Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TENTANG
PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DAN
JAWAB MENJAWAB DI PERSIDANGAN

DOSEN PENGAMPU
Hj. Ida Mursidah, S.H, M.M, M.H.

DISUSUN OLEH :
HKI/D/5 KELOMPOK 4

[181110121] MUCHAMAD RIDHO


[181110145] CICIH MONICA
[181110147] RISKA AMALIA
[181110150] AKBAR AMIN FARUQ

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
Universitas Islam Negeri
SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN
Tahun akademik 2020/2021
Jl. Jenderal Sudirman No. 30 Serang Banten 42118
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan berbagai kenikmatan yang tiada
terhingga banyaknya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan pada baginda alam Nabi besar
Muhammad Saw. Semoga kita termasuk umat yang mendapat syafaat darinya, aamiin.
Makalah ini yang berjudul MAKALAH TENTANG PEMERIKSAAN
PERKARA PERDATA DAN JAWAB MENJAWAB DI PERSIDANGAN disusun
untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah HUKUM ACARA PERDATA,
dengan dosen pengampu ibu Hj. Ida Mursidah, S.H, M.M, M.H.
Dalam pembuatan makalah ini penyusun menyadari bahwasanya tulisan ini masih
banyak kekurangan dan jauh pula dari kesempurnaan karena kesempurnaan itu
sesungguhnya hanyalah milik Allah semata. Akhir kata penyusun ucapkan semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Tak lupa kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangatlah penyusun nantikan.

Serang, 25 Oktober 2020

Penyusun

MAKALAH TENTANG PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA


[ HKI/D/5 - kelompok 4 ]
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii

BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
A. Latar belakang ........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................................... 2

BAB II ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 3
A. Pemeriksaan Perkara perdata ..................................................................................... 3
B. Pencabutan dan Perubahan Gugatan .......................................................................... 3
1. Pencabutan Gugatan ............................................................................................ 3
2. Perubahan Gugatan ............................................................................................. 4
C. Perdamaian ................................................................................................................ 5
D. Pembacaan Gugatan .................................................................................................. 7
E. Perihal Jawaban ........................................................................................................ 8
F. Tahapan Replik dan Duplik ...................................................................................... 9
G. Gugatan Balik (Rekonvensi) ..................................................................................... 11
H. Tahapan Konklusi ..................................................................................................... 12

BAB III ................................................................................................................................. 13


PENUTUP ............................................................................................................................. 13
SIMPULAN .......................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan bagaimana pengadilan harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum
Perdata. Sedangkan menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH., (1988:4)
mengemukakan bahwa objek dari pada Ilmu Hukum Acara Perdata ialah keseluruhan
peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan Hukum
Perdata Materiil dengan perantaraan kekuasaan negara yang terjadi di pengadilan
Perkara perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan.Pengertian Perkara Perdata
tentang hubungan keperdataan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya apabila
terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara
umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil-
adilnya. Perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak hanya
terhadap perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh para
pihak, tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu permohonan
penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai
oleh pihak yang berkepentingan agar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan.
Umumnya dalam permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajukan
oleh pihak yang berkepentingan tidak mengandung sengketa karena permohonannya
dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pemeriksaan perkara perdata dalam hukum acara perdata ?
b. Bagaimana proses pencabutan dan perubahan gugatan dalam persidangan ?
c. Bagaimana proses perdamaian dalam persidangan ?
d. Bagaimana proses pembacaan gugatan dalam persidangan?
e. Bagaimana proses jawab menjawab dalam persidangan ?
f. Apa saja tahapan dalam replik dan duplik ?
g. Bagaimana proses gugatan balik ?
h. Bagaimana tahapan dalam konklusi ?

1
C. Tujuan
a. Mengetahui pemeriksaan perkara perdata dalam hukum acara perdata
b. Mengetahui proses pencabutan dan perubahan gugatan dalam persidangan.
c. Mengetahui proses perdamaian dalam persidangan.
d. Mengetahui proses pembacaan gugatan dalam persidangan.
e. Mengetahui proses jawab menjawab dalam persidangan.
f. Mengetahui tahapan dalam replik dan duplik.
g. Mengetahui proses gugatan balik.
h. Mengetahui tahapan dalam konklusi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Perkara Perdata


Pemeriksaan perkara dalam sidang, menurut ketentuan sistem reglemen
Indonesia berjalan secara lisan. Hakim mendengar kedua belah pihak, dan kedua pihak
tersebut memajukan segala sesuatu secara lisan, sedang panitera pengadilan mencatat
segala pemeriksaan dalam suatu catatan sidang (procesverbaal) 1.
Menurut pasal 132 Reglemen Indonesia, hakim akan memberikan penerangan
selayaknya kepada kedua belah pihak dan akan memperingatkan mereka tentang syarat-
syarat hukum dan alat-alat bukti yang dipergunakannya. Diantara tindakan hakim dalam
pemeriksaan perkara, yang penting ialah pemanggilan dan pendengaran saksi. Pasal 121
Reglemen Indonesia menentukan bahwa pada waktu kedua belah pihak dipanggil untuk
menghadap, maka mereka diperintahkan untuk membawa orang-orang yang akan mereka
ajukan sebagai saksi. Pada permulaan sidang, dimana kedua belah pihak hadir, maka
hakim diwajibkan untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak. (pasal 130 ayat 1
Reglemen Indonesia). Apabila perdamaian yang diusahakan oleh hakim tercapai, maka
proses perkara berakhir. Apabila usaha hakim mendamaikan kedua belah pihak tidak
berhasil, maka mengacu pasal 131 Reglemen Indonesia, hakim akan membacakan surat-
surat yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, misalnya surat gugat dan jawaban
tergugat2.

B. Pencabutan dan Perubahan Gugatan


1. Pencabutan Gugatan
Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses
berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan dan perubahan gugatan.
Pencabutan gugatan sendiri terjadi apabila pihak penggugat mencabut gugatan
sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasan pencabutan sangat
bervariasi. Mungkin disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna. Atau dasar

1
R Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2005, hal. 55
2
Ibid

3
dalil gugatan tidak kuat atau barangkali dalil gugatan bertentangan dengan hukum
dan sebagainya3.
Pencabutan gugatan boleh dilakukan dengan sendiri dalam perkara yang
penggugatnya sendiri. Dan pencabutan gugatan boleh digunakan terhadap gugatan
yang dilakukan bersama-sama. Namun dengan catatan apabila penggugat terdiri dari
beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutannya hanya
berlaku bagi yang mencabutnya saja, sedangkan perkara tetap jalan4.
Pencabutan gugatan sendiri dapat dilakukan sebelum gugatan itu diperiksa di
persidangan atau sebelum tergugat memberikan jawabannya atau sesudah diberikan
jawaban oleh tergugat. Kalau pencabutan dilakukan sebelum perkara diperiksa
dipersidangan atau sebelum tergugat memberikan jawabannya, maka tergugat secara
resmi belum tahu akan adanya gugatan itu, yang secara resmi belum terserang
kepentingannya. Dalam hal ini tidak perlu ada persetujuan dari pihak tergugat. (Rv
pasal 271).Sebaliknya jika pencabutan itu terjadi setelah tergugat memberikan
jawaban atas gugatan penggugat, maka gugatan tidak dapat dicabut atau ditarik
kembali oleh penggugat kecuali disetujui oleh tergugat 5. (Rv pasal 271 ayat 2).
Dari ketentuan tersebut diatas akan menimbulkan konsekuensi hukum, yakni
terjadinya kebolehan penggugat mengajukan gugatannya kembali, apabila penggugat
mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawabannya. Sedangkan
penggugat yang mencabut gugatannya sesudah tergugat memberikan jawaban, tidak
dapat mengajukan gugatannya kembali, karena dengan pencabutan gugatan tersebut,
penggugat dianggap telah melepaskan haknya 6.

2. Perubahan Gugatan
HIR maupun RBg sebagai peraturan perundangan hukum acara perdata di
Indonesia, pada dasarnya tidak mengatur perubahan gugatan, oleh karena itu
keduanya tidak terdapat ketentuan mengenai perubahan gugatan. Padahal jika ditilik
dari segi praktik nyata proses peradilan, perubahan gugatan merupakan kebutuhan
dalam proses penyelesaian perkara. Apalagi ditinjau dari asas peradilan sederhana,

3
M. YahyaHarahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
danPutusanPengadilan), Jakarta :SinarGrafika, 2008, hal. 81
4
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : CV. Rajawali, 2001, hal. 112
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2004, hal. 76
6
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.
65

4
cepat, dan biaya ringan, perubahan gugatan sangat efektif dan efisien mempercepat
pemeriksaan7. Oleh karena itu, seperti halnya pendapat yang dikemukakan Soepomo,
meskipun HIR tidak mengatur tentang perubahan tuntutan, tidak berarti bahwa
perubahan tuntutan tidak diperbolehkan8.
Menurut pasal 127 Rv perubahan dari pada gugatan diperbolehkan sepanjang
pemeriksaan perkara, asalkan tidak mengubah atau menambah “onderwerp van den
eis” (petitum, pokok tuntutan). Pengertian “onderwerp van den eis” ini di dalam
prakteknya meliputi juga dasar dari tuntutan, termasuk peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar tuntutan9.
Berdasarkan pasal tersebut diatas, batasan yang dapat dilakukan penggugat
dalam mengubah atau menambah pokok gugatan. Sehubungan dengan itu, terdapat
beberapa batasan perubahan gugatan yang bersumber dari praktik peradilan10 :
1. Tidak boleh mengubah materi pokok acara
2. Perubahan gugatan yang tidak prisipil dapat dibenarkan
3. Perubahan nomor Surat Keputusan
4. Tidak mengubah posita gugatan
5. Pengurangan gugatan tidak boleh merugikan tergugat

Namun perubahan tidak diperkenankan jika pemeriksaan perkara sudah


hampir selesai, dimana dalil-dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan
dan kedua belah pihak sudah memohon putusan11. (MA. Tgl 28-10-1970 No. 546
K/Sip/1970).

C. Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian, merupakan cara penyelesaian
yang dianggap paling efektif dan efisien. Hal tersebut dikarenakan penyelesaian dengan
jalan perdamaian mengandung berbagai keuntungan yang ditinjau dari segi substansial
dan psikologisnya, diantara keuntungan tersebut yaitu 12 :

7
Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 91
8
R. Soepomo, Op.Cit, hal. 26
9
Sudikno,Op.Cit, hlm. 77
10
Yahyaharahap, Op.Cit, hal.98-101
11
Ibid, hal. 64
12
Yahya Harahap, Op.Cit, hal.236-237

5
1. Penyelesaian bersifat informal
2. Aturan pembuktian tidak perlu
3. Proses penyelesaian bersifat konfidensial (Rahasia)
4. Hubungan para pihak bersifat kooperatif
5. Aturan pembuktian tidak perlu
6. Bebas emosi dan Dendam

Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg mengenal dan
menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai (Jika pada hari yang ditentukan
itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba
akan mendamaikan mereka). Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka jelas hakim
mempunyai peranan aktif untuk mengusahakan penyelesaian dengan cara perdamaian
terhadap peristiwa perdata yang diperiksanya. Bertitik tolak dari pasal tersebut, apabila
ada hakim yang mengabaikan pemeriksaan tahap mendamaikan dan langsung memasuki
tahap pemeriksaan jawab menjawab, dianggap melanggar tata tertib beracara. Akibatnya
pemeriksaan dianggap tidak sah dan cacat melawan hukum13.

Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian, menanamkan


kesadaran terhadap pihak-pihak yang berperkara, bahwa penyelesaian perkara dengan
perdamaian merupakan cara penyelesaian yang terbaik dari pada harus diselesaikan
dengan putusan pengadilan, baik dipandang dari segi hubungan masyarakat, maupun
dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga yang diperlukan.

Apabila tercapai perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Maka hasil


tersebut kemudian disampaikan kepada hakim di persidangan, yang biasanya dituangkan
dalam bentuk perjanjian di bawah tangan. Selanjutnya hakim menjatuhkan putusan (acte
van vergelijk), yang isinya menghukum pihak-pihak yang berperkara untuk
melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut14.

Dengan adanya perdamaian pihak-pihak yang berperkara tersebut, maka perkara


perdata antara mereka selesai secara tuntas. Sebab, putusan perdamaian yang dibuat oleh
hakim tersebut kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai

13
Ibid,hal. 240
14
Sudikno, Op.Cit, hal. 83

6
kekuatan hukum tetap (pasal 130 ayat 2 HIR/154 ayat 2 RBg/185a ayat 1 BW jo.MA.tgl.
1-8-1973 No. 1038 K/Sip/1972)15.

Putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai hasil


pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim. Karenanya sudah
sepantasnya apabila perjanjian perdamaian tersebut dipertanggungjawabkan sendiri oleh
pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian hasil putusan perdamaian dari kedua
belah pihak tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding. (pasal 130 ayat 3 HIR/pasal
154 ayat 3 RBg)16.

Penjelasan mengenai ketentuan tersebut diatas dijelaskan dalam putusan MA No.


975 K/Sip/1973 yang menyatakan bahwa putusan perdamaian atau acte van vergelijk,
merupakan suatu putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi
terhadapnya. Itu sebabnya secara teknis yuridis dikatakan, putusan akta perdamaian
dengan sendirinya melekat kekuatan eksekutorial sebagaimana layaknya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap17.

D. Pembacaan Gugatan
Mengenai pembacaan surat gugatan ini diatur dalam pasal 131 HIR / 155 RBg
pasal 1 yang berbunyi: “jika kedua belah pihak hadir, akan tetapi mereka tidak dapat
diperdamaian (hal ini harus disebutkan dalam berita acara) maka surat gugatan dibaca
dan jika salah satu pihak tidak mengerti bahasa yang dipakai dalam surat itu, maka surat
tersebut diterjemahkan kedalam bahasa yang dimengerti oleh juru bahasa yang ditunjuk
oleh ketua18.
Surat gugatan selalu dibacakan oleh penggugat atau kuasa hukumnya yang sah,
kecuali jika penggugat buta huruf dan menyerahkannya kepada panitera sidang. Usai
gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak tercapai maka majelis
akan melanjutkan dengan menanyakan kepada penggugat apakah ia akan menjawab
secara lisan atau tertulis, bila akan menjawab secara tertulis maka akan membutuhkan
waktu berapa lama untuk itu.

15
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 67
16
Ibid, hal.67
17
YahyaHarahap, Op.cit, hal. 280
18
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media, cet. II, 2005, hal. 31.

7
Hak bicara terakhir didepan sidang selalu pada tergugat jadi replik-duplik belum
akan berakhir di depan sidang selalu ada pada tergugat, jadi proses replik-duplik belum
akan selesai sepanjang tergugat masih ada yang akan diutarakannya 19.

E. Perihal Jawaban
Oleh karena perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi para pihak
berperkara, maka dalam Undang-Undang tidak ditentukan mengenai kewajiban tergugat
untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam pasal 121 ayat 2 HIR hanya menentukan
bahwa tergugat dapat menjawab baik secara lisan maupun tertulis. Jawaban tergugat ini
dapat berupa pengakuan, referte (diam) dan dapat pula berupa bantahan atau
penyangkalan20.
Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan baik sebagian maupun seluruhnya.
Pengakuan harus dibedakan dari referte, keduanya merupakan jawaban yang bersikap
tidak membantah. Jikalau pengakuan itu merupakan jawaban yang membenarkan isi
gugatan, maka referte berarti menyerahkan segala kebenaran gugatan kepada
kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah maupun membenarkan isi
gugatan21. Sedangkan bantahan atau sangkalan berarti menolak atau tidak membenarkan
isi gugatan penggugat. Dalam pasal 113 Reglement Rechsvordering ditentukan bahwa
bantahan harus disertai alasan-alasan sehingga duduk perkara dan inti permasalahan
menjadi jelas. Bantahan yang tidak beralasan dapat dikesampingkan oleh hakim.
Pada hakekatnya bantahan bertujuan agar gugatan si penggugat ditolak. Bantahan
tergugat ini dapat terdiri dari sangkalan dan tangkisan atau yang dikenal dengan sebutan
eksepsi22. Eksepsi ialah suatu bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan yang tidak
langsung mengenai pokok perkara. Misalnya bantahan yang menyatakan bahwa hakim
tidak berkuasa memeriksa gugatan yang diajukan penggugat, atau bantahan yang
menyatakan bahwa perkara yang diajukan oleh penggugat telah diputus oleh hakim 23.
Menurut pasal 136 HIR/ pasal 162 RBg maka jawaban yang berupa eksepsi
kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh diajukan dan
dipertimbangkan secara terpisah, tapi diperiksa dan diputus bersama pokok perkara.

19
Roihan A. Rasyid, Op.Cit, hal.96-97.
20
RiduanSyahrani, Op.Cit, ,hal. 68.
21
SudiknoMertokusumo, Op.Cit, hal. 90.
22
Ibid, hal. 92.
23
R. Soepomo, Op.Cit,hal. 48.

8
Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro , pasal ini hanya berarti anjuran saja seberapa
dapat tergugat mengumpulkan segala sesuatu yang ingin diajukan dalam jawabannya saat
permulaan pemeriksaan perkara. Sedangkan menurut Soepomo, pasal ini tidak lain
bertujuan untuk menghindarkan kelambatan yang tidak perlu 24.
Sedangkan jawaban (sangkalan) tergugat yang mengenai pokok perkara, tidak
harus diajukan pada permulaan sidang, akan tetapi dapat diajukan selama proses
pemeriksaan bahkan dapat diajukan dalam tingkat banding asal tidak bertentangan
dengan jawaban saat pemeriksaan tingkat pertama.
Selanjutnya, jika suatu bantahan dibenarkan oleh hakim maka dengan sendirinya
perkara telah selesai dengan putusan akhir pada tingkat pertama dimana eksepsi yang
diajukan itu diterima dan berarti gugatan penggugat tidak dapat dikabulkan . Jika
penggugat tidak puas, maka dapat mengajukan permohonan banding. Dan apabila eksepsi
tidak dibenarkan, maka pengadilan yang bersangkutan berwenang melanjutkan proses
pemeriksaan gugatan tersebut sekaligus memuat perintah agar pihak yang berperkara
melanjutkan perkaranya 25.

F. Tahapan Replik-Duplik
Setelah pembacaan surat gugatan atau permohonan anjuran damai tetapi belum
juga berhasil, ketua majlis akan menanyakan kepada tergugat ataupun termohon, apakah
ia akan melanjutkan menjawab pernyataan penggugat dengan lisan atau tertulis. Jika akan
menjawab dengan bentuk tertulis, apakah sudah siap, atau kalau belum siap, kapan
tergugat akan siap untuk menjawab. Proses pemeriksaan inilah yang disebut
dengan Replik dan Duplik baik antara pihak penggugat dan tergugat maupun antara
hakim dengan kedua belah pihak26.
Replik yaitu jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas
gugatannya. Replikdiajukan oleh penggugat untuk meneguhkan gugatannya, dengan
mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
Setelah penggugat mengajukan Replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya ialah Duplik,
yaitu jawaban tergugat terhadap Replik yang diajukan penggugat. Sama
seperti Replik, Duplik juga dapat diajukan dalam bentuka tertulis maupun

24
Sudikno, Op.Cit, hal. 91.
25
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 70.
26
Roihan A Rasyid, Op.Cit, hal. 130

9
lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi
penolakan terhadap gugatan penggugat27.
Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang biasanya
proses Replik – Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan dengan bentuk tulisan,
sehingga untuk menyiapkan segala kebutuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama,
dengan cara menunda sidang selama beberapa hari sampai kedua belah pihak siap dan
dapat melanjutkan persidangan.
Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai berikut28 :
1. Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir
2. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah, hanya
menanyakan yang berkaitan dengan hukum, begitupula Replik-Duplik yang
diajukan oleh penggugat dan tergugat.
3. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau dari hakim harus
melalui izin dari ketua majlis.
4. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang bersifat umum
selalu oleh ketua majlis.

Jawaban atau pertanyaan yang relevan dan terarah misalnya dalam perkara
gugatan pelanggaran ta’liq talaq, tentunya hal-hal yang berkaitan dengan kapan kedua
belah pihak kawin, dimana melangsungkan perkawinan, dimana kutipan akta nikahnya,
apakah pihak suami mengucapkan ta’liq talaq pada saat akad nikah, bagaimana bunyi
lafaz ta’liq talaq yang diucapkan, mana syarat ta’liq yang telah dilanggar oleh suami.
Hal-hal yang di luar itu mungkin tidak relevan atau kurang penting untuk dipertanyakan.

Kemudian ketika perkara waris misalnya, maka pertanyaan yang relevan tentunya
tentang siapa yang wafat, kapan wafatnya, dimana wafatnya, ketika wafat apakah dalam
kondisi Islam atau tidak, siapa sajakah keluarga si mayyit yang terdekat yang ada dan
hidup ketika si mayyit wafat. Apa sajakah harta peninggalan si mayyit ketika wafat, apa
ada biaya penguburan si mayyit yang perlu dibayarkan dari harta peninggalan, apakah
ada utang si mayyit yang belum terbayar baik sesama manusia maupun kepada Allah,
apakah ada wasiat yang disampaikan oleh mayyit, kalau ada apa wasiatnya, apakah tidak
melampaui sepertiga harta peninggalan. Apakah wasiat itu kepada ahli waris sendiri atau

27
Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 72
28
Roihan A Rasyid, Op.Cit. hal.130

10
kepada orang lain. Apakah harta yang dimiliki mayyit itu harta individual ataukah
perserikatan.

G. Gugatan Balik (Gugat Rekovensi)

Dalam pasal 132a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan rekovensi ialah
gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat konvensi sebagai gugatan balasan atas
gugatan penggugat kepadanya pada saat proses pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini
seseorang yang awalnya berkedudukan sebagai penggugat dalam konvensi menjadi
tergugat dalam rekonvensi, sedangkan tergugat dalam konvensi kedudukannya
merangkap sebagai penggugat dalam gugat rekonvensi.

Menurut Soepomo, tujuan adanya gugat rekovensi ini untuk mempermudah


prosedur karena gugat konvensi dan rekonvensi ini diperiksa dan diputus bersama dalam
satu proses dan dituangkan dalam satu putusan. Selain itu juga dapat menghemat waktu
dan biaya bagi pihak yang berperkara, serta dapat terhindar dari kemungkinan adanya
putusan yang saling bertentangan29.

Pada dasarnya, gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam berbagai hal, kecuali 3
hal yang disebut dalam pasal 132a HIR, yaitu sebagai berikut30:

1. Dalam gugatan konvensi bertindak bukan untuk diri sendiri (sebagai wali),
sedangkan dalam gugatan rekonvensi bertindak untuk diri sendiri
2. Apabila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak berwenang
secara mutlak untuk memeriksa gugatan rekonvensi
3. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang tidak mengatur bahwa antara tuntutan


penggugat konvensi dan tuntutan rekonvensi harus memiliki hubungan yang erat.
Tuntutan rekonvensi dapat berdiri sendiri (zelfstandig) yang oleh tergugat dapat diajukan
kepada hakim didalam proses tersendiri. Namun dalam prakteknya seringkali dikaitkan
bahwa dasar tuntutan rekonvensi harus mempunyai hubungan dengan tuntutan konvensi.
Hal tersebut didasarkan agar tujuan gugat rekonvensi dapat terealisasikan dengan baik,

29
Yahya Harahap, Op.Cit, hal.468-473.
30
Riduan Syahrani,Loc.Cit, hal. 71

11
jadi sedapat mungkin harus ada konektifitas antara keduanya sehingga dapat diselesaikan
secara bersamaan31.
Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat baik tertulis
maupun lisan. Jika jawab menjawab antara penggugat dan tergugat telah selesai dan
dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak diperbolehkan mengajukan gugatan
rekonvensi. Selanjutnya menurut pasal 132a ayat 2 HIR telah ditentukan bahwasanya jika
gugatan rekonvensi dalam persidangan tingkat pertama tidak diajukan, maka dalam
tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.
Kedua gugatan tersebut dapat diselesaikan sekaligus dan dapat diputus dalam satu
putusan (pasal 132b HIR dan pasal 158 RBg). Akan tetapi hakim berwenang untuk
memisahkan keduanya jika ia berpendapat bahwa suatu perkara dapat diselesaikan
terlebih dahulu daripada perkara yang lain. Proses pemeriksaan tersebut dapat dilakukan
secara terpisah dan dijatuhkan dalam satu putusan jika antara konvensi dan rekonvensi
sama sekali tidak ada hubungan. Dan dapat pula dilakukan secara terpisah dan diputus
dalam putusan yang berbeda. Mengenai dasar kebolehan tersebut tidak tercantum dalam
Undang-Undang namun diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim32.
Disini perlu digarisbawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya berlaku dalam
perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh karena itu dalam permohonan
(voluntria) penuh tidak berlaku gugat balik (rekonvensi)33.

H. Tahap Konklusi

Sebelum hakim melakukan musyawarah kemudian dilanjutkan dengan


pengucapan keputusan akhir, masing-masing dari kedua belah pihak diperkenankan untuk
menyampaikan konklusi atau kesimpulan-kesimpulan dari sidang menurut pihak yang
bersangkutan. Karena konklusi ini sifatnya hanya untuk membantu hakim dalam
memutuskan perkara, maka pada dasarnya hakim boleh meniadakan konklusi.

31
Yahya Harahap,Op.Cit, hal. 474-476.
32
Ibid, hal. 493-495.
33
Roihan A. Rosyid, Op.Cit, hal. 71

12
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Adapun yang menadi kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang
mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian
perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya
sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Pemeriksaan perkara dalam sidang, menurutketentuan sistem reglemen
Indonesia berjalan secara lisan. Hakim mendengar kedua belah pihak, dan kedua pihak
tersebut memajukan segala sesuatu secara lisan, sedang panitera pengadilan mencatat
segala pemeriksaan dalam suatu catatan sidang (procesverbaal). Menurut pasal 132
Reglemen Indonesia, hakim akan memberikan penerangan selayaknya kepada kedua
belah pihak dan akan memperingatkan mereka tentang syarat-syarat hukum dan alat-alat
bukti yang dipergunakannya. Diantara tindakan hakim dalam pemeriksaan perkara, yang
penting ialah pemanggilan dan pendengaran saksi. Pasal 121 Reglemen Indonesia
menentukan bahwa pada waktu kedua belah pihak dipanggil untuk menghadap, maka
mereka diperintahkan untuk membawa orang-orang yang akan mereka ajukan sebagai
saksi. Pada permulaan sidang, dimana kedua belah pihak hadir, maka hakim diwajibkan
untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak. (pasal 130 ayat 1 Reglemen Indonesia).
Apabila perdamaian yang diusahakan oleh hakim tercapai, maka proses perkara berakhir.
Apabila usaha hakim mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, maka mengacu
pasal 131 Reglemen Indonesia, hakim akan membacakan surat-surat yang dikemukakan
oleh kedua belah pihak, misalnya surat gugat dan jawaban tergugat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, M. ,Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah


Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, cet. II, 2005
Harahap, M. Yahya ,Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Jakarta : SinarGrafika, 2008
Mertokusumo, Sudikno ,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2004
Rasyid, Roihan A. ,Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : CV. Rajawali, 2001
Soepomo, R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
2005
Syahrani, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2000
Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis ( HIR, RBG, dan Yurisprudensi )
Jakarta: Sinar Grafika 2010.
Manan Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata, Jakarta: Prenada Media 2005.

14
20

Anda mungkin juga menyukai