang dilakukan
oleh siswa. Berdasakan teori kesalahan
yang dikemukanan oleh Subanji (2015: 86106), kesalahan-kesalahan siswa tersebut
dapat berupa pseudo konstruksi, lubang
konstruksi, mis-analogical konstruksi, dan
mis-logical konstruksi.
Penelitian ini mengungkapkan peran contoh analogi dalam mengatasi mis-

konsepsi siswa sekolah dasar (SD). Contoh


analogi digunakan dalam penelitian ini karena didukung dengan banyaknya penelitian-penilitian yang telah mengkaji pentingnya contoh dalam pembelajaran matematika. Contoh-contoh tersebut digunakan
untuk memverifikasi pernyataan, untuk
menggambarkan algoritma dan prosedur,
memberikan kasus-kasus tertentu yang
sesuai dengan batasan definisi (Rissland
dalam Zazkis dan Chernoff, 2008),
membentuk dan menyangkal generalisasi
(Zazkis, Liljedah, Chernoff, 2007), dan
memperjelas suatu definisi (Zazkis, Leikin,
2008).
Amir-movidi,
Amiripur,
dan
Bizan-Jadah (2012) menyatakan bahwa
salah satu strategi yang dapat digunakan
memfasilitasi siswa untuk membangun pemahaman konseptualnya yaitu penggunaan
analogi. Penggunaan analogi ini digunakan
untuk mengembangkan penalaran analogi
siswa. Richland, et al (2004) dan Loc &
Uye (2014) menyatakan bahwa penalaran
analogi memiliki peran penting dan meru-

156

Hidayanto, Pemberian Contoh Analogi, 157

pakan strategi yang efektif dalam pembelajaran matematika. Dalam penelitian ini,
contoh analogi didasarkan pada kemampuan penalaran analogi siswa. Selanjutnya,
Amir-movidi, et al (2012) menyimpulkan
bahwa kemampuan penalaran analogi
membantu siswa dalam mengaitkan pengetahuan matematika baru ke dalam pengalaman yang telah ada. Poin penting dalam
penalaran analogi, yaitu:
1. Berupaya untuk menemukan kasus
yang mirip namun berbeda dengan
masalah awal;
2. Jawaban atau gagasan masalah analogi tersebut mengarah pada jawaban
yang mirip dengan masalah asal;
3. Menghasilkan hubungan antara kasus
yang trivial maupun tidak dalam contoh analogi;
4. Memisahkan analogi yang dihasilkan
dari langkah penyelesaian masalah
yang lain, seperti menghasilkan kasus
ekstrem, memecah solusi ke dalam
beberapa bagian yang terpisah, dan
analisis masalah dalam pernyataan
prinsip teoritis.
Contoh Analogi menggunakan
gagasan Watson dan Mason (2005) dalam
Zazkis dan Chernoff (2007) yaitu konsep
ruang contoh. Menurut Watson dan
Mason, ruang contoh adalah kumpulan
contoh yang memenuhi fungsi tertentu.
Ruang contoh dipengaruhi oleh pengalaman individu dan memori serta prasyarat
tertentu dari tugas yang diberikan. Ruang
contoh dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. ruang contoh personal, yaitu contoh
yang dikembangkan melalui tugas,
isyarat, dan lingkungan melalui pengalaman terbaru siswa;
2. ruang contoh personal potensial, yaitu
contoh yang terdiri atas pengalaman
masa lalu seseorang dan tidak terstruktur, sehingga tidak mudah untuk menjangkaunya;

3. ruang contoh konvensional, yaitu contoh yang telah dikemukakan matematikawan dan yang tersaji dalam buku teks
dan dapat ditularkan langsung kepada
siswa oleh guru.
Keempat gagasan ruang contoh tersebut
digunakan sebagai landasan peneliti untuk
memberikan contoh analogi. Selain itu,
pemberian contoh harus berhati-hati. Hal
ini sesuai dengan saran Amir Movidi, et al
(2012) untuk memilih contoh analogi dengan tepat karena memungkinkan siswa
bernalar dengan tidak tepat dan menyebabkan miskonsepsi.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena data utamanya adalah berupa kata-kata dan hasil pekerjaan
siswa dalam menyelesaikan soal. Jenis penelitian ini adalah studi kasus karena peneliti memilih subjek tertentu dengan teknik purposive sampling yaitu memilih siswa yang mengalami kesalahan akibat dari
miskonsepsi dalam menyelesaikan soal
yang diberikan dan mampu mengomunikasikan idenya dengan baik. Subjek yang
dipilih adalah dua siswa SD, yaitu Alfa dan
Beta (bukan nama sebenarnya). Alfa merupakan siswa kelas 3 SD dengan kemampuan sedang dan memiliki motivasi matematika yang rendah. Beta adalah siswi
kelas 5 SD dengan kemampuan sedang dan
memiliki motivasi tinggi terhadap matematika.
Prosedur pengambilan datanya diawali dengan pemberian masalah kepada
siswa. Subjek 1 (Alfa) diberi diberikan
masalah penjumlahan dan subjek 2 (Beta)
diberi masalah terkait dengan materi
waktu.
Selanjutnya, siswa yang mengalami kesalahan karena miskonsepsi diwawancarai untuk mengetahui letak kesalahannya. Setelah mengetahui letak kesala-

158, J-TEQIP, Tahun VI, Nomor 2, November 2015

hannya, siswa dberikan contoh analogi


yang serupa dengan contoh asal dengan
penyelesaian yang lebih mudah. Contoh
analogi yang diberikan mengarahkan siswa
untuk mengonstruk penyelesaian masalah
asal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan ini menyajikan diskripsi terjadinya kesalahan yang
diakibatkan oleh adanya miskonsepsi siswa
serta upaya pemberian contoh analogi
dalam mengatasi masalah siswa tersebut.
Hasil penelitian disajikan berdasarkan karakteristik masing-masing subjek, karena
itu dibentuk dalam dua kasus. Kedua kasus
ini tidak bisa digeneralisasi, namun dapat
menjadi inspirasi bagaimana mengatasi
miskonsepsi siswa dalam belajar matematika melalui pemberian contoh analogi.

Kasus 1: Kasus pada Alfa, yaitu Operasi


Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Ratusan
Kasus pada Alfa terjadi ketika Ia menyelesaikan masalah operasi bilangan ratusan.
Alfa diberikan masalah
123 + ........... = 435
yaitu Alfa diminta menentukan bilangan
yang tepat untuk mengisi titik-titik tersebut
sehingga pernyataan menjadi benar.
Alfa menuliskan jawaban:
123 + 558 = 432
Berikut transkrip wawancara penelusuran
peneliti:
......
P: Gimana dengan jawabanmu ini?
Bagaimana kamu mendapatkan
jawaban seperti ini?
A: ini....Pak, 123 + 432 trus hasilnya jadi
558, begitu ...........
P: menurutmu jawabanmu ini benar?

A: hmm............... gak tau, benar kayaknya


............
Berdasakan ulasan transkrip di atas, siswa
mengalami kesalahan dalam berpikirnya.
Kesalahan siswa terjadi karena adanya
miskonsepsi dalam menyelesaikan soal.
Siswa menganggap bahwa untuk mengisi
titik-titik tersebut dengan menjumlahkan
123 dengan 432 sehingga menghasilkan
jawaban salah. Berikut ini transkrip wawancara peneliti ketika memberikan contoh analogi untuk memperbaiki miskonsepsi tersebut:
......
P: sekarang, kalo misalkan 2 + ........... =
5, bilangan yang tepat untuk mengisi
titik-titik adalah ......
A: 7.... eh ...... 3, Pak
P: 7 atau 3?
A: 3, Pak, iya, 3....
P: kok bisa gitu?
P: iya, karena 2 + 3 = 5
......
Transkrip wawancara di atas merupakan
bentuk pemberian contoh analogi oleh peneliti. Peneliti memberikan contoh analogi
yang melibatkan bilangan yang lebih sederhana agar siswa dapat menyelesaikan
dengan mudah. Selanjutnya peneliti membangkitkan berpikir siswa untuk dapat menemukan langkah menentukan jawaban
yang tepat.
......
P: Ok, jawabnnya tadi 3, ya, karena 2 + 3
= 5, terus, kira-kira, bagaimana kamu
mendapatkan jawaban 3?
A: hmmm....... gimana ya, Pak? (siswa
berpikir) ........Oh aku tahu, ............
begini, Pak, 5 dikurangi 2, jadinya 3.
P: apakah yakin begitu?
A: iya, Pak. Benar, ketemu 3, dan ............
2 ditambah 3 hasilnya 5

Hidayanto, Pemberian Contoh Analogi, 159

Melalui contoh analogi tersebut, siswa diberi kesempatan untuk mengonstruksi prosedur untuk menemukan jawaban yang tepat. Siswa mencoba memikirkan bagaimana mendapatkan jawaban yang tepat, dan
akhirnya menemukan cara bahwa untuk
menemukan jawabannya adalah dengan
mengurangakan 5 dengan 2, sehingga ketemu 3.
Selanjutnya peneliti memberikan
kasus lain yang analogi dengan kasus sebelumnya, namun bilangannya lebih rumit.
.........
P: kalo seandainya saya punya soal gini,
gimana? 12 + ......... = 27
A: ini seperti tadi kan, Pak, kalo gitu
berarti titik-titik itu isinya.........
hmmm.......... 27 dikurangi 12 jadinya
15,
P: apa kamu yakin?
A: iya, Pak, karena 12 + 15 = 27
.........
Alfa telah mampu menggunakan prosedur
yang Ia temukan dari contoh analogi sebelumnya. Selanjutnya, peneliti mengajak
siswa untuk memastikan jawaban pada
masalah asal, yaitu 123 + 558 = 432.
.........
P: nah, sekarang, kalo kita kembali ke
masalah untuk menentukan bilangan
yang mengisi titik-titik dari soal 123 +
...... = 432, tadi caramu gimana?
A: 123 + 432 = 558
P: kalo dibandingkan dengan caramu
untuk menyelesaikan 2 + ......... = 5
tadi, berarti gimana? Caramu udah
benar atau masih salah?
A: hmm........... iya...ya.... berarti ini salah,
tadi kan ditambah, harusnya dikurangi
P: maksudnya gimana?
A: ini lho, Pak. Yang ini 432 harusnya
dikurangi 123, trus jadinya jawabannya

............ (siswa menghitung) ........... 432


123 = 321, begitu ..........
P: gimana kamu yakin dengan jawaban
321?
A: karena ini.....gini........ehm........... oh ya,
karena 123 + 321 = 432
P: Ok, good
...........
Pada transkrip tersebut tampak bahwa peneliti mengajak siswa untuk membandingkan langkah penyelesaian yang telah dilakukan dengan langkah penyelesaian yang
baru saja ditemukan. Siswa telah mampu
mentransformasikan langkah penyelesaian
dari contoh analogi ke masalah awal sehingga menemukan jawaban yang tepat.
Kasus 2: Kasus pada Beta, yaitu
Operasi Penjumlahan dan Pengurangan
pada Bilangan Jam
Permasalahan yang dialami Beta
adalah kesalahan dalam melakukan operasi
penjumlahan dan pengurangan pada bilangan jam, yaitu basis 24 untuk bilangan
jam sistem 24 jam. Masalah yang diberikan adalah sebagai berikut:
Ibu berangkat ke Bandara juanda
dari Banyuwangi. Untuk mengejar
jadwal penerbangan pagi, Ibu berangkat dari Banyuwangi pukul
21.15 WIB dan sampai Bandara
Juanda pukul 04.45 WIB. berapa
lama perjalanan Ibu dari Banyuwangi ke Bandara?
Beta menjawabnya dengan prosedur: 21.15
04.45 dan menghasilkan 16.30. berikut
ini transkrip wawancaranya:
.........
P: Bagaimana kamu mendapatkan
jawaban ini? 16.30?
B: Dengan mengurangi 21.15 dengan
04.45, Pak. Karena 21.15 lebih besar

160, J-TEQIP, Tahun VI, Nomor 2, November 2015

dari 04.45, jadi saya mengurangi 21.15


dengan 04.45, jadinya 16.30.
A: apakah kamu yakin dengan
jawabanmu?
B: gak tau, Pak? Sepertinya begitu.......
............
Berdasarkan kutipan wawancara di atas,
Beta sebenarnya telah bisa melakukan operasi pengurangan bilangan jam, namun
masih salah dalam bernalar. Beta mengurangkan 21.15 dengan 04.45, sehingga
mendapatkan jawaban 16.30. Beta mengabaikan kelogisan dari jawaban yang Ia
temukan sehingga jawabannya salah. Selanjutnya, Peneliti memberikan contoh
analogi untuk mengatasi masalah tersebut.
.........
P: OK, sekarang misalkan, Beta berangkat
ke sekolah pukul 06.00 dan sampai
sekolah pukul 06.35, berapa lama
perjalanan Beta ke Sekolah?
B: 35 menit, Pak.
P: giamana kamu bisa menjawab 35
menit?
B: ya ini, Pak, kan berangkatnya jam
06.00, dan sampai sana jam 06.35, jadi
35 menit.....
P: caranya gimana?
B: ini, Pak. Kan sampainya jam 06.35 trus
berangkatnya jam 06.00, jadinya lama
perjalanannya 06.35 06.00, gitu, Pak.
.........
Peneliti memberikan kasus yang serupa
dengan kasus awal, namun diberikan
dengan kasus yang lebih sederhana. Kemudian peneliti memberikan kasus lain yang
lebih rumit.
.........
P: sekarang, misalkan kamu dari malang
mau ke Surabaya naik Bis, berangkat
dari Malang jam 09.45 dan sampai
Surabaya jam 12.10. Berapa lama
perjalananmu?

B: hmm........... berarti itu, 12.10 dikurangi


09.45 jadinya ........... (Beta
menghitung) ............ jadinya .....2. 25
P: itu berarti berapa lama?
B: 2 jam 25 menit, pak.
P: Ok
...........
Contoh analogi yang kedua diberikan agar
Beta lebih mantap dengan langkah yang Ia
gunakan untuk menyelesaikan masalahnya.
Kemudian, peneliti mencoba memancingnya untuk merumuskan metode untuk menyelesaikan masah yang berkenaan dengan
bilangan jam.
..........
P: dari dua contoh tadi, bagaimana untuk
menentukan lamanya perjalanan?
B: berarti itu, jam waktu sampai dikurangi
dengan waktu berangkat, Pak
P: OK.
.........
Beta diberi kesempatan untuk menggeneralisasi metode yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Beta talah mencoba merumuskan dan kemudian Ia diajak
untuk kembali menyelesaikan masalah
awal.
........
P: Kalo kita kembali ke masalah awal tadi,
menurutmu jawabannya salah atau
benar?
B: hmm.............. salah kayaknya
P: kok bisa gitu?
B: tadi aku ngitungnya, waktu
berangkatnya trus dikurangi
sampainya...
P: harusnya gimana emang?
B: kalo seperti yang tadi, harusnya waktu
sampai dikurangi waktu berangkat.
P: tadi kok bisa ngitung gitu kenapa?
B: pokoknya, yang besar dikurangi yang
kecil, Pak
P: Oh, gitu, berarti ini gimana harusnya?
B: berarti ini, harusnya jam 4.45 dikurangi
21.15, karena ini jam 4.45 subuh,

Hidayanto, Pemberian Contoh Analogi, 161

berarti saya jumlah 24 dulu biar


mudah, jadinya, 28.45 dikurangi 21.15,
hasilnya 7.30
P: Ok, berarti berapa lama
perjalanannya?
B: 7 jam 30 menit, Pak
P: sekarang masuk akal nggak kalo lama
perjalanannya 7 jam 30 menit?
B: iya, Pak, karena berangkatnya jam 9
malam, trus sampainya jam 4 subuh,
jadi kalo 7 jam itu masuk akal, Pak.
.........
Berdasarkan transkrip wawancara di atas,
bahwa Beta telah menemukan solusi yang
tepat untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Beta memakai ide yang analog
dengan contoh-contoh masalah sederhana
yang telah diberikan sebelumnya.
Pembahasan
Kasus yang terjadi pada Alfa dan
Beta menunjukkan adanya miskonsepsi pada keduanya. Miskonsepsi yang terjadi
pada Alfa yaitu kesalahan dalam menentukan prosedur penyelesaian masalah yang
diberikan. Kesalahan Alfa adalah langsung
menjumlahkan bilangan yang ada, yaitu
123 + 432 = 558. Begitupun juga dengan
Beta, kesalahan terjadi ketika Ia mengurangkan 21.15 04.45 = 16.30. Berdasarkan kajian Skemp (1976), kedua siswa hanya menggunakan pemahaman proseduralnya, tanpa menggunakan pemahaman relasionalnya. Pemahaman prosedural
yang digunakan telah tepat, yaitu mereka
mampu melakukan operasi hitung dengan
benar, namun jawaban yang mereka temukan masih salah. Sehingga, kedua siswa
tersebut mengalami kesalahan dalam menyelesaikan soal yang diberikan.
Miskonsepsi yang terjadi pada
kedua siswa tersebut mengakibatkan kesalahan dalam proses berpikir siswa. Siswa
mengalami mis-logical thinking menurut
teori kesalahan konstruksi oleh Subanji

(2015). Mis-logical terjadi karena subjek


tidak menggunakan nalar dengan tepat
sehingga menyebabkan jawabannya salah.
Ketidaktepatan nalar ini yang menyebabkan miskonsepsi pada siswa dan berdampak pula pada kesalahan yang dilakukan
oleh siswa subjek.
Untuk mengatasi miskonsepsi tersebut, peneliti memberikan contoh analogi
yang mengantarkan subjek menuju resolusi
yang tepat. Karena bentuk bantuannya berbasis tugas, contoh diambil dari ruang contoh personal siswa menurut gagasan
Watson & Mason, yaitu contoh yang
didasarkan pada tugas yang sedang dialami
oleh siswa. Pengambilan contoh ini dengan
alasan agar subjek langsung dapat menganalogikan dengan kasus asal dan menuju
pada resolusi yang tepat. Pemberian contoh
analogi ini juga didasarkan pada pandangan konstruktivistik. Subanji (2013)
menyatakan bahwa suatu konsep maupun
prosedur tertentu diupayakan untuk dapat
dikonstruksi sendiri oleh siswa. Guru
memfasilitasinya sehingga siswa tersebut
dapat menemukan solusi yang tepat, dalam
hal ini, pemberian contoh analogi yang
mengarah pada resulusi masalah asal.
Contoh analogi yang diberikan berupa contoh yang sekiranya dapat diselesaikan siswa dengan mudah. Pemberian
contoh analogi ini membangun berpikir
siswa untuk mengkonstruksi ide yang mengarah pada resolusi yang tepat. Pemberian
contoh analogi ini juga memperhatikan
saran dari Amir-Movidi, et al (2012), yaitu
pemberian contoh perlu hati-hati agar tidak
menyebabkan subjek mengalami miskonsepsi kembali. Awalnya, siswa diberikan
contoh yang sederhana agar siswa langsung dapat menemukan ide solusi yang
dapat ditransformasikan ke dalam masalah
asal. Selanjutnya, subjek diberikan contoh
analogi yang lebih rumit agar dapat menjangkau masalah asal. Setelah subjek mendapatkan ide penyelesaian masalah dengan

162, J-TEQIP, Tahun VI, Nomor 2, November 2015

tepat, peneliti mengajak subjek untuk


memverifikasi ulang terhadap jawaban masalah asal dan mengajak untuk menemukan
solusi dengan tepat melalui ide yang telah
dikonstruknya dari pemberian contoh analogi yang diberikan. Pada akhirnya, siswa
mampu menyelesaikan masalah dengan
tepat.
PENUTUP
Miskonsepsi merupakan masalah
yang perlu mendapat perhatian serius oleh
para pendidik. Miskonsepsi ini akan meyebabkan kesalahan yang berdampak sistemik bagi siswa. Pemberian contoh analogi
meruapakan salah satu upaya untuk mengatasi miskonsepsi siswa. Pemberian contoh
analogi yang lebih sederhana memberikan
DAFTAR RUJUKAN
Amir-Mofidi, Somayeh; Amiripour, Parvaneh; & Bijan-zadeh, Mohammad
H. 2012. Instruction of mathematical concepts through analogical
reasoning skills. Indian Journal of
Science and Technology Vol. 5
No. 6 ISSN: 0974- 6846
Loc, Nguyen Phu & Uyen, Bui Phuong.
2014. Using Analogy in Teaching
Mathematics: An Investigation of
Mathematics Education Students
in School of Education - Can Tho
University. International Journal
of Education and Research Vol. 2
No. 7
Richland, Lindsey E., Holyoak, Keith J.,
and Stigler, James W. 2004. Analogy Use in Eighth-Grade Mathematics Classrooms. Cognition and
Instruction, 22(1), 3760
Sarwadi, Roselizawati & Shahrill, Masitah.
2014. Understanding Students'
Mathematical Errors and Misconceptions: The Case of Year 11
Repeating Students. Mathematics
Education Trends and Research
2014 (2014) 1-10

kesempatan kepada siswa untuk dapat


mengkonstruksi ide sehingga menuju pada
solusi tepat terhadap masalah asal yang
perlu diselesaikan oleh siswa. Kedua kasus
yang terjadi pada Alfa dan Beta merupakan
contoh bentuk kasus siswa yang mengalami miskonsepsi dan peneliti berupaya
mengatasinya melalui pemberian contoh
analogi. Selanjutnya, peneliti menyarankan
bahwa seorang pendidik harus berhati-hati
dalam memberikan contoh analogi agar tidak menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi yang lebih parah. Selanjutnya,
komunikasi yang baik dengan siswa perlu
dibangun oleh pendidik sebagai fasilitator
dalam pembelajaran matematika agar
mampu mengatasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa.

Skemp, Richard R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding. Mathematics Teaching, 77, 2026.
Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika
Kreatif dan Inovatif. Malang: UM
Press.
Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi
Konsep dan Pemecahan Masalah
Matematika. Malang: UM Press.
Zazkis, Rina & Chernoff, Egan J.. 2008.
What makes a counterexample
exemplary?. Educ Stud Math
68:195208 DOI 10.1007/s10649007-9110-4
Zazkis, Rina & Leikin, Roza. 2008.
Exemplifying definitions: a case of
a square. Educ Stud Math 69:131
148 DOI 10.1007/s10649-0089131-7
Zazkis, Rina; Liljedahl, Peter; & Chernoff,
Egan J. 2008. The role of examples
in forming and refuting generalizations. ZDM Mathematics Education DOI 10.1007/s11858-0070065-9

Anda mungkin juga menyukai