Anda di halaman 1dari 91

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Melihat dari sisi historis pendidikan Islam di Indonesia, ada titik kelam

yang menjadi penyebab terpuruknya dinamika intelektual muslim. Akar-akar

keterpurukan intelektual muslim dapat dilacak pada lenyapnya berbagai cabang

ilmu aqliyyah dari tradisi keilmuan dan pendidikan Islam yang cukup lama.

Ditambah dikotomi ilmu pengetahuan, pemisahan antara ilmu duniawi dan ukhrowi

memperburuk keadaan kaum muslimin diberbagai belahan dunia.

Di Indonesia sendiri, ilmu-ilmu duniawi pernah dianggap kafir dan dijauhi

dari lingkungan lembaga pendidikan Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh

Ahmad Syafii Maarif:

... kondisi masyarakat muslim kian terpuruk dengan disebarkannya ajaran-


ajaran sesat yang mengkhotbahkan perlunya ditumbuhkan sikap
membenci dunia. Pengikut-pengikut ajaran ini mengatakan bahwa dunia
buat si kafir, sedangkan akhirat buat si miskin. Di sini ajaran al-Quran
sudah dibenamkan ke bawah debu-debu ajaran mistik yang tidak
bertanggung jawab (Maarif, 1995:13).

Memasuki abad modernisasi dan globalisasi, pendidikan Islam belum juga

mengalami kemajuan. Modernisasi dan globalisasi yang berkembang saat ini, selain

membawa kemajuan dan kemudahan juga menyisakan berbagai persoalan sosial

dan kemanusian.

Pendidikan Islam dirasa kurang berperan dalam menyelesaikan

permasalahanpermasalahan yang ditimbulkan oleh modernisasi dan globalisasi.

Di Indonesia misalnya, pendidikan Islam belum mampu menjawab persoalan-

persoalan seperti; degradasi moral, kekerasan (radikalisme), hilangnya karakteristik

1
2
bangsa (misalnya: toleransi, gotong-royong, menjunjung adat istiadat) serta

berbagai persoalan lainnya yang membelenggu, menghambat kemajuan dan

perkembangan masyarakat Indonesia di kancah internasional.

Pemberitaan dalam berbagai media massa tidak pernah luput dari kasus

kekerasan yang menyangkut SARA (suku, agama, ras dan antar golongan),

kriminalitas (pencurian, pembunuhan, penyelundupan miras dan obat-obat

terlarang, dll), kasus-kasus asusila (antara remaja di bawah umur sampai kasus

asusila yang melibatkan guru dan murid), KKN (Korupsi, Kolusi dan, Nepotisme),

serta berbagai pemberitaan lainnya yang bersifat destruktif dan bukan sebaliknya,

yaitu pemberitaan mengenai berbagai prestasi yang telah diraih bangsa ini.

Masalah-masalah pendidikan di atas juga mengundang perhatian dari

berbagai pihak, tidak hanya tokoh pendidikan Islam saja, tokoh agama dan

budayawan Islam-pun ikut memberikan berbagai saran dan kritiknya bagi

perbaikan pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia. Diantaranya yang

diungkapkan Azyumardi Azra tokoh pendidikan Islam di Indonesia, sebagai

berikut:

Pendidikan Islam dalam konteks Indonesia tidak ubahnya seperti yang


terjadi di belahan bumi manapun. Selama kurun waktu lebih dari beberapa
dasawarsa sejak Indonesia bebas dari kolonialisme, pendidikan Islam
dapat dikatakan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
kemajuan bangsa pada umumnya, dan umat Islam di Indonesia pada
khususnya. Pendidikan Islam saat ini, kelihatan sering terlambat
merumuskan diri untuk merespon perubahan maupun kecenderungan
perkembangan masyarakat sekarang dan masyarakat mendatang (Azra,
2005: VII).

Agar dapat merespon tantangan sebagai akibat perubahan zaman, maka

solusi yang coba ditawarkan oleh Malik Fadjar dalam kutipan buku Holistika
3

Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar menurutnya;

Pendidikan Islam harus dikelola menurut manajemen modern dan


futuristik sebagai usaha yang mengantarkan peserta didik keposisi-posisi
tertentu di masa depan. Yaitu, suatu manajemen yang berpotensi
membangun manusia profesional-intelektual dan skilled dalam hal
bagaimana mereka mampu bergaul di tengah-tengah komunitas global
secara dinamis, kreatif, dan inovatif (Barizi, 2005:ix).

Ketidakjelasan paradigma pendidikan Islam dan kaburnya dasar filosofi

pendidikan Islam juga menjadi problematika lainnya bagi pendidikan Islam di

Indonesia. al-Quran dan Sunah masih sangat general untuk dijadikan dasar filosofi

pendidikan Islam. Idealnya, dasar filosofi dan paradigma pendidikan Islam digali

dari al-Quran dan Sunah, setelah itu dirumuskan dalam sebuah redaksi yang lebih

teoretis-sistematis.

Selain itu, masalah selanjutnya yang dihadapi oleh pendidikan Islam

adalah dari sisi kelembagaan. Pertanyaannya adalah mengapa lembaga pendidikan

Islam di Indonesia yang memfasilitasi lahirnya agent of change guna mewujudkan

peradaban yang lebih baik, seolah-olah tidak berdaya dan belum mampu duduk

sejajar dengan pendidikan lainnya, bahkan dianggap sebagai pendidikan kelas dua.

Terbukti dengan belum adanya lembaga pendidikan Islam baik dari tingkat dasar

maupun perguruan tinggi yang menempati posisi strategis diantara deretan

lembaga-lembaga pendidikan yang berkelas internasional. H.A.R. Tilaar dalam

Bakar dan Surohim, juga mengungkapkan pendapatnya mengenai pendidikan

Islam, bahwa realitanya pendidikan Islam belum responsif terhadap tuntutan hidup

manusia dan masih menghadapi masalah-masalah kompleks (Bakry, 2005:3).

Meskipun konsentrasi pemikiran Ahmad Syafii Maarif bukan pada

tataran pendidikan, khususnya pendidikan Islam, tetapi sesungguhnya Syafii

memiliki pandangan-pandangan filosofis mengenai pendidikan Islam itu sendiri.


4
Hal tersebut bisa jadi dikarenakan latar belakang Ahmad Syafii Maarif yang

merupakan seorang pendidik, seorang aktivis organisasi keislaman, serta aktif pula

dalam diskusi dan dialog lintas agama. Pandangan filosofis mengenai pendidikan

Islam menurut Ahmad Syafii Maarif diantaranya: pandangannya tentang

manusia, bahwa manusia adalah makluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan ilmu

dan aql (intelek atau penalaran), manusia melalui kreatifitasnya dapat menemukan

ilmu pengetahuan (Maarif, 2004:14). Sedangkan pandangannya tentang ilmu

yaitu:

Ilmu itu penting bagi manusia, tak seorangpun yang dapat


menafikannya. Dalam Islam, iman dan ilmu merupakan prasarat untuk
meningkatkan martabat dan harkat kemanusiaan. Pada saat Tuhan
menciptakan Adam, dia memberinya ilmu. Dalam kasus manusia, ilmu itu
sama pentingnya dengan eksistensi manusia itu sendiri. Sekiranya manusia
hanya diberi eksistensi tanpa ilmu, keberadaannya tidak banyak artinya,
tidak akan berbeda dengan makhluk lain (Maarif, 2004:24).

Pandangan Ahmad Syafii Maarif mengenai pentingnya ilmu bagi

manusia membawa implikasi bahwa menguasai ilmu pengetahuan adalah tujuan

utama diciptakannya manusia, dengan demikian manusia yang tidak memfokuskan

hidupnya bagi pemenuhan ilmu pengetahuan tidak ada bedanya dengan makhluk

selain manusia, artinya derajat kemanusiannya dianggap rendah. Selanjutnya untuk

meningkatkan harkat dan martabat manusia selain ilmu diperlukan juga keimanan,

dimana iman inilah yang akan menuntun manusia dalam keyakinannya terhadap

Sang Maha Pencipta dan pergaulan sosialnya. Seorang yang beriman tidak mungkin

melakukan tindakan-tindakan amoral atau tindakan-tindakan yang dilarang oleh

agama sebagaimana yang diyakininya.

Pandangannya mengenai Pendidikan Islam juga tertuang dalam karyanya

yang berjudul Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan dan Kemanusiaan, sebagai


5

berikut:

Masa depan yang gemilang sebuah bangsa tidak pernah dibangun di


atas kebodohan dan keserakahan melainkan dibangun di atas kecerdasan
dan moralitas. Untuk membangun itu, maka lembaga pendidikan
merupakan salah satu sarana yang paling mendasar dan efektif. Lembaga
pendidikan tidak cukup hanya menekankan aspek kecerdasan atau
intelektualitas manusia tetapi juga harus mampu membangun karakter
manusia yang mulia dan bertanggung jawab (Maarif, 2009:11).

Perpaduan antara dua aspek tersebut, yaitu aspek intektualitas dan akhlak

adalah apa yang dimaksud oleh Ahmad Syafii Maarif sebagai pendidikan

integratif. Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif menegaskan; bahwa untuk

kehidupan bersama yang baik, beradab dan berkeadilan dalam suatu masyarakat

tidak hanya ditopang oleh kemampuan nalar melainkan dipandu oleh akhlak atau

prinsip etis (http//:www.kompasiana.com/20161025/ahmad-Syafii-Maarif-unity-

of knowledge diakses tanggal 25 Oktober 2016).

Dalam bukunya yang berjudul Mencari Autentisitas dalam Kegalauan,

seorang Prof. Ilmu Politik, The Ohio State University, Columbus Ohio Amerika

Serikat, R.William Liddle, mengungkapakan pandangannya tentang pribadi Ahmad

Syafii Maarif yaitu, Syafii baru, atau mungkin lebih tepat sisi lain Syafii yang

kurang saya kenali, melalui bukunya ingin membuktikan bahwa Islamnya Ahmad

Syafii Maarif merupakan rahmat bagi seluruh dunia (Maarif, 2011:xvii).

Pandangan di atas didasari bahwa pemikiran-pemikiran Ahmad Syafii

Maarif juga berkutat mengenai bagaimana penyelesaian konflik-konfik yang

melanda bangsa Indonesia. Baik konflik yang melibatkan SARA (suku, agama, ras

dan antar golongan), maupun konflik-konflik politik di Indonesia. Orisinalitas

pemikiran Ahmad Syafii Maarif diperolehnya dari pendidikan dan pergaulannya

yang luas, baik pada tingkat lokal maupun internasional. Sebagai akademisi dan
6
seorang cendekiawan muslim, Syafii berinteraksi langsung dengan realita

sosiohistoris umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya dalam

bergumul dengan berbagai kendala dan persoalan yang menyangkut kehidupan

bermasyarakat, beragama, dan bernegara.

Ketajaman pemikirannya dalam menganalisa permasalahan-permasalahan

bangsa Indonesia dan umat Islam merupakan hasil refleksi yang didasarkan pada

pedoman hidupnya sebagai seorang yang beragama, sebuah agama yang dijanjikan

sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), yaitu al-Quran kitab yang

mulia. Umat Islam tidak seharusnya menjadi umat yang terbelakang, mudah diadu

domba, dan tercerai berai. Umat yang kuat adalah umat yang unggul dalam

pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang kita lihat, bahwa negara-

negara super power adalah negara-negara yang berhasil mengembangkan ilmu

pengetahuan, juga karena semangat ilmu dan riset begitu hebatnya dalam al-Quran,

maka kelengahan kita karena tidak merealisasikannya dalam perbuatan artinya

dengan bersikap zhalim terhadap kitab suci itu sendiri (Maarif, 2004:5).

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pendidikan Islam menurut pemikiran Ahmad Syafii Maarif?

2. Bagaimana aktualisasasi pemikiran Ahmad Syafii Maarif terhadap praktek

pendidikan Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Menemukan pemikiran pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif.

2. Menemukan aktualisasi pemikiran Ahmad Syafii Maarif terhadap praktek

pendidikan Islam di Indonesia.


7

D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat ilmiah, sebagai usaha untuk menambah kekayaan khazanah

intelektual dalam penelitian studi tokoh dan kontribusi pemikirannya bagi

pengembangan bidang pendidikan.

2. Manfaat praktis, diharapkan mampu menawarkan pemikiran baru dalam

bidang pendidikan Islam, bahkan jika mungkin, dapat dijadikan pertimbangan

dalam menyusun landasan pendidikan Islam maupun sistem pendidikan Islam

pada saat ini maupun masa yang akan datang.

E. Langkah-langkah Penelitian

Untuk memperoleh data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah, maka dalam penelitian ini penulis mengambil langkah-langkah

sebagai berikut: penentuan waktu penelitian, penentuan metode penelitian,

penentuan teknik pengumpulan data, dan analisis data.

Rincian dari langkah-langkah ini adalah :

1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian direncanakan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 3

bulan yaitu mulai dari 20 Oktober sampai dengan taggal 12 Desember 2016 dengan

uraian jadwal sebagai berikut :

Oktober November Desember


Kegiatan Minggu ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Pengajuan Proposal v v
Pengumpulan Bahan v v v v
Penyusunan Skripsi v v
Penyelesaian Skripsi v v
8
2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam merumuskan Pemikiran Ahmad

Syafii Maarif dalam Pendidikan Islam adalah metode content analisys. Bogdan

dan Taylor menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata atau lisan dan perilaku teramati.

Metode ini melihat keseluruhan latar belakang subjek penelitian secara holistik

(keseluruhan) (Moleong, 2005:04).

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang

bersifat kualitatif. Sebagaimana yang sudah diketahui secara luas oleh para

akademisi, bahwa library research adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan data, informasi dan berbagai macam data-data lainnya yang

terdapat dalam kepustakaan (Subagyo, 1991:2). Dalam melakukan penelitian,

seorang peneliti diharuskan memiliki kemampuan analisa kepustakaan secara detail

dan tajam, sehingga mampu memberikan jawaban atas masalah-masalah ilmiah

yang ditemukan.

Dengan demikian penyusunan karya ilmiah ini didasarkan pada hasil studi

terhadap beberapa bahan pustaka yang berkaitan dengan pemikiran pendidikan

Ahmad Syafii Maarif maupun bahan-bahan pustaka lain yang relevan dengan

pemikiran Ahmad Syafii Maarif.

Dalam penelitian ilmiah yang berbasis pada pustaka, sumber data adalah

bagian terpenting. Sumber data merupakan objek untuk menghasilkan data. Karena

sifatnya adalah kajian pustaka, maka objek yang dapat dijadikan sumber adalah
9

buku, jurnal, bulletin, artikel, dan karya-karya ilmiah lain yang relevan (Abdullah,

1990:29).

Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi sumber data

primer dan sekunder;

a) Sumber data primer yang menjadi kajian dalam skripsi ini adalah buku-buku

karya Ahmad Syafii Maarif, diantaranya yaitu: Pendidikan Islam di

Indonesia, Islam dan Masalah Kenegaraan, Membumikan Islam, Islam dan

Politik (Teori Belah Bambu), Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat,

Masa Depan Bangsa dalam Taruhan, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan

Kemanusiaan, al-Quran dan Realitas Umat.

Dari beberapa sumber primer di atas, berdasarkan studi pendahuluan

peneliti, karya-karya tulis Ahmad Syafii Maarif yang banyak memuat

pemikiran pendidikan Islam beliau yaitu: pertama, dalam buku Mencari

Autentisitas dalam Kegalauan. Kedua, Membumikan Islam. Serta ketiga, al-

Quran, Realitas dan Limbo Sejarah-Sebuah Refleksi.

b) Rujukan sumber data sekunder yaitu karya-karya yang memiliki hubungan

dengan penelitian ini. Misalnya karya outobiografi Ahmad Syafii Maarif;

Titik-Titik Kisar di Perjalananku, film yang menceritakan kehidupan Ahmad

Syafii Maarif yang berjudul Si Anak Kampoeng, Samsul Nizar; Dasar-Dasar

Pemikiran Pendidikan Islam, Susanto; Pemikiran Pendidikan Islam, Abd.

Rachman Assegaf; Ilmu Pendidikan Islam, dan tulisan-tulisan lainnya baik

buku, jurnal, ebook, artikel yang sekiranya ada hubungannya dengan penelitian

yang sedang dilakukan.


10
4. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis masalah tentang pendidikan Islam di Indonesia

menurut pemikiran Ahmad Syafii Maarif dengan cara bertahap melakukan cara-

cara berikut :

a. Pemrosesan data yaitu mencari dengan mengumpulkan data yang berkaitan

dengan masalah yang sedang dibahas dari berbagai sumber dan dipelajari secara

teliti seluruh data yang sudah terkumpul kemudian satuan-satuannya

diidentifikasikan (Moleong, 2005:190).

b. Kategorisasi yaitu data-data yang sudah terkumpul dapat dikelompokkan atas

pikiran, pendapat, dan kriteria tertentu yang selanjutnya dikategorisasikan ke

dalam isi pembahasan penelitian yang berkaitan (Moleong, 2005:192).

c. Penafsiran data yaitu setelah tersedia data-data dengan lengkap dan kategorisasi

telah dilakukan, maka dilakukan analisis atau penafsiran terhadap data yang

tersedia dengan menggunakan analisis, yang akhirnya dilakukan penafsiran

kesimpulan dari apa yang telah dibahas.


11

BAB II
LANDASAN TEORETIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Pendidikan Islam

Sebelum memahami pengertian pendidikan Islam, dalam paparan skripsi

ini terlebih dahulu akan dikemukakan tentang hakekat pendidikan itu sendiri.

Karena melalui makna dari pendidikan dalam pengertian umum akan dapat

diketahui makna dari pendidikan Islam.

Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris education yang berbahasa latin

educer yang berarti memasukkan sesuatu istilah ini kemudian dipakai untuk

pendidikan dengan maksud bahwa pendidikan dapat diterjemahkan sebagai usaha

memasukkan ilmu pengetahuan dari orang yang dianggap memilikinya kepada

mereka yang dianggap belum memilikinya (Bakry, 2005:2).

Menurut Moh. Uzer Usman dalam buku Mengajar Konsep Ilmu

Pendidikan Islam mengungkapkan;

Pendidikan adalah suatu proses yang menyangkut: pertama, proses


transformasi; kedua, perkembangan pribadi; ketiga interaksi sosial dan
keempat, modifikasi tingkah laku. Sedangkan menurut M.J. Langeveld
mengartikan pendidikan sebagai setiap usaha, pengaruh perlindungan dan
bantuan, yang diberikan kepada anak, tertuju kepada pendewasaan anak
atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas
hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa dan ditujukan
kepada orang yang belum dewasa (Bakry, 2005:3).

ari berbagai perbedaan dalam memahami kata pendidikan dikalangan para

ahli itu, bukan berarti kata ini tidak dapat digeneralisasikan dan tidak dapat dicari

formula dasarnya. Melalui berbagai penjelasan tentang makna pendidikan di atas,

mengisyaratkan bahwa proses pendidikan berlangsung dalam: 1) Adanya

tranformasi ilmu dan budaya masyarakat dari satu generasi kepada generasi

11
12
berikutnya; 2) Adanya proses pengekalan atau pengabdian sebuah tata nilai yang

berlaku dimasyarakat tertentu untuk tetap dipertahankan oleh generasi sesudahnya.

Setelah membahas pengertian pendidikan dalam pengertian yang umum,

selanjutnya adalah mengartikan makna pendidikan Islam. Para pakar pendidikan

Islam berbeda pendapat dalam menginterpretasikan pendidakan Islam. Perbedaanya

tak lain hanya terletak pada perbedaan sudut pandang, di antara mereka ada yang

mengidentifikasikannya dengan mengkonotasikan berbagai peristilahan bahasa,

ada juga yang melihat dari keberadaan dan hakekat kehidupan manusia di dunia,

dan ada pula yang melihat dari segi proses kegiatan yang dilakukan dalam

penyelenggaraan pendidikan.

Dalam hal ini ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan

Islam yaitu at-Tarbiyah, al-Ta'lim at-Ta'dib (Jalaludin, 2003:72). Berdasarkan

analisa konsep, ketiga istilah tersebut mempunyai konteks makna yang berbeda

bahkan untuk satu istilah saja. Akan tetapi kalau dikaji dari segi etimologi ketiga

kata tersebut mengandung kesamaan dalam segi esensi yaitu mengacu pada sebuah

proses. Jalalludin dalam dalam buknya Teologi Pendidikan mengungkapkan:

Apabila ketiga istilah tersebut dikembalikan pada asalnya, maka ketiga-tiganya

mengacu pada sumber dan prinsip yang sama, yaitu pendidikan Islam bersumber

dari Allah dan didasarkan pada prinsip ajarannya (Jalaludin, 2003:73).

Meskipun pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah

Islamiyah. Namun para pakar pendidikan berbeda-beda dalam menggunakan

istilah-istilah tersebut dalam mengidentifikasikan pendidikan Islam. Syeh

Muhammad al-Naquib al-Attas beliau mendeskripsikan pengertian tadib lebih


13

tepat dipakai untuk pendidikan Islam daripada talim atau tarbiyah yang dipakai

sampai saat sekarang sebagaimana yang dikemukakan berikut ini:

Bahwa tarbiyah dalam pengertian aslinya dan dalam pemahaman dan


penerapannya oleh orang Islam pada masa-masa yang lebih dini tidak
dimaksudkan untuk menunjukkan pendidikan maupun proses pendidikan
penonjolan kualitatif pada konsep tarbiyah adalah kasih sayang (rahmah)
dan bukannya pengetahuan (Ilm) sementara dalam Talim, pengetahuan
lebih ditonjolkan dari pada kasih sayang. Dalam konseptualnya tadib
sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (Ilm), pengajaran (talim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Karenanya, tidak perlu lagi untuk
mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tabiyah, talim dan
tadib sekaligus, karena itu, tadib merupakan istilah yang paling tepat dan
cermat untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam (Bawani &
Anshori, 1991:73).

Dengan dipakainya istilah tadib dalam pendidikan Islam, maka

menurutnya, yang dimaksud pendidikan Islam adalah :

Pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang secara berangsur-


angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga
hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat-tempat
Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian (Bawani &
Anshori, 1991:74).

Sehingga pengertian tadib disini menekankan pada proses pendidikan

berupa tranformasi ilmu pengetahuan dan nilai kepada peserta didik secara

berangsur-angsur, yang diharapkan bisa diaktualisasikan melalui prilakunya dalam

kehidupan sehari-hari.

Sedangkan Abdul Fattah Jalal dalam memberikan pengertian pendidikan

Islam mengatakan bahwa;

Kata-kata tarbiyah tidak tepat untuk diterapkan, karena sempit


jangkauannya dan terlalu khusus sifatnya, menurutnya lebih tepat
mempergunakan istilah talim saja. Sebagimana pendapat beliau dalam
bukunya yang berjudul Azas-Azas Pendidikan Islam bahwa Islam
memandang proses talim lebih universal dibanding dengan proses
tarbiyah (Jalal, 1988:27).
14
yang mana dalam hal ini beliau merujuk pada firman Allah dalam surat al-Baqarah

ayat 151 :






Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu)

Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat

Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-kitab dan

Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS.

Al-Baqarah : 151).

Sesuai dengan ayat tersebut jelas bahwa talim didalamnya mengandung

suatu transformasi ilmu yang terbatas pada domain kognitif, melainkan mencakup

juga domain konatif, psikomotor dan afektif. Sudah tentu untuk mencapainya tidak

mungkin hanya begitu saja melainkan atas usaha sungguh-sungguh dan mendalam,

melalui proses panjang dan berkesinambungan, semenjak dilahirkan hingga

meninggal. Seperti dalam salah satu hadits dijelaskan;

Apabila seorang manusia meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali

tiga, yakni sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh

yang mendoakannya. (HR Muslim, 2:70:1631)

Sedangkan menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani

mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku individu

dalam kehidupan pribadinya atau kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam


15

sekitarnya melalui proses kependidikan (Bakry, 2005:54). Usaha nilai-nilai Islami,

yakni nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunah Nabi.

Menurut H.M. Arifin pendidikan Islam adalah usaha pemberian


bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan, baik lahiriyah
maupun batiniyah yang menyangkut kehidupan di masa kini dan masa
mendatang. Bantuan tersebut berupa pertolongan di bidang mental
spiritual dengan maksud agar orang yang bersangkutan mampu mengatasi
kesulitan dengan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri, melalui
dorongan dari kekuatan iman, dan takwa kepada Allah Yang Maha Esa
(Bakry, 2005:58).

Dari berbagai pengertian pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud pendidikan Islam adalah suatu proses penggalian, pembentukan dan

pengembangan manusia melalui pengajaran, bimbingan dan latihan yang dilandasi

oleh nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga terbentuk pribadi muslim sejati yang mampu

mengontrol dan mengatur kehidupan dengan penuh tanggung jawab semata-mata

ibadah kepada Allah SWT, guna mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup

baik di dunia maupun di akhirat.

Berbagai komponen dalam pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai

ajaran Islam. Jika berbagai komponen tersebut satu dan lainnya membentuk suatu

sistem yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut

selanjutnya dapat disebut sebagai sistem pendidikan Islam (Nata, 2003:161).

2. Komponen-komponen Pendidikan

a. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik

setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu, kehidupan

pribadinya, serta kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu

tersebut tinggal. Tujuan pendidikan selain sebagai arah atau petunjuk dalam
16
pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi

keberhasilan proses pendidikan.

Menurut Al-Ghazali pendidikan dan pengajaran harus diusahakan untuk

mencapai dua tujuan diantaranya yang pertama, usaha pembentukan insan

paripurna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan kedua, insan

paripurna yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup manusia baik di

dunia maupun diakhirat. Atas dasar itu, maka tujuan pendidikan Islam harus

diarahkan pada dua sasaran pokok pendidikan. Pertama, aspek-aspek ilmu

pengetahuan yang harus disampaikan kepada murid, kedua, penggunaan metode

yang relevan untuk menyampaikan kurikulum atau silabus sehingga dapat

memberikan pengertian yang sempurna dan memberikan faedah yang besar tentang

penggunaan metode tersebut bagi ketercapaian tujuan pendidikan Islam (Bakry,

2005:32).

Menurut Zakiah Daradjat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai

setelah suatu usaha atau kegiatan selesai (Daradjat, 2000:29). Senada dengan

pendapat tersebut, Zuhairini dkk., berpendapat bahwa tujuan adalah dunia cita,

yakni suasana ideal yang ingin wujudkan (Zuhairini et al, 1995:159)

Tujuan hidup manusia menurut Allah ialah beribadah kepadanya (Tafsir,

1991:46). sebagimana yang terdapat dalam surat Adh-Dhariyat ayat:56




Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adh-Dhariyat, 49:56).

Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam menurut Zakiah Darajat dalam

buku Cendekiawan Muslim, beliau merumuskan enam tujuan khusus ditaranya


17

yaitu: pertama, pembinaan ketakwaan dan akhlakul karimah; kedua, mempertinggi

kecerdasan kemampuan anak didik; ketiga memajukan IPTEK beserta manfaat dan

aplikasinya; keempat, meningkatkan kualitas hidup; kelima memelihara dan

meningkatkan budaya serta lingkungan; memperluas pandangan hidup sebagai

manusia yang berkomunikasi terhadap keluarga,masyarakat dan lingkungan

(Bawani & Ansori, 1991:90).

Tujuan pendidikan Islam perlu memperhatikan pengembangan ketiga

komponen itu secara terpadu dan harmoni. Dengan menggunakan kerangka berpikir

demikian, Abdurrahman Saleh Abdullah mengklasifikasikan tujuan pendidikan

Islam menjadi empat macam, yang sama-sama membutuhkan perhatian seimbang.

Empat kelompok tujuan pendidikan Islam itu adalah sebagai berikut (Zubaidi,

2012:36-37).

1) Tujuan pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah). Dalam sebagian aspeknya,

mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi

melalui keterampilan fisik. Beliau berpijak pada pendapat Imam Nahwawi

yang menafsirkan al-qawy sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan

fisik. (Q.S. al-Baqarah, 2:247, al-Anfal, 8:60).

2) Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf arruhaniyah). Pada sebagian aspeknya,

pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan jiwa dan kesetiaan yang hanya

kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh

Nabi SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Quran (Q.S. ali-

Imran, 3:19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua (Q.S. al-

Baqarah, 2:10), berupaya memurnikan dan mensucikan dari manusia secara


18
individu dari sikap negatif (Q.S. al-Baqarah, 2:126). Inilah yang disebut

tazkiyah atau purifikasi dalam hikmah.

3) Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-aqliyah). Pada sebagian aspeknya,

pendidikan Islam bertujuan mengarahkan intelegensi supaya menemukan

kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah terhadap tanda-tanda kekuasaan

Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-Nya yang membawa kepada

keimanan kepada Allah.

4) Tujuan pendidikan sosial (al-ahdaf al-ijtimaiyyah). Dalam sebagian aspeknya,

pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian yang utuh baik roh,

tubuh dan akal. Identitas individu disini tercermin sebagai al-nas yang hidup

pada masyarakat yang plural.

Dengan mengakomodasi keempat tujuan pendidikan di atas, pendidikan

Islam akan bisa mengembangkan kepribadian peserta didik secara utuh, termasuk

mengembangkan keimanan, cipta, karya, karsa, rasa, dan hati nurani tiap manusia.

b. Pendidik dalam Pendidikan Islam

Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dijelaskan mengenai tenaga

kependidikan dan pendidik. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang

mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,

konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan

lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam

menyelenggarakan pendidikan (anonimous).

Menurut Maragustam pendidik adalah setiap orang yang memberikan

ilmu, pengalaman, nilai, keterampilan, dan pembentukan karakter baik di


19

lingkungan keluarga, masyarakat maupun di sekolah (Siregar, 2014:23). Sedangkan

hakekat pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab

terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak

didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik kearah yang lebih baik

secara seimbang sesuai dengan nilai-nilai Islam (Siregar, 2014:203).

Ahmad Marimba mengartikan pendidik sebagai manusia dewasa yang

karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab terhadap pendidikan peserta

didik. Pendidik juga diartikannya sebagai orang yang betanggung jawab dalam

menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang

memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna (Syafaruddin et al, 2009:53).

Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, peran pendidik amatlah penting.

Pendidik merupakan salah satu faktor utama terlaksananya proses pendidikan.

Karena pendidik adalah aktor yang bertanggung jawab terhadap seluruh proses

yang terjadi di dalamnya. Atas dasar tersebut Abudin Nata dalam bukunya yang

berjudul Filsafat Pendidikan Islam berpendapat bahwa pendidik merupakan pelaku

utama keberhasilan pendidikan. Tinggi rendahnya sumber daya manusia sebuah

bangsa sangat ditentukan oleh hasil kerja seorang guru dalam mengemas proses

pendidikan sebaik mungkin (Nata, 1997:63).

Dalam konteks pendidikan Islam, menurut al-Saebani sebagaimana yang

dikutip oleh Abd. Rachman, guru atau pendidik adalah spiritual father atau bapak

rohani bagi murid. Gurulah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan

akhlak dan membenarkannya. Oleh karena itu, menjadi pendidik hendaklah

memiliki sifat-sifat sebagai berikut (as-Segaf, 2011:111).


20
1) Zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajarkan mencari keridhaan Allah

SWT semata

2) Bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa

besar, sifat ria (mencari nama), dengki, permusuhan, perselisihan, dan lain-lain

sifat yang tercela.

3) Ikhlas dalam pekerjaan.

4) Guru merupakan seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru.

5) Guru harus mengetahui tabiat murid dan guru harus menguasai pelajaran.

Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang

yang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai

derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang

yang bukan sebagai pendidik.

c. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Th 2013 tentang Perubahan

atas PP. No. 19 Th. 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peserta didik adalah

anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu

(Anonimous).

Sedangkan berdasarkan paradigma pendidikan Islam, peserta didik

merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan)

dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk

Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani. Dari segi jasmani, ia belum

mencapai taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun perimbangan pada

bagian-bagian lainnya. Sedangkan dari segi rohaniyah, ia memiliki bakat, memiliki


21

kehendak, perasaan serta pikiran yang dinamis dan perlu untuk dikembangkan

(Agung, 1999:16).

d. Kurikulum Pendidikan Islam

Definisi kurikulum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi (materi), dan bahan

pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian

tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan

mengenai tujuan, isi (materi), dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah

cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran (Anonimous).

Kurikulum dalam pandangan Islam dikembangkan kearah tauhid atau

iman kepada Allah SWT. Mengenai hal ini, Abd. Rachman Assegaf mengutip

pendapat Hamid Hasan Bilgrami dan Ali Asyraf yang menerangkan bahwa, inti dari

sarana pengembangan kurikulum dilihat dari sudut pandang Islami adalah

kebenaran yang fundamental yang tidak dapat diubah, yaitu prinsip tauhid.

Sedangkan ciri-ciri kurikulum Islami menurut Omar Muhammad al-Toumi al-

Syaebani adalah sebagai berikut:

Menonjolkan tujuan agama dan akhlak, meluaskan perhatian dan


menyeluruhnya kandungan kurikulum, memiliki keseimbangan yang
relatif antara kandungan kurikulum dari imu-ilmu dan seni, atau
kemestian-kemestian, pengalaman-pengalaman, dan kegiatan-kegiatan
pengajaran yang bermacam-macam, cenderung pada seni halus, aktivitas
pendidikan, jasmani, latihan militer, pengetahuan tehnik, latihan kejuruan,
bahasa asing dan lain-lain (al-Syaebani,1979: 490-519).
22
Ciri-ciri kurikulum di atas menurut Omar Muhammad al Toumi al-

Syaebani terkesan luas karena pendidikan Islam itu sendiri mencakup dimensi

duniawi-ukhrowi, jasmani-rohani, dan materiil-spiritual secara utuh dan integral.

e. Metode Pendidikan Islam

Pembahasan mengenai metode pendidikan Islam sebenarnya termasuk

dalam kajian kurikulum. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,

bahwasannya ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan

pengaturan mengenai tujuan, isi (materi), dan bahan pelajaran, sedangkan yang

kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Metode/ model/

tehnik/ pendekatan, masuk dalam pembahasan pada bagian kurikulum dimensi

kedua tersebut. Tetapi dalam penelitian ini pembahasan mengenai metode

pendidikan Islam akan diuraikan dalam sub bab tersendiri secara terpisah.

Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani, metodos. Kata

ini terdiri dua suku kata: yaitu metha yang berarti melalui atau melewati dan hados

yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai

tujuan (Arifin, 1996:61). Dalam bahasa Arab metode disebut thariqat, dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-

baik untuk mencapai maksud (KBBI, 1995:652). Sehingga dapat dipahami bahwa

metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan materi pembelajaran

agar tercapai tujuan pembelajaran. H.M. Arifin menjelaskan tentang metode-

metode yang dapat dipakai dalam pembelajaran pendidikan Islam adalah sebagai

berikut :

1) Metode situasional dan kondisional dalam pembelajaran.


23

2) Metode tarhib dan targhib, untuk mendorong minat belajar anak didik agar

terlepas dari paksaan atau tekanan

3) Metode kebermaknaan, yaitu menjadikan anak bergairah belajar dengan

menyadarkan bahwa pengetahuan itu bermakna dalam hidupnya.

4) Metode dialog, melahirkan sikap saling terbuka antara guru dan murid.

5) Metode pemberian contoh keteladanan yang baik, yang akan mempengaruhi

tingkah laku dan sikap mental anak didik

f. Lingkungan dan Lembaga Pendidikan Islam

Lingkungan adalah sesuatu yang berada diluar diri anak dan

mempengaruhi perkembangannya. Menurut Sartain (ahli psikologi dari Amerika)

dalam Ilmu Pendididkan Islam I, mengatakan bahwa yang dimaksud lingkungan

sekitar adalah meliputi semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara

tertentu mempengaruhi tingkah laku manusia, pertumbuhan, perkembangan,

kecuali gen-gen (Achmadi, 2009:234)

Sedangkan yang dimaksud lingkungan ditinjau dari perspektif pendidikan

Islam adalah sesuatu yang ada di sekeliling tempat anak melakukan adaptasi,

meliputi: Pertama, lingkungan alam, seperti udara, daratan, pegunungan, sungai,

danau, lautan, dsb. Kedua, Lingkungan sosial, seperti rumah tangga, sekolah, dan

masyarakat (Bakry, 2005:97).

Ki Hajar Dewantara mengartikan lingkungan dengan makna yang lebih

simpel dan spesifik. Ia mangatakan bahwa apa yang dimaksud dengan lingkungan

pendidikan berada dalam 3 pusat lembaga pendidikan yaitu:

1) Lingkungan keluarga
2) Lingkungan sekolah
3) Lingkungan organisasi pemuda atau kemasyarakatan.
24
Ki Hajar Dewantar berpendapat bahwa; lingkungan merupakan salah satu

faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan, yang tidak sedikit

pengaruhnya terhadap anak didik (Zuhairini :173).

Sedangkan lembaga pendidikan secara terminologi menurut M. Syamsul

Arifin adalah; salah satu wadah/ tempat yang memungkinkan pendidikan Islam

berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mencapai

tujuannya (Arifin, 1991:83).

Menurut Hasan Langgulung, lembaga pendidikan adalah: suatu sistem

peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode,

norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis maupun tidak tertulis,

termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik; kelompok manusia yang

terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk

mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat untuk melaksanakan peraturan-

peraturan tersebut adalah; masjid, sekolah, kuttab dan sebagainya

(Lunggalung,1998:12-13).

Ciri yang menonjol dari seluruh lembaga pendidikan Islam adalah terletak

pada tujuan lembaga pendidikan Islam sendiri, yaitu mewarisi nilai-nilai ajaran

agama Islam. Adapun sifat dan karakter lembaga pendidikan Islam menurut

Ramayulis secara lebih spesifiknya adalah:

1) Lembaga pendidikan Islam bersifat holistik, terdiri dari lembaga pendidikan

Informal, nonformal, dan formal.

2) Lembaga pendidikan Islam bersifat dinamis, responsif, fleksibel, terbuka, dan

religius.
25

3) Lembaga pendidikan Islam berbasis terhadap masyarakat (Ramayulis,

2009:278).

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka berpikir merupakan tindak lanjut dari kegiatan pengkajian

pustaka yang bertitik tolak dari konsep dan teori atau teori-teori yang dibutuhkan

dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Moleong (2005:40) mengungkapkan

bahwa kerangka berpikir itu berupa kerangka teori dan dapat berbentuk kerangka

penalaran logis.

Dalam pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang pendidikan Islam,

eksistensi manusia dilihat secara integral dan harmonis. Kesatuan dimensi potensi

yang dimiliki manusia, merupakan kekuatan yang ampuh dalam mengantarkan

manusia menjadi mahluk yang mulia dan mampu melaksanakan amanat Allah

SWT. Dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini maka

penulis menyusun kerangka pemikiran yang dapat dilihat pada skema berikut:

Pendidikan Islam

Pemikiran Ahmad Syafii


Maarif

Pengetahuan Agama Sains/Umum

Non-Dikotomis
26
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Biografi Ahmad Syafii Maarif

1. Kelahiran Ahmad Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah

pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus "Makkah Darat",

Sumatera Barat. Sumpur Kudus "Makkah Darat" (Makkah Darek dalam bahasa

Minang). Ayah Syafii Maarif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang terpandang

di kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi kepala nagari

tahun 1936. Keluarga Ahmad Syafii Maarif merupakan keluarga terhormat,

ayahnya sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo

Malayu yang jabatannya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk dalam

kategori elit di kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai masalah,

tidak saja menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat

nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca. Bahkan

ayahnya cerdas, semua orang kampung mengakui. Maarif sendiri sering

menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti datang dengan

sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak untuk itu.

Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada tanggal 5 Oktober 1955,

dimakamkan di Tapi Selo, tanah persukuan orang Melayu. Semula ayahnya sakit di

Tanjung Ampalu, di tempat ibu tirinya bernama Mak Maran, kemudian etek

Lamsiah, ibu tiri Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo sampai ayahnya

wafat di sana. Waktu itu ayahnya berusia 55 tahun (Maarif, 2009:4).

26
27

Sementara ibu Maarif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun

1905 dan meninggal dunia sewaktu Maarif berusia 18 bulan. Ibunya wafat pada

tahun 1937 dalam usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun menyusuinya. Maarif

tidak sempat merasakan betapa manis atau pahitnya hidup bersama ibunya, orang

mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafii Maarif tidak pernah

mengenal wajah ibunya (Maarif, 2009:72).

2. Pendidikan Ahmad Syafii Maarif

Dunia awal masa kecil Ahmad Syafii Maarif dilewati di kampung

halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus.

Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah

Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus dari

Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan di Madrasah

Mu'allimin Muhammadiyah di Balai Tengah Lintau dan selesai pada tahun 1953.

Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagian

dilanjutkan di Yogjakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Mualimin

Yogyakarta (Maarif, 2000:1).

Ahmad Syafii Maarif "mendinamisasikan" dirinya, berkat M. Sanusi

Latief, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah

Yogyakarta (Maarif, 2000:2). Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya

pada tahun 1956, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta,

tepatnya di Universitas Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan (FKIP) atas bantuan saudaranya.

Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena

hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan PRRI


28
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) (Maarif, 2009:97), akhirnya

Ahmad Syafii Maarif memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, kemudian

Ahmad Syafii Maarif menjadi guru di desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah

(Maarif, 2000:172). Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali

melanjutkan kuliah, karena sering tidak masuk kuliah -karna sering mengajar-

akibatnya Ahmad Syafii Maarif hanya tamat Sarjana Muda (BA) pada tahun

1964. Gelar Sarjana (Drs) diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP Yogyakarta

pada Agustus 1968 (Maarif, 2000:173), dengan skripsi berjudul Gerakan

Komunis di Vietnam (1930-1954), dibawah bimbingan Dharmono

Hardjowidjono, dosen sejarah Asia Tenggara. Untuk teman-teman seangkatannya,

Ahmad Syafii Maarif adalah lulusan pertama.

Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke

Amerika, ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio State

University (1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama teman-

temannya dari Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students Association)

yang masih serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah di atas 30

tahun. Selama perkembangan pemikiran keislamaan Syafii Maarif di Atheans

belum ada perkembangan yang berarti, Syafii Maarif masih terpasung dalam

status quo. Masih berkutat pada ajaran maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh

Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan penyair

dari pakistan pun telah Syafii Maarif ikuti, tetapi ruh ijtihadanya belum singgah

secara mantap di otak Syafii Maarif yang masih bercorak aktivis, belum reflektif

dan kontemplatif. Apalagi Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim Students
29

Association), yang masih merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu

Negeri (Maarif, 2000:209).

Pada tahun 1978 diusia 43 tahun Maarif meninggalkan Athens, Di Ohio

inilah ia mendapat MA pada Departemen Sejarah dengan tesis Islamic Politics

Under Guided Democracy in Indonesia (1959-1965) dibawah bimbingan Prof.

William H. Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan sejarah Jepang yang

teramat baik terhadapnya.

Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti ke mana tapak kaki

melangkah sampai mencapai puncak prestasi akademik, Ph.D (Doctor of

Philosophy), dari negara yang mengklaim dirinya sebagai "Bapak Demokrasi",

Amerika Serikat, tepatnya di University of Chicago (Desember 1983) dalam usia

47 tahun (Maarif, 2004:i). Tidak mudah bagi Maarif untuk meneruskan belajar

ke Universitas Chicago, sekalipun ia sudah diterima untuk program Ph.D dalam

Pemikiran Islam. Bantuan sahabatnya M. Amien Rais, sungguh menjadi penting

bagi Maarif untuk bisa belajar Islam ke kampus orientalis itu. Professor

Frederick turut membantunya untuk mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation

dan USAID melalui perwakilannya di Jakarta. Akhirnya dengan bantuan banyak

pihak, beasiswa itu bisa ia dapatkan. Pada saat-saat awal itu tidak terbayang dalam

otaknya bahwa Chicago akan mengubah secara fundamental sikap intelektualnya

tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D dalam bidang pemikiran Islam

diselesaikan pada tahun 1983 dengan disertasi Islam as the Basic of State; A Study

of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent Assembly Debates in

Indonesia dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman (Maarif, 2009:5).

Meskipun Syafii dibesarkan dalam tradisi akademik di negara superpower, namun


30
kritiknya terhadap kebijakan politik luar negeri dari negara adikuasa, misalnya

Amerika yang dianggap kurang fair dan cenderung berat-sebelah terhadap

negara-negara Muslim, tak pernah luntur.

3. Aktivitas Ahmad Syafii Maarif

Sebagai anak panah Muhammadiyah, tidak lama setelah tamat

Muallimin Syafii Maarif berangkat ke Lombok dalam usia 21 tahun. Syafii

Maarif datang ke Lombok Timur pada 19 Agustus 1956 dan mengajar pada 21

Agustus 1956. Ia ditempatkan di kampung Batuyang, di rumah Subki, adik

kandung H. Harist yang juga sebagai kepala desa. Ia mengajar pada PGA

Muhammadiyah Pohgading yang terletak di pinggir sungai.

Pada tahun 60-an di samping mengajar di Baturetno, Maarif juga

mengajar di kota Solo. Di Madrasah Mualimat NDM pimpinan pak Duhardi, SMA

MIS (Modern Islamic School) pimpinan pak Abdul Manna Kadim. Mata pelajaran

yang Maarif asuh umumnya sama dengan yang di Baturetno yaitu Bahasa Inggris

dan Bahasa Indonesia. Cukup lama Maarif bolak-balik Solo-Baturetno dengan

kereta api. Pada saat itu Maarif naik kereta api dari Pasar Pon terus melaju ke

Baturetno dengan jarak 52 km. Kereta api Solo-Baturetno adalah kendaraan para

pedagang kecil (bakul), anak sekolah, dan rakyat umumnya. Syafii Maarif

termasuk dalam katagori yang terakhir. Semua ini Syafii Maarif jalani tanpa

perasaan gelisah yang mengganggu, karena cara inilah satu-satunya jalan bagi

Maarif untuk meneruskan kuliah di Solo: Universitas Cokroaminoto.

Pada tanggal 1 Juni 1967 Ahmad Syafii Maarif diangkat menjadi

pegawai negeri dengan jabatan asisten perguruan tinggi. Sebagai asisten, Ahmad

Syafii Maarif diberi tugas mengajar sejarah Indonesia kuno pada FKIS IKIP

Yogyakarta, di samping juga menjadi asisten sejarah Islam pada Fakultas Syariah
31

dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia) Pada tahun 1966 Ahmad Syafii

Maarif diterima menjadi sebagai korektor majalah Suara Muhammadiyah (SM),

pimpinan alm. H.A. Basuni, B.A dan alm Mohammad Diponegoro. Di samping

sebagai korektor majalah, Ahmad Syafii Maarif juga dipercayakan mengurus

iklan untuk majalah (Maarif, 2000:173).

Bakat menulis Ahmad Syafii Maarif banyak disalurkan melalui suara

Muhammadiyah. Bermacam topik yang ia tulis, tetapi umumnya menyangkut

masalah agama, sejarah, dan politik. Sewaktu bekerja pada Suara Muhammadiyah,

ia pun pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang

Yogyakarta. Setelah sekian lama menjadi korektor, posisi redaksi kemudian

diberikan kepada Ahmad Syafii Maarif sampai ia berhenti bekerja di sana karena

beliau mau berangkat ke Amerika Serikat pada Juli 1972.

Setelah pulang dari Chicago, Maarif kembali ke Indonesia dan mengajar

pada jurusan sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta (sekarang FIS Universitas Negeri

Yogyakarta). Pada tahun 1984 IAIN membuka program Pasca Sarjana. Maarif

diminta sebagai salah seorang tenaga pengajar. Tugas ini ia emban selama beberapa

tahun. Tahun 1986 selama 100 hari Maarif diminta untuk mengajar studi ke-

Islaman di Universitas OIWA. Saat itu Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Barnadib,

mantan Rektor IKIP, sama-sama berangkat ke Universitas yang sama.

Aktivitas lain Ahmad Syafii Maarif adalah di Muhammadiyah. Sejak

tahun 1985 atas dorongan M.A. Rais, Maarif diminta aktif sebagai anggota Majelis

Tabligh PP Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sebagai alumnus Madrasah

Muallimin, tentu tidak sulit bagi Maarif untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan tabligh ini.


32
Sebelumnya sewaktu bekerja pada majalah SM, Maarif pun pernah

menjadi anggota Majelis Pustaka PP Muhammadiyah pimpinan H.A. Basuni, BA.

Dalam berkiprah pada Majelis Tabligh ini Maarif mulai berkunjung ke daerah-

daerah. Majelis pimpinan M. Amien Rais ini sangat aktif dalam menjalankan misi

dakwahnya, tidak saja secara lisan, penerbitan pun digalakkan.

Ahmad Syafii Maarif selama 2 tahun (1990-1992) bertugas di UKM

(Universitas Kebangsaan Malaysia). Proses keberangkatan Maarif ke Malaysia

dimulai dari informasi dari Dr. Ir. Imaduddin Abdul Rahim, tokoh pergerakan

Islam yang bersahabat dekat dengan Anwar Ibrahim. Imaduddin memberitahukan

bahwa pihak UKM memerlukan tenaga dosen dari Indonesia dengan kualifikasi

Ph.D dalam kajian Islam. Ijazah Maarif dari Chicago memang dalam bidang itu.

Di UKM Maarif diberi tugas untuk mengajar mata kuliah sejarah perang Salib,

Islam dan Perubahan Sosial di Asia Tenggara. Ia juga merupakan dosen tamu di

Institute of Islamic studies, universitas McGill, Kanada (1993-1994). Di samping

terkenal sebagai seorang pengajar, Ahmad Syafii Maarif juga dikenal sebagai

seorang penulis yang aktif. Tulisannya banyak dimuat di berbagai media masa baik

berupa Jurnal, Majalah seperti Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha,

Ishlah dan Genta, Surat Kabar seperti Mercu Suar, Abadi, Adil dan kedaulatan

rakyat. Bentuk tulisannya yang lain dituangkan alam bentuk buku yang juga sudah

diterbitkan oleh berbagai badan penerbit.

Pada Muktamar tahun 2000 di Jakarta, Ahmad Syafii Maarif kemudian

terpilih untuk memimpin Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Selama

kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru

yang belum pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada

periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal sebagai

gerakan dakwah, pendidikan, dan amal usaha sosial, maka pada era Syafii Maarif,
33

Muhammadiyah lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan

perkembangan dunia.

Di era Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah yang mengambil

jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat pada politik praktis juga kembali

ditegaskan. Hal itu terumuskan lewat Tanwir Makassar pada Juni 2003 yang tidak

mendukung partai dan calon presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh bangsa

dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan kue kekuasaan, Syafii

Maarif justru tidak bergeming dan tetap konsisten dengan perannya sebagai

pemimpin umat dan guru bangsa. Hal ini tentu saja berangkat dari keyakinan beliau

selama ini, bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan pemikiran,

sosial, dan dakwah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan politik yang bisa

dijadikan untuk dijadikan alat untuk merebut kekuasaan (Ghazali, 2007:116).

Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif adalah salah seorang yang

mempunyai prakarsa untuk mendirikan Maarif Institute for Culture and

Humanity. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada tahun 2002 dan secara resmi

berdiri pada tanggal 28 Februari 2003. Adapun salah satu misi Maarif Institute

adalah memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia

dengan memperkuat peran dan fungsi civil society, legislative dan eksekutif serta

mendorong proses resolusi konflik, mediasi dan rekonsiliasi (Antono, 2007:4).

Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang menghindari politik praktis, Ia

menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih kurang tujuh tahun dan tidak

pernah terjun ke politik praktis, baik itu menjabat jabatan publik, mencalonkan

ataupun bergerak melalui partai politik.

Pemikiran Ahmad Syafii Maarif merupakan khazanah intelektual yang

sangat berharga, karena gagasan-gagasannya tidak dapat dilihat semata-mata


34
sebagai renungan intelektual dari tokoh yang berada di atas menara gading, sebab

mereka menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik di

Indonesia dimana beliau terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang

bergerak di luar sistem praktis yang mencurahkan segenap perhatiannya sebagai

pelaku yang menyerukan pergerakan moral dan memberikan masukan-masukan

yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.

4. Karya-karya Ahmad Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif adalah seorang penulis yang produktif, mulai

belajar menulis semenjak masih sekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah

Yogjakarta tahun 1950-an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya di

atas setengah abad. Sebagian karangannya adalah mengenai Islam. Tulisan-

tulisannya diterbitkan pada artikel-artikel yang bertebaran di media masa, seperti

surat kabar (Mercu Suar, Abadi, Adil dan Kedaulatan Rakyat), majalah (Panji

Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Islah, Gatra dan Genta) dan jurnal

(Informasi, Sigma Pi Gama dan Mizan) (Maarif, 2009:5). Beberapa bukunya telah

diterbitkan oleh penerbit terkenal.

Sampai kini, Ahmad Syafii Maarif telah menghasilkan berbagai karya.

Segudang produk pemikirannya, dan jejak langkah yang telah digoreskan,

merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang, berliku, bahkan penuh duri.

Kesulitan dan tantangan hidup telah dibacakan sebagai peluang untuk bergerak

terus tanpa henti. Puluhan buku telah lahir dari tangan seorang anak udik yang

semula tidak punya citacita besar dan muluk-muluk. Tugasnya sebagai ketua PP

Muhammadiyah yang diembannya selama tujuh tahun (1998-2005) telah

membawanya ke pusaran perkembangan politik, sosial, dan budaya secara nasional

dan internasional. Periode ini adalah titik-titik krusial dalam transformasi republik
35

ini, dan Ahmad Syafii Maarif di antara anak bangsa yang ikut mengambil peran.

Di antara karya-karya Ahmad Syafii Maarif adalah: Islam dalam Bingkai

Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), Menerobos Kemelut

Refleksi Cendekiawan Muslim (2006), Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku

(Yogyakarta: Ombak, 2006), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Mencari

Autentitas dalam kegalauan (Jakarta: PSAP, 2004), Independensi Muhammadiyah

di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000),

Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999), Islam Kekuatan Doktrin dan

Keagamaan Umat (1997), Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama

(Yogjakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, 1997), Islam dan

Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Gema Insani

Press, 1996), Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim (Bandung:

Mizan, 1995), Membumikan Islam (1995), Percik-Percik Pemikiran Iqbal

(Shalahuddin Press, 1994), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Jakarta:

Mizan, 1994), Islam dan Politik di Indonesia (1988), al-Quran, Realitas Sosial

dan Limbo Sejarah (Bandung: Pustaka, 1985), Islam dan Masalah Kenegaraan;

Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), Dinamika

Islam (Shalahuddin Press, 1984), Islam, Mengapa Tidak? (Shalahuddin Press,

1984), Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam

Indonesia (Jakarta: LEPPENAS, 1983) dan Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya

ke Tangan Komunis (Yogyakarta: Yayasan FKIS IKIP Yogyakarta, 1975).

Tulisan-tulisan Ahmad Syafii Maarif sampai saat ini masih terus

mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika

(bergantian dengan penulis lainnya). Dan tulisan-tulisannya sangat beragam, tidak

hanya tentang keislaman, namun juga mencakup tentang keindonesiaan dan


36
kemanusiaan. Ahmad Syafii Maarif adalah satu dari sedikit cendekiawan Muslim

Indonesia yang secara serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui tulisan-

tulisannya, Ahmad Syafii Maarif ingin berbagi kegelisahan sekaligus mengajak

untuk mengatasinya, kepada semua anak bangsa.

B. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif

Dalam membahas pemikiran Ahmad Syafii Maarif, maka penulis

memulainya dengan menyampaikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang

problematika pendidikan Islam yang terjadi di Indonesia, karena dengan

menetapkan topik tersebut pertama kali, maka akan diketahui masalah-masalah

yang dihadapi oleh pendidikan Islam, kemudian penulis sampaikan berbagai konsep

pemikiran Ahmad Syafii Maarif, sebagai pemecahan terhadap permasalahan

pendidikan Islam.

1. Problematika Pendidikan Islam

Tidak dapat disangkal lagi bahwa pendidikan merupakan penolong utama

bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Demikian pula halnya dengan pendidikan

Islam merupakan jembatan utama untuk membantu pada Islamisasi yang

disesuaikan dengan berbagai kemajuan yang dicapai manusia, baik dalam

pluralisme sosial ataupun pluralisme kehidupan keagamaan, dengan keistiqomahan

yang tetap menegakkan nilai absolut dikandungnya.

Dalam hal ini, iman mengambil peran sebagi control yang mengendalikan

hawa nafsu manusia yang menurut firman Allah SWT :







37

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena

sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang

diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha

Penyanyang (Q.S. Yusuf, [10]:53)

Dikatakan bahwa nafsu selalu cenderung kepada keburukan. Kendati iman

ini membawa manusia untuk senantiasa beritikad baik dalam mengembangkan ilmu

juga menonjolkan aspek kepentingan manusia dan kerjanya (Widjan, 1966:33).

Dalam kaitanya di atas, maka rahim pendidikan Islam dituntut untuk

melahirkan manusia-manusia yang senantiasa bersikap dan berbuat baik pada

dirinya, pada Tuhannya, pada sesama makhluk dan lingkungan sebagai wujud

konkret sosok manusia beriman. Prinsip ini juga memerlukan upaya modifikasi diri

agar tidak tertinggal dari kemajuan yang dicapai bangsa-bangsa lain diberbagai

belahan bumi. Namun tentu saja, dengan tuntutan keharusan menjadi manusia

beriman, tidak berarti umat Islam harus terbelenggu dalam persoalan duniawi yang

tidak mengganggu eksistensi norma yang telah permanen.

Sebab keimanan tidak mesti harus statis oleh keterikatan, tetapi harus

dinamis. Karena, keimanan mempunyai nilai toleransi yang senantiasa dapat

berkembang dengan baik, sehingga pelaksanaan dan pemenuhan pendidikan

terkesan sebagai semata-mata karena tuntutan hidup. Padahal penyadaran hal

tersebut adalah sebagai kewajiban yang sekaligus mendatangkan keuntungan lain,

sudah menjadi aspek wilayah yang ingin dicapai pendidikan Islam, yang bermaksud

menghantarkan manusia meraih duniawi dan ukhrawi.

Berkaitan dengan hal tersebut , kenyataan membuktikan terdapat berbagai

problematika yang menjadikan pendidikan Islam kurang optimal, sehingga


38
pendidikan Islam mengalami stagnansi. Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam

buku Membumikan Islam mengungkapkan bahwa;

Problematikan pendidikan Islam saat ini adalah kurangnya kemauan


umat untuk belajar, sehingga mereka tidak mau berkembang dalam bidang
pengetahuan (baik agama ataupun umum) dan teknologi. Bahkan mereka
tidak menyadari akan adanya perintah untuk menuntut ilmu. Fenomena
yang ada menunjukkan umat Islam pada saat ini belum bisa memahami
apa yang dimaksud dengan belajar. Menurutnya banyak umat Islam yang
mencoba belajar al-Quran, akan tetapi pada kenyataanya apa yang
dipelajarinya itu belum dipahami dengan baik dan benar, apalagi dihayati
dan dilaksanakan (Maarif, 1995:68).

Selain itu minimnya daya analisis dan daya mengkritik dari umat Islam

yang masih terbelakang, sehingga mengakibatkan apapun yang dipelajarinya

diterima begitu adanya. Hal ini mengakibatkan kemandegan perkembangan ilmu

pengetahuan dalam pendidikan Islam, sehingga apa yang diajarkan dalam

lingkungan formal ataupun non-formal hanya bersifat itu-itu saja.

Keterkaitan dengan hal tersebut diatas, dalam pentelaahan yang lebih

mendalam dapat ditemukan bahwa lahirnya manusia yang beriman dan

berpengetahuan, merupakan salah satu langkah pokok yang menumbuhkan

kesinambungan dalam diri setiap pribadi. Kemungkinan ini akan mengacu pada

satu asumsi bahwa keimanan akan selalu berorientasi pada ketaqwaan kepada Allah

SWT dan membawa manusia pada kebenaran dalam menerapkan misi pengemban

ilmu pengetahuan.

Program intens peningkatan intelektual dan penghidupan pula aspek

spiritual yang akhirnya dapat menjadi modal hidup dalam kehidupan kebudayaan

bangsa yang selalu berkembang seiring dengan pencapaian kemajuan peradaban

manusia. Dalam pengertian lain yang lebih luas, pendidikan Islam ingin berupaya

melahirkan dari rahimnya manusia-mausia yang menyadari dan melaksanakan


39

tugas-tugas kekhalifahannya dengan terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan

ilmu pengetahuna tanpa mengenal batas. Di samping juga menyadari, hakikat

seluruh kehidupan dan penguasaan ilmu pengetahuan tersebut, tetap bersumber dan

bermuara pada pengharapan kepada Allah SWT sebagai yang maha pencipta dan

yang maha mengetahui (Usa, 1996:41).

Problematika pendidikan Islam yang selanjutnya adalah adanya dualisme

sistem pendidikan umat Islam sebagai akibat dari adanya dikotomi pendidikan

dalam Islam (Maarif, 1996:7). Sehingga dikenal dikenal adanya pendidikan umum

dan pendidikan ke-Islaman. Dalam perkembangannya pendidikan Islam dimaknai

hanya sebagai pendidikan yang mengurusi urusan ritual dan spiritual semata, yang

berorientasi pada akhirat. Sedangkan pendidikan umum merupakan pendidikan

yang berorientasi pada keduniawian.

Dilihat dari sejarah menurut Ahmad Syafii Maarif, dualisme merupakan

warisan jaman penjajahan barat atas dunia Islam yang berlangsung cukup lama.

Sehungga mengakibatkan miss-communication dan adanya gape antara sistem

pendidikan pesantren (Islam) dengan sistem pendidikan sekuler. Hal ini merupakan

inidikasi rapuhnya filosofi pendidikan Islam (Maarif, 1996:8).

Sehingga dari pola pikir yang semacam itu berimplikasi pada

pengembangan pendidikan Islam yang hanya dianggap berorientasi pada

keakhiratan, hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan mengajak

manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjungjung tinggi budi pekerti

luhur.

Sutrisno menjelaskan sebagai akibat wacana yang demikian itu, pada satu

sisi sistem pendidikann Islam, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai
40
Perguruang Tinggi Islam. Kebanyakan produk dari sistem ini tidak bisa mengikuti

perkembangan zaman. Pada sisi lain, ada sistem pendidikan modern atau umum

yang dilaksanakan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi umum telah

berkembang tanpa menyentuh sama sekalai ideologi dan nilai-nilai Islam. Hasilnya

adalah sangat tragis, karena dasar minimal dari rasa jujur dan tanggung jawab pun

tidak muncul. Maka, kedua sistem pendidikan ini sama-sama tidak beresnya

(Sutrisno, 2006:207).

Dengan demikian sistem pendidikan sekuler dan pendidikan Islam

ditiadakan dan diganti dengan integrasi antara keduanya, yakni integrasi sistem

pendidikan sekuler dan sistem Islam (Al-Faruqi,1984:21). Masalah klasik tentang

dikotomi yang mengakibatkan dualisme keilmuan , yakni ilmu agama dan ilmu

umum harus segera diselesaikan baik pada dataran filosofis atau pada teknis

departemental. Dengan demikian sekat antara ilmu agama dan ilmu umum dapat

dihilangkan. Lebih lanjut menurut Ahmad Syafii Maarif dari adanya sistem

dikotomik dalam pendidikan Islam beliau mengungkapkan;

kenyataanya bahwa dari rahim pendidikan Islam belum mampu


melahirkan sarjana-sarjana yang memiliki komitmen spiritual dan
intelektual mendalam terhadap Islam. Sebagaimana mereka hanya menjadi
pemain teknis dalam masalah agama, sementara ruh agama itu sendiri
jarang benar digumuli secara intens dan akrab. Padahal agama itu adalah
keterpaduan antara kata dan perbuatan yang menuntut keterlibatan pribadi
secara penuh dan secara sengaja mendekati dan memahaminya. Dengan
perlakuan semacam ini menurutnya pesan-pesan yang disampaikan al-
Quran dapat diterima dengan kesungguhan dan keseriusan untuk
mempelajarinya (Maarif, 1996:10).

Senada dengan hal tersebut, sebagaimana dikutip oleh Sutrisno

menjelaskan bahwasanya;

Akibat adanya dikotomi tersebut menjadikan pencarian pengetahuan


umat Islam secara umum sia-sia, pasif, dan tidak kreatif. Dikatakan
sekarang ini umat Islam sedang berada pada abad pendidikan modern dan
41

cara belajar belum mampu menambah nilai orisinilitas dan investasi


pengetahuan kemanusaiaan. Terutama pada ilmu humaniora dan ilmu-ilmu
sosial, kualitas sarjana muslim betul-betul rendah, jika umat Islam tidak
menghasilkan pemikiran yang berkualitas bagus dalam humaniora dan
ilmu-ilmu sosial, mereka tidak dapat berharap mampu memberikan
kontribusi yang berharga sekalipun pada ilmu murni. Karena ilmu tersebut
tidak dapat ditanamkan diruang kosong dan terpisah dengan ilmu lain
(Sutrisno, 2006:174).

Timbulnya pendikotomian pendidikan di Indonesia ini sangatlah berimbas

besar terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Persaingan antara kedua

belah pihak lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan Islam menjadi

terlihat berat sebelah. Sebagian masyarakat pun telah memberikan justifikasi

terhadap lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan kelas dua.

Problem pendidikan Islam selanjutnya yaitu, bagaimana mempersiapakan

generasi dalam menyiasati masa depan, yakni generasi yang dapat menyatukan dan

mengintegrasikan fikr dan dzikr sehingga melahirkan suatu generasi yanga anggun

secara moral dan berwibawa secara intelektual sehingga disegani bangsa lain

(Maarif, 2009:27).

Dengan demikian diharapkan adanya generasi beriman, berilmu

pengetahuan dan bertanggung jawab. Juga generasi yang dapat mengaktualisasikan

gagasan moral yang diyakininya dalam kehidupan masyarakat. Mereka diharapkan

dapat membawa masyarakat secara bijak dan arif untuk menuju cita-cita yang

sepenuhnya manusiawi, tetapi dengan landasan etik transendental yang kokoh dan

universal. Etik yang mengajarkan kepada manusia bahwa eksploitasi kekayaan

haruslah senantiasa menjaga keseimbangan ekosistem demi kelangsungan

ekosistem manusia secara bermakna dipermukaan bumi.


42

2. Pokok-pokok Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Pendidikan Islam

1) Urgensi Pendidikan Islam sebagai Wahana Pemberdayaan Umat

Dalam mengkaji pemikiran pendidikan Islam menurut Ahmad Syafii

Maarif harus dilakukan dengan pendekatan filsafat. Ia lebih menekankan pada

aspek moralitas melalui proses pemberdayaan umat, sebagai manifestasi dari model

pendidikan yang integratif. Disinilah letak pentingnya pendidikan Islam yang jauh

dari buaian helenisme yang diberi jubah Islam dan harus kembali pada sumbu Islam.

al-Quran dan karir yang pernah diraih Muhammad, utusan Allah (Maarif,1996:6).

Sebelum lebih lanjut penulis uraikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang

definisi pemberdayaan.

Pemberdayaan adalah usaha yang dialakukan agar seseorang atau

sekelompok orang mempunyai kemampuan untuk melakukan sensuatu terutama

dengan yang berkenaan dengan pembelaan atas diri dan hak-haknya (Machasin,

1996:87). Pemberdayaan berarti juga suatu proses yang berusaha meningkatkan

kualitas hidup seseorang atau kelompok orang untuk beranjak dari kualitas

kehidupan sebelumnya. Istilah tersebut memiliki jangkauan cakupan yang luasa

untuk bisa dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan seperti bidang kebudayaan.

Kelembagaan pemberdayaan ini dengan segenap perangkat dan proses yang

dimilikinya, akan membawa perseorangan dan sekelompok orang menjadi dewasa,

sehingga dapat mengfungsikan secara optimal potensi yang dimiliki menuju bentuk

kehidupan yang berdaya, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, politik

maupun kebudayaan (Usa, 1996:43).


43

Dalam kaitannya dengan pemberdayaaan tersebut, Ahmad Syafii Maarif

mengatakan bahwa;

Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan


manusia untuk menjadi seorang kaya spiritual dan intelektual, sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup diberbagai aspek dan menjalani
kehidupan yang bercita-cita dan tujuan pasti. Hal ini menjadi suatu garisan
pokok dalam setiap proses didik yang dijalani seseorang (Maarif, 1996:6).

Pendidikan, pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewarisakn nilai,

yang menjadi penolong dan panutan umat manusia dalam menjalani kehidupan,

juga sekaligus memperbaiki nasib dan peradaban manusia dalam rangka

mengembangakan potensi fitrah manusia seorang pendidikan yang benar-benar

alim (Maarif, 1996:7). Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang

tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibanding dengan

manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proses-

proses pemberdayaan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan bahwa maju mundur

atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa ditentukan oleh

bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangasa tersebut.

Dilihat dari sejarah, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah


berumur sangat tua. Dalam bentuk yang sederhana dapat dipahami bahwa
pendidikan telah dijalankan sejak dimulainya kehidupan manusia dimuka
bumi. Pengertian alam semesta ini memberi contoh pendidikan kepada
manusia dan dilanjutkan dengan mendidik keluarganya. Wahyu-wahyu
yang diterima nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam empat belas
abad yang lampau pun suatu proses pendidikan yang teramat istimewa
terhadap seorang manusia (Maarif, 1996:6).

Sejarah telah mencatatkan bahwa pendidikan menjadi poros gerakan yang

memiliki posisi sangat urgen dalam pemberdayaan umat manusia. Pendidikan itu

sendiri merupakan kebutuhan setiap individu agar mampu mengembangkan diri

baik dari segi intelektualitas, moral, nilai dan juga dalam hal ekonomi.
44
Menurut Ahmad Syafii Maarif, salah satu catatan penting yang harus kita

segarkan dalam ingatan manakala ingin memajukan pendidikan Islam adalah;

bahwa pendidikan Islam yang berlangsung di negara ini masih


menganut sistem pendidikan warisan abad pertengahan bagian akhir. Ciri
utama dari masa tersebut ialah adanya pemisahan secara jelas antara imu
pengetahuan yang terklasifikasi, sehingga keberadaanya juga diberdakan
denga sekolah-sekolah umum. Telah terjadi dikotomi antara ilmu umum
dan ilmu agama yang mengakibatkan pribadi-pribadi yangpecah dalam
umat islam, sehingga kegiatan yang berorientasi keduniawian terlepas dari
orientasi akhirat (Maarif, 1996:8).

Sedangkan kedudukan pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan

nasional, merupakan sisi lain yang bersumber sistem penyelengaraan Negara, yang

sesungguhnya juga sebagai bentuk modifikasi yang tidak sempurna atas warisan

sejarah masa lampau tentang sistem pendidikan modern yang kita anut. (Maarif,

1996:69).

Sistem pendidikan modern sangat mengutamakan target material disertai

penerapan birokrasi yang ketat. Sedangkan persoalan etos kerja dan moralitas,

dianggap sebagai tanggung jawab individu masing-masing yang dapat diterjmahkan

secara bebas menurut keyakinan dan kebutuhan sendiri. Menurut Muslih Usa dalam

Jurnal El-Tarbawi mengungkapkan, keberhasilan sistem pendidikan modern,

terutama diukur menurut pencapaian prestasi secara formal melalui strategi

mekanis. Anak didiknya juga sangat terkait dengan segala bentuk formalitas

keharusan-keharusan lain yang diluar pilihannya sendiri dalam menjalani

pendidikan di dambakannya (Usa, 1996:41).

al-Quran tidak menjelaskan adanya dualisme yang demikian, tetapi justru

mengajarkan konsep kesatuan, unity of knowledge (Maarif, 1996:8). Dalam al-

Quran, masyarakat disebutkan sebagai bagian ayat-ayat yanga ada di dalamnya,


45

dan karenanya, al-Quran tidak mengenal perbedaan yang antagonis dengan istilah

required of knowledge atau ilmu-ilmu yang diturunkan atau diwahyukan.

Disamping keberadaanya sebagai mujizat, al-Quran juga menyebutkan

sejarah, alam semesta, perjalanan siang dan malam, dan sebagainya, sebagai bagian

dari ayat-ayatnya. Untuk itu, dengan tetap menghormati kebesaran dan kecerdasan

Ismail Al-Faruqi, Syed Naquib Al-Attas , dan lain-lainnya, Ahmad Syafii Maarif

mempertanyakan adanya ide kalangan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu

baik dalam rangka memajukan pendidikan Islam maupun untuk memperjelas proses

pemurnian kehidupan muslim itu sendiri (Maarif, 1996:48)

Kedua, demi masa depan umat manusia yang lebih baik dan aman, menurut

pandangan ilmuan muslim kontemporer ilmu pengetahuan perlu di islamisasikan.

Dengan mengislamkan ilmu pengetahuan umat manusia akan dapat diselamatkan

dari kehancuran fisikal maupun moral akibat ciptaannya sendiri. Tetapi persoalan

sebenarnya adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan islamisasi itu? Perlukah

orang, mengislamkan Paulo Fraire, Weber atau pemikiran siapapun yang dinilai

tidak Islami demi Islamisasi ilmu pengetahuan? Atau, di bidang ilmu eksakta

apakah fisika atau biologi perlu di-Islamkan demi menciptakan ilmu yang Islami?

Di kalangan ilmuan muslim, belum ada kesatuan jawaban terhadap pertanyaan-

pertanyaan serupa tersebut. Sekalipun telah dibicarakan secara global, selama

hamper dua dasawarsa. Berbeda dengan beberapa penulis muslim kontemporer,

yaitu begitu semangat untuk mengislamkan ilmu pengetahuan. Fazlur Rahman,

dalam artikelnya menawarkan perspektif yang lain sama sekali. Pada bagian akhir

artikel itu, kepada sarjana dan penulis muslim, diimbau untuk menyediakan waktu,

energy, dan uang, dalam kerja menciptakan pusat kesadaran dan kekuatan
46
intelektual, manusia yang dicetak dan dibentuk menurut cita al-Quran. Dengan

kata lain, yang perlu diislamkan itu adalah pusat kesadaran dan kekuatan intelektual

manusia, bukan cabang-cabang ilmu-ilmu tertentu.

Bila mengambil dari pandangan Machasin dalam jurnalnya Pendidikan

Sebagai Pilihan Utama Pemberdayaan Umat menyatakan:

Bila bangsa Indonesia sendiri, pemisahan ilmu-ilmu seperti yang kini


tetap dianut dalam pendidikan Islam di negeri ini, memang diakui sedikit
banyak dipengaruhi oleh pengalaman sejarah. Bahwa bangsa Indonesia
selama berabad-abad dijajah oleh komunitas bukan muslim, maka
pemisahan yang dilakukan itu sebenarnya memiliki muara pada upaya
pembahasan semangat bangsa semata, untuk melawan penjajah,
penghargaan terhadap ilmu umum yang pernah ada dan kemudian
dikategorikan sebagai ilmu dunia, lebih merupakan bentuk pemantapan
ideology perjuangan untuk menunjukkan sikap anti-pati penjajah
(Mulyanto, 1991:54).

Oleh sebab itu, bila Islam dipahami secara benar dan kreatif, ia tidak

diragukan lagi punya potensi dan peluang yang besar untuk ditawarkan sebagai

pilar-pilar peradaban alternatif bagi dunia yang akan datang. Acuhan tentang

peradaban, Ahmad Syafii Maarif mengambil definisi dari Malik Barnabi, seorang

pemikir kenamaan Aljazair. Baginya peradaban adalah (al-hadharah) adalah:

Seperangkat kondisi moral dan material yang memungkinkan suatu


masyarakat tertentu menawarkan dukungan yang perlu kepada setiap
pribadi dan anggota-anggotanya, pada setiap fase pada seluruh
perkembangan ektensinya, sejak masa kecil sampai masa tua, dan pada
setiap posisi kehidupan (Maarif, 1997:51-52).

Dalam definisi peradaban tersebut, jelas terlihat bahwa pembuangan moral

dan ekonomi dari suatu bangsa harus mendapat perhatian yang sama dan seimbang.

Penekanan lebih terhadap salah satu terhadap keduanya pasti akan menciptakan

situasi the psycho-sosial imbalance, seperti di negara-negara industri. Oleh sebab

itu,sikap lantah dalam meniru model pembangunan bangsa lain bukanlah sikap
47

yang patutu dihormati, itu menunjukkan budaya kurang percaya diri (Maarif,

1997:51-59).

Ekstensi pendidikan Islam atau sekurang-kurangnya yang bercorak agama

telah menduduki posisi yang sangat penting dan bukan hanya sekedar bentuk

pendidikan yang mennyelipkan beberapa jam pendidikan moral dan agama

(Maarif, 1996:10). Sebab, tanggung jawab pemberdayaan bangsa yang menjadi

beban pendidikan Islam, dipandang tidak hanya dari segi ekonomi saja, tetapi juga

aspek moralitas, sehingga kelak tidak terjadi kolusi-kolusi yang saling menjatuhkan

demi keuntungan pribadi. Ini merupakan bentuk bahaya paling besar yang bisa

muncul dalam kehidupan bangsa ini dan pendidikan Islam diharapkan dapat

membendung yang individualistik itu.

Perwujudan yang demikian menjadi penting agar persaingan dalam

kehidupan tidak semakin memberi kesulitan bagi kalangan bawah dan memperbaiki

kualitas hidupnya. Apalagi ada pandangan jelas bahwa ekonomi Indonesia hamper

70% justru dikuasai kalangan non-muslim, jangan sampai lahirnya bentuk

berseberangan antara sesama muslim sendiri. Ini bagian terpenting dari aspek

evalusi yang menentukan keberhasilan penunjukkan peran pendidikan model

pesantren yang telah berkembang di Indonesia dan kelebihannya. Juga tidak tampak

secara nyata disiapkan memproduk manusia yang berakses pada upaya membangun

peradaban. Ini sama halnya dengan sistem madrasah yang pernah berkembang pada

abad ke-9 dikalangan dunia muslim, yang lebih terarah terhadap tujuan merebut

kemengan akhirat, disamping wataknya yang anti penjajah dan cenderung melepas

kemenangan didunia (Usa, 2003:77).


48
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka yang harus dimiliki pertama kali

khusunya Pendidikan Islam adalah harus memiliki kemandirian dalam segala aspek.

Hal ini melindungi pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang akan

memperkosa untuk bersiteguh pada konsep yang murni dari al-Quran untuk

memberdayakan bangsa yang mayoritas muslim. Setelah itu adalah kehawatiran

bahwa kelak pendidikan Islam dihapus. Menurut Ahmad Syafii penghapusan

pendidikan Islam itu tidak mungkin dan bukan hanya karena jumlah Islam yang

besar, bahkan terbesar yang terhimpun dalam satu negara, tetapi karena ada

keterbatasan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Pemerintah tetap

mengaharapkan adanya partisipasi masyarakat, yang hal tersebut kesempatan ini

diisi secara maksimal disamping bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat

Islam adalah ketauhidan.

Kemunduran pendidikan Islam sangat mungkin terjadi, dan sekarang saja

cenderung menjadi pendidikan kelas dua, dan akan semakin tergusur apabila tidak

segera dibenahi. Untuk itu menurut Ahmad Syafii Maarif Pendidikan Islam harus

segera kearah integrasi, sekaligus menciptakan perangkat lunaknya, yaitu kerangka

filosofis yang jelas dan baku, yang kini belum terwujud. Integrasi yang dituju bukan

hanya kelembagaan saja, tetapi menyakup seluruh aspek penyelenggara pendidikan.

Pendidikan Islam belum memiliki contoh yang solid terhadap model pendidikan

yang demikian (Maarif, 1996:11).

Untuk mempersipakan hal tersebut, maka lebih dahulu yang harus tersedia

adalah sumber daya manusia yang jelas kemampuannya dan tidak hanya sekedar

mencari penghidupan dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan sumberdaya manusia

juga diharapkan mampu menghadapi era kompetitif, yang tentunya secara solid
49

mengacu kepada pendidikan yang baik. Pada sisi lembaga pendidikan islam

mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama dalam lembaga pendidikan Islam

pada umumnya (Darmadji, 1997:11).

Peserta didik bukan hanya yang beragama Islam, tetapi tahu isi Islam

(alim), sehingga proses integrasi pendidikan dapat berjalan dengan sendiririnya,

karena ia tahu ayat-ayat geografi, sosiologi, syariah, tarbiyah dan sebagainya. Di

bagian lain, juga terjauhkan dari pengaruh ajaran yang hanya berjubah pada

Helenisme atau generasi baru dan wilayah lainnya, yang melepaskan the care of

Islam, al-Quran dan prestasi pendidikan yang diterapkan Nabi Muhammad SAW.

Sebagai resiko ber-Pancasila dan dan arah perubahan masa depan, maka

integrasi pendidikan harus bermuara pada wujud pendidikan bangsa dan

menghindari diri dari institusi dan produk output yang ekslusif. Untuk masa datang,

bentuk ekslusifme tidak akan menguntungkan lagi bahkan justru menjadi hambatan

dalam mencapai tujuannya (Darmadji, 1997:12).

Melalui pendidikan yang integratif inilah diharapkan lahir umat yang

bermoral, saling tolong menolong (yang kuat membantu yang lemah dan tidak

saling menekan demi keuntungan sendiri), sehingga proses pemberdayaan

berlangsung dengan terencana, baik tanpa henti dan dapat menyesuaikan diri

dengan zamannya, dalam lingkup bangsa juga demikian adanya, bahkan ukhuwah

basyariyah dapat berkembang secara lebih bersahabat, sehingga kelak tidak

menimbulkan kerawanan-kerawanan karena eksklusifitas komunitas tertentu, yang

besar merasa menang dan yang kecil merasa terjepit hingga perlu melawan. Dalam

rangka menciptakan pendidikan Islam yang benar-benar memberdayakan manusia,


50
maka pemikiran pembaharuan pendidikan Islam lebih dahulu memperjelas rumusan

kerangka filosofinya itu.

Untuk pembahasan selanjutnya akan dijelasakan rumusan konsep filosofis

pendidikan Islam yang meliputi konsep Ketuhanan, konsep manusia, konsep ilmu

dan konsep alam semesta.

1) Konsep Ketuhanan (Ilahiyah) dalam Pendidikan Islam

Definisi agama secara lebih mudah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek

kebahasaan (etimologis) dan juga dari sudut istilah (terminologis). Secara bahasa

agama memiliki pengertian yang sederhana sehingga akan mudah dimengerti.

Sedangkan secara istilah setiap orang tentu memiliki definisi tersendiri, dengan kata

lain pemaknaan secara istilah telah terpengaruh pada subjektfitas masing-masing

orang.

Mengambil pengertian secara agama yang disampaikan oleh J.S. Badudu

dan Sutan Muhammad Zain, Ahmad Syafii Maarif menyebutkan bahwa agama

berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan sebagai kepercaryaan kepada tuhan

atau dewa dengan ajaran dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.

Sedangkan dalam bahasa Inggris agama disebut religion, sedang dalam bahasa latin

disebut religio; asal kata dari re yang berarti kemabali dan ligare yang berarti

mengikat. Sedangkan secara istilah Ahmad Syafii Maarif memiliki definisi

tersendiri tentang pengertian agama, yaitu kepercayaan pada suatu kekuatan-

kekuatan yang melebihi kekuatan manusia untuk ditaati dan disembah sebagaimana

pencipta dan penguasa alam semesta yang diekspresikan dalam perbuatan dan ritual

(Maarif, 2004:24).
51

Agama memang mengikat manusia agar tidak melangkahi bingkai moral

transendental yang dapat menjerumuskan dalam malapetaka moral maupun fisikal

(Maarif, 2004:24). Dengan agama maka jalan kehidupan yang ditempuh manusia

tidak akan menyimpang ke jalan hidup yang sesat, tentunya agama yang dimaksud

Ahmad Syafii Maarif ini adalah agama Islam. Sebagai agama wahyu, (doktrin

langit), maka Islam datang sebagai rahmat dan petunjuk Tuhan semesta alam, untuk

mendorong manusia berbuat baik dan berlaku adil terhadap alam semesta, diri

sendiri dan sesama. Nilai-nilai filosofis ini tetap relevan sepanjang sejarah, tidak

mengalami perubahan dengan berubahnya ruang dan waktu.

Islam sebagai agama dari langit dengan sumber otentiknya al-Quran yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menawarkan berbagai petunjuk

kesetiap pada manusia , yang bisa membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh

karenanya Allah telah membawakan potensi dasar kepada umat manusia untuk

beragama (fitrah dinniyah) sebagaimana firman Allah SWT :







Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah

atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada

peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia

tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum, 30:30).

Islam agama yang lurus mengajarkan kepada umatnya untuk bertauhid

dengan benar. Apabila dikaitkan dengan konsep fitrah, maka sebenarnya manusia

membawa potensi bertauhid kepada Allah SWT. Bahakan sebelum manusia lahir

telah melakukan perjanjian dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan (Q.S. Al-
52
Araf, 7:172), dengan kata lain seorang yang lahir kedunia pasti mengakui keesaan

Allah SWT. Keimanan terhadap Tuhan yang satu dan tiada yang lain (tauhid)

merupakan hal yang sangat inti dalam keseluruhan struktur spiritual Islam, yang

mana esensi dari tauhid ini akan diwujudkan dengan tindakan yang didasarkan pada

nilai-nilai keimanan tersebut (Maarif, 1997:17).

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan Islam sebagai wahana

untuk mengembangkan potensi fitrah manusia untuk bertauhid dengan benar, guna

menganal Tuhannya agar memiliki nilai-nilai ke-tauhidan dan dapat diamalkan

dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah pentinya konsepsi agama dalam

pengembangan pendidikan Islam sebagai sumber nilai (value), motivasi dan

pemikirannya, agar bisa mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang

sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Dengan memahami konsep ke-Tuhanan (illahiyah) maka pendidikan Islam

diharapakan dapat menciptakan manusia yang menjadi pengendali kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta sekaligus menjadi daya tangkal terhadap dampak-

dampak negatif lingkungan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi. Untuk itu

pelaksaan Pendidikan Islam harus mampu meng-integrasikan pendidikan qalbiyah

yang selalu seiring dengan aqliyah sehingga mampu melahirakan perilaku manusia

yang religius, memiliki kecerdasan sehingga dapat menjadi khalifah yang sebaik-

baiknya yang mewujudkan Islam yang benar-benar menjadi rahmatan lil alamin

(Sanaky, 2003:133).

2) Konsep Manusia dalam Pendidikan Islam

Suatu proses pendidikan hanya terarah dengan baik dan mantap apabila

didasarkan dengan kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap.
53

Filsafat pendidikan yang mantap hanya bisa dikembangkan dengan asumsi-asumsi

dasar yang kokoh dan tegas tentang manusia, yaitu hakikat kejadiannya, potensi-

potensi bawaanya, tujuan hidup dan misinya di dunia, baik sebagai individu

maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan semesta dan akhirnya

hubungan dengan yang Maha Pencipta.

Dalam al-Quran banyak ditemukan gambaran yang membicarakan

tentang manusia dan makna-makna dari penciptaanya. Manusia merupakan

makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan sebaik-baiknya penciptaan yang

dilengkapi dengan akal pikiran. Konsep dasar Islam tentang hakikat wujud manusia

dalam al-Quran banyak yang kita jumpai istilah basyar, insan, an-nas, dan bani

Adam. al-Quran menggunakan kata pokok penciptaan manusia adalah khalaqa

yang artinya menciptakan atau membentuk, yang menunjukan pada penciptaan

sesuatu yang baru, tanpa ada contoh terlebih dahulu (Asyarie, 1972:61). Dalam

proses tersebut manusia diberkahi dengan berbagai potensi dalam bahasa al-Quran

disebut dengan fitra.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, manusia secara fisik, tidak banyak

berbeda dengan makhluk lainnya (Achmadi, 1992:27), manusia diberi potensi fisik

yang menunjang kehidupannya, tetapi dari segi rohani perbedaan itu sangat jelas

sekali, hal ini telah dijelaskan dalam al-Quran. Penyebabnya adalah karena Tuhan

telah meniupkan ruh, dan memberikan jiwa (Nafs) dalam proses kejadian manusia

itu, yang dibungkus dengan raga atau jasmani. Sehingga manusia dikenal sebagai

makhluk jasmani dan rohani (Achmadi, 1992:30). Bersamaan dengan itu, manusia

dipercaya untuk mengemban amanah berupa tugas untuk menciptakan tata

kehidupan yang bermoral dimuka bumi. Akan tetapi dalam pelaksanaan amanah
54
tersebut manusia mengalami ketegangan moral yang hebat antara tariakan

idealisme untuk melaksanakan amanah dan juga gagasan-gagasan yang menjadikan

manusia lupa akan amanah yang diemban, disebabkan karena keindahan-keindahan

duniawi.

Allah menciptakan manusia bukan dengan maksud untuk bermain-main,

akan tetapi mempunyai tujuan dan fungsi. Secara garis besar manusia diciptakan

sebagai seoranga khalifah dimuka bumi (Q.S. Ar-Rum, 33:72). Dengan berbagai

potensi yang dimilikinya (fitrah), ia bertugas untuk menjalankan amanat yang telah

ditetapkan Allah SWR (Q.S. Huud, 11:61), misalnya untuk memakmurkan

kehidupan di muka bumi, sehingga manusia disebut makhluk paling mulia dan

dijadikan sebagai khalifahnya (Q.S. Al-Baqarah, 2:30). Manusia sebagai khalifah

diberi mandat untuk selalu taat beribadah kepada Allah SWT mengatur kehidupan

dibumi dengan segala isinya. Mengikuti bahasa Iqbal, Ahmad Syafii Maarif

mengatakan bahwasanya semua itu merupakan kekuasaan dan wewenang bersifat

umum yang diberikan Allah kepada manusia sebagai khalifah untuk memakmurkan

kehidupan dimuka bumi (Maarif, 1995:51).

Suatu hal penting yang harus diperhatikan manusia sebagai seorang

khalifah adalah kemampuannya untuk bisa mengerti alam semesta sebagai tempat

hidupnya dan juga menjalankan fungsinya sebagai seorang khalifah, Allah pun

telah memberikan berbagai fasilitas di alam semesta, sehingga dengan segala

kemampuan yang dimilkinya, manusia harus bertanggung jawab dalam pengelolaan

dan pemanfaatan alam semesta beserta segenap isinya untuk memenuhi kebutuhhan

hidupnya. Untuk itu manusia tidak boleh melakukan kesewenang-wenangan

terhadap alam, seperti merusak, mengeksploitasi untuk kepentingan pribadi. Dalam


55

hal ini dikarenakan Allah telah memberikan aturan-aturan yang tidak boleh

dilanggar oleh manusia (sunnatullahh) (Maarif, 1995:71).

Selain sebagai seorang khalifah, manusia juga merupakan seorang hamba

Allah. Sebagai seorang hamba ia beribadah kepada Tuhannaya (Maarif, 1995:78).

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menciptakan kedekatan diri antara hamba

dengan Tuhannya, dengan menjalankan ritual-ritual yang sekiranya itu dilakukan

secara terus menerus, penuh keikhlasan, dalam rangka membentuk sikap rendah

hati, tidak sombong, kepasrahan, kebersihan hati. Akan tetapi karena manusia diberi

pilihan bebas untuk menjadi baik dan jahat dengan resikonya masing-masing,

persepsi moral manusia sering labil bila dihadapkan dengan godaan-godaan yang

menggiurkan. Tidak sedikit manusia tenggelam ditengah atau di ujung perjalanan

hidupnya, yang mendorong manusia memeiliki dosa akumulatif akan tetapi agama

tidak pernah bosan untuk mengingatkan manusia tentang bahaya-bahaya dosa itu,

baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat. Sesuai dengan firman Allah :

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adh-Dhariyat, 51:56)

Kelemahan manusia sebenarnya telah tergambarkan dalam al-Quran,

yaitu terletak pada kurangnya pemberdayaan dalam menghadapi godaan dan

cobaan, juga sifat manusia yang berpandang singkat terhadap sebuah persoalan.

Sebagai upaya pencegahan terhadap berbagai hal yang kemungkinan besar

terjadi pada diri manusia, akibatnya adalah sifat-sifat buru manusia sebagai khalifah

dan juga sebagai hamba Allah, maka Allah telah memberikan potensi kepada setiap

manusia untuk beriman, bertauhid kepada Allah SWT. Tauhid menurut tinjauan al-
56
Quran merupakan kekuatan pembebasan manusia dari segala macam

ketegantungan, sebab tempat tergantungnya hanya Allah semata. Dengan

bermodalkan iman dan tauhid yang benar, maka manusia harus berani

membebaskan diri dari segala rantai tawanan yang membelenggu kehidupan kepada

setiap kedzaliman. Menurut Ahmad Syafii Maarif orang yang bertauhid dengan

benar akan melahirkan ihsan yang akan memancar dari tauhid yang murni dan

sejati. Nilai eksistensi manusia bertauhid ditentukan oleh intensitas amal

kebajikannya terhadap umat manusia secara keseluruhan. Kebajikan ini terwujud

dalam bentuk keadilan, persamaan, persaudaraan dan kedamaian dalam diri

manusia (Maarif, 1995:23). Dari sinilah kita mengetahui eksistensi hubungan

manusia dengan Tuhannya dan juga dengan sesama manusia sebagai perwujudan

fungsi manusia sebagai khalifah dimuka bumi.

Dengan mengetahui berbagai potensi dan juga fungsi manusia dalam

kehidupan, maka dalam mengembangkan sistem pendidikan harus memperhatikan

konsep manusia. Posisi manusia sebagai khalifah dan juga hamba Allah,

menghendaki pendidikan Islam yang mampu mengembengkan komponen-

komponen manusia sebagai khalifah dan juga sebagai hamba Allah agar tercapai

keseimbangan antara pendidikan aqliyah dan pendidikan qalbiyah. Dengan

demikian pendidikan Islam harus mampu merumuskan teori-teori yang mendukung

pengembangan sistem pendidikan Islam Indonesia (Nizar, 2008:21).

Corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam adalah pendidikan yang

mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya akan amal dan

anggun dalam moral dan kebajikan. Untuk meraih tujuan ini diperlukan suatu

landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita al-Quran


57

tentang manusia. Oleh karena itu, pemikiran tentang pendidikan Islam di Indonesia

haruslah terlebih dahulu menjelaskan rumusan kerangka filosofisnya. Dari itulah

diciptakan perangkat-perangkat yang lain yang relevan dengan pandangan filosofis

tentang pendidikan Islam sebagaimana dimaksud itu (Maarif, 1996:37).

Dalam menghadapi humanisme sekuler ini, posisi umat Islam dalam

keadaan yang cukup rumit untuk menghadapi berbagai berbagai persoalan yang

terjadi. Di satu sisi kita melihat tingkah laku sebagian muslim merupakan iklan

buruk bagi Islam, Sedangkan di sisi lain al-Quran tampaknya membuka diri untuk

memberikan kata putus untuk menjawab tantangan yang bagaimana pun coraknya,

yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana merumuskan jawaban al-Quran itu

hingga dapat dipahami oleh manusia yang berpikiran sehat dalam kerangka

keilmuan.

3) Konsep Ilmu dalam Pendidikan Islam

Manusia tidak dapat menjalankan hidupnya tanpa ada ilmu tak seorangpun

yang dapat menafikannya. Dalam Islam, iman dan ilmu merupakan prasyarat untuk

meningkatkan harkat dan martabat manusia, agar tetap eksis di dunia manusia

memerlukan ilmu. Tanpa ilmu pengetahuan, tentunya manusia tidak bisa

melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi dirinya. Bahkan bisa saja manusia

perilakunya melebihi makhluk lain: seperti binatang. Dengan ilmu manusia akan

menjadi makhluk yang kreatif dan konseptual hingga memepunyai kapasitas untuk

menerima suatu ilmu (Maarif, 1985:37).

Di dalam al-Qur-an sendiri kita menemukan kata ilm, yang berarti

pengetahuan. Ilmu dalam al-Quran dapat di peroleh melalui berpikir, pengalaman

dan sebagainya. Menurut Ahmad Syafii Maarif ilmu atau pengetahuan dapat
58
diperoleh dengan berbagai cara, seperti eksperimen, pengamatan (Maarif,

1993:24-28). Menurutnya ilmu pengetahuan harus dikembangkan secara terus

menerus, jangan sampai mengalami yang disebut kemandegan (stagnasi), karena

ilmu atau pengetahuan memiliki sifat dinamis melalui proses kreatif, penuh

kearifan.

Dengan menggunakan akalnya, manusia memiliki kapasitas besar untuk

dapat mencapai ilmu pengetahuan, meskipun bukan tanpa batas, Sedangkan

makhluk lain termasuk malaikat tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Dengan

menggunakan ilmu, maka manusia menundukan alam untuk tujuan baik atau

sebaliknya, setelah hukum-hukumnya dipelajari secara sungguh-sungguh dan

sistematis.

Untuk melihat posisi ilmu pengetahuan dalam Islam, menurut Ahmad

Syafii Maarif harus ditelusuri di dalam al-Quran dan As-Sunah Nabi Muhammad

SAW sebagai sumber autentik agama Islam adalah hasil dedukasi para ulama dan

pemikir muslim masa lampau dalam kerja mereka secara sungguh-sungguh untuk

mengawal perubahan dan perkembangan zaman agar tetap mengacu pada pesan-

pesan agama. Kerja ini disebut ijtihad. Proses ini adalah merupakan jihad

intelektual dalam memahami agama Islam, termasuk yang penting di antaranya

adalah pengambilan suatu hukum dari suatu masalah apabila al-Qurandan Sunah

tidak menjelasakan secara gamblang mengenai suatu persoalan. Ijtihad ini tidak

mungkin dilakukan tanpa ilmu mendalam dan wawasan yang luas mengenai

berbagai aspek kehidupan manusia yang memang menjadi sasaran agama Islam

untuk diberi warna dan arahan (Maarif, 2003:13).


59

Menurut Ahmad Syafii Maarif, dalam menghadapi humanisme sekuler

yang menantang, posisi muslim dalam kondisi dunia sekarang ini cukup rumit untuk

menghadapinya. Di satu sisi kita melihat tingkah laku sebagian muslim merupakan

iklan buruk bagi Islam, Sedangkan di sisi lain al-Quran tampaknya membuka diri

untuk memberikan kata putus untuk menjawab tantangan yang bagaimanapun

coraknya, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana merumuskan jawaban al-

Quran itu hingga dapat dipahami oleh manusia yang berpikiran sehat dalam

kerangka keilmuan (Maarif, 1985:14).

Menurut Ahmad Syafii Maarif, terhadap prinsip pengembangan ilmu al-

Quran mendorong manusia untuk melakukannya, ada tiga sumber ilmu yang

menjadi bangunan keilmuan menurut al-Quran , yakni ;

Pertama, alam semesta dengan hukum-hukumnya yang sudah teratur.

Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan

yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik

fenomena makro ataupun fenomena mikro (Maarif, 1985:44). Oleh karenanya

dalam banyak ayat al-Quran senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal

pikiran, meskipun al-Quran juga mengakui keterbatasan akal pikiran tersebut.

Dalam hal ini, Ahmad Syafii Maarif menukilkan ayat al-Quran, yakni dalam surat

Yunus (10) ayat 101 :






Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah

bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi

orang-orang yang tidak beriman" (Q.S. Yunus, 10:101).


60
Kemudian dalam surat Luqman (31) ayat 20, Allah menegaskan :







Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di
bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di
antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan
(Q.S. Luqman, 10:10).

Dalam surat An-Nahl (16):12 Allah juga menunjukkan, bahwa :






Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.

Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan

Allah) bagi kaum yang memahami(nya)". (Q.S. An-Nahl, 16:12)

Batasan diatas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan

Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila manusia mendayagunakan

berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, qalbu, wahyu,

ataupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam, harus berusaha

untuk mengembangkan semua dimensi tersebut. Karena menurut Ahmad Syafii

Maarif, eksistensi manusia dimata al-Quran akan bermakna apabila kegiatannya

diorientasikan secara sadar ke langit. Tanpa orientasi yang semacam itu apapun

bentuk kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan tidak akan mempunyai nilai

(Maarif, 1991:25).
61

Bangunan kedua dari ilmu menurut Ahmad Syafii Maarif dalam al-

Quran adalah manusia itu sendiri, sebagaimana dalam surat Adh -Dahariyat, 51:21

Allah berfirman:



Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak

memperhatikan. (Q.S. Adh-Dhariyat, 51:21)

Juga dalam surat Ar-Rum (20):8, al-Quran memanggil manusia agar

menilik dirinya:






Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?
Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang
ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar
ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (Q.S. Ar-Rum, 30:8)

Dalam pandangan Islam, Ahmad Syafii Maarif, menjelaskan bahwa ada

dua sisi tugas diciptakannya manusia di muka bumi, yakni sebagai seorang hamba

Allah (abdiullah) dan (khalifah) di muka bumi (Maarif, 2004:28). Tugas manusia

sebagai hamba Allah meruapakan realisme dari mengemban amanah dalam arti

memelihara beban atau tugas-tugas kewajiban dari Allah SWT yang harus dipatuhi,

Sedangkan khalifah merupakan realisme deri mengemban amanah dalam artian

memelihara, memanfaatkan, mengoptimalkan seluruh potensi diri, menggunakan

seluruh anggota badan, alat-alat potensial termasuk akal, pikiran, atau potensi-

potensi dasar lainnya guna menegakkan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan

hidup (Muhaimin, 2004:1).


62
Sebagai seorang khalifah, manusia oleh Allah Subahanallah wa Taala

dalam proses penciptaannya dikaruniai potensi (fitrah) ruh (al-ruuh) dan (al-aql),

oleh karenanya pendidikan harus menjadi media dalam mengembangkan kedua-

duanya untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukkan dan kepatuhan manusia

terhadap penciptanya (Mulkhan, 1993:19), Sedangkan akal merupakan potensi

dasar manusia sebagai subjek didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna

menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang

harmonis secara vertical dan horizontal dalam konteks tujuan penciptaanya

(Muhaimin, 2004:18). Melalui penalaran dari potensi akal inilah maka manusia

akan terdorong untuk berpikir dan berdzikir dalam memahami tanda-tanda

kebesaran Allah yang ada di alam semesta, mampu menghadapi berbagai persoalan

juga mampu memecahkan persoalan-persoalan tersebut.

Seluruh potensi (fitrah) itu harus benar-benar dijaga, baik fitrah materi

maupun fitrah immateri (Muhaimin, 2004:17), yakni melalui proses pendidikan

yang benar, sehingga manusia sebgai makhluk yang berpotensi dengan

mengembangkan keilmuan dalam rangka menciptakan peradaban yang luhur,

sesuai dengan kehendak Allah. Namun, apabila dikaitkan dengan keadaan sekarang

ini, ternyata peradaban modern telah jauh melangkahi konstitusi fitrah manusia.

Saat ini manusia telah berkubang dalam lumpur dosa kumulatif yang

menghancurkan fitrahnya. Oleh karena itu dalam rangka menjadikan fondasi yang

kokoh bagi peradaban yang akan datang, maka kita harus kembali pada konsep

agama yang benar, sepanjang agama itu sungguh-sungguh dalam menghargai fitrah

manusia (Maarif, 1993:52).


63

Bangunan ketiga, dari konsep menurut Ahmad Syafii Maarif adalah

sejarah (Maarif, 1985:45). Dari sejarah manusia diharapkan pandai mengambil

pelajaran moral bagi kepentingan hidupnya. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr,

(59):2,

..

Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang

yang mempunyai wawasan. (Q.S. Al-Hasyr, [59]:2)

Manusia perlu mempelajari sejarah, dikarenakan sebagai subjek didik,

manusia dapat mengambil pelajaran berharga (ibrah) dalam rangka menegakkan

kebenaran dan keadilan. Demikian tiga sumber ilmu menurut al-Quran, apabila

dikaji ulang bangunan keilmuan yang disampaikan Ahmad Syafii Maarif ini, sama

dengan apa yang disampaikan oleh Fazlur Rahman, yang membagi pengetahuan

menjadi tiga macam, pengetahuan tentang alam, sejarah dan manusia.

b. Dasar Pendidikan Islam

Sebagai sebuah sistem yang bergerak untuk mewujudkan cita-cita yang

telah ditetapkan, maka pendidikan Islam memerlukan dasar atau landasan yang

digunakan untuk melaksanakan sejumlah rencana apa yang terangkum dalam

kurikulum pendidikan Islam. Dengan adanya dasar ini maka akan memberikan arah

terhadap pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dasar yang digunakan dalam sistem

pendidikan Islam adalah al-Quran dan As-Sunah. Menurutnya kebenaran al-

Quran dan as-Sunah tidak perlu diragukan lagi, sebab selain sebagai dasar

keimanan umat Islam, al-Quran juga dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat

dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman manusia. Sebagai sebuah kitab suci al-
64
Quran tidak ada keraguan lagi didalamnya. Selain al-Quran mengandung

kebenaran absolut, universal serta memberikan aturan-aturan dalam seluruh aspek

kehidupan manusia.

Gambaran lain tentang al-Quran seperti dikatakan Ahmad Syafii Maarif

adalah al-Quran menyebut dirinya berbagai istilah. Diantaranya adalah cahaya

(Q.S. Al-Maidah, 5:15), sebagai sebuah penawar bagi penyakit dalam (Q.S.

Yunus, 5:15), sebagai sebuah petunjuk (Q.S. Al-Baqarah, 2:2), sebagai

kriterium pembeda (Q.S. Al-Furqon, 25:11). Perhatian utama al-Quran adalah

meluruskan orientasi yang akan membawa umat Islam pada kebenaran. Kitab suci

ini sepenuhnya berorientasi untuk kepentingan manusia, sehingga sudah semestinya

al-Quran sebagai dasar pendidikan Islam (Ali, 1986:283).

Dasar pendidikan yang kedua adalah Sunah Nabi Muhammad SAW.

Sunah biasanya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi

Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, peninggalan, sifat, larangan,

pengakuan, sesuatu yang disuka maupun yang dibenci, tindak-tanduk dan seluruh

kehidupan yang menyertai Nabi Muhammad SAW.

Kedudukan sunah atau hadits menjadi dasar pendidikan Islam diperkuat

dengan firman-firman Allah seperti antara lain dalam Q.S.Al-Hasr, 59:7, Q.S, As-

Sajdah, 33:21, Q.S, Al-Anam, 6:161. Keterkaitan Sunah dengan al-Quran sebagai

penjelasan terhadap apa yang terkandung dalam al-Quran dan juga sebagai

pembeda (Shihab, 1996:123). Didasarkan atas hal tersebut maka Sunah dan hadits

dalam pendidikan Islam berfungsi untuk menjelaskan konsep-konsep al-Quran,

dan dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan.
65

Misalnya dengan meneladani kehidupan Rasulullah SAW, dan juga para sahabat

sebagaimana penanaman keimanan dan sebagainya.

Dasar-dasar tersebut menjadi dasar pembentuk dan pengembangan

pendidikan Islam yang memberikan petunjuk kepada umat manusia agar bisa hidup

di dunia dengan selaras dan harmonis sesuai ajaran Allah SWT.

c. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai, yakni sesuatu yang ideal

dan ingin direalisasikan dalam sebuah program. Biasanya tujuan ini dirumuskan

dalam susunan beberapa kata yang tergabung menjadi kalimat padat dan masih

bersifat umum.

Menurut Ahmad Syafii Maarif tujuan pendidikan Islam adalah sesuai

dengan apa yang terkandung dalam surat Al-Imron ayat 191:






"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau

dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan

bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan

sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Q.S. Al-

Imran, 3:191)

Ahmad Syafii Maarif, meyakinkan bahwa tujuan penciptaan alam semesta

ini untuk tujuan yang serius, yaitu agar manusia mampu mengelola dan memelihara

alam semesta dengan baik. Karena itu al-Quran memanggil manusia sebagai

khalifah Allah dimuka bumi. Jabatan sebagai khalifah ini sebenarnya berkaitan
66
dengan pelaksanaan amanah manusia untuk memelihara dan mengelola alam

semesta dengan sebaik-baiknya. Dengan posisinya yang demikian manusia secara

otomatis, seharusnya bertanggung jawab kepada Tuhan dunia ini dan juga diakhirat

nanti. Oleh karenanya al-Quran dengan tegas menekankan nilai tanggung jawab

dalam diri masing-masing manusia (Ali, 1986:283).

Posisi manusia yang istimewa serta tanggung jawab yang diberikan inilah

yang mendorong manusia muslim menjadi saksi atas perjalanan sejarah manusia.

Apalagi jika dipertimbangkan, bahwa manusia muslim adalah manusia yang

beriman. Iman memberikan dasar moral dan mendorong lahirnya amal shaleh yang

konkret. Dan sebagai konsekuensi manusia muslim yang beriman harus memiliki

visi moral yang tajam dalam memandang dunia (Ali, 1986:284). Hal ini diperkuat

lagi dengan penegasan al-Quran yang menyatakan bahwa yang paling berhak

untuk mendapatkan posisi terhormat adalah mereka yang beriman dan mereka yang

dikaruniai Allah ilmu. Dalam al-Quran kedudukan antara iman dan ilmu tidak

pernah dipertentangkan. Ilmu bertugas mencari ayat-ayat Allah pada kreasi alam

semesta ini, Sedangkan iman bertugas untuk menekankan ilmu bagi tegaknya amal

shaleh (Maarif, 2004:24-26).

Demikian jelass, bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ahmad Syafii

Maarif adalah sangat berhubungan dengan Allah (hablu minallah). Allah

menciptakan alam semesta ini sangat bertalian dengan penciptaan manusia yaitu

sebagai khalifah dimuka bumi. Dalam pelaksanaanya manusia memerlukan

pembinaan-pembinaan, baik dari segi jasmani, akal, akidah, kebudayaan dan

sebagainya. Oleh karena itu dalam rangka menciptakan hubungan baik dengan

Allah, penuh keimanan kepada Allah disamping juga harus memiliki jasmani sehat
67

serta kuat. Konsepsi ini menjadikan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut beliau

tercapainya keseimbangan antara kehidupan dunia dan juga kehidupan akhirat,

dengan mengembangkan kepribadian-kepribadian atau akhlaqul karimah dalam

rangka menciptakan manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal,

serta anggun dalam moral dan kebajikan (Maarif, 1991:155).

C. Aktualisasi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Terhadap Praktek


Pendidikan Islam di Indonesia

Sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam di

Indonesia mempunyai peran yang mempunyai peran yang sangat signifikan dalam

pengembangan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan di berbagai

bidang, sehingga akan tercipata peradaban asri yang berkualitas tinggi. Dengan

demikian Islam akan benar-benar menjadi rahmatan lil alamin, rahmat bagi

seluruh alam.

Pendidikan Islam di Indonesia dapat dibedakan kedalam dua tingkatan,

yaitu pendidikan dasar-menengah Islam, dan Pendidikan Tinggi Islam. Kemudian,

pendidikan Dasar-Menengah Islam di Indonesia dapat dibedakan lagi kedalam tiga

jenis, yaitu pesantren, sekolah, dan madrasah. Masing-masing dari ketiganya

memiliki keunggulan, disamping kelemahan. Pada umumnya pesantren unggul

dibidang ilmu-ilmu agama, tetapi lemah dibidang ilmu-ilmu umum, sebaliknya

sekolah lemah dibidang ilmu-ilmu agama tetapi unggul dibidang ilmu-ilmu umum.

Madrasah didirikan untuk menampung keunggulan pesantren dan sekolah,

disamping untuk menghilangkan kelemahan dari keduanya. Akan tetapi, kenyataan

menunjukan sebaliknya, kecuali hanya beberapa madrasah saja (Sutrisno,

2006:202).
68
Lebih dari itu, realitas menunjukkan bahwa ketiga jenis lembaga

pendidikan dasar-menengah tersebut, masing-masing mengidap penyakit kronis.

Misalnya, pesantren diterpa stigma eksklusif, literal, radikal, fundamental, teroris,

dan sebagainya. Pendidikan Agama Islam di sekolah selalu kebanjiran kritik bahwa

model Pendidikan Agama Islam-nya terlalu normatif, kognitif oriented, dan

sebagainya. Madrasah lebih parah lagi; lembaga yang tidak diperhitungkan,

kualitasnya sangat memperihatinkan; bagaimana berkualitas tinggi, sedangkan 70%

gurunya mismatch (guru mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmunya, misalnnya

lulusan Pendidikan Agama Islam mengajar bahasa Inggris, lulusan Syariah

mengajar matematika. (Sutrisno, 2006:202).

Pendidikan tinggi Islam di Indonesia, menurut Zamroni, masih merupakan

impian belaka. Pendidikan Islam dalam realitas, baru merupakan: (a) pendidikan

tinggi yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam, (b) pendidikan agama

Islam yang disampaikan di perguruan tinggi, dan (c) perguruan tinggi yang

bertujuan menghasilkan sarjana dibidang ilmu agama Islam. Perguruan tinggi Islam

jumlahnya sangat banyak, tetapi dalam peta perguruan tinggi Islam di Indonesia,

kebanyakan menempati posisi pinggiran (Sutrisno, 2006:203).

Memang secara umum kondisi pendidikan Islam di Indonesia saat ini

sedang dihadapkan pada perosalan yang multikompleks. Diantaranya terjadi

dekadensi moral, gejala split personality atau kepribadian ganda yang terjadi pada

masyarakat muslim saat ini, hal tersebut harus dipahami sebagai konsekuensi logis

dari semakin jauhnya pembangunan intelektual dari arahan, binaan serta kontrol

nilai moral dan spiritual. Hal ini merupakan akibat dari dualisme yang terjadi pada

pendidikan Islam selama ini. Disinilah peran pendidikan yang dimaknai sebagai
69

sarana untuk mewujudkan peradaban asri yang berkualitas tinggi di muka bumi

menempatkan posisinya yang strategis dan menentukan. Artinya, apabila

pendidikan dengan dimensi ilmu yang melekat padanya dipisahkan dari konteks

nilai, maka penampilan peradaban yang akan muncul adalah peradaban atau budaya

yang bebas nilai. Padahal ilmu pengetahuan yang dikembangkan melalui proses

pendidikan adalah bertujuan untuk mewujudkan ideal-ideal peradaban atau budaya

masyarakat itu sendiri. Sehingga pada batas ini agaknya sulit unutk menerima

pandangan bahwa ilmu itu bebas nilai. Bahwa ketinggian derajat dan marwah Islam

di masa kejayaannya adalah karena tingginya tingkat spiritual dan intelektual

masyarakat pada waktu itu. Corak seperti itu karena dipengaruhi oleh sistem

pendidikan Islam yang integral dan holistik. Tetapi ironisnya adalah pendidikan

yang pernah unggul penerapannya pada masa kejayaan Islam klasik itu, ternyata

telah lama mengalami kekaburan. Upaya mengembalikan elan vitale paradigma

pendidikan Islam ini bukannya tidak ada, upaya tersebut telah banyak dilakukan

oleh banyak cendekiawan Muslim dengan menawarkan berbagai konsep

pendidikan Islam, salah satunya konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization

of Knowledge) sebagai gagasan awal dari usaha pengintegrasian ilmu dalam Islam.

Tokoh-tokohnya ialah Ismail Raji al-Faruqi, Ziauddin Sadar dan Naquib al-Attas

(Qomar, 2005:123).

Sebagaimana Ahmad Arkoun dan Aziz al-Azmeh, Ahmad Syafii Maarif

juga menentang dari proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan tersebut. Karena menurut

beliau, jika kita masih juga mau bicara tentang Islamisasi, maka yang perlu

disadarkan adalah pusat kesadaran manusia yang terdapat di otak dan di hati

(Maarif, 2009:220).
70
Berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi,

Ziauddin Sadar dan Naquib al-Attas, Ahmad Syafii Maarif menawarkan konsep

kesatuan ilmu pengetahuan (unity of knowledge), pada prinsipnya merupakan

konsep pendidikan bercorak intelektual dan spiritual dengan menggunakan

pendekatan yang holistik, yang tetap menjaga keseimbangan dan keterpaduan

sistem. Dalam konsep ini, apa yang dikenal dengan konsep pendidikan sekuler dan

konsep pendidikan agama telah kehilangan relevansinya. Seluruh ilmu pengetahun

dalam konsep ini bertujuan membawa manusia untuk mendekati Allah, sebagai

sumber tertinggi dari segala-galanya. Dengan ungkapan lain, sebutan serba-Islam

berbagai cabang ilmu pengetahuan tidak diperlukan lagi, seperti kedokteran Islam,

psikologi Islam dan sebagainya (Maarif, 2009:220). Karena pada prinsipnya ilmu

pengetahuan adalah satu, yaitu bersumber dari Allah Subhanallah wa Taala,

sebagian diwahyukan melalui ayat-ayat Quraniyah dan sebagian lagi melalui ayat-

ayat kauniyyah (Muhaimin at al, 1999:110).

Dalam konsep kesatuan ilmu pengetahuan (unity of knowledge) ini

menurut Ahmad Syafii Maarif, ingin menjadikan peserta didik sebagai orang

Islam yang berarti. Yaitu seorang yang berserah diri kepada Allah dengan penuh

kesadaran dan menjadikan Islam (al-Quran dan Sunah) sebagai pandangan

hidupnya. lebih jauh Ahmad Syafii Maarif mendefinisikan peserta didik yang

berarti itu, ialah mereka yang bebas dari iklim pribadi yang terbelah dan terpecah.

Dia adalah manusia yang utuh dan baik, percaya diri, yang mampu berkarya di

muka bumi berdasarkan iman dan amal shaleh untuk kepentingan seluruh makhluk

(Maarif, 2009:228).
71

Dengan konsep kesatuan ilmu pengetahuan (unity of knowledge) ini,

menurut Ahmad Syafii Maarif, dualisme sistem pendidikan yang hampir terdapat

di seluruh dunia Islam secara bertahap barangkali akan dapat dipecahkan jika

berangkat dari pemikiran yang bercorak filosofis (Qomar, 2005:216). Selanjutnya

dengan dasar filosofis yang kuat akan memberikan keyakinan yang tegar kepada

umat Islam, bahwa tidak ada sama sekali dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu

umum sesuai dengan amanat Islam yang tertuang dalam al-Quran dan Sunah.

Dalam amanat ini yang ada hanya kesatuan ilmu (unity of knowledge) dan

selanjutnya berimplikasi menuntut adanya kesatuan pendidikan (unity of

knowledge) sehingga tidak dikenal adanya pendidikan agama dan pendidikan

umum, apalagi secaraberhadapan (Maarif, 2009:216).

Beliau cenderung tidak menerima Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti

yang telah penulis tuturkan juga dalam bagian skripsi ini, bahkan beliau menolak

dai upaya islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, karena baginya yang penting di

Islamkan adalah pusat saraf dan kesadaran yang ada di otak dan di hati. Kalau pusat

kesadaran itu sudah di Islamkan, sesungguhnya ilmu itu tidak ada yang sekuler,

semua ini ayat Allah, dipelajari dan dimanfaatkan bagi kepentingan manusia.

Sesungguhnya konsep unity of knowledge dalam pemikiran Ahmad Syafii Maarif

ini memang perlu dipikirkan secara mendalam.

Adapun aktualisasi pemikiran Ahmad Syafii Maarif dalam praktek

pendidikan di Indonesia bisa di tinjau dari beberapa aspek, diantaranya:

1. Aspek Kebijakan Pendidikan


72
Pendidikan di Indonesia dari dulu hingga saat ini masih terkesan berjalan

secara parsial dan terpisah-pisah tanpa adanya kordinasi yang jelas dari pemerintah.

Parsialisasi ini dapat dilihat dari kordinasi yang jelas dari pemerintah. Parsialisasi

ini dapat dilihat dari bayaknya lembaga pendidikan yang berlindung atau didirikan

oleh beberapa departemen, misalnya departemen Departemen Ketahanan memiliki

AKMIL dan AKPOL, Departemen Agama memilki pendidikan agama, Departemen

Keuangan memiliki lembaga pendidikan STAN, Departemen dalam Negeri

memiliki lembaga pendidikan APMD dan sebagainya. Dasar pemikiran pendirian

tersebut di satu sisi adalah untuk pemberdayaan sumber daya manusia masing-

masing departemen, namun ada analisis lai yaitu sebagai lahan untuk mendapat

anggaran yang lebih besar. Karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing

departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis (Dawam,

2004:5).

Implikasi dari parsialisasi dan terkesaan miskordinasi sistem pendidikan

nasional tersebut menyebabkan munculnya bibit egoisme masing-masing

departemen. Kordinasi yang seharusnya menjadi salah satu strategi yang sangat

penting dan menjadi terpental dengan parsialisasi tersebut. Oleh karena itu, sejalan

dengan konsep Ahmad Syafii Maarif yaitu kesatuan ilmu (unity of knowledge)

barangkali layak dilontarkan adanya ide Pendidikan Nasional Terpadu. Modus

operasinya adalah di hilangkannya masing-masing lembaga pendidikan di

departemen yang berbeda kemudian dijadikan satu payung. Namun sebelumnya

harus dilakukan kesepakatan bersama secara mantap bahwa payung tersebut harus

tetap mengakomodasi kepentingan dan aspirasi masing-masing departemen. Untuk

itu panglima pendidikan (meminjam Istilah Ahmad Syafii Maarif) cukup


73

menjadi satu dibawah Departemen Pendidikan nasional (Depdiknas) sekarang

Kementrian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud). Dengan kata lain sistem

pendidikan madrasah dan seterusnya sampai perguruan tinggi, cukup ditangani oleh

seorang direktur jendral dalam lingkungan Kemendikbud. Untuk pendidikan swasta

yang non-Muslim dapat pula ditempatkan disebuah direktorat jendral di lingkungan

Kemendikbud. Serta begitu juga dengan departemen-departemen yang lain. Dengan

demikian dalam hal pengelolaan dan pengawasan (leading control) akan lebih

mudah diatur dan efisien.

Namun yang menjadi pertanyaan kita semua, apakah dengan ditempatkan

dibawah satu atap Kemendikbud kualitas pendidikan Islam akan lebih baik dan

unggul? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, selama dikotomi pendidikan

agama dan pendidikan umum yang bercorak barat belum teratasi.

2. Aspek Kurikulum Pendidikan

Selanjutnya, jika seluruh pemikiran Ahmad Syafii Maarif

diaktualisasikan melalui kurikulum yang unsur-unsurnya meliputi empat hal, yaitu;

tujuan, materi, metode dan evaluasi akan tampak sebagai berikut:

a. Tujuan Pendidikan Islam

Mengenai tujuan pendidikan ditemui adanya 3 tujuan. Pertama, ingin

membentuk perserta didik menjadi manusia seutuhnya (full human), yang memilki

pribadi yang utuh (full personality), tidak pribadi yang terbelah (split personality),

percaya diri dan mampu berkarya di muka bumi berdasarkan ilmu dan amal shaleh

untuk kepentingan semua makhluk. Kedua, ingin mewujudkan peserta didik yang

mampu menyatukan antara kekuatan fikr dan dzikir yang ujungnya akan melahirkan

kelompok ulul-albad, sosok manusia yang otak dan jantungnya hidup hidup
74
dinamis-kreatif dalam memahami dan merasakan kehadiran sumber segala yang

ada dalam pengembangan dan pengembaraan intelektual dan spiritualnya. Ketiga,

untuk melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang padannya terintegrasi ilmu-ilmu agama

dan ilmu-ilmu umum modern, yang ditandai dengan adanya sifat kritis dan kreatif,

serta punya visi, penglihatan dan persepsi yang tajam.

b. Materi

Mengenal materinya, jika dikaitkan dengan klasifikasi ilmu pengetahuan,

terdapat tiga macam. Yaitu (1) ilmu-ilmu kealaman atau ilmu-ilmu fisikal, (2) ilmu

sejarah dan geografi, dan (3) ilmu pengetahuan tentang diri manusia itu sendiri.

Akan tetapi, jika materinya disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang ketiga,

maka materinya tentu saja terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum

modern.

Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif dalam artikelnya Pendidikan Menurut

al-Quran menjelaskan:

Materi pendidikan tersebut harus mencerminkan idealitas al-Quran


yang mencakup seluruh bidang ilmu, tidak memilih-milih jenis disiplin
ilmu secara taksonomi atau dikotomi. Tetapi idealnya materi pendidikan
Islam tidak memisahkan antara ilmu-ilmu agama dari ilmu-ilmu modern
atau ilmu-ilmu duniawi. Seperti yang kita kenal dikalangan umat Islam di
Indonesia sekarang ini (Maarif, 1983:22).

Pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum sudah terjadi begitu

lama di sistem pendidikan di Indonesia. Pemisahan itu merupakan imbas dari sistem

pendidikan yang dibawa oleh bangsa kolonial Belanda saat penjajahan Indonesia.

Tokoh ulama saat masa penjajahan Belanda cenderung menghindari ilmu duniawi

masuk dalam pembelajaran pesantren atau madrasah saat itu. Hal ini terjadi

dikarenakan paradigma masyarakat pada saat itu menganggap ilmu duniawi yang

dibawa barat itu haram digunakan, bahkan segelintir tokoh ulama saat itu
75

mengkafirkan orang yang menggunakan sistem dan metode barat tersebut.

Seharusnya ilmu duniawi dan ilmu agama harus mampu berdampingan dalam

menjadikan manusia sempurna. Seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Syafii

Maarif

Dengan ilmu pengetahuan dan agama akan menjadikan manusia yang

sempurna, karena kita mengenal dua sisi manusia, yaitu disamping harus

mementingkan kehidupan dunia (dimensi horizontal) dan juga mementingkan

kehidupan akhirat (dimensi vertival, transcendental). Dengan keseimabangan

antara dimensi itulah baru tercapai manusia yang sempurna (Al-Insan, Al-Kamal).

Nilai-nilai religi dalam proses pendidikan akan membentuk watak seseorang yang

benar-benar dapat teruji (Maarif, 1980:54).

Dilihat dari segi pendidikan, maka perkembangan sains dan teknologi

modern juga sangan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang berlangsung. Dari

khazanah Islam sendiri al-Quran, kita mengetahui berbagi disiplin ilmiah yang

memberikan kesempatan pada manusia untuk mengembangkan kajian kita secara

mendalam, sehingga kemajuan ilmu dan teknologi modern akan dapat tercapai,

sekaligus kita kuga mampu mengendalikannya dengan berdasarkan petunjuk al-

Quran, sebagai konsep keseluruhan Islam yang mencakup segala pokok

permasalahan. Dengan berdasarkan ilmu-ilmu agama maka manusia memilki rasa

iman kepada Allah. Apalagi ditambah denga penguasaan teknologi akan

mendapatkan kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran duniawi yag

akan menjadi amal shaleh di kehidupan akhirat nanti. Sehingga antara ilmu-ilmu

duniawi atau yang disebut istilah kental dengan ilmu umum memilki kedekatan,

ketertarikan yang sangat kental dengan ilmu-ilmu agama. Sehingga seseorang


76
hanyalah mungkin bersikap apresiasif secara intens terhadap ajaran tuhid dan

implikasinya di bidang sosial adalah kemanusiaan apabila dalam setiap

pembuatannya didasarkan pada al-Quran (Maarif, 1995:32-33).

Dalam kaitannya dengan konsep Islam, bahwa pemilikan ilmu dalam

pandangan Islam mampu untuk memupuk dan mempertebal keimanan. Iman tanpa

ilmu akan mengakibatkan kebodohan, Sedangkan ilmu tanpa iman akan membuat

manusia menjadi angkuh dan rakus. Islam merupakan agama yang memadukan

antara iman dan ilmu yang kemudian akan melahirkan perbuatan amal (Maarif,

2004:11).

Dalam pendidikan islam harus mengembangkan kurikulum yang bersifat

eksperimental yang didasarkam pada kebutuhan nyata dengan menggunakan

metode-metode problem solving sehingga sosok lulusan pendidikan Islam bisa

menghadapi segala persoalan-persoalan dunia yang selalu berubah dan menantang,

dengan berlandaskan pada kekuatan spiritual. Sehingga lulusan pendidikan Islam

tidak mengalami kebingungan dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan

dunia. Disamping kurikulum harus mengemas orientasi transendental agar

kegiatan-kegiatannya di dunia memiliki makna spiritual yang mengatasi ruang dan

waktu. Dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam harus membawakan

keseluruhan al-Quran, akan tetapi didampingi dengan berbagai ilmu untuk

mengaktualisasikan kehidupannya di dunia dengan berbagai imu praktis, berpikir

kritis (Maarif, 1991:148-149).

c. Metode
77

Mengenai metode pembelajaran dilakukan dengan menekankan pada car-

cara memahami dan menganalisa materi pembelajaran, metode pembelajarannya

dapat juga dengan menerapkan pembelajaran kontekstual. Serta juga dikembangkan

dengan observasi, dan didasarkan pada pertimbangan moral. Selanjutnya, dapat

dideskripsikan ke dalam beberapa metode pendidikan Islam yang didasarkan

kepada al-Quran, yakni :

1) Metode Diskusi

Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mengembangkan sikap arif

juga bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan aktifitas dengan berdiskusi dan

bermusyawarah, serta bertawakkal kepada-Nya. Hal ini dapat kita lihat dalam Q.S

Al-Imran (3):159 dan juga Q.S. As-Syura (42):38.








Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.S. Al-Imran, 3:159)





"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan

mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara

mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada

mereka" (Ash-Shura, 42:38).


78
Musyawarah mengajarkan prinsip posisi manusai di hadapan Tuhan.

Prinsip persamaan ini tidak memberikan peluang kepada seorang manusia sebagai

subjek didik untuk mendapatkan perilaku yang berlebihan dalam hal apapun.

Karena usaha pendidikan digunakan untuk mencapai tujuan tertinggi yang kini

insan berakhlakul karimah. Melalui metode ini subjek didik diharapkan mampu

berlatih menghormati orang lain, sopan dalam berbicara, menanggapi pernyataan

sesamanya denga menggunakan akal pikiran dan hati nurani untuk mendapatkan

sebuah kesimpulan mengenai topik pembicaraan dalam diskusi (Maarif, 1996:9).

2) Metode Induktif

Merupakan suatu metode yang dimaksudkan dengan menampilkan suatu

materi yang bersifat khusus, kemudian diambil suatu kesimpulan yang bersifat

umum. Dengan demikian peserta didik dapat mengetahui kebenaran yang bersifat

umum melalui sebuah penelitian (Maarif, 1995:25).

3) Metode Deduktif

Merupakan suatu metode pembelajaran dengan cara menampilkan kaidah-

kaidah yang bersifat umum kemudian dijabarkan dengan hal-hal yang bersifat

khusus. Metode ini sangat penting dalam proses pendidikan, dimana para peserta

didik dituntut untuk mengenal prinsip-prinsip yang bersifat umum dari suatu

permasalahan (Maarif, 1991:148-150).

4) Metode Empiris

Merupakan suatu metode pembelajaran untuk mengajak peserta didik

menyelami sebuah materi, sehingga dimungkinkan peserta didik dengan ini

mendapatkan kemampuan baik secara teoretis ataupun penerapannya dalam


79

kehidupan sehari-hari. Metode ini dapat dikembangkan atas dasar al-Quran: Q.S

Al Fushilat (41):53, dan juga Q.S Al Imran (3):104.






Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)

Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka

bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu

menjadi saksi atas segala sesuatu (Q.S Al Fushilat, 41:53).




Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S Al Imran. 3:104)

5) Metode Keteladanan

Alalh Subahanahu SWT hambanya untuk mencontoh Rasulullah SAW,

sebab sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang baik. Hal ini

dapat kita lihat dalam Q.S. Al Ahzab (33):21.





Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari

kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al Ahzab, 33:21)


80
Secara psikologis manusia memerlukan tokoh untuk menjadi teladan atau

contoh. Hal ini disebabkan secara kodrati manusia memiliki potensi, kemampuan

untuk meniru baik itu secara terasa atau tak terasa.

6) Metode Ibrah dan Mauizah

Secara rinci Ahmad Syafii Maarif tidak menjelaskan pengertian ibrah

dan mauizah, akan tetapi beliau hanya menyampaikan ayat-ayat yang berisi

tentang peringatan (ibrah) dan nasehat (mauizah). Untuk mendapatkan pengertian

tentang ibrah dan mauizah. Ahmad Tafsir menggunakan definisi dari An-Nahlawi

yang menjelaskan ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia

kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar

yang menyebabkan hati mengakuinya. Sedangkan mauizah ialah nasihat yang

lembut juga diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya

(Tafsir, 1992:145).

Menurut Ahmad Syafii Maarif, dalam al-Quran kita dapat menemukan

metode-metode khusus dalam upaya pemberdayaan umat Islam (manusia sebagai

subjek didik) yakni dari kisah-kisah lampau yang mengandung pelajaran (ibrah)

yang utama. Sehingga perhatian kita pada pelajaran kisah-kisah yang terdapat

dalam al-Quran akan menimbulkan sikap diri seorang hamba (manusia sebagai

subjek didik (Maarif, 1995:31)

Demikian juga dengan mauizah, Ahmad Syafii Maarif mengatakan bila

al-Quran berisikan tentang nasehat-nasehat kebenaran kepada seluruh umat

manusia. Dalam hal ini (metode nasehat-menasehati) menurut Ahmad Syafii

Maarif akan sangat terkait dengan potensi manusia berupa akal. Menurut dia akal

meiliki dua macam karakter, yakni akal yang berfungsi dan tidak berfungsi secara
81

wajar dalam kehidupan manusia. Pada akhirnya kualitas akal diri pribadi masing-

masing manusia akan ditentukan apakah nasehat yang disampaikan oleh seorang

pendidik, misalnya dapat diterima atau tidak, sebagaimana yang dicontohkan Allah

dalam Q.S. Huud ayat 51, dalam ayat ini menggambarkan dialog antara Nabi Allah

dan kaumnya yang membangkang dan musyrik.


Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini.

Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah

kamu memikirkan(nya)? (Q.S. Huud, 11:51).

Demikian pula dalam Q.S. Al-Ankabut (29) ayat 43 dijelaskan bahwa akal

fungsional dapat menangkap makna dari nasehat perumpamaan-perumpamaan.



Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada

yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Q.S. Al Ankabut, 29:43)

Dalam ayat ini kita ketahui bahwa para ilmuwan yang beriman sungguh

mulia di sisi Allah menurut al-Quran karena akalnya difungsikan secara baik, benar

dan kreatif. Seperti yang diungkapakan Ahmad tafsir dalam buku Ilmu Pendidikan

dalam Perspektif Islam;

Mauizah yaitu untuk menanamkan nilai-nilai ke-Islaman dalam diri


peserta didik, nasehat hendaknya disampaikan dengan cara menyentuh
kalbu, penuh keikhlasan dan dilaksanakan secara berulang-ulang.
Sehingga nasehat itu dapat menyentuh perasaan, dan menggetarkan
manusia subjek didik (Tafsir, 1992:146).

7) Metode Bil Hikmah

Allah SWT memerintahkan kepada hambanya untuk menyeru manusia ke

jalan Allah dengan hikmah pengajaran yang baik dan argumentasi yang dapat
82
dipertanggung jawabkan, sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nahl (16) ayat

25.

(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan

sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka

sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah,

amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (Q.S. An Nahl, 16:25).

Dengan metode semacam ini, proses pendidikan Islam akan mampu

membimbing, mengarahkan dan membina manusia (peserta didik) menjadi manusia

matang dalam kepribadian dan sikap, sehingga setiap perbuatan mencerminkan pola

hidup susila yang berdasarkan nilai-nilai Islam.

8) Amr Maruf Nahi Munkar

Apabila kita berkonsultasi dengan al-Quran kita akan mengetahui bahwa

eksistensi manusia, bermakna atau tanpa makna, akan sangat bergantung pada

kemampuan dalam melaksanakan dalam melaksanakan doktrin amar maruf nahi

munkar. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Imran (3) ayat 164 ().




Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung (Al Imran, 3:164).

Berdasarkan hal ini maka pembentukan dan penerapan metode pendidikan

Islam dalam proses internalisasi nilai-nilai keislaman, pembentukan sikap mental,


83

keterampilan harus dilakukan dengan menyeluruh dan sistematis (Maarif,

2004:62-63).

Bila kita perhatikan sejarah penyampaian firman Allah SWT yang evolutif

dan risalah kenabian Muhammad SAW memperlihatkan bahwa sosialisasi Islam

adalah dilakukan malalui pendidikan dan dakwah. Dari sana dapat disimpulkan

bahwa penanaman nilai-nilai Islam kepada umat manusia hingga tercapai tujuan

pembentukan manusia muslim harus dipahami sebagai metode pendidikan umat

secara seluas-luasnya (Maarif, 1999:173).

Sebenarnya Ahmad Syafii Maarif sendiri, ia tidak memberikan

penjelasan yang begitu mendetail tentang definisi metode pendidikan itu sendiri,

akan tetapi ia menekankan akan prinsip kehati-hatian dalam mengembangkan

metode pendidikan. Hal ini atas dasar alasan bahwa sasaran pendidikan itu adalh

manusia yang telah mengalami bimbingan dan memiliki kemampuan dasar untuk

dikembangkan.

Sikap kurang hati-hati akan berakibat fatal sehingga mungkin saja

kemampuan dasar yang telah dimiliki manusia (peserta didik) tidak berkembang

secara wajar atau pada tingkat yang fatal dapat menyalahi hukum-hukum dan arah

perkembangan sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT (Maarif,

1995:141-142). Untuk itu sangat dibutuhkan pengetahuan yang utuh mengenai jati

diri manusia dalam rangka membawa dan mengarahkan untuk memahami realitas

diri, Tuhan dan semesta Alam, sehingga ia dapat menemukan esensi dirinya dalam

lingkaran realitas itu. Sebagai konsekuensinya dari adanya fitrah dalam diri

manusia sebagai kemampuan dasar yang dikaruniakan Allah dalam tiap diri

manusia. Fitrah tersebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan melalui


84
proses pendidikan dengan metode yang tepat guna, berdaya guna dan berhasil guna

(Maarif, 1995:51).

Pelaksanaan metode pendidikan Islam, harus bersifat supel dan fleksibel

dalam artian bisa membuka diri dan dapat menerima setiap perubahan sesuai

lingkup proses pendidikan Islam tersebut, menekankan kebebasan dalam diri

amnesia sebagai peserta didik dalam rangka menyeimabangkan antara teori dan

praktek guna menciptakan intelektual muslim yang benar-benar memiliki

kapabilitas dalam urusan dunia maupun akhirat, berpegang teguh pada prinsip

moral yang diajarkan al-Quran. Pada akhirnya dari kumpulan intelektual Muslim

itu akan menciptakan peradaban yang tidak kehilangan orientasi tancendenta; yang

tetap berwawasan moral qurani (Maarif, 1995:17-18).

9) Evaluasi

Selanjutnya indikator yang dipakai dalam evoluasi adalah lahirnya sosok

ilmuwan yang kritis dan kreatif. Sosok manusia yang mampu menyatukan antara

tiga komponen: yaitu kekuatan otak, hati dan tangan.

Sampai di sini, akhirnnya dapat diketahui bahwa jika pendidikan Islam di

Indonesia bersedia mengikuti konsep kesatuan ilmu pengetahuan (the unity of

knowledge) yang digagas Ahmad Syafii Maarif, secara berangsur-angsur motivasi

umat Islam Indonesia terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi

ilmu di kalangan umat Islam Indonesia akan semakin terkikis, yang diikuti oleh

pudarnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Jika hal ini dapat

berjalan dengan baik, tidak mustahil, suatu ketika nanti, pendidikan Islam di

Indonesia dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang kritis dan kreatif, serta

memmpunyai visi, penglihatan dan persepsi yang tajam, ilmuwan-ilmuwan


85

semacam ini sangat mungkin dapat menghasilkan temuan-temuan yang berharga

yang dapat menghasilkan problem-problem kehidupan umat kontemporer. Wa

Allahu alam bi al shawwab.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, ada dua sisi kesimpulan pokok

yang dapat diambil, khususnya terkait dengan dua permasalahan yang diajukan

pada bab pendahuluan yaitu; pertama, tentang pemikiran pendidikan Islam Ahmad

Syafii Maarif mengenai pendidikan Islam, dan kedua tentang aktualisasi

pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif terhadap pendidikan Islam di Indonesia.


86
1. Pemikiran pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif mengenai pendidikan

Islam yaitu pertama, hakikat manusia yaitu makluk yang seimbang dan

otonom; berakal; wajib beramal shaleh (berkarya dan berprestasi); makhluk

yang beragama; dan memiliki ketinggian moral/etika. Kedua Pandangannya

tentang hakikat pendidikan Islam menuntut implementasi integrasi ilmu dan

integrasi pendidikan. Ketiga, tujuan pendidikan Islam menurut Ahmad Syafii

Maarif adalah mewujudkan manusia beriman yang memiliki keunggulan

intektual melalui penyatuan kebudayaan dzikr dan fikr (refleksi dan

penalaran), kaya dalam amal (karya dan prestasi) serta anggun dalam moral

dan kebajikan (hikmah). Keempat, seorang pendidik seharusnya memiliki

intelektualitas yang unggul. Kelima, kurikulum pendidikan Islam haruslah

dirancang dengan memperhatikan potensi-potensi kemanusian, hakikat

pendidikan serta tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Keenam, sedangkan

metode pembelajaran dalam kegiatan pendidikan Islam yang ditawarkan

adalah metode kritis-reflektif.

Berdasarkan konstruk pemikiran pendidikan Ahmad Syafii Maarif


86
yang telah diuraikan, secara umum hakikat pemikiran pendidikan Islam

Ahmad Syafii Maarif dapat diklasifikasikan menjadi humanis, kritis, idealis,

dan religius.

2. Berkaitan dengan permasalahan kedua, dapat disimpulkan bahwasannya

gagasan Ahmad Syafii Maarif mengenai pendidikan Islam amat relevan

dengan praktek pendidikan Islam di Indonesia, sayangnya pemikiran

pendidikan Islam yang ditawarkan Ahmad Syafii Maarif belum benar-benar

diimplementasikan di Indonesia. Diharapkan dengan diimplementasikan serta


87

berpijak pada pandangan-pandangan filosofis Ahmad Syafii Maarif

mengenai konsep pendidikan Islam yang humanis, kritis, ideal dan religius

dapat memperkuat kerangka filosofis dan meningkatkan kualitas pelaksanaan

pendidikan Islam di Indonesia.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa rekomendasi yang

ditawarkan oleh kajian ini. Pertama, pelaksanaan pendidikan Islam hendaknya

memperhatikan hakikat kemanusiaan. Mengembangkan seluruh potensi-potensi

yang dimiliki oleh setiap anak (peserta didik). Sebagai konsekuensinya usaha dan

pelaksanaan pendidikan Islam haruslah bersifat integratif dan seimbang.

Kurikulum yang menekankan dan memperhatikan pada salah satu aspek/

potensi kemanusiaan saja jelas tidak relevan dengan hakikat pendidikan Islam itu

sendiri. Kedua, masih sangat dibutuhkan kajian secara mendalam mengenai

kurikulum, metode serta teori-teori pendidikan Islam lainnya yang mendukung

pelaksanaan pendidikan Islam secara integratif dan seimbang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang Press, Malang.

Achmadi, (1992). Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Adytia Media,


Yogyakarta.

Agung, Hartono. (1999). Perkembangan Peserta Didik. Rineka Cipta, Jakarta.

Al-Faruqi, Ismail Raji (1984) Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuddin.


Pustaka, Bandung.

Ali, Fakhry. (1986). Menambah Jalan Baru Islam. Mizan, Bandung.

Al-Syaebani, Omar Muhammad al-Toumi. (1979) Filsafat Pendidikan Islam,


terjemahan Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta.
88
Antono, Raja Juli. (2007) Laporan Tahunan Maarif Institue. Maarif Institut,
Jakarta.

Arifin, M. Syamsul. (1996). Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.

Arifin, Muhammad. (1991). Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.

Assegaf, Abd. Rachman. (2011). Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru


Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkoneksi. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Asy'arie, Musa. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran. LSFI,


Yogyakarta.

Azra, Azyumardi. (1999). Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju


Millenium Baru. Logos Wacana Ilmu, Jakarta.

Bakry, Samaun. (2005). Menggagas Konsep Ilmu Pendidikan Islam. Pustaka Bani
Quraisy, Bandung.

Barizi, Ahmad (ed). (2005). Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fajar.

Bawani & Anshori. (1991). Cendekiawan Muslim. PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Daradjat, Zakiah (at all). (2000). Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.

Darmadji, Ahmad 1997. Pendidikan Islam dan Pembangunan Sumber Daya


Manusia, Jurnal Pendidikan Islam. Fakultas Tarbiyah UII Yogyakarta vol.
2, no.3. pp.11

Dawam, Ainurrofiq. (2004). Pendidikan Islam Indonesia Kini, Suara Dipetais,


Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 652

Ghazali, Abd. Rohim (2007). Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif. Maarif
Institute, Jakarta.

http//:www.kompasiana.com/20161025/ahmad-Syafii-Maarif-unity-of-
knowledge.html diakses tanggal 25 Oktober 2016.

http//:www.wikipedia.org/20161029/ahmad-Syafii-Maarif-Biografi.html diakses
tanggal 29 Oktober 2016.
89

Ilahi, MT. (2012) Pembelajaran Discovery Strtegi dan Mental Vocation Skill. Diva
Press, Yogyakarta.

Jalal, Abdul Fattah (1988). Azas-azas Pendidikan Islam. CV. Diponegoro,


Bandung.

Jalaluddin (2003). Teologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kementrian Agama RI, al-Quran dan Terjemahan, Jakarta: Pustaka Maghfirah,


2006.

Langgulung, Hasan. (1998). Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21. Pustaka


Al-Husna, Jakarta.

Maarif, Usa, Ali, & Machasin (1996). Pendidikan Islam dan Proses
Pemberdayaan Umat, Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah UII,
Yogyakarta no.1 vol.III pp.18-22

Maarif, Ahmad Syaifii. (1983). Pendidikan Menurut al-Quran. Suara


Muhammadiyah no.5 pp.63

__________________. (1991). Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju


Masyarakat Madani. Jurnal Studi Islam, Fakultas Tarbiyah UII,
Yogyakarta vol. I pp.22-24.

__________________. (1991) Pedidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan


dalam Pendidikan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Maarif, Ahmad Syafii. (1995). Membumikan Islam. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

__________________. (1995). al-Quran.. Realitas Sosial, dan Limbo Sejarah.


Pustaka, Bandung.

__________________. (1995). Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia.


Mizan ,Bandung.

__________________. (1997). Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat,


Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

__________________. (2000). Agama Pembangunan : Corak Masyarakat Islam


Masa Depan, Jurnal Ulumul Quran Tarbiyah. UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta no.1 vol.III pp.18-22

__________________. (2004). Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, PSAP


Muhammadiyah, Jakarta.
90
__________________. (2009). Otobiografi Titik Kisar di Perjalananku. Mizan,
Bandung.

__________________. (2009). Islam Dalam Bingkai Ke-Indonesiaan dan


Kemanusiaan, Mizan, Bandung.

Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakary,


Bandung.

Mudzakir, A. (2006). Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka setia

Muhaimin, H, (2004). Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan


Pendidikan Agama Islam di Sekolah. PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Muhaimin, H. (at all) (1999), Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman. Pustaka


Dinamika, Cirebon.

Mulkhan , Abdul Munir. (1993). Paradigma Intelektual Muslim. SI Press,


Yogyakarta.

Mulyanto. (1991). Islamisasi Ilmu Pengetahun, Jurnal Ulumul Quran, IAIN sunan
Kalijaga no.9 vol. II pp. 12-14.

Nata, Abudin (2003). Manajemen Pendidikan. Prenada Media, Jakarta.

Nata, Abudin. (1997). Filsafat Pendidikan Islam I. Wacana Ilmu, Jakarta.

Nizar, Samsul. (2002). Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat Pers, Jakarta.

Peraturan Pemerintah No. 32 Th 2013 tentang Perubahan atas PP. No. 19 Th. 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, hlm. 5

Pidarta, Made. (1990). Perencanaan Pendidikan Partisipatori: Dengan


Pendekatan Sistem. Rineka Cipta, Jakarta.

Qomar, Mujamil. (2005) Epistemology Pendidikan Islam dari Metode Rasional


Hingga Metode Kritik. Erlangga, Jakarta.

Ramayulis. (1998). Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia, Jakarta.

Sanaky, AH. Hujair. (2003). Paradigma Pendidikan Islam: Membangun


Masyarakat Madani Indonesia. Safira Insani Press, Yogyakarta..

Shihab, M. Quraish. (1996). Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung.


91

Siregar, Maragustam (2014). Filsafat Pendidikan Islam, Kurnia Kalam Semesta,


Yogyakarta.

Sutrisno. (2006). Fazhur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan


Sistem Pendidikan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Subagyo, P. Joko.(1991). Metodologi Penelitian Teori dan Praktek. Rhineka Cipta,


Jakarta.

Syafaruddin. (at all) (2009). Ilmu Pendidikan Islam. Hijri Pustaka Utama, Jakarta

Tafsir, Ahmad. (1992). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. PT. Remaja Rosda
Karya, Bandung.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan


Nasional, Bandung: Citra Umbara.

Usa, Muslih (2003). Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta. Tiara
Wacana, Yogyakarta.

Zubaedi, (2012). Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan
Kapita Selekta Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Zuhairini (at all). (1995). Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai