Anda di halaman 1dari 17

Rough-Draft Article, Not To Be Cited!

KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID (1939-2005)


TENTANG KHALIFAH DALAM PENGEMBANGAN RELIGIUSITAS ANAK

Suratno, Dosen Universitas Paramadina Jakarta


(Email: suratno@paramadina.ac.id)

Mayashinta Fransiska, Direktur Sekolah Kupu-Kupu Jakarta


(Email: mayfransi253@gmail.com)

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang kontekstualisasi pemikiran Nurcholish Madjid khususny tentang
khalifah dalam pengembangan religiusitas anak. Tujuannya adalah mengkontekstualisasi
pemikiran Madjid ke dalam dunia anak-anak dan melanjutkan semangat pembaharuan Islam
tentang religiusitas. Pemikiran Madjid tentang manusia sebagai khalifah selain merujuk pada
al-Quran juga kisah penciptaan nabi Adam. Pondasi pemikiran ini adalah eksistensi manusia
dan ketauhidan. Sebagai khalifah manusia juga menurut Madjid dibekali oleh Allah SWT
dengan potensi berupa akal-pikiran. Muara dari prinsip manusia sebagai khalifah adalah
ishlah al-ardli (reformasi bumi) yakni tidak hanya larangan merusak akan tetapi juga
menjadikan bumi kertaraharja atau maruf dan makmur.

Religiusitas memiliki 5 dimensi yakni; ideology, pengalaman, ritual, konsekwensi moral-sosial


dan intelektual. Religiusitas anak-anak berbeda dari orang dewasa dimana anak-anak
memiliki ketergantungan meski juga memiliki potensi bawaan. Anak-anak juga dalam
religiusitas dimulai dari bahasa, melihat orang dewasa, lalu ada rasa gelisah dan kagum
sehngga lalu memikirkan ketuhanan, baik yang konservatif, murni maupun humanis.
Karakteristik religiusitas anak antara lain unreflected, imitasi, antropomorfisme dan lainnya.
Perkembangannya juga berjenjang dari tingkat dongen atau cerita, kepercayaan, sampai
tingak remaja menuju intelektual.

Kesimpula tulisan ini antara lain: (a) pemikiran manusia sebagai khalifah menurut Madjid
direferensikan pada kisah penciptaan Nabi Adam sebagai manusia pertama, (b) pemikiran
Madjid tentang khalifah berpondasikan 2 hal yakni status eksistensial manusia dan
ketauhidan. Ini sangat kontekstual dengan teori perkembangan religiusitas anak yakni teori
ketergantinga dimana anak-anak biasanya menginginkan perlindungan, kemudian tugas
manusia sebagai khalifah untuk memahami dunia dimana manusia dibekali akal ini
kontekstual dengan teori perkembangan religiusitas anak yakni teori instink atau potensi
bawaan dimana anak-anak sebagai manusia juga dibekali akal sebagai potensi untuk
memahami dunia, (c). penjelasn Madjid tentang konsep manusia sebagai khalifah Tuhan
dengan menegaskan bahwa Tuhan/Allah SWT yang sering dikenal dengan 99 nama Asmaul
Husna ini kontekstual dengan teori pengembangan religiusitas anak dimana anak-anak mulai
mengenal Tuhan melalui bahasa dan istilah-istilah dan ssesuai dengan salah satu sifat
religgiusitas anak yakni anthropomorfisme, selain itu muara dari manusia sebagai khalifah
adalah reformasi bumi ini kontekstual dengan bagaimana anak-anak melihat orang-orang
dewasa apakah mereka menjaga dan mengembangkan atau merusak bumi.

Kata kunci: Nurcholish Madjid, Khalifah, Religiusitas Anak

1
Pendahuluan

Nurcholish Madjid (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam
dan cendikiawan Muslim Indonesia yang terbilang memiliki pengaruh besar dalam pergerakan
pembaharuan Islam, khususnya bagi masyarakat urban perkotaan di Indonesia. Karier
organisasi Madjid dimulai ketika beliau menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI (Pengurus
Besar Himpuan Mahasiswa Islam) selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Intisari
pemikiran Madjid dalam karyanya yang berjudul “Dasar-Dasar Islamisme”, telah menjadi
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam ideologi HMI hingga saat ini, yaitu; (1) Ketuhanan
(keimanan), (2) Kemanusiaan dan Kemasyarakatan, (3) Keadilan sosial ekonomi, dan (4)
Pentingnya Ilmu Pengetahuan.1

Pada 1969 hingga 1971, Madjid mendirikan dan menjadi wakil sekertaris jenderal
International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO). Sementara kariernya dalam
dunia pendidikan dimulai saat beliau mengajar di IAIN/Institut Agama Islam Negeri Syarif
Hidayatullah pada 1972 hingga 1976, yang berlanjut dengan pengangkatannya menjadi dosen
pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1985. Selain itu, Madjid juga aktif sebagai
peneliti di LIPI/Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan guru besar tamu pada Universitas
McGill, Montreal, Kanada sejak 1991 hingga 1992. Madjid juga aktif menulis makalah-
makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa
diantaranya berbahasa Inggris. Pada tahun 1986, Madjid mendirikan sekaligus memimpin
Yayasan Wakaf Paramadina dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan
intelektual Islam di Indonesia, termasuk didalamnya Universitas Paramadina dan Yayasan
Pendidikan Madania Indonesia (YPMI), Sekolah Sevilla dan Yayasan Perkumpulan
Membangun Kembali Indonesia (YPMKI). Madjid juga aktif dalam Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia (ICMI) dan sempat diangkat menjadi Wakil Ketua Dewan Pakar - ICMI
pada tahun 1991.2

Selain keIslaman, pemikiran dan aktivitas Madjid juga terkait keIndonesiaan dan kemodernan
yang dikenal sebagai tiga pilar perjuangan Madjid. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari
sekitar 13.000 pulau merupakan negara dengan tingkat heterogenitas tertinggi di dunia, baik
dari suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Tak dapat dipungkiri bahwa sekalipun Islam
agama mayoritas/terbesar di Indonesia, namun perbedaan intensitas pemahaman dan
pelaksanaan peribadatannya juga beragam. Meskipun para ahli sejarah menilai bahwa proses
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa pada masa penjajahan kolonial oleh
Wali Songo terbilang sangat sukses, namun menurut Madjid, pendidikan agama Islam yang
diajarkan kurang mendalam. Pendidikan agama (Islam) pada masa kolonial hanya berorientasi
pada upaya mengumpulkan kekuatan melawan penjajah. Sementara pendidikan agama (Islam)
sepanjang masa orde juga hanya sebatas doktrinasi syariat, yang secara otomatis berdampak
terhadap rendahnya tingkat literasi beragama di kalangan kaum Muslim di Indonesia.3

Untuk meningkatkan literasi beragama dan mengikis sikap absolutisme serta menghindari
sikap fanatisme-berlebihan dalam religiusitas masyarakat, serta untuk menanamkan Islam
1 Muhammad Wahyuni Nafis, 2015, Cak Nur Sang Guru Bangsa, Jakarta: Penerbit Kompas.
2 Idem
3 Idem

2
sebagai salah satu “jalan hidup” (way of life) menuju kebenaran Tuhan (Allah), maka menurut
Madjid mutlak dibutuhkan suatu sistem pendidikan yang mampu membentuk karakter
kepribadian Muslim Indonesia yang disusun secara berjenjang dan konsisten, bukan sekadar
pendidikan dan pelatihan dalam waktu singkat. Sikap seorang individu pada hakikatnya lahir
dari karakter kepribadian yang terbentuk bahkan sejak usia dini dalam lingkungan keluarga dan
struktur sosial masyarakat di mana ia tumbuh dan dibesarkan. Oleh karena itu, religiusitas
dalam arti semangat keberagamaan tentang adanya kesadaran manusia akan fitrahnya sebagai
pengemban tugas khalifah di bumi ini yang diimplementasikan dalam sikap inklusivisme
(dalam hal akidah) dan sikap pluralisme beragama (dalam konteks ibadah muamalah), menurut
Madjid harus ditanamkan dalam diri setiap anak manusia, bahkan dalam pola-pola
pembiasaannya sejak usia dini.4

Tulisan ini mencoba untuk mengeksplorasi kontekstualisasi pemikiran Nurcholish Madjid,


khususnya tentang manusia sebagai khalifah, dalam pengembangan religiusitas anak-anak.
Tulisan ini didasari oleh 2 pertimbangan sebagai latar belakang sekaligus juga terkait tujuan
yang hendak dicapai.

Pertama, pemikiran-pemikiran keIslaman Madjid sering dianggap terlalu tinggi (atau ilmiah)
sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh orang-orang dewasa. Anggapan itu tidak sepenuhnya
salah karena posisi dan latar belakang Madjid sebagai seorang cendikiawan Muslim. Oleh
karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengkontekstualisasikan pemikiran-pemikiran
Madjid dalam atau bagi dunia anak-anak. Kalau di Barat kita sering melihat buku-buku seperti
Karl Marx fur Kinder (Karl Marx untuk Anak-Anak)5, Capitalism for Kids6 dan lainnya, maka
tulisan ini merupakan langkah awal menuju ke arah sana.

Kedua, Madjid sering dianggap meletakkan pondasi gagasan keIslaman yang sesuai dengan
konteks keIndonesiaan dan kemodernan dengan semangat pembaharuannya. Tugas kita semua
pasca Madjid adalah melanjutkan, mengembangkan dan bahkan mengkritisi apa yang sudah
dipikirkan dan dikerjakan Madjid. Dalam bahasa pemikiran Islam menurut Madjid dalam
Suratno (2008) ijtihad harus terus-menerus dilakukan pasca Madjid, yakni dengan melakukan
pembaharuan, bahkan terhadap pemikiran Madjid yang (lama). Semangat pembaharuan yang
konsisten itulah yang akan menjadikan pemikiran Madjid dapat tampil dengan gagasan-
gagasan yang lebih segar dan lebih membebaskan serta kontekstual.7 Kontekstualisasi
pemikiran Madjid tentang khalifah dalam pengembangan religiusitas anak, ditulis karena latar
belakang dan untuk tujuan-tujuan itu.

Tinjauan Pustaka

Dari penelusuran pustaka yang dilakukan, meskipun ditemukan beberapa tulisan yang
membahas pemikiran Nurcholish Madjid tentang khalifah, akan tetapi belum ditemukan tulisan
yang membahas kontekstualisasi pemikiran Nurcholish Madjid tentang khalifah dalam
pengembangan religiusitas anak.

4 Idem
5 Sabine Carbon & Barbara Lucker, 2006, Maria Rettet. Karl Marx Ohne Schein Kein Sein, Berlin:
Edition SABA
6 Karl Hess, 2005, Capitalism for Kids; Growing Up to be Your Own Boss, Paperback Amazon, 1 Mei

2005.
7 Suratno, 2008, “Nurcholish After Nurcholish”, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2008, All You Need Is Love:

Cak Nur Di Mata Anak Muda, Jakarta: Democracy Project.

3
Tulisan yang membahas tentang khalifah menurut Nurcholish Madjid misalnya tulisan
Bulqaini berjudul Konsep Manusia Sebagai Khalifah Menurut Nurcholish Madjid (2006).
Tulisan ini adalah skripsi S1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta. Menurut Bulqaini,
berbeda dengan pemikiran Kuntowijoyo yang menganggap posisi manusia sebagai khalifah
Allah sebagai rekontsruksi teologis yang revolusioner, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa
manusia perlu merubah kondisinya dari yang bersifat pasif ke aktif yang disebutnya sebagai
transcendental (iman) untuk kemudian merubah bumi ini menjadi lebih kertaraharja (ma’ruf
dan makmur). Menurut Bulqaini, Madjid juga menggunakan ahsani taqwim untuk menjelaskan
konsep tentang khalifah, sementara eksistensi manusia sebagai khalifah terkait dengan
keharusan untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan manusia di akhirat kelak.
Nurcholish Madjid menekankan peran khalifah ini untuk membebaskan dan mengajak manusia
lain beriman kepada Allah, berbudi pekerti luhur dalam masyarakat, berupaya menegakkan
keadilan terutama bagi kaum lemah dan miskin, serta berupaya membuat bumi ini menjadi
kertaraharja (ma’ruf dan makmur) dalam kerangka hubungan yang eksploitatif dan apresiatif.8

Buku Budhy Munawar-Rahman berjudul Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
(2001) juga menyinggung konsep khalifah menurut Nurcholish Madjid. Buku ini mengupas
wacana pemikiran Madjid secara epistemologis dengan tipologi Islam peradaban sebagai
bagian dari teologi inklusif yang dikembangan Nurcholish Madjid. Menurut Munawar-
Rahman, Nurcholish Madjid melihat bahwa manusia harus menyadari posisinya sebagai
khalifah dank arena itu selalu bertindak dan berperilaku sebagai makhluk historis.9

Buku Nurkhalik Ridwan berjudul Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru
Masyarakat Islam Indonesia (2002), menyoroti secara kritis pemikiran Nurcholish Madjid.
Menurut Ridwan, dalam upayanya menyusun genealogi konteks ide-ide ke-Islaman di
Indonenesia maka ia melihat ada dinamika borjuasi dalam pemikiran Nurcholish Madjid
terutama karena dalam prakteknya lebih banyak ditujukan untuk kalangan menengah ke atas.
Hal ini menurut Ridwan menjadikan kerangka genealogis konteks ide keIslaman di Indonesia
memerlukan pemahaman baru, karena ternyata kekhalifahan manusia dalam prakteknya bisa
berbenturan dengan struktur sosio-religius di masyarakat.10

Sementara itu juga ditemukan beberapa tulisan tentang kontekstualisasi konsep khalifah meski
bukan dalam pengembangan religiusitas anak melaikan antara lain dalam lagu, kesadaran
energy, pencegahan dan pendeteksian fraud, serta dalam menjawab tantangan zaman.

Muhammad Adzanulhamdi Harmin dalam tulisannya yang berjudul “Manusia Sebagai


Khalifah Fil Ardh Dalam Lagu Hall Of Fame Karya The Script Feat Will I Am: Analisis
Semiotika Model Roland Barthes (2016)” menjelaskan bahwa The Script menggunakan
berbagai indikator dalam lirik lagu yang sesuai dengan mitos Khalifah Fil Ardh yang coba
dihilangkan oleh peneliti. Penandaan tersebut berupa lirik lagu yang seolah-olah
menggambarkan mitos manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, seperti amanah dalam hati,
kesabaran, dan kemauan untuk melakukan apa yang dipandang benar. Di mata Allah SWT,
buah dari kerja keras ini akan mencapai puncak kesuksesan dan mendapatkan nilai yang tinggi.
Setiap penggalan lirik lagu dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya lingkungan sekitar,

8 Bulqaini, 2006, Konsep Manusia Sebagai Khalifah Menurut Nurcholish Madjid, Skripsi S1 yang tidak
dipublikasikan, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta.
9 Budhy Munawar-Rachman, 2001, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta:

Penerbit Paramadina.
10 Nur Khalik Ridwan, 2002, Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam

Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Galang Press

4
khususnya: Rasa bangga yang muncul karena mencapai hal-hal besar dalam hidup, terutama
bagi mereka yang mampu melakukannya dengan keteguhan dan keyakinan (Q.S/3: 139).
Individu yang dicirikan memiliki kemampuan untuk menaklukkan atau mengalahkan dunia
adalah mereka yang dapat melepaskan diri dari tekanan. (Q.S/2:186). Mereka yang tergolong
mampu “mengalahkan waktu” mampu mengelola dan menikmati waktu dengan maksimal.
(Q.S/103: 2-3) Manusia yang tidak mengenal menyerah dan terus berjuang untuk kepuasannya
sendiri akan dapat mencapai puncak kebahagiaan. (Q.S/2:269).11

Sementara, tulisan Siti Khodijah berjudul “Analisis Konsep COSO Dan Filosofi Khalifatullah
Fil Ardh Dalam Mencegah Dan Mendeteksi Fraud” (2018). Tulisan ini menjelaskan bahwa
meskipun organisasi keuangan Baitul Mar wa Tamwiir dibangun di atas hukum Syariah Islam,
akan tetapi penipuan dan kesalahan dalam berbagai ukuran tetap terjadi. Tulisan ini berusaha
untuk menunjukkan secara eksperimental bahwa menerapkan prinsip-prinsip COSO dan
Khalifatullah Filardh ke lembaga keuangan dapat membantu dalam mendeteksi dan mencegah
penipuan. Khodijah melakukan penelitian kuantitatif dengan menggunakan berbagai faktor
prediktor yang mungkin, seperti lingkungan yang diatur, penilaian risiko, aktivitas yang
dikendalikan, informasi dan komunikasi, pengawasan, dan kemampuan untuk mengidentifikasi
dan mencegah penipuan. Hasilnya yakni (1) Lingkungan terkendali memiliki dampak positif
yang besar terhadap deteksi dan pencegahan penipuan, (2) penilaian risiko tidak berpengaruh
pada deteksi dan pencegahan penipuan, dan (3) pemantauan anti-penipuan memiliki dampak
positif yang signifikan terhadap pemantauan anti-tipuan. pengaruh pada pencegahan dan
deteksi penipuan (4) khalifatullah fil ardh memiliki dampak yang menguntungkan substansial
pada identifikasi dan pencegahan penipuan.12

Muhamad Iqbal dalam tulisannya yang berjudul “Mewujudkan Kesadaran Energi Melalui
Konsep Khalifah Fi al-'Ard” (2016) menyajikan pengertian khalifah fil'ardi sebagai khalifah
Allah SWT dalam menjaga kelestarian lingkungan.” Tulisan ini bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman tentang pentingnya sumber daya alam. Termasuk dalam studi kepustakaan atau
literature dan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Mengenai hasil penelitian,
tercatat bahwa khalifah fil'ardi didasarkan pada pentingnya kesadaran energi. Gagasan terbaru
"khalifah fil 'ardi" adalah mempromosikan kesadaran energi di masyarakat.’13

Iip Syarif Hidayatullah dalam tulisannya berjudul Kontekstualisasi makna Khalifah Fil Ardh
perspektif Al-Quran dalam menjawab tantangan zaman (2022) menjelaskan bahwa Sebagai
Muslim yang taat pada Al-Qur'an dan Sunnah, kita harus menyikapi berbagai masalah sosial,
ekonomi, politik, dan lainnya dengan benar. Memahami pengertian khalifah fil ardh
sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 dan Syad ayat 26 adalah salah
satunya. Kajian penulisan ini menggunakan teknik subjektif untuk menilai keterkaitan
kontekstualisasi makna khalifah fil ard dari sudut pandang al-Qur'an dalam menanggapi isuisu
kontemporer (library research). Sumber-sumber penting untuk topik ini termasuk AlQur'an,
hadits Nabi Muhammad, dan terjemahan al-Misbah M. Quraish Shihab. Investigasi ini
menggunakan metode investigasi yang menarik dalam penelitiannya. Temuan penelitian ini
mengungkapkan bahwa kontekstualisasi konsep khalifah fil'ardh sangat penting untuk
memahami dan mengatasi kesulitan saat ini. Manusia berperan sebagai khalifah di muka bumi,

11 Muhammad Adzanulhamdi Harmin, 2016, “Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh Dalam Lagu Hall Of
Fame Karya The Script Feat Will I Am: Analisis Semiotika Model Roland Barthes
12 Siti Khodijah, 2018, Analisis Konsep COSO Dan Filosofi Khalifatullah Fil Ardh Dalam Mencegah Dan

Mendeteksi Fraud
13 Muhammad Iqbal, 2016, Mewujudkan Kesadaran Energi Melalui Konsep Khalifah Fi al-'Ard

5
memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, rumah tangga/keluarganya, masyarakat, dan
alam semesta, selain sebagai hamba Allah yang ditugasi untuk beribadah kepada-Nya.14

Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Khalifah

Menurut Nurcholish Madjid (2019), Tuhan (Allah) adalah pencipta semua wujud yang bersifat
fisik maupun metafisik. Dia telah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya.15 Oleh
karena itu menurut Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman (2019), Manusia tidak cukup
hanya sekadar percaya kepada adanya Tuhan, tetapi harus pula meyakini bahwa Tuhan berada
dalam kualitas-Nya sebagai Yang Maha Esa, yang bersifat mutlak dan satu-satunya yang
bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa
kepada sesuatu apa pun yang lain. Sebagai konsekuensi atas pandangan dan keyakinan tersebut,
maka manusia harus bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Dia-lah tempat menggantungkan
harapan, sekaligus satu-satunya tempat bersandar (tawakal) dalam menghadapi dinamika
kehidupan hidup manusia. Keyakinan inilah yang menempatkan manusia pada posisi
bertauhid.16

Tuhan menurut Madjid (2019) menciptakan manusia untuk diangkat sebagai wakil (khalifah)-
Nya di muka bumi dengan tugas menjalankan mandat-Nya sebagai pemelihara bumi (alam
tempat tinggal manusia)17, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 30, “Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan
(manusia) khalifah di bumi.”. Tetapi, selain penegasan bahwa manusia merupakan makhluk
Allah dengan kedudukan tertinggi, banyak pula keterangan dalam al-Qur’an yang
menyebutkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang berpotensi untuk menjadi yang
terendah, salah satunya adalah: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh…” (Qs. at-Tin: 4-6)

Wawasan Ibrahim yang merupakan dasar ajaran agama-agama Semitik atau disebut juga agama
Ibrahim (Yahudi, Nasrani, dan Islam) pada hakikatnya memiliki konsep dasar yang sama
tentang kemanusiaan, yaitu konsep yang meyakini bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan
suci, atau dikenal dengan istilah fithrah. Fithrah manusia dinyatakan dalam sikap-sikap yang
suci dan baik kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu disebut hanîfiyah karena manusia
adalah makhluk yang hanîf. Sebagai makhluk hanif, manusia memiliki dorongan naluri ke arah
kebaikan dan kebenaran. Pusat dorongan hanîfiyah terdapat dalam diri manusia yang paling
mendalam dan paling murni, yang disebut (hati) nûrânî, artinya “bersifat nûr atau cahaya
(luminous)”.18

Menurut Madjid dalam Miftahul Badar (2022), konsep manusia sebagai khalifah (wakil,
pengganti, duta) Tuhan di bumi merupakan sebuah konsep Kitab Suci tentang manusia yang
paling terkenal. Ini sebagaimana bunyi al-Qur’an Surat Al-na’am (6) ayat 165 yang berbunyi:
“Dan Dialah (Tuhan) yang telah menjadikan kamu sekalian (manusia) khalifah-khalifah bumi,
dan telah mengangkat sebagian dari kamu di atas sebagian yang lain beberapa tingkat, agar
Dia mencoba kamu sekalian dalam hal (karunia) yang diberikan kepadamu. Sesungguhnya

14 Iip Syarif Hidayatullah, 2022


15 Nurcholish Madjid, 2019, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal. 5.
16 Budhy Munawar-Rachman, 2019, Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Pintu-Pintu Menuju Tuhan,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 1710.


17 Nurcholish Madjid,, 2019, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Hal. 5.
18 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan – hal. 2187

6
Tuhanmu cepat dalam siksaan, dan sungguh Dia adalah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang,” (QS. 6:165)

Selain didasarkan pada Surat al-An‘ām (6):165 di atas, konsep itu biasanya juga direferensikan
pada kisah penciptaan Nabi Adam a.s., manusia pertama. Bagi Madjid, status manusia sebagai
khalifah Tuhan berimplikasi prinsipil luas. Pertama, karena bertugas sebagai khalifah, maka
manusia akan dimintai tanggung jawab di Pengadilan Ilahi kelak. Kedua, manusia harus
memperhatikan amal-perbuatannya sedemikian rupa, sehingga dapat bertanggung
jawab. Ketiga, tanggung jawab adalah titik-mula moralitas manusia; ia akan senantiasa dituntut
untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk.19

Sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan, Madjid dalam Budhy-Munawar-Rachman (2019)
menegaskan bahwa manusia merupakan bagian yang terintegrasi dari seluruh makhluk alam
semesta. Karena itu, manusia harus kembali kepada “nature”-nya, atau disebut juga fithrah-
nya sebagai makhluk mulia. Menurut pandangan Madjid, Manusia terikat dalam suatu
perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa manusia, sejak dari kehidupannya dalam
alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya.
(Qs. al-A’raf: 172). “Manusia dilahirkan dalam keadaan suci, dan ia akan tetap tumbuh dalam
kesucian itu” (Qs. ar-Rum: 30). Kesucian dalam diri manusia mendorongnya untuk senantiasa
mencari, berpihak, dan berbuat yang baik dan benar (sifat hanîfîyah).20 Namun di sisi lain,
manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah, dalam arti kerap berpandangan pendek
dan cenderung tertarik kepada hal-hal instant. Kelemahan inilah yang berpotensi
menjerumuskan manusia. “…karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (Qs. an-Nisa: 28),
“…bahkan kamu mencintai kehidupan dunia dan melalaikan kehidupan (akhirat).” (Qs. al-
Qiyamah: 20). Oleh karena itu, manusia dibekali dengan akal-pikiran, agama, dan dibebani
kewajiban untuk terus-menerus berusaha mencari dan memilih jalan hidup yang lurus.21

Menurut Madjid dalam Miftahul Badar (2022) Kekhalifahan manusia berpondasikan dua
prinsip yang sejatinya berkait-kelindan. Pertama, status eksistensial manusia. Dalam ‘rencana’
dan ‘design’ Tuhan, manusia adalah puncak ciptaan Tuhan dan alam semesta berada lebih
rendah daripada manusia dan disediakan untuk dimanfaatkan manusia. Pasalnya, Tuhan telah
menundukkan alam semesta kepada manusia. Madjid menyebutnya sebagai doktrin taskhīr.
Kedua, ketauhidan. Berdasarkan status eksistensialnya, niscaya manusia tidak perlu melebih-
lebihkan alam semesta, apalagi mendewakan atau menuhankan; cukup sebagaimana adanya
saja. Bagi Madjid, di sanalah terjadi kesadaran tauhid manusia: bahwa segala sesuatu harus
diposisikan cukup sebagaimana-adanya di dalam ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan, tidak lebih,
sehingga yang dilebihkan di atas manusia dan menjadi serahan-diri hanyalah Tuhan. Maka,
status eksistensial berkait-kelindan dengan kesadaran ketauhidan manusia itulah pondasi
kekhalifahan. Pada pondasi ini, manusia harus mempertahankan martabatnya sebagai khalifah

19 Miftahul Badar, 2022, “Khalifah Dalam Pandangan Cak Nur”, dalam www.ibtimes.id, 17 Januari 2022
(Diakses 19 September 2023).
20 Budhy Munawar-Rachman, 2019, Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Islam Agama Kemanusiaan,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 2205.


21 Karena itu kewajiban mengerjakan shalat, yang di dalamnya harus membaca surat al-Fâtihah, yaitu

doa mohon petujuk jalan yang lurus yang harus dihayati dengan sepenuh hati dan di-“âmîn”-kan.
Mencari, menemukan, memahami, dan mengikuti jalan yang lurus adalah perjalanan yang tidak kenal
berhenti. Maka shalat yang mencakup doa tersebut juga tidak pernah berhenti, terus-menerus
sepanjang hayat. (dikutip dari Budhy Munawar-Rachman, 2019, Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 2206.

7
Tuhan: tunduk hanya kepada Tuhan, bukan yang lain, baik kepada sesama manusia apalagi
ciptaan lainnya.22

Selain itu menurut Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman (2019) menjelaskan manusia juga
merupakan makhluk etis dan moral, sehingga perbuatan baik-buruknya harus dapat
dipertanggungjawabkan, baik kepada sesama manusia di dunia, maupun kepada Tuhan di
akhirat kelak. “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-
nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya" (Qs.
az-Zalzalah: 7-8). Setiap pribadi manusia mempunyai hak dasar untuk memilih dan
menentukan sendiri perilaku moral dan etisnya yang diikuti oleh tanggung jawab moral dan
etis itu sendiri. Setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga nilai kemanusiaan itu sendiri
sebagai makhluk mulia. “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. (Qs. al-Baqarah: 32)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah,
setiap manusia berkewajiban berbuat baik kepada sesamanya dengan memenuhi kewajiban diri
pribadi terhadap pribadi yang lain, serta berkewajiban menghormati hak-hak orang lain dalam
suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka, sebagai pengejawantahan
dari makna yang terkandung dalam semangat ucapan “al-salâm-u ‘alaykum warahmat-u ’l-
Lâh-i wa barakâtuh” sambil menengok ke kanan dan ke kiri pada akhir shalat.23

Sebagai khalifah, menurut Madjid dalam Miftahul Badar (2022) manusia wajib memahami
dunia. Tanpa itu, sulit dibayangkan bagaimana manusia bisa mengelola dunia. Maka,
pemahaman terhadap dunia menjadi niscaya. Madjid menyebutnya sebagai ‘taruhan
kekhalifahan’ sekaligus dasar pengelolaan dunia. Bagi Madjid, manusia secara potensial
berkemampuan memahami alam semesta. Pasalnya, pertama, manusia telah dikaruniai
akal; kedua, alam semesta secara eksistensial telah ditundukkan kepada manusia, sehingga
terbuka bagi manusia untuk dapat memahaminya; ketiga, prediktabilitas alam semesta, dalam
arti alam semesta tercipta dengan ‘ukuran’ dan ‘ketentuan’ yang pasti, tak berubah-ubah,
sehingga sampai batas yang amat jauh bersifat “predictable”.24

Hakikat dasar kemanusiaan, menurut Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman (2019)


termasuk kemestian menegakkan keadilan, merupakan bagian dari sunatullah karena adanya
fitrah atau perjanjian primordial antara manusia dan Allah. Menegakkan keadilan adalah
kemestian yang merupakan hukum yang obyektif, tidak tergantung kepada kemauan pribadi
manusia siapa pun juga, dan immutable (tidak akan berubah). Dalam al-Qur’an, hakikat dasar
kemanusiaan disebut sebagai bagian dari hukum kosmis, yaitu hukum keseimbangan (al-
mîzân) yang menjadi hukum jagad raya. Bagi yang menegakkan keadilan akan menciptakan
kebaikan, dan pelanggaran terhadapnya akan mengakibatkan malapetaka. Hal ini ditegaskan
dalam Al-Qur’an, diataranya: Qs. ar-Rum: 30, Qs. an-Nahl: 123, Qs. Ali Imran: 67-68, Qs. al-
An’am: 161-163, Qs. an-Nisa: 125, dan Qs. al-Baqarah:130-133. Keadilan juga disebutkan
sebagai perbuatan yang paling mendekati takwa kepada Allah swt. Maka masyarakat yang

22 Miftahul Badar, 2022, “Khalifah Dalam Pandangan Cak Nur”, dalam www.ibtimes.id, 17 Januari 2022
(Diakses 19 September 2023).
23 Budhy Munawar-Rachman, 2019, Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Islam Agama Kemanusiaan,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 2207.


24 Miftahul Badar, 2022, “Khalifah Dalam Pandangan Cak Nur”, dalam www.ibtimes.id, 17 Januari 2022

(Diakses 19 September 2023).

8
tidak menjalankan keadilan, dan sebaliknya membiarkan kemewahan yang anti-sosial, akan
dihancurkan Tuhan.25

Muara dari semua prinsip kekhalifahan manusia ialah apa yang dibahasakan oleh Madjid dalam
Miftahul Badar (2022) dengan reformasi bumi (ishlāh al-ardl). Madjid menguraikan bahwa
kata ‘reformasi’ dalam Al-Qur’an disebut dengan ishlāh, berakar sama dengan kata-
kata shālih (saleh) dan mashlahah (maslahat). Kesemuanya mengacu pada makna baik,
kebaikan dan perbaikan. Ide reformasi bumi didasarkan oleh Madjid pada firman Allah swt.,
di dalam Al-Qur’an, bahwa “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah
direformasi. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan rindu; rahmat Allah selalu dekat
kepada orang yang berbuat baik,” (QS. 17:56). Dalam pandangan Cak Nur, ungkapan
“janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi” mengandung makna
ganda. Pertama, larangan merusak bumi pasca-reformasi atau perbaikan (ishlāh) saat
penciptaan bumi oleh Tuhan. Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi
reformasi atau perbaikan oleh manusia sendiri.26

Pada makna yang pertama, menurut Madjid dalam Miftahul Badar (2022) reformasi bumi
menunjukkan pada tugas manusia selaku khalifah Tuhan untuk senantiasa berupaya
memelihara bumi, yang sejak diciptakan sudah merupakan tempat-baik bagi kehidupan
manusia. Maka dalam konteks kekhalifahan manusia, tugas reformasi bumi dalam makna
pertama ini berarti manusia harus senantiasa berusaha melestarikan bumi agar tetap alami dan
baik. Pada makna yang kedua, reformasi bumi menunjukkan pada tugas manusia selaku
khalifah Tuhan untuk untuk senantiasa berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik
(shālih) dan membawa kebaikan (mashlahah), baik bagi manusia maupun bumi. Maka dalam
konteks kekhalifahan manusia, tugas reformasi bumi dalam makna kedua ini berarti manusia
harus senantiasa berinovasi dalam rangka penumbuhan, tidak semata pelestarian bumi ke
kondisi lebih baik.27

Pada tugas pertama, menurut Madjid dalam Miftahul Badar (2022) bisa jadi manusia dapat
bersifat pasif. Akan tetapi pada tugas kedua, mau tidak mau, manusia harus bersifat proaktif.
Bagi Cak Madjid di antara semua makhluk, tugas kedua hanya bisa dilakukan oleh manusia,
sehingga terasa rasional: manusialah khalifah Tuhan. Lebih daripada tugas pertama, di dalam
tugas kedua meniscayakan daya-cipta manusia yang baik. Karena itu, kemampuan memahami
dunia oleh manusia selaku khalifah Tuhan menjadi tak tertawar lagi. Makanya,
keberadaan ilmu pengetahuan bermakna penting di sana. Tak heran, Islam menekankan sekali
makna penting ilmu pengetahuan.

Akhirnya, berdasarkan status eksistensial dan tauhid yang menjadi pondasi-kekhalifahan,


manusia dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah Tuhan akan senantiasa memiliki dasar,
pegangan, arah dan tujuan yang benar. Sementara dengan memahami dunia via ilmu
pengetahuan, manusia akan mendapatkan cara melaksanakan amanat kekhalifahan bermuara
tugas reformasi bumi, yang tidak sebatas pemeliharaan, melainkan lebih-lebih penumbuhannya
ke lebih-baik lagi. Keduanya adalah modalitas keberhasilan manusia dalam rangka

25 Budhy Munawar-Rachman, 2019, Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Islam Agama Kemanusiaan,
Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, hal. 2193
26 Miftahul Badar, 2022, “Khalifah Dalam Pandangan Cak Nur”, dalam www.ibtimes.id, 17 Januari 2022

(Diakses 19 September 2023).


27 Idem

9
mengemban amanat agung sebagai khalifah Tuhan. Kait kelindan keduanya akan menjadikan
manusia sebagai khalifah Tuhan tidak kehilangan tujuan dan arah, sekaligus tidak kehabisan
cara. 28

Pengembangan Religiusitas Anak

Kata religiusitas merupakan kata kerja dari religion (agama). Istilah religiusitas sendiri berasal
dari kata religiousity yang berarti keahlian atau besarnya kepatuhan dan pengabdian
terhadap agama. Adapun kata “agama”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994)
adalah kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan itu. Pada masyarakat Indonesia pengertian yang mengacu kepada
definisi agama, tampaknya masih belum terpola secara baku setidak-tidaknya ada tiga istilah
yang dikenal, yaitu din, agama, dan religi. Ketiga istilah ini menyatu dalam pengertian agama
yang dapat dipahami sebagai ajaran yang menyangkut kepercayaan dan keyakinan yang dianut.

Y.B Mangunwijaya (1982) membedakan antara istilah religi atau agama dengan
istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal, yang berkaitan dengan aturan-aturan
dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah
dihayati oleh individu di dalam hati. Namun, Mangunwijaya juga menyatakan agama dan
religiusitas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena keduanya
merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua
kutub yaitu kehidupan pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah masyarakat Jadi
makna religiusitas muncul tak lepas dari konsep religion (agama) itu sendiri. Agama selalu
dihubungkan dengan keyakinan mengenai Tuhan dan bagaimana seorang manusia bergantung
pada Tuhan dan menjalankan kewajiban-kewajiban yang Tuhan perintahkan. Sebab dengan
keimanan dan ketakwaan yang diberikan untuk menjelaskan religiusitas, umat dari berbagai
agama, bisa sama berimannya, meskupin agamanya berbeda.29

Menurut Boston & Gray (1981) Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas keberagaman bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku
ritual (beribadah khusus) saja tetapi juga ketika melakukan aktivitas kehidupan lainnya. Bukan
hanya berkaitan dengan aktivitas yang dapat dilihat mata, tetapi juga aktivitas yang tidak
tampak dan terjadi dalam hati sanubari seseorang.30 Dengan demikian religiusitas meliputi
berbagai sisi atau dimensi. Glock dan Stark dalam Lindzey dan Aronson (1975) berpendapat
bahwa religiusitas terdiri dari 5 dimensi. Pertama, Dimensi ideologi yaitu tingkatan sejauh
mana seseorang menerima hal-ha1 yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya kepercayaan
tentang sifat-sifat Tuhan, adanya malaikat, surga, dan neraka. Kedua, Dimensi ritual yaitu
tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya.
Misalnya sholat, puasa, mengaji, dan membayar zakat serta ibadah haji. Ketiga, Dimensi
pengalaman yaitu perasaan atau pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan.
Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa atau merasa bahwa doa-
doanya dikabulkan Tuhan. Keempat, Dimensi konsekuensi yaitu dimensi yang mengukur
sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.
Misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya yang sedang sakit, menolong orang yang

28 Idem
29 Y.B Mangunwijaya, 2020, Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak, Jakarta: Penerbit Kompas.
30 Boston, C.D. & Gray, T.A. 1981. “Religious Orientation and Helping Behavior Responding to One's

Own or to The Viction's Needs?”. dalam Journal of Personail & and Social Psychology, 40, 5 1 1 – 520.

10
kesulitan dan mendermakan hartanya. Kelima, Dimensi intelektual yaitu seberapa jauh
pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci.31

Penelitian yang pernah dilakukan Adisubroto (1992) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
sifat religiusitas antara pria dan wanita. Hasil penelitian Khoirudin (1995) juga menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan religiusitas antara anak pria dan wanita. Hal ini memberi indikasi bahwa sering
dengan kemajuan jaman, anak wanita tidak lagi diperlakukan secara berbeda oleh orang dewasa di
sekitarnya, khususnya dalam pembinaan kehidupan beragamnya. Hasil penelitian Khoirudin (1995)
juga menunjukkan bahwa orangtua memberikan bimbingan beragama yang sama terhadap anak pria
dan anak wanitanya.32 Yang berbeda adalah religiusitas dalam tahap-tahap perkembangan usia
seseorang yang menurut Permenkes No 25 Tahun 2016 yakni balita (0-5 tahun), anak-anak (5-12
tahun), remaja (awal 12-17 tahun & akhir 17-25 tahun) , dewasa (awal 25-35 tahun & akhir (35-45
tahun) dan lanjut usia (awal 45-65 tahun & akhir lebih dari 65 tahun) dimana masing-masing tahap
usia memiliki karakteristik berbeda-beda terkait religiusitasnya.

Penelitian ini fokus membahas pengembangan religiusitas anak-anak. Perkembangan


religiusitas pada anak-anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal, tetapi
sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan sebuah pendidikan
tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan masa bayi (balita). Walaupun
pada saat itu penerimaan pendidikan agama itu belum dapat diberikan secara langsung
misalnya dalam kandungan, seorang janin hanya bisa menerima rangsangan atau respon dari
sang ibu, ketika ibu sedang sholat mungkin atau mengerjakan perintah – perintah agama
lainnya, begitu juga pada saat bayi dilahirkan, ia hanya menerima rangsangan dari luar
misalnya pada saat sang bayi di azan kan. nah dari itu kita bisa menyimpulkan bahwa masa
anak- anak bukan lah masa yang paling awal mendapatkan pendidikan keagamaan. Menurut
Jalaludin Rahmat (imbulnya jiwa keagamaan pada anak kemantapan dan kesempurnaan
perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani
memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan
berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru
akan menjadi baik dan berfungsi kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat
diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.33

Ada beberapa teori mengenai perkembangan religiusitas pada anak-anak. Pertama yani teori
Rasa ketergantungan (Sense of Dependent) Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori
Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu:
a) Keinginan untuk perlindungan (security) b) Keinginan akan pengalaman baru (new
experience) c) Keinginan untuk mendapat tanggapan (response) d) Keinginan untuk dikenal
(recognation) Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi
sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang
diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. Kedua
yakni teori Instink keagamaan Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki
beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Misalnya instink social pada anak sebagai
potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat

31 Lindzey, G & Aronson, E. (Eds). 1975. The Handbook of Social Psychology. New Delhi: Addison-
Westly Publising Company
32 Khoirudin. 1995. Perbedaan Religiusitas dan Kemandirian Antara Anak yang Belajar di Sekolah

Dasar, Taman Pendidiakn Al-Qur'an dan Pesantren. Tesis. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Program
Pascasarjana UGM.
33 Jalaluddin Rahmat, 2003, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 63-66

11
bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari
kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.34

Menurut Zakiyyah Darajat (2005), anak-anak mulai mengenal Tuhan melalui beberapa proses
yakni (a) Melalui bahasa, yaitu dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada
mulanya diterimanya secara acuh tak acuh., (b) Setelah itu karena melihat orang-orang dewasa
menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah timbul dalam diri anak
rasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu (Tuhan),
(c) Rasa gelisah dan ragu itu mendorong anak untuk ikut membaca dan mengulang kata Tuhan
yang diucapkan oleh orang tuanya, dan (d) Dari proses itu, tanpa disadari anak lambat laun
“pemikiran tentang Tuhan” masuk menjadi bagian dari kepribadian anak dan menjadi objek
pengalaman agamis. Lebih lanjut menurut Darajat bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat
dibagi atas Unreflective (tidak mendalam), Egosentris, Anthromorphis, Verbalis dan ritualis,
Imitatif, dan Rasa heran..35

Melalui penelitian Ernest Harms dalam Jalaluddin Rahmat (2003) perkembangan agama anak-
anak itu melalui mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga
tingkatan. Pertama, The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng). Tingkatan ini dimulai pada anak
berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh
fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai
dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep
fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal, Perhatian anak lebih
tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajaran agamanya.

Kedua, The Ralistic Stage (tingkat kepercayaan). Pada tingkat ini pemikiran anak tentang
Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada
awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan
kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan
pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak
didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang
formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga
keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Pada
tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang
sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan
dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

Ketiga, The Individual Stage (Tingkat Individu-Usia Remaja). Pada tingkat ini anak telah
memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep
keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan: (a) Konsep ketuhanan
yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. (b) Konsep
ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal
(perorangan). (c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos
humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan

35 Zakiyah Darajat, 2005, Ilmu jiwa agama, cetakan ke 17, Jakarta: Bulan Bintang, hal 43-45

12
dipengaruhi oleh factor entern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh
luar yang dialaminya.36

Kontekstualisasi Khalifah Dalam Pengembangan Religiusitas Anak

Dengan mempertimbangkan penjelasan-penjelasan di atas, terutama pemikiran Nurcholish


Madjid tentang konsep khalifah dan teori-teori pengembangan religiusitas anak maka
kontekstualisasi yang dimungkinkan adalah sebagai berikut.

Pertama, pemikiran manusia sebagai khalifah menurut Madjid direferensikan pada


kisah penciptaan Nabi Adam sebagai manusia pertama. Pemikiran ini sangat kontekstual
dengan teori tingkat religiusitas anak dimana ada 3 tingkat yakni; tingkat dongeng/cerita,
kepercayaan dan menjelang remaja dimana terbagi dalam 3 bentuk yakni ketuhanan yang
konservatif-konvensional, ketuhanan yang murni, dan ketuhanan yang humanistic. Oleh karena
itu penciptaan nabi Adam ini bisa menjadi titik mula atau starting-point dalam mengembangkan
religiusitas anak, untuk kemudian meningkat kepada kepercayaan dimana nabi Adam mau
bersujud kepada Allah SWT dan tingkat ketuhanan yang humanistic dimana nabi Adam setelah
melakukan kesalahan yakni memakan buah khuldi yang terlarang akan tetapi akhirnya beliau
bertaubat dan mengakui kesalahannya untuk menjadi lebih baik lagi dalam rangka mengemban
tugas sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.

Menurut Nurcholish Madjid, konsep manusia sebagai khalifah (wakil, pengganti, duta) Tuhan
di bumi merupakan sebuah konsep Kitab Suci tentang manusia yang paling terkenal. Di
samping didasarkan pada Surat al-An‘ām (6):165 di atas, konsep itu biasanya juga
direferensikan pada kisah penciptaan Nabi Adam a.s., manusia pertama. Nabi Adam adalah
manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Seluruh makhluk ciptaan Allah termasuk para
malaikat semuanya tunduk padanya, kecuali Iblis.
Allah SWT berfirman dalam Q.S Al Baqarah ayat 30, bahwa Dia akan menjadikan seorang
khalifah di bumi. Dia juga mengajarkan nama benda-benda kepada Nabi Adam. Adapun 4
keistimewaan yang diberikan Allah SWT kepada Adam antara lain: (a) Dia diciptakan langsung
dengan tangan Allah yang mulia. (b) Ditiupkan langsung ruh (ciptaan) Allah kepadanya. (c)
Malaikat diperintahkan untuk sujud kepadanya, dan (d) Diajarkan kepadanya nama-nama
segala sesuatu.

Allah SWT juga menciptakan Hawa dengan tulang rusuk nabi Adam. Hawa dan Adam menjadi
sepasang suami isteri yang menghasilkan keturunan-keturunannya di bumi. Sebagian darinya
menjadi khalifah. Allah SWT memberitahukan kepada Adam dan Hawa untuk tidak mendekati
pohon yang menyebabkan mereka termasuk orang zalim, sebagaimana difirmankan dalam Q.S
Al Baqarah ayat 35. Sebagai satu-satunya makhluk yang tidak mau bersujud kepada Adam,
Iblis pun melakukan tipu muslihatnya dengan membujuk Adam dan Hawa untuk memakan
buah dari pohon terlarang sebagaimana yang diperingatkan Allah SWT sebelumnya. Atas bujuk
rayu Iblis, Adam dan Hawa melanggar larangan Allah SWT lalu Dia menurunkan keduanya ke
bumi. Termasuk Iblis, karena ia termasuk golongan orang kafir yang tidak mau bersujud kepada
Adam. Setelah melanggar apa yang menjadi larangan-Nya, Adam dan Hawa pun bertaubat
kepada Allah SWT. Seperti yang tercantum dalam firmannya melalui Q.S Al-Araf ayat 23. Hal
inilah yang dapat kita teladani, ketika manusia melakukan perbuatan dosa hendaklah bertaubat
kepada Allah SWT dan memohon ampun dengan penuh harap kepada-Nya sebagaimana yang

36 Jalaluddin Rahmat, 2003, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

13
dilakukan Nabi Adam. Sungguh hanya kepada-Nya manusia diberi pertolongan.

Kedua, pemikiran Madjid tentang khalifah berpondasikan 2 hal yakni status eksistensial
manusia dan ketauhidan. Ini sangat kontekstual dengan teori perkembangan religiusitas anak
yakni teori ketergantinga dimana anak-anak biasanya menginginkan perlindungan, pengalaman
yang baru, mendapat respon atau perhatian, dan menjadi dikenal oleh anak atau orang lain.
Kemudian, Madjid juga menegaskan tugas manusia sebagai khalifah untuk memahami dunia
dimana manusia dibekali akal. Ini kontekstual dengan teori perkembangan religiusitas anak
yakni teori instink atau potensi bawaan dimana anak-anak sebagai manusia juga dibekali akal
sebagai potensi untuk memahami dunia dan mengenal Tuhan meskipun sering disebut bahwa
akal anak-anak belum sesempurna akal orang dewasa.

Kekhalifahan manusia berpondasikan dua prinsip yang sejatinya berkait-kelindan. Pertama,


status eksistensial manusia. Kedua, ketauhidan. Berdasarkan status eksistensialnya, niscaya
manusia tidak perlu melebih-lebihkan alam semesta, apalagi mendewakan atau menuhankan;
cukup sebagaimana adanya saja. Bagi Madjid, di sanalah terjadi kesadaran tauhid manusia:
bahwa segala sesuatu harus diposisikan cukup sebagaimana-adanya di dalam ‘rencana’ dan
‘design’ Tuhan, tidak lebih, sehingga yang dilebihkan di atas manusia dan menjadi serahan-
diri hanyalah Tuhan.

Menurut Madjid dalam Suratno (2006), konsep tauhid memiliki efek pembebasan. Bagi kaum
Muslim, konsep la ila-ha illalloh (tiada Tuhan selain Tuhan) itu menjadi semacam ‘teologi
pembebasan’. Namun, tentu harus dibedakan dengan istilah teologi pembebasan yang biasanya
diasosiasikan dengan Amerika Latin yang identik dengan Marxisme. Efek pembebasan dari
konsep tauhid adalah pembebasan dari unsur-unsur mitologis yang harus ditempuh dengan
‘sekularisasi’. Sekularisasi diartikan Madjid sebagai bentuk liberating development. Proses
pembebasan ini diperlukan karena; sebagai akibat dari perjalanan sejarahnya sendiri, kaum
Muslim terkadang tidak bisa membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami, mana yang
transendental dan mana yang temporal. Lebih jauh, hirarkhi nilai itu sendiri sering dianggap
secara terbalik, transendental semuanya. Madjid melalui konsep sekularisasinya mengajak
kaum Muslim untuk menduniawikan hal-hal yang sudah semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Sekularisasi juga dimaksudkan
sebagai upaya untuk memantapkan tugas manusia dibumi sebagai khalifah Tuhan. Fungsi ini
memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk memilih dan menetapkan sendiri
cara dan tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya, dan sekaligus memberikan pembenaran
bagi adanya tanggung jawab manusia atas segala perbuatannya dihadapan Tuhan.37

Sebagai khalifah, manusia wajib memahami dunia. Bagi Madjid, manusia secara potensial
berkemampuan memahami alam semesta. Pasalnya, pertama, manusia telah dikaruniai
akal; kedua, alam semesta secara eksistensial telah ditundukkan kepada manusia, sehingga
terbuka bagi manusia untuk dapat memahaminya; ketiga, prediktabilitas alam semesta, dalam
arti alam semesta tercipta dengan ‘ukuran’ dan ‘ketentuan’ yang pasti, tak berubah-ubah,
sehingga sampai batas yang amat jauh bersifat “predictable”.

Ketiga, Madjid menjelaskan konsep manusia sebagai khalifah Tuhan dengan


menegaskan bahwa Tuhan/Allah SWT adalah pencipta semua wujud yang bersifat fisik
37Suratno, 2006, “Kompatibilitas Islam dan Modernitas Dalam Neo Modernisme Islam Nurcholish
Madjid (1939-2005), dalam Jurnal Universitas Paramadina, Edisi Khusus Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish
Madjid, Volume 4 Nomor 3 Agustus 2006, Jakarta: Unversitas Paramadina.

14
maupun metafisik. Tuhan sendiri sering dikenal dengan 99 nama Asmaul Husna atau nama-
nama yang baik. Ini kontekstual dengan teori pengembangan religiusitas anak dimana anak-
anak mulai mengenal Tuhan melalui bahasa dan istilah-istilah. 99 nama Tuhan dalam Asmaul
Husna juga sesuai dengan salah satu sifat religgiusitas anak yakni anthropomorfisme.
Antropomorfisme adalah pemberian atribusi karakteristik, perasaan, atau tujuan yang dimiliki
manusia kepada entitas bukan manusia. Hal ini dianggap sebagai kecenderungan bawaan
psikologi yang dimiliki oleh manusia. Dalam agama dan mitologi, antropomorfisme adalah
persepsi tuhan atau dewa dalam bentuk manusia, atau pemberian sifat manusia kepada entitas-
entitas ini.

Kemudian, Madjid menegaskan bahwa muara dari manusia sebagai khalifah adalah
reformasi bumi. Ini kontekstual dengan bagaimana anak-anak melihat orang-orang dewasa
apakah mereka menjaga dan mengembangkan atau malah mengeksploitasi dan merusak bumi.
Orang-orag dewasa sebagai khalifah yang “sempurna” akan dilihat oleh anak-anak sebagai
khalifah “yang masih belajar”.

Menurut Nurcholish Madjid (2019), Tuhan (Allah) adalah pencipta semua wujud yang bersifat
fisik maupun metafisik. Dia telah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya.38 Oleh
karena itu menurut Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman (2019), Manusia tidak cukup
hanya sekadar percaya kepada adanya Tuhan, tetapi harus pula meyakini bahwa Tuhan berada
dalam kualitas-Nya sebagai Yang Maha Esa, yang bersifat mutlak dan satu-satunya yang
bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa
kepada sesuatu apa pun yang lain. Sebagai konsekuensi atas pandangan dan keyakinan tersebut,
maka manusia harus bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Dia-lah tempat menggantungkan
harapan, sekaligus satu-satunya tempat bersandar (tawakal) dalam menghadapi dinamika
kehidupan hidup manusia. Keyakinan inilah yang menempatkan manusia pada posisi
bertauhid.39

Tuhan menurut Madjid (2019) menciptakan manusia untuk diangkat sebagai wakil (khalifah)-
Nya di muka bumi dengan tugas menjalankan mandat-Nya sebagai pemelihara bumi (alam
tempat tinggal manusia).40 Muara dari semua prinsip kekhalifahan manusia ialah apa yang
dibahasakan oleh Madjid dengan reformasi bumi (ishlāh al-ardl). Madjid menguraikan bahwa
kata ‘reformasi’ dalam Al-Qur’an disebut dengan ishlāh, berakar sama dengan kata-
kata shālih (saleh) dan mashlahah (maslahat). Kesemuanya mengacu pada makna baik,
kebaikan dan perbaikan. Ide reformasi bumi didasarkan oleh Madjid pada firman Allah swt.,
di dalam Al-Qur’an, bahwa “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah
direformasi. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan rindu; rahmat Allah selalu dekat
kepada orang yang berbuat baik,” (QS. 17:56). Menurut Madjid, ungkapan “janganlah
berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi” mengandung makna ganda. Pertama,
larangan merusak bumi pasca-reformasi atau perbaikan (ishlāh) saat penciptaan bumi oleh
Tuhan. Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi reformasi atau perbaikan
oleh manusia sendiri.

Kesimpulan

38 Nurcholish Madjid, 2019, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal. 5.
39 Budhy Munawar-Rachman, 2019, Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Pintu-Pintu Menuju Tuhan,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 1710.
40 Nurcholish Madjid,, 2019, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Hal. 5.

15
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pemikiran
manusia sebagai khalifah menurut Madjid direferensikan pada kisah penciptaan Nabi Adam
sebagai manusia pertama. Pemikiran ini sangat kontekstual dengan teori tingkat religiusitas
anak dimana ada 3 tingkat yakni; tingkat dongeng/cerita, kepercayaan dan menjelang remaja
dimana terbagi dalam 3 bentuk yakni ketuhanan yang konservatif-konvensional, ketuhanan
yang murni, dan ketuhanan yang humanistic. Oleh karena itu penciptaan nabi Adam ini bisa
menjadi titik mula atau starting-point dalam mengembangkan religiusitas anak, untuk
kemudian meningkat kepada kepercayaan dimana nabi Adam mau bersujud kepada Allah SWT
dan tingkat ketuhanan yang humanistic dimana nabi Adam setelah melakukan kesalahan yakni
memakan buah khuldi yang terlarang akan tetapi akhirnya beliau bertaubat dan mengakui
kesalahannya untuk menjadi lebih baik lagi dalam rangka mengemban tugas sebagai khalifah
Allah SWT di muka bumi.

Kedua, pemikiran Madjid tentang khalifah berpondasikan 2 hal yakni status eksistensial
manusia dan ketauhidan. Ini sangat kontekstual dengan teori perkembangan religiusitas anak
yakni teori ketergantinga dimana anak-anak biasanya menginginkan perlindungan, pengalaman
yang baru, mendapat respon atau perhatian, dan menjadi dikenal oleh anak atau orang lain.
Kemudian, Madjid juga menegaskan tugas manusia sebagai khalifah untuk memahami dunia
dimana manusia dibekali akal. Ini kontekstual dengan teori perkembangan religiusitas anak
yakni teori instink atau potensi bawaan dimana anak-anak sebagai manusia juga dibekali akal
sebagai potensi untuk memahami dunia dan mengenal Tuhan meskipun sering disebut bahwa
akal anak-anak belum sesempurna akal orang dewasa.

Ketiga, Madjid menjelaskan konsep manusia sebagai khalifah Tuhan dengan menegaskan
bahwa Tuhan/Allah SWT adalah pencipta semua wujud yang bersifat fisik maupun metafisik.
Tuhan sendiri sering dikenal dengan 99 nama Asmaul Husna atau nama-nama yang baik. Ini
kontekstual dengan teori pengembangan religiusitas anak dimana anak-anak mulai mengenal
Tuhan melalui bahasa dan istilah-istilah. 99 nama Tuhan dalam Asmaul Husna juga sesuai
dengan salah satu sifat religgiusitas anak yakni anthropomorfisme. Kemudian, Madjid
menegaskan bahwa muara dari manusia sebagai khalifah adalah reformasi bumi. Ini
kontekstual dengan bagaimana anak-anak melihat orang-orang dewasa apakah mereka
menjaga dan mengembangkan atau malah mengeksploitasi dan merusak bumi. Orang-orag
dewasa sebagai khalifah yang “sempurna” akan dilihat oleh anak-anak sebagai khalifah “yang
masih belajar”.

Daftar Pustaka

Badar, Miftahul, 2022, “Khalifah Dalam Pandangan Cak Nur”, dalam www.ibtimes.id, 17
Januari 2022 (Diakses 19 September 2023).

Boston, C.D. & Gray, T.A. 1981. “Religious Orientation and Helping Behavior Responding to
One's Own or to The Viction's Needs?”. dalam Journal of Personail & and Social Psychology,
40, 5 1 1 – 520.

Bulqaini, 2006, Konsep Manusia Sebagai Khalifah Menurut Nurcholish Madjid, Skripsi S1
yang tidak dipublikasikan, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta.

Carbon, Sabine & Lucker, Barbara, 2006, Maria Rettet Karl Marx Ohne Schein Kein Sein,
Berlin: Edition SABA

16
Darajat, Zakiyyah, 2005, Ilmu jiwa agama, Cetakan ke 17, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Hess, Karl, 2005, Capitalism for Kids; Growing Up to be Your Own Boss, Paperback Amazon,
1 Mei 2005.

Harmin, Muhammad Adzanulhamdi, 2016, “Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh Dalam Lagu
Hall Of Fame Karya The Script Feat Will I Am: Analisis Semiotika Model Roland Barthes

Iqbal, Muhammad, 2016, Mewujudkan Kesadaran Energi Melalui Konsep Khalifah Fi al-
'Ard

Khodijah, Siti, 2018, Analisis Konsep COSO Dan Filosofi Khalifatullah Fil Ardh Dalam
Mencegah Dan Mendeteksi Fraud

Khoirudin. 1995. Perbedaan Religiusitas dan Kemandirian Antara Anak yang Belajar di
Sekolah Dasar, Taman Pendidiakn Al-Qur'an dan Pesantren. Tesis. Tidak Diterbitkan.
Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

Lindzey, G & Aronson, E. (Eds). 1975. The Handbook of Social Psychology. New Delhi:
Addison-Westly Publising Company

Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Dari Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

Madjid, Nurcholish, 2019, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mangunwijaya, Y.B, 2020, Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak, Jakarta: Penerbit


Kompas.

Munawar-Rachman, Budhy, 2001, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,


Jakarta: Penerbit Paramadina.

Munawar-Rachman, Budhy, 2019, Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Pintu-Pintu Menuju


Tuhan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Nafis, Muhammad Wahyuni, 2015, Cak Nur Sang Guru Bangsa, Jakarta: Penerbit Kompas.

Rahmat, Jalaluddin, 2003, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 63-66

Ridwan, Nur Khalik, 2002, Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat
Islam Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Galang Press.

Suratno, 2006, “Kompatibilitas Islam dan Modernitas Dalam Neo Modernisme Islam
Nurcholish Madjid (1939-2005), dalam Jurnal Universitas Paramadina, Edisi Khusus
Pemikiran Nurcholish Madjid, Vol. 4 No. 3 Agustus 2006, Jakarta: Unversitas Paramadina.

Suratno, 2008, “Nurcholish After Nurcholish”, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2008, All You Need
Is Love: Cak Nur Di Mata Anak Muda, Jakarta: Democracy Project.

17

Anda mungkin juga menyukai