Abdur Rachman
Abdurrachman23@gmail.com
Abstract. One of the philosophical problems of education is the discussion about educators.
Muhammadiyah, which is more than a century old, does not yet have an ideal formulation that is
clearly conceptualized and systematized regarding educators. This article discusses
Muhammadiyah's philosophy of education, also as the largest Islamic organization in Indonesia.
The focus of this research is to analyze the praxis, views and basic principles in Muhammadiyah's
educational foundation. The research method used is qualitative literature analysis and
understanding the historical and social context of this organization. This article also explores
Muhammadiyah's educational goals, which are divided into two eras, namely in the preformulation
era and the formal formulation era. Through the process of analyzing, this article seeks to provide
a deeper insight into Muhammadiyah's educational philosophy, their role in the development of
education in Indonesia, as well as the methods used in developing Muhammadiyah education.
Muhammadiyah's educational philosophy reflects deep meaning and value in shaping education
that combines religious values, morality, and cultural adaptation.
PENDAHULUAN
KH Ahmad Dahlan merupakan pendiri Muhammadiyah, terlebih dahulu mendirikan sekolah
di rumahnya lalu mendirikan sebuah persyarikatan Muhammadiyah. Bukan hal yang termasuk
berlebihan akan tetapi berdirinya persyarikatan Muhammdaiyah untuk menjamin keberlangsungan
pendidikan Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 H, atau 18
November 1912, karena keadaan umat Islam yang sangat memprihatinkan pada saat itu. Pada saat
itu, umat Islam menderita tiga penyakit kronis seperti kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. miskin karena bodoh, dan bodoh karena terbelakang. Ini adalah lingkaran yang
tidak berujung, bertepi, serta tidak terputus.
Organisasi Muhammadiyah diidentifikasi sebagai sebuah entitas yang inklusif dan progresif,
didirikan dengan tujuan mempromosikan pentingnya ketergantungan pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Hal ini dilakukan untuk mengatasi praktik-praktik yang terkait dengan kepercayaan buta, inovasi
yang tidak didasarkan pada ajaran agama, dan kepercayaan tak masuk akal, tanpa memihak pada
salah satu madzhab atau pandangan khusus. Kemajuan inklusif ini telah memfasilitasi
Muhammadiyah dalam melakukan reformasi di berbagai bidang, terutama dalam pendidikan.
Upaya pembaharuan pendidikan Muhammadiyah yang menggunakan model pendidikan secara
nasional menunjukkan citra lengkap sebagai organisasi yang inklusif dan progresif, sambil tetap
mempertahankan tujuan dan identitasnya dalam menyelenggarakan pendidikan Muhammadiyah.
METODE
Dalam artikel ini, kami menyajikan hasil yang berasal dari penelitian yang dilakukan melalui
analisis literatur kualitatif. Informasi untuk penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
dari berbagai sumber yang terdapat dalam literatur yang ada. Pendekatan ilmiah ini membutuhkan
tinjauan filosofis yang kritis terhadap berbagai sumber literatur, termasuk buku, jurnal ilmiah, dan
artikel berita yang relevan dengan filsafat pendidikan Muhammadiyah. Dengan cara ini, kami
bertujuan untuk menyajikan gambaran yang komprehensif tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, memahami peran mereka dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, dan
Menggali kembali bagaimana nilai-nilai agama, moralitas, serta adaptasi budaya memainkan peran
penting dalam dasar pemikiran pendidikan mereka.
PEMBAHASAN
A. Mengenal Muhammadiyah
Pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, yang bertepatan dengan 18 November 1912, terjadi
peristiwa bersejarah dalam pembentukan Muhammadiyah. Kejadian ini mencerminkan kelahiran
gerakan Islam modernis yang signifikan di Indonesia, memulai proses pembaruan dan penyucian
ajaran Islam di negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Gerakan ini diinisiasi oleh
KH Haji Ahmad Dahlan, seorang reformis Islam yang taat dan berpengetahuan luas, dikenal juga
sebagai Muhammad Darwis, berasal dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata “Muhammadiyah” itu sendiri dilihat secara harfiah berarti “orang-orang yang beriman
kepada Nabi Muhammad. Penggunaan kata “Muhammadiyah” dimaksudkan untuk
menghubungkan (menisbahkan) ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Menurut H.
Djarnawi Hadikusuma, penamaan tersebut memiliki tujuan untuk memungkinkan pemahaman dan
praktik Islam sebagai ajaran serta teladan dari Nabi Muhammad SAW. Ini bertujuan agar individu
dapat menjalani kehidupan dunianya sebagaimana diharapkan. Oleh karena itu, Islam yang
diajarkan haruslah murni dan benar, mampu menginspirasi perkembangan umat Islam dan juga
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
1
Mustafa Kemal Pasha dan Ahmad Adabi Darban , “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif
Historis dan Idiologis. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI)”, Yogyakarta: 2003. Hlm. 5
2
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, hlm.
4
perhatian karena menunjukkan perhatian eksplisit terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat
dan logika berfikir. Ada tiga kalimat kunci yang mencerminkan minat tinggi KH Ahmad Dahlan
terhadap pencerahan akal, yaitu pengetahuan tentang kesatuan hidup yang bisa dicapai dengan
sikap kritis dan berfikir terbuka dengan menggunakan akal sehat, serta konsistensi terhadap
kebenaran akal dengan didasari hati yang tulus. Bagi Muhammadiyah, akal dianggap sebagai
kebutuhan dasar, sedangkan ilmu mantiq atau logika dianggap sebagai pendidikan tertinggi untuk
akal manusia, namun hal ini hanya bisa tercapai jika manusia menyerahkan diri pada petunjuk
Allah SWT.3
Pribadi dari KH Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat
dalam tafsir Al-Manar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi beliau
membuka selebar-lebarnya gerbang pemikiran rasionalitas melalui ajaran Islam itu sendiri,
menyerukan proses ijtihad dan menolak sebuah taqlid. Beliau dapat dikatakan sebagai suatu “role
model” dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan titik pusat dari suatu pergerakan yang
bangkit untuk menjawab sebuah tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang mana
berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan dalam pemahaman agama Islam.4
3
Nurcholish Madjid, “Tentang Cendekiawan dan Pembaharuan” dalam. Aswab Mahasin& Ismed Natsir (ed.)
Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES,1984. h. 310-314.
4
Ridwan Saidi, “Catatan di sekitar Regenerasi dalam Kelompok Islam” dalam Prisma No 2 Februari 1980. H. 23
Aspek-aspek seperti filosofis, psikologis, dan sosiologis dianggap penting dalam
membangun pendidikan yang baik yang dapat dijangkau oleh banyak orang. Dalam usahanya
memperbaiki ajaran Islam, Muhammadiyah meyakini bahwa aspek-aspek ini membentuk dasar
dari ajaran agama tersebut.5
Muhammadiyah menggunakan filsafat yang berakar pada agama Islam sebagai panduan.
Oleh karena itu, dalam kebijakannya, Muhammadiyah berusaha menyesuaikan kebijakan
pendidikan mereka dengan prinsip-prinsip filsafat yang didasarkan pada ajaran Islam.
2. Memajukan dan menggermbirakan cara untuk kehidupan sepanjang kemauan agama Islam
kepada segala sekutunya.
Dalam meneliti dan mengkaji perumusan tujuan di atas, penting untuk mempertimbangkan
aspek historis dan kontekstualnya. Pengertian "pengajar" merujuk pada sosok yang mendidik,
seperti kaum intelektual atau cendekiawan. Sementara "pelajaran" berasal dari kata dasar "pelajar"
yang mengacu pada peserta didik, santri, atau mahasiswa. Berdasarkan pemahaman ini, pemimpin
atau anggota Muhammadiyah dapat dianggap sebagai guru dan murid yang berupaya sungguh-
5
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, h. 6
sungguh untuk mendalami dan memahami Islam dalam suasana yang membawa kebahagiaan.7
Kemudian, tujuan pendidikan Muhammadiyah didasarkan pada zamannya, yakni awal abad ke-20,
di mana terjadi lompatan besar dalam pandangan masyarakat terhadap pendidikan. Pada masa itu,
santri cenderung memiliki orientasi religius dan pendidikannya berpusat di pesantren dengan fokus
pada Mekah, sedangkan golongan sekuler lebih memilih sekolah Belanda untuk pendidikan anak-
anak mereka.
Pendidikan di pesantren bertujuan melatih para ahli agama, berbeda dengan sekolah Belanda
yang menekankan keterampilan yang bermanfaat dalam era Modern. Dualisme dalam sistem
pendidikan ini menghasilkan pemisahan dalam masyarakat, antara kelompok santri yang menjadi
ahli agama dan kelompok sekuler yang memiliki keterampilan praktis. Muhammadiyah hadir
sebagai penengah dalam dikotomi ini, berupaya menghasilkan ahli agama yang juga memiliki
wawasan intelektual.
Pada era perumusan formal, tujuan Muhammadiyah pada dasarnya adalah usaha untuk
mendalami kembali aspirasi pendidikan yang digelorakan oleh K.H Ahmad Dahlan sebagai pendiri
organisasi tersebut. Perumusan formal masih terhubung erat dengan gagasan pendiri, bukan
menjadi entitas yang berdiri sendiri.6
Tujuan pendidikan Muhammadiyah telah mengalami berbagai perubahan dan modifikasi,
yang pada akhirnya menjadi landasan bagi pembentukan pendidikan yang sesuai dengan gagasan
intelektual kaum Muslim.
Dalam konteks ini, tujuan pendidikan Muhammadiyah lebih mendekati teori pendidikan
progresif. Namun, karena landasannya yang bersifat keagamaan, pendidikan Muhammadiyah
memiliki ciri progresif yang terkait dengan nilai-nilai keagamaan.
6
Rusli Karim. “Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Perspektif Islam dalam M.Yunan Yusuf dkk. (ed.). Cita dan
Dalam konteks warisan integrasi pendidikan yang ditinggalkan oleh KH Ahmad Dahlan,
pendidikan Muhammadiyah ditegaskan sebagai pendidikan Islam modern yang menggabungkan
aspek agama dengan kehidupan sehari-hari, serta mengharmoniskan iman dan kemajuan secara
menyeluruh. Tujuan dari pendidikan Islam ini adalah untuk menciptakan generasi Muslim
terpelajar yang memiliki keteguhan iman dan kepribadian yang tangguh, mampu menghadapi serta
menyelesaikan tantangan zaman. Lebih lanjut, disebutkan bahwa Ilmu Pengetahuan (Iptek)
dihasilkan dari pemikiran rasional yang menyeluruh terhadap realitas alam semesta (ayat kauniah)
dan wahyu. Selain itu, terdapat tiga metode yang dipakai untuk mengembangkan pendidikan
Muhammadiyah. Sebagai berikut :
1) Sekolah menanamkan nilai agama, bahwa hanya Allah SWT yang Maha Benar yang wajib
ditakuti dan tidak perlu takut kepada selain-Nya. Jika ada keliruan maka harus diingatkan
pada tempatnya sekalipun itu guru atau orang tua.
7
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, hlm.
7
8
Sajjad Husain & Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam. Bandung: Gema Risalah Press,
1994. hlm. 1.
Keadaan bisa menjadi kacau jika tidak ada orientasi filosofis dalam pendidikan, atau jika
kebijakan pendidikan nasional belum jelas karena setiap kali ada pergantian menteri, kebijakannya
berubah. Jika pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dipilih sebagai fokusnya,
maka dibutuhkan keberanian untuk memilih jalur yang berbeda dengan aturan pemerintah. Pondok
Gontor, sebagai contoh, bisa menjadi alternatif karena memberikan kebebasan berpikir dan
berbahasa, serta mampu membuktikan bahwa peserta didik menjadi unggul.
Dari segi kurikulum, sekolah atau universitas Muhammadiyah mirip dengan institusi negeri
dengan tambahan pelajaran agama Islam. Namun, jika terlalu banyak mata pelajaran,
perkembangan anak bisa terbebani, yang akhirnya jarang menghasilkan individu unggul dari
lembaga pendidikan. Mungkin sudah saatnya untuk merumuskan kembali pendekatan
kemuhammadiyahan dan Islam yang terintegrasi dengan pelajaran umum, atau setidaknya
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Sebagai contoh, penilaian materi Al-Qur'an dan
ibadah serta penggunaan metode praktik langsung menjadi fokus, tidak hanya terpaku pada ujian
tulis seperti yang umumnya digunakan saat ini. Orientasi filosofis pendidikan dinyatakan dengan
pentingnya sensitivitas dalam pendidikan Islam (Muhammadiyah) untuk memenuhi kebutuhan
baru yang muncul dari aspirasi masyarakat dan pemahaman yang menyeluruh terhadap
perkembangan kehidupan dengan strategi yang sesuai. sebagai berikut:
1. Penguatan Bangunan Filosofis
Pada tingkat awal yang terkait dengan fondasi filosofis, pendidikan Islam perlu mengadopsi
beberapa aspek agar tidak hanya menemukan solusi bagi permasalahan yang dihadapi, tetapi juga
mengubahnya menjadi keunggulan dan kekuatan dalam konteks pendidikan Islam itu sendiri..
Aspek-aspek dimaksud di antaranya adalah :
3) Dalam menghadapi norma sekuler, peserta didik memerlukan peran pendidikan Islam
sebagai dasar dalam pengembangan moral itu sendiri, pengendali, serta pertimbangan
tingkah lakunya.
4) Peserta didik mampu menjadi sumber daya insani yang berkualitas apabila mereka
menggunakan norma islam dapat menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam
menghadapi goncangan hidup di era globalisasi.
5) Untuk memastikan kohesi dan kesatuan umat Islam yang kuat, sambil tetap memperhatikan
kepentingan lingkungan bangsa-bangsa, diperlukan nilai-nilai Islam sebagai fondasi yang
mengikat kehidupan bersama.
6) Agar tidak muncul pandangan yang dikotomis diperlukan sifat ambivalensi pendidikan
Islam.9
9
Rahma Diah, Nurul Azizah, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”, h.
10
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan Muhammadiyah sangat terkait dengan ide dan konsep yang diwarisi dari
K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau dikenal sebagai seorang "man of action"
yang terlibat langsung dengan masyarakat, fokus dalam membangun Muhammadiyah, dan
menjadikan pendidikan sebagai prioritas utamanya. Melalui bidang pendidikan ini, KH Ahmad
Dahlan menggagas perubahan dengan mengadvokasi ijtihad, menolak taklid, serta mengacu pada
ajaran Al-Quran dan Sunnah.
beliau berupaya mengintegrasikan akal dan hati dalam Muhammadiyah, dengan fokus pada
penyatuan ilmu pengetahuan agama dan umum yang saling mendukung, untuk memperkuat iman
dan kemajuan peradaban melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dia bangun. Dari landasan ide
dan konsep tersebut, Muhammadiyah merumuskan filsafat pendidikannya yang menekankan
bahwa pendidikan merupakan pembentukan lingkungan yang memungkinkan individu untuk
tumbuh sebagai manusia Muhammadiyah yang menyadari kehadiran Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim;Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan
Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS. 1993
1990. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial.
Diah, Rahma dan Azizah, Nurul, “ Pendidikan Muhammadiyah Ditinjau dari Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam”, 2021.
Abdul Mukti Ali. 1985. Interpretasi Amalan Muhammadiyah. Jakarta: Harapan Melati.
Achmadi. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta Aditya Media.
Ahmad Syafii Maarif. “Pendidikan Muhammadiyah: Aspek Normatif dan Filosofis” dalam M
Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. 2000.
Brubacher, John S. Modern Philosophies of Education. New York: McGraw-Hill Book Company.
1978
Imam Barnadib. 1982. Arti dan Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:FIPIKIP Yogyakarta.
Karel A. Steenbrink.1994. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern.
Jakarta; LP3ES.
Marpuji Ali, Mohamad Ali, “Meretas Sekolah Unggul dan Menata Majlis Dikdasmen
Muhammadiyah” dalam Suara Muhammadiyah 115 Oktober 2004.
M. Sholeh YAI & Mohamad Ali. “MeMuhammadiyahju Kurikulum Berbasis Tauhid” dalam PK
Media edisi II/2004.
MT Arifin.1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan.
M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Sebuah Perumusan
Awal” dalam M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir (ed.). 2000. Filsafat Pendidikan
Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah.
M. Rusli Karim. “Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Perspektif Islam” dalam M.Yunan Yusuf
dkk. (ed.). 1985. Cita dan Citra Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Mahsun Suyuthi. “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Kembali Tergugat” dalam Amien Rais
(ed). 1984. Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M M.
Quraish Shihab. 1993. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Muhammad Quthb. 1984. Sistem Pendidikan Islam. Terjemahan Salman Harun. Bandung:
AlMa’arif
Noeng Muhadjir.1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam. Surabaya: Karya
Abditama.
ty