Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Abdur Rachman

Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia

Abdurrachman23@gmail.com

Abstract. One of the philosophical problems of education is the discussion about educators.
Muhammadiyah, which is more than a century old, does not yet have an ideal formulation that is
clearly conceptualized and systematized regarding educators. This article discusses
Muhammadiyah's philosophy of education, also as the largest Islamic organization in Indonesia.
The focus of this research is to analyze the praxis, views and basic principles in Muhammadiyah's
educational foundation. The research method used is qualitative literature analysis and
understanding the historical and social context of this organization. This article also explores
Muhammadiyah's educational goals, which are divided into two eras, namely in the preformulation
era and the formal formulation era. Through the process of analyzing, this article seeks to provide
a deeper insight into Muhammadiyah's educational philosophy, their role in the development of
education in Indonesia, as well as the methods used in developing Muhammadiyah education.
Muhammadiyah's educational philosophy reflects deep meaning and value in shaping education
that combines religious values, morality, and cultural adaptation.

Keywords: Education, Philosophy, Muhammadiyah


Abstrak. Filsafat Pendidikan sebuah keilmuan yang sangat penting sekali untuk sebuah Lembaga
Pendidikan maupun organisasi. Muhammadiyah yang mana sampai berumur satu abad belum juga
memiliki sebuah rumusan komprehensif yang terkonsep dengan jelas dan tersistematis mengenai
pendidikan. Artikel ini mencoba membahas filsafat pendidikan Muhammadiyah, juga sebagai
organisasi Islam terbesar di Indonesia. Fokus penelitian ini yakni mengalisis praksis, pandangan
dan prinsip-prinsip dasar dalam landasan pendidikan Muhammadiyah. Metode penelitian yang
digunakan adalah analisis literatur kualitatif dan pemahaman konteks sejarah dan sosial organisasi
ini. Artikel ini juga menggali tujuan pendidikan Muhammadiyah, yang dibagi menjadi dua zaman,
yaitu pada era pra-perumusan dan era perumusan formal. Melalui proses menganalisa, pada artikel
ini berusaha memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, peran mereka dalam perkembangan pendidikan di indonesia, serta metode yang
digunakan dalam mengembangkan Pendidikan Muhammadiyah. filsafat
pendidikan Muhammadiyah mencerminkan makna dan nilai yang mendalam dalam
membentuk pendidikan
yang menggabungkan nilai-nilai keagamaan, moralitas, dan adaptasi budaya.

Kata Kunci : Pendidikan, Filsafat, Muhammadiyah

PENDAHULUAN
KH Ahmad Dahlan merupakan pendiri Muhammadiyah, terlebih dahulu mendirikan sekolah
di rumahnya lalu mendirikan sebuah persyarikatan Muhammadiyah. Bukan hal yang termasuk
berlebihan akan tetapi berdirinya persyarikatan Muhammdaiyah untuk menjamin keberlangsungan
pendidikan Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 H, atau 18
November 1912, karena keadaan umat Islam yang sangat memprihatinkan pada saat itu. Pada saat
itu, umat Islam menderita tiga penyakit kronis seperti kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. miskin karena bodoh, dan bodoh karena terbelakang. Ini adalah lingkaran yang
tidak berujung, bertepi, serta tidak terputus.
Organisasi Muhammadiyah diidentifikasi sebagai sebuah entitas yang inklusif dan progresif,
didirikan dengan tujuan mempromosikan pentingnya ketergantungan pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Hal ini dilakukan untuk mengatasi praktik-praktik yang terkait dengan kepercayaan buta, inovasi
yang tidak didasarkan pada ajaran agama, dan kepercayaan tak masuk akal, tanpa memihak pada
salah satu madzhab atau pandangan khusus. Kemajuan inklusif ini telah memfasilitasi
Muhammadiyah dalam melakukan reformasi di berbagai bidang, terutama dalam pendidikan.
Upaya pembaharuan pendidikan Muhammadiyah yang menggunakan model pendidikan secara
nasional menunjukkan citra lengkap sebagai organisasi yang inklusif dan progresif, sambil tetap
mempertahankan tujuan dan identitasnya dalam menyelenggarakan pendidikan Muhammadiyah.

METODE
Dalam artikel ini, kami menyajikan hasil yang berasal dari penelitian yang dilakukan melalui
analisis literatur kualitatif. Informasi untuk penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
dari berbagai sumber yang terdapat dalam literatur yang ada. Pendekatan ilmiah ini membutuhkan
tinjauan filosofis yang kritis terhadap berbagai sumber literatur, termasuk buku, jurnal ilmiah, dan
artikel berita yang relevan dengan filsafat pendidikan Muhammadiyah. Dengan cara ini, kami
bertujuan untuk menyajikan gambaran yang komprehensif tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, memahami peran mereka dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, dan
Menggali kembali bagaimana nilai-nilai agama, moralitas, serta adaptasi budaya memainkan peran
penting dalam dasar pemikiran pendidikan mereka.

PEMBAHASAN
A. Mengenal Muhammadiyah
Pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, yang bertepatan dengan 18 November 1912, terjadi
peristiwa bersejarah dalam pembentukan Muhammadiyah. Kejadian ini mencerminkan kelahiran
gerakan Islam modernis yang signifikan di Indonesia, memulai proses pembaruan dan penyucian
ajaran Islam di negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Gerakan ini diinisiasi oleh
KH Haji Ahmad Dahlan, seorang reformis Islam yang taat dan berpengetahuan luas, dikenal juga
sebagai Muhammad Darwis, berasal dari kota santri Kauman Yogyakarta.

Kata “Muhammadiyah” itu sendiri dilihat secara harfiah berarti “orang-orang yang beriman
kepada Nabi Muhammad. Penggunaan kata “Muhammadiyah” dimaksudkan untuk
menghubungkan (menisbahkan) ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Menurut H.
Djarnawi Hadikusuma, penamaan tersebut memiliki tujuan untuk memungkinkan pemahaman dan
praktik Islam sebagai ajaran serta teladan dari Nabi Muhammad SAW. Ini bertujuan agar individu
dapat menjalani kehidupan dunianya sebagaimana diharapkan. Oleh karena itu, Islam yang
diajarkan haruslah murni dan benar, mampu menginspirasi perkembangan umat Islam dan juga
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Organisasi Muhammadiyah lahir karena perjuangan KH Ahmad Dahlan. Setelah beliau


melakukan ziarah ke tanah suci dan kembali pada tahun 1903, mulailah upaya pembaruan di
Indonesia. Berdasarkan pengalaman belajar dari para imam dan ulama Indonesia di Mekah, seperti
Syekh Ahmad Khatib, KH Nawawi, KH Mas Abdullah, dan KH Faqih, KH Dahlan muncul dengan
gagasan reformasi yang menjadi dasar bagi Muhammadiyah.
Selain itu, dia juga menggali pemikiran-pemikiran yang merevolusi Islam, seperti yang
terdapat dalam karya-karya Ibnu Taimiya, Muhammad bin Abduh Wahab, Jamaluddin al Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dalam proses memahami dan berbagi pengetahuan selama
tinggal di Arab Saudi dengan para pemikir yang menyegarkan wawasan Islam, KH Dahlan
menyemai konsep-konsep peremajaan. Setelah kembali dari Arab Saudi, tujuannya bukanlah untuk
mempertahankan status, tetapi sebagai pencetus ide dan pendorong perubahan. Organisasi
Muhammadiyah terbentuk atas beberapa alasan. Pertama, adanya campuran dan penurunan mutu
dalam praktik keagamaan Islam di Indonesia. Kedua, kurangnya efisiensi lembaga-lembaga Islam
di Indonesia. Ketiga, upaya penyebaran agama Katolik dan Protestan. Terakhir, sikap tidak terlalu
peduli bahkan merendahkan, yang ditunjukkan oleh sebagian kalangan intelektual terhadap
Islam..1
Menurut sudut pandang ini, lahirnya Muhammadiyah dipicu oleh kesadaran mendalam akan
tanggung jawab sosial yang pada saat itu diabaikan. Namun, doktrin sosial Islam tidak sepenuhnya
mencerminkan realitas kehidupan umat pada masa itu. Dalam konteks semangat zaman itu, KH
Ahmad Dahlan dianggap sebagai sosok revolusioner. Saat banyak orang menekankan pentingnya
ziarah kubur, beliau justru pada tahun 1916 mengeluarkan fatwa yang menyatakan perbuatan
tersebut sebagai haram. Fatwa ini menciptakan kegemparan di kalangan masyarakat dan ulama
saat itu. Beliau juga dicap sebagai Mu’tazilah, Ingkar Sunnah, hingga disematkan label Wahabi,
menciptakan citra kontroversial bagi KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Masyarakat masih
mengingat peristiwa tahun 1898 ketika beliau mendukung perubahan arah kiblat di Masjid Gedhe
Kauman Yogyakarta, yang berisiko mengakibatkan penghancuran surau atau mushola yang baru
dibangun yang dilakukan oleh para penentangnya..2
Sejak awal, Muhammadiyah telah merumuskan strategi untuk membersihkan dan memperbaiki
keyakinan yang dianggap telah tercemar oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya pemahaman
umat Islam tentang agama dari sumber-sumber yang otentik. menyeleksi keyakinan sudah terlalu
lemah untuk menyaring unsur-unsur kepercayaan dari luar yang masuk ke dalam umat Islam.
Selain itu, secara praktis, Muhammadiyah pada awalnya ingin membuat orang merasa senang
dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Penerapan ajaran agama seharusnya menghasilkan
kedamaian dan kegembiraan, bukan menimbulkan kecemasan.

B. Pengertian Filsafat Pendidikan Muhammadiyah


K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah seorang yang tergolong sebagai man of action, secara
langsung turun ke lapangan dalam dakwah kepada masyarakat. Karena itu, warisan utamanya lebih
terfokus pada aksi nyata daripada tulisan. Untuk memahami lebih dalam orientasi filosofis
pendidikan yang digunakan oleh KH Ahmad Dahlan, perlu melihat bagaimana beliau membangun
sebuah sistem pendidikan. Pidato terakhir beliau yang berjudul “Tali Pengikat Hidup” menarik

1
Mustafa Kemal Pasha dan Ahmad Adabi Darban , “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif
Historis dan Idiologis. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI)”, Yogyakarta: 2003. Hlm. 5
2
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, hlm.
4
perhatian karena menunjukkan perhatian eksplisit terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat
dan logika berfikir. Ada tiga kalimat kunci yang mencerminkan minat tinggi KH Ahmad Dahlan
terhadap pencerahan akal, yaitu pengetahuan tentang kesatuan hidup yang bisa dicapai dengan
sikap kritis dan berfikir terbuka dengan menggunakan akal sehat, serta konsistensi terhadap
kebenaran akal dengan didasari hati yang tulus. Bagi Muhammadiyah, akal dianggap sebagai
kebutuhan dasar, sedangkan ilmu mantiq atau logika dianggap sebagai pendidikan tertinggi untuk
akal manusia, namun hal ini hanya bisa tercapai jika manusia menyerahkan diri pada petunjuk
Allah SWT.3
Pribadi dari KH Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat
dalam tafsir Al-Manar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi beliau
membuka selebar-lebarnya gerbang pemikiran rasionalitas melalui ajaran Islam itu sendiri,
menyerukan proses ijtihad dan menolak sebuah taqlid. Beliau dapat dikatakan sebagai suatu “role
model” dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan titik pusat dari suatu pergerakan yang
bangkit untuk menjawab sebuah tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang mana

berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan dalam pemahaman agama Islam.4

Muhammadiyah, sebagai organisasi, membangun fondasinya dengan berpegang teguh pada


ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di mata banyak orang, Muhammadiyah dianggap
sebagai gerakan Islam yang tidak terikat pada satu madzhab tertentu. Dalam upaya memahami dan
mendalami ajaran Islam, Muhammadiyah mengusung sikap tajdid dan ijtihad, sambil menjauhi
sikap taklid. Dalam konteks ini, "tajdid" berarti upaya pembaharuan, inovasi, restorasi, dan
modernisasi. Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah berusaha untuk merevitalisasi pemahaman
umat Islam terhadap agamanya, memberikan pencerahan bagi hati dan pikiran dengan
memperkenalkan kembali ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Muhammadiyah berfokus pada penerapan dan penghormatan terhadap Agama Islam untuk
menciptakan masyarakat Muslim yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Muhammadiyah
memperhatikan dan mengembangkan aspek-aspek kehidupan sosial dan ekonomi
untukmemastikan perkembangannya sesuai dengan ajaran Islam.

3
Nurcholish Madjid, “Tentang Cendekiawan dan Pembaharuan” dalam. Aswab Mahasin& Ismed Natsir (ed.)
Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES,1984. h. 310-314.
4
Ridwan Saidi, “Catatan di sekitar Regenerasi dalam Kelompok Islam” dalam Prisma No 2 Februari 1980. H. 23
Aspek-aspek seperti filosofis, psikologis, dan sosiologis dianggap penting dalam
membangun pendidikan yang baik yang dapat dijangkau oleh banyak orang. Dalam usahanya
memperbaiki ajaran Islam, Muhammadiyah meyakini bahwa aspek-aspek ini membentuk dasar
dari ajaran agama tersebut.5
Muhammadiyah menggunakan filsafat yang berakar pada agama Islam sebagai panduan.
Oleh karena itu, dalam kebijakannya, Muhammadiyah berusaha menyesuaikan kebijakan
pendidikan mereka dengan prinsip-prinsip filsafat yang didasarkan pada ajaran Islam.

C. Tujuan Pendidikan Filsafat Muhammadiyah


Pendidikan Muhammadiyah memiliki tujuan yang terbagi menjadi dua zaman, yakni di
periode sebelum perumusan resmi dan pada era perumusan yang terjadi secara formal. Di masa
sebelum perumusan, tujuan pendidikan sudah ada, namun belum diuraikan secara eksplisit dan
resmi karena tujuan organisasi masih tergabung dengan tujuan pendidikan, dengan penjelasan yang
langsung disampaikan oleh K.H Ahmad Dahlan yang berfokus pada tujuan pendidikan
Muhammadiyah.
Selama periode sebelum perumusan ini, terdapat perbedaan pemikiran yang terus
berkembang, hingga akhirnya tujuan organisasi bersinggungan dengan tujuan pendidikan
Muhammadiyah pada era sebelum perumusan. Tujuan tersebut telah direvisi sebagai berikut:

1. Tujuan Muhammadiyah pada tahun 1921, yakni memajukan dan menggembirakan


pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Netherland

2. Memajukan dan menggermbirakan cara untuk kehidupan sepanjang kemauan agama Islam
kepada segala sekutunya.
Dalam meneliti dan mengkaji perumusan tujuan di atas, penting untuk mempertimbangkan
aspek historis dan kontekstualnya. Pengertian "pengajar" merujuk pada sosok yang mendidik,
seperti kaum intelektual atau cendekiawan. Sementara "pelajaran" berasal dari kata dasar "pelajar"
yang mengacu pada peserta didik, santri, atau mahasiswa. Berdasarkan pemahaman ini, pemimpin
atau anggota Muhammadiyah dapat dianggap sebagai guru dan murid yang berupaya sungguh-

5
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, h. 6
sungguh untuk mendalami dan memahami Islam dalam suasana yang membawa kebahagiaan.7

Kemudian, tujuan pendidikan Muhammadiyah didasarkan pada zamannya, yakni awal abad ke-20,
di mana terjadi lompatan besar dalam pandangan masyarakat terhadap pendidikan. Pada masa itu,
santri cenderung memiliki orientasi religius dan pendidikannya berpusat di pesantren dengan fokus
pada Mekah, sedangkan golongan sekuler lebih memilih sekolah Belanda untuk pendidikan anak-
anak mereka.

Pendidikan di pesantren bertujuan melatih para ahli agama, berbeda dengan sekolah Belanda
yang menekankan keterampilan yang bermanfaat dalam era Modern. Dualisme dalam sistem
pendidikan ini menghasilkan pemisahan dalam masyarakat, antara kelompok santri yang menjadi
ahli agama dan kelompok sekuler yang memiliki keterampilan praktis. Muhammadiyah hadir
sebagai penengah dalam dikotomi ini, berupaya menghasilkan ahli agama yang juga memiliki
wawasan intelektual.
Pada era perumusan formal, tujuan Muhammadiyah pada dasarnya adalah usaha untuk
mendalami kembali aspirasi pendidikan yang digelorakan oleh K.H Ahmad Dahlan sebagai pendiri
organisasi tersebut. Perumusan formal masih terhubung erat dengan gagasan pendiri, bukan
menjadi entitas yang berdiri sendiri.6
Tujuan pendidikan Muhammadiyah telah mengalami berbagai perubahan dan modifikasi,
yang pada akhirnya menjadi landasan bagi pembentukan pendidikan yang sesuai dengan gagasan
intelektual kaum Muslim.

Dalam konteks ini, tujuan pendidikan Muhammadiyah lebih mendekati teori pendidikan
progresif. Namun, karena landasannya yang bersifat keagamaan, pendidikan Muhammadiyah
memiliki ciri progresif yang terkait dengan nilai-nilai keagamaan.

D. Metode Praksis Filsafat Pendidikan Muhammadiyah


Setelah seratus tahun berdirinya Muhammadiyah, baru pada tahun 2010 organisasi tersebut

6
Rusli Karim. “Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Perspektif Islam dalam M.Yunan Yusuf dkk. (ed.). Cita dan

Citra Muhammadiyah”. (Jakarta: Pustaka Panjimas), 1985. h. 5


merumuskan filsafat pendidikannya. Keputusan ini disahkan dalam Muktamar Satu Abad
Muhammadiyah, yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 3-8 Juli 2010. Secara tegas dinyatakan
bahwa Pendidikan Muhammadiyah bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan
individu untuk tumbuh sebagai manusia yang menyadari keberadaan Allah SWT dan memiliki
pengetahuan, teknologi, dan seni (Iptek).
Muhammadiyah berharap agar individu memiliki dua jenis kesadaran melalui lingkungan
pendidikan yang mereka sediakan: kesadaran spiritual di satu sisi dan kesadaran terhadap
penguasaan Iptek di sisi lainnya. Dengan kedua kesadaran tersebut, individu diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, peduli terhadap sesama yang menderita akibat
kebodohan dan kemiskinan, serta berupaya untuk menyebarkan kemakmuran dan mencegah
kemungkaran sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, dalam kerangka kehidupan bersama yang
ramah lingkungan.

Pendidikan Muhammadiyah didefinisikan sebagai pendidikan Islam modern yang


menggabungkan agama dengan kehidupan, serta menyatukan iman dan kemajuan secara holistik,
sesuai dengan warisan pendidikan integral yang ditinggalkan oleh KH Ahmad Dahlan. Dalam
rumusan ini, pendidikan Muhammadiyah dimaksudkan untuk melahirkan generasi Muslim yang
terpelajar, kuat dalam iman dan kepribadian, serta siap menghadapi dan menjawab tantangan
zaman.
Dengan dua kesadaran tersebut, individu akan memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup secara independen, peduli terhadap sesama yang menderita akibat kekurangan
pengetahuan dan kemiskinan, serta berkomitmen untuk menyebarkan kemakmuran dan mencegah
perbuatan yang tidak terpuji sebagai bentuk penghormatan terhadap kemanusiaan dalam
lingkungan yang mendukung kehidupan bersama yang ramah terhadap lingkungan, dalam konteks
bangsa yang adil, beradab, dan sejahtera sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Dalam konteks warisan integrasi pendidikan yang ditinggalkan oleh KH Ahmad Dahlan,
pendidikan Muhammadiyah ditegaskan sebagai pendidikan Islam modern yang menggabungkan
aspek agama dengan kehidupan sehari-hari, serta mengharmoniskan iman dan kemajuan secara
menyeluruh. Tujuan dari pendidikan Islam ini adalah untuk menciptakan generasi Muslim
terpelajar yang memiliki keteguhan iman dan kepribadian yang tangguh, mampu menghadapi serta
menyelesaikan tantangan zaman. Lebih lanjut, disebutkan bahwa Ilmu Pengetahuan (Iptek)
dihasilkan dari pemikiran rasional yang menyeluruh terhadap realitas alam semesta (ayat kauniah)
dan wahyu. Selain itu, terdapat tiga metode yang dipakai untuk mengembangkan pendidikan
Muhammadiyah. Sebagai berikut :

1) Sekolah menanamkan nilai agama, bahwa hanya Allah SWT yang Maha Benar yang wajib
ditakuti dan tidak perlu takut kepada selain-Nya. Jika ada keliruan maka harus diingatkan
pada tempatnya sekalipun itu guru atau orang tua.

2) Sekolah mengembangkan model pembelajaran inklusif. Dengan jumlah siswa yang


dibatasi yakni 30 siswa perkela, paling banyak diajar oleh 2 guru, hal tersebut dilakukan
agar guru dapat mengetahui potensi setiap muridnya sehingga dapat menumbuhkan potensi
tersebut secara optimal.
3) Anak-anak menunjukkan semangat yang tinggi dalam menerapkan ajaran agama Islam
dengan berpartisipasi aktif dalam kegiatan berjamaah di masjid sejak kelas dasar atau kelas
1. Bahkan, beberapa di antara mereka telah konsisten dalam menjalankan shalat tahajud
secara rutin. Keadaan ini terjadi berkat pendekatan praktis dalam pembelajaran agama.
Agama tidak sekadar berfokus pada aspek intelektual yang terdiri dari konsep-konsep
abstrak atau sekadar dihafal, melainkan melalui praktik langsung dalam melaksanakan apa
yang diajarkan oleh Islam dan menghindari larangan-larangannya..7
E. Implementasi Filsafat Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah berupaya keras mendirikan institusi pendidikan seperti universitas atau
sekolah yang unggul. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan formulasi landasan filosofis
pendidikan yang tegas agar lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dapat ditempatkan di
garis depan pendidikan nasional, memperkuat posisinya sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang strategis, serta menjadikannya pusat penyebaran ajaran Islam.
Pendidikan Islam yang berbasis integralistik merupakan suatu sistem pendidikan yang
membentuk perasaan para murid sehingga sikap, tindakan, keputusan, dan cara mereka mendekati
segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan kesadaran etis Islam. Meskipun
konsep ini sudah lama ada, namun pelaksanaannya selalu menantang. Setelah hampir satu abad,
dualitas pendidikan Islam telah mengalami pembaharuan, namun tantangan dalam
mengimplementasikannya tetap ada.8

7
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, hlm.
7
8
Sajjad Husain & Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam. Bandung: Gema Risalah Press,
1994. hlm. 1.
Keadaan bisa menjadi kacau jika tidak ada orientasi filosofis dalam pendidikan, atau jika
kebijakan pendidikan nasional belum jelas karena setiap kali ada pergantian menteri, kebijakannya
berubah. Jika pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dipilih sebagai fokusnya,
maka dibutuhkan keberanian untuk memilih jalur yang berbeda dengan aturan pemerintah. Pondok
Gontor, sebagai contoh, bisa menjadi alternatif karena memberikan kebebasan berpikir dan
berbahasa, serta mampu membuktikan bahwa peserta didik menjadi unggul.
Dari segi kurikulum, sekolah atau universitas Muhammadiyah mirip dengan institusi negeri
dengan tambahan pelajaran agama Islam. Namun, jika terlalu banyak mata pelajaran,
perkembangan anak bisa terbebani, yang akhirnya jarang menghasilkan individu unggul dari
lembaga pendidikan. Mungkin sudah saatnya untuk merumuskan kembali pendekatan
kemuhammadiyahan dan Islam yang terintegrasi dengan pelajaran umum, atau setidaknya
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Sebagai contoh, penilaian materi Al-Qur'an dan
ibadah serta penggunaan metode praktik langsung menjadi fokus, tidak hanya terpaku pada ujian
tulis seperti yang umumnya digunakan saat ini. Orientasi filosofis pendidikan dinyatakan dengan
pentingnya sensitivitas dalam pendidikan Islam (Muhammadiyah) untuk memenuhi kebutuhan
baru yang muncul dari aspirasi masyarakat dan pemahaman yang menyeluruh terhadap
perkembangan kehidupan dengan strategi yang sesuai. sebagai berikut:
1. Penguatan Bangunan Filosofis
Pada tingkat awal yang terkait dengan fondasi filosofis, pendidikan Islam perlu mengadopsi
beberapa aspek agar tidak hanya menemukan solusi bagi permasalahan yang dihadapi, tetapi juga
mengubahnya menjadi keunggulan dan kekuatan dalam konteks pendidikan Islam itu sendiri..
Aspek-aspek dimaksud di antaranya adalah :

1) Penguatan konsep ta’lim, ta’dib dan tarbiyah.

2) Penguatan hubungan maMuhammadiyahsia dengan tuhan serta maMuhammadiyahsia


dengan sesama alam

2.Penguatan Praktik Pembelajaran


Pada tahap kedua yang terkait dengan pengembangan praktik pembelajaran, terdapat
beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh pendidikan Islam di Indonesia. Aspek-aspek tersebut
mencakup kebijakan kurikulum, metode pengajaran, serta fasilitas dan infrastruktur.
Penyempurnaan pada bidang ini bertujuan agar tidak hanya menemukan solusi untuk tantangan
dalam pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia, tetapi juga mengubah permasalahan tersebut
menjadi keunggulan dan pilar kekuatan pendidikan Islam.

1) Pengembangan kebijakan kurikulum yang dinamis danprogresif

2) Pengembangan moral dan masyarakat yang mengalami perubahan membutuhkan nila-nilai


islami sebagai ketentuan standar dalam pendidikan Islam

3) Dalam menghadapi norma sekuler, peserta didik memerlukan peran pendidikan Islam
sebagai dasar dalam pengembangan moral itu sendiri, pengendali, serta pertimbangan
tingkah lakunya.
4) Peserta didik mampu menjadi sumber daya insani yang berkualitas apabila mereka
menggunakan norma islam dapat menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam
menghadapi goncangan hidup di era globalisasi.
5) Untuk memastikan kohesi dan kesatuan umat Islam yang kuat, sambil tetap memperhatikan
kepentingan lingkungan bangsa-bangsa, diperlukan nilai-nilai Islam sebagai fondasi yang
mengikat kehidupan bersama.

6) Agar tidak muncul pandangan yang dikotomis diperlukan sifat ambivalensi pendidikan
Islam.9

9
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, h.
10
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan Muhammadiyah sangat terkait dengan ide dan konsep yang diwarisi dari
K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau dikenal sebagai seorang "man of action"
yang terlibat langsung dengan masyarakat, fokus dalam membangun Muhammadiyah, dan
menjadikan pendidikan sebagai prioritas utamanya. Melalui bidang pendidikan ini, KH Ahmad
Dahlan menggagas perubahan dengan mengadvokasi ijtihad, menolak taklid, serta mengacu pada
ajaran Al-Quran dan Sunnah.

beliau berupaya mengintegrasikan akal dan hati dalam Muhammadiyah, dengan fokus pada
penyatuan ilmu pengetahuan agama dan umum yang saling mendukung, untuk memperkuat iman
dan kemajuan peradaban melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dia bangun. Dari landasan ide
dan konsep tersebut, Muhammadiyah merumuskan filsafat pendidikannya yang menekankan
bahwa pendidikan merupakan pembentukan lingkungan yang memungkinkan individu untuk
tumbuh sebagai manusia Muhammadiyah yang menyadari kehadiran Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim;Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan
Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS. 1993

1990. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial.

Jakarta: Bumi Aksara.

Diah, Rahma dan Azizah, Nurul, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam”, 2021.

Abdul Mukti Ali. 1985. Interpretasi Amalan Muhammadiyah. Jakarta: Harapan Melati.

1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers.

Achmadi. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta Aditya Media.
Ahmad Syafii Maarif. “Pendidikan Muhammadiyah: Aspek Normatif dan Filosofis” dalam M
Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. 2000.

Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP


Muhammadiyah.

Ahmad D. Marimba.1989. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: AlMaarif.

Amir Hamzah Wirjosukarto.1968. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran yang diselenggarakan


oleh Pergerakan Muhammadiyah.Malang: Ken Mutia.

Brubacher, John S. Modern Philosophies of Education. New York: McGraw-Hill Book Company.
1978

CA van Peursen. 1980. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia.

HM Arifin.1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Imam Barnadib. 1982. Arti dan Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:FIPIKIP Yogyakarta.

Karel A. Steenbrink.1994. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern.

Jakarta; LP3ES.

Marpuji Ali, Mohamad Ali, “Meretas Sekolah Unggul dan Menata Majlis Dikdasmen
Muhammadiyah” dalam Suara Muhammadiyah 115 Oktober 2004.
M. Sholeh YAI & Mohamad Ali. “MeMuhammadiyahju Kurikulum Berbasis Tauhid” dalam PK
Media edisi II/2004.
MT Arifin.1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan.

Jakarta: Pustaka Jaya.

M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Sebuah Perumusan
Awal” dalam M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir (ed.). 2000. Filsafat Pendidikan
Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah.

M. Rusli Karim. “Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Perspektif Islam” dalam M.Yunan Yusuf
dkk. (ed.). 1985. Cita dan Citra Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Mahsun Suyuthi. “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Kembali Tergugat” dalam Amien Rais
(ed). 1984. Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M M.
Quraish Shihab. 1993. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Muhammad Quthb. 1984. Sistem Pendidikan Islam. Terjemahan Salman Harun. Bandung:
AlMa’arif

Noeng Muhadjir.1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam. Surabaya: Karya
Abditama.

ty

Anda mungkin juga menyukai