Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH HUKUM PERDATA

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA

Dosen: Hj. Ulfanora, SH., MH

KELOMPOK 3
ANGGOTA
Afifah Khairunnisa 2010112138
Damelia Arimbi K. 2210112068
Jihan Firdhasi 2210113031
Syafira
Lathifah Rahayu 2210113171
Muhammad Farhan 2210113134
Rahma Rahmadhani 2210113006
Hayati Rahmi 2010111087
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “PROSES PEMERIKSAAN PERKARA” ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Hj. Ulfanora, S.H., M.H selaku
Dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata yang telah memberikan tugas ini kepada
kami dan tak lupa kami juga ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah
berbagi ilmu dan pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa hambatan yang berarti.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Acara Perdata. Kami berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca sekaligus dapat menambah wawasan pengetahuan para
pembaca. Kami menyadari secara sadar bahwasanya makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan kami berharap masukan dari para pembaca agar makalah ini
bisa menjadi lebih baik di kemudian hari.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Padang, 5 Oktober 2023

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat


cara bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan bagaimana
pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan Hukum Perdata. Sedangkan menurut Prof. DR. Sudikno
Mertokusumo, SH., (1988:4) mengemukakan bahwa objek dari pada Ilmu
Hukum Acara Perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan Hukum Perdata
Materiil dengan perantaraan kekuasaan negara yang terjadi di pengadilan.
Perkara perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang
satu dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan. Pengertian
Perkara Perdata tentang hubungan keperdataan antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan
oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan melalui
pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadiladilnya. Perkara perdata
yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak hanya terhadap perkara-
perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh para pihak,
tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu
permohonan penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak
keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang berkepentingan agar hak-hak
keperdataannya mendapatkan keabsahan. Umumnya dalam permohonan
penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan tidak mengandung sengketa karena permohonannya
dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib.
Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada
Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian 1.Untuk
mendapatkan pemecahan atau penyelesaian atas perkara tersebut,maka
dilakukanlah pemeriksaan perkara yang diakhiri dengan lahirnya suatu
putusan, dan putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Suatu
putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan, oleh
karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan executoriaal, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh
alat-alat negara.2 Akan tetapi, tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan
secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan condemnatoir sajalah yang
dapat dilaksanakan sebagaimana yang dimaksud di atas. Putusan declatoir
dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-sarana memaksa untuk
melaksanakannya. Karena dari kedua putusan itu tidak memuat hak atas
suatu prestasi yang harus dipenuhi pihak lain.
Pemeriksaan perkara dalam sidang, menurut ketentuan sistem reglemen
Indonesia berjalan secara lisan. Hakim mendengar kedua belah pihak, dan
kedua pihak tersebut memajukan segala sesuatu secara lisan, sedang panitera
pengadilan mencatat segala pemeriksaan dalam suatu catatan sidang
(procesverbaal).3 Menurut pasal 132 Reglemen Indonesia, hakim akan
memberikan penerangan selayaknya kepada kedua belah pihak dan akan
memperingatkan mereka tentang syarat-syarat hukum dan alat-alat bukti
yang dipergunakannya. Diantara tindakan hakim dalam pemeriksaan
perkara, yang penting ialah pemanggilan dan pendengaran saksi. Pasal 121
Reglemen Indonesia menentukan bahwa pada waktu kedua belah pihak
dipanggil untuk menghadap, maka mereka diperintahkan untuk membawa
orang-orang yang akan mereka ajukan sebagai saksi. Pada permulaan sidang,
dimana kedua belah pihak hadir, maka hakim diwajibkan untuk berusaha
mendamaikan kedua belah pihak. (pasal 130 ayat 1 Reglemen Indonesia).
Apabila perdamaian yang diusahakan oleh hakim tercapai, maka proses
perkara berakhir. Apabila usaha hakim mendamaikan kedua belah pihak
1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. Lll, (Yogyakarta:Liberty, 1981), hal. 192.
2
Mertokusumo, op.cit.

3
R Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2005, hal. 55
tidak berhasil, maka mengacu pasal 131 Reglemen Indonesia, hakim akan
membacakan suratsurat yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, misalnya
surat gugat dan jawaban tergugat.
Salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum yang terjadi di antara
masyarakat adalah dengan perantara kekuasaan kehakiman. Orang yang
merasa dirugikan hak atau kepentingannya dapat menggugat orang yang
dianggap merugikannya di muka pengadilan yang berwenang.
Tujuan para pencari keadilan mengajukan perkara di muka pengadilan
adalah untuk mendapatkan keputusan yang adil guna menyelesaikan
perkaranya, sehingga hak-hak maupun kepentingan-kepentingan yang
dilindungi oleh hukum materiil, baik berupa hukum tertulis maupun tidak
tertulis, dapat diwujudkan lewat pengadilan. Tentu saja para pencari keadilan
tersebut, terutama pihak yang mengajukan gugatan (Penggugat), mempunyai
keinginan agar perkaranya dapat cepat selesai.
Keperluan ini, mereka harus menaati ketentuan peraturan perundangan yang
mengatur cara-cara penyelesaian perkara melalui pengadilan yang berlaku.
Peradilan yang bersifat cepat, sederhana, biaya murah, dan dengan kata-kata
sederhana seringkali mengalami realita yang justru sebaliknya. Kalau kita
perhatikan, suatu perkara perdata yang diajukan ke muka pengadilan
diselesaikan dalam waktu yang relatif lama. Ini bisa dikarenakan oleh para
pihak yang berperkara sendiri, hakim yang memeriksa perkaranya, saksi-
saksi, atau mungkin juga hukum acara yang dipakai tidak memadai.
Penyelesaian suatu perkara, para pihak dapat menggunakan upaya yang
diberikan oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan (upaya hukum). Salah
satu upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh tergugat dalam sidang
pemeriksaan perkara adalah upaya melawan gugatan yang berupa eksepsi
dan rekonveksi, di samping jawaban atas pokok perkaranya (verweer ten
prinsipaal). Penggugat juga diberi hak untuk membantah atas jawaban
tergugat dalam bentuk replik, sebagaimana tergugat juga berkesempatan
mengajukan duplik atas jawaban yang disampaikan oleh penggugat.
Replikduplik ini bisa terjadi berulang kali selama itu diperlukan. Faktor lain
yang menyebabkan persidangan menjadi lama adalah adanya intervensi dari
pihak lain yang biasa disebut sebagai pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa saja
mendukung penggugat untuk memenangkan tuntutannya atau berpihak
kepada tergugat agar lepas dari segala tuntutan. Bahkan, pihak ketiga boleh
mengajukan dirinya sendiri untuk masuk dalam proses acara persidangan
tanpa membela siapapun.

Dari gambaran di atas, makalah ini akan membahas bagaimana pemeriksaan


perkara dalam hukum acara perdata. Juga akan mencoba membahas
beberapa hal yang berhubungan dengan tema tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses mediasi dalam pemutusan perkara perdata di


pengadilan?
2. Bagaimana gugatan rekonvensi dalam proses pemeriksaan perkara
perdata dapat diajukan?
3. Apa saja yang menjadi syarat sahnya suatu perdamaian dapat terjadi di
pengadilan?
4. Bagaimanap proses perdamaian dalam persidangan?
5. Bagaimana proses jawab menjawab dalam persidangan?
6. Apa saja Tahapan dalam Replik dan Duplik?

C. Tujuan Penulisan

1. Agar mengetahui proses dan tujuan mediasi dalam pemutusan


pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.
2. Untuk mengetahui bagaimana tata cara pengajuan gugatan rekonvensi
dalam suatu proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.
3. Mengetahui lebih lanjut syarat syarat perdamaian di proses pemeriksaan.
perkara perdata di pengadilan dalam dinyatakan sah.
4. Mengetahui proses perdamaian dalam persidangan.
5. Untuk mengetahui proses jawab menjawab dalam persidangan
6. Untuk mengetahui Tahapan dalam Replik dan Duplik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERKARA PERDATA


Perkara perdata adalah suatu perkara yang terjadi antara pihak yang
satudengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan. Hubungan
antarapihak yang satu dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang
tidakdapat diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara
umumnyadiselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang
seadil-adilnya. Perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya
tidakhanya terhadap perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa
yangdihadapi oleh para pihak, tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya
hanyamerupakan suatu permohonan penetapan ke pengadilan untuk
ditetapkanadanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang
berkepentinganagar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan.
Umumnya dalam permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang
diajukan oleh pihak yang berkepentingan tidak mengandung sengketa
karenapermohonannya dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak
yang berwajib.
Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata
baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandungsengketa,
sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempitadalah perkara-
perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikanmengandung sengketa.
Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunnya Hukum Acara
Perdata Indonesia menyatakan bahwa pengertian perkara perdata adalah
meliputi perkara yang mengandung sengketa (contentius) dan yangtidak
mengandung sengketa (voluntair).4

B. ASAS-ASAS PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA


Bagi semua pengadilan, tidak hanya dalam pemeriksaan perkara perdata,
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 13
menyebutkan bahwa:

1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum,


kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum


apabiladiucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

3. Tidak di penuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan


ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan ini dijamin
kemungkinan adanya social controle atas pekerjaan para hakim.

Peraturan di atas pada umumnya dapat dianggap sebagai pokok asas bagi
pemeriksaan perkara perdata, bahwa hakim, untuk dapat mengambil putusanyang
tepat, sebaiknya mendengarkan kedua belah pihak. Akan tetapi tidakmungkin
ditentukan, bahwa pendengaran kedua belah pihak ini harusdilakukan, sebab
adalah sukar memaksa para pihak untuk datang menghadapdi muka hakim. Ini juga
sesuai dengan sifat hukum perdata, yangpelaksanaannya pada umumnya
diserahkan kepada kemauan yangberkepentingan sendiri, maka cukuplah apabila
dalam peraturan hukum acaraperdata kepada kedua belah pihak diberi kesempatan
penuh untuk untukmenjelaskan sendiri kepada hakim segala sesuatu yang mereka
anggap perlusupaya diketahui oleh hakim, sebelum suatu putusan dijatuhkan.
Pemberian kesempatan ini berwujud memanggil kedua belah pihak supaya
datangmenghadap di muka hakim pada waktu yang ditentukan oleh hakim.5

4
Sarwono,Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).
5
Astin Fajar Setiani, Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara Prodeo dalam Praktik (Semarang:
Universitas Negeri Semarang, 2011), 14-15.
C. PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA
Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui tahap-tahap dalam
hukum, Adapun tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah:
1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan
a. Perubahan Gugatan
HIR/RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan. Yang
mengatur adalah RV. Pasal 127 RV ditentukan bahwa perubahan
gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak mengubah
danmenambah petitum–tuntutan pokok (onderwerp van den eis) akan
tetapidi dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga
dasardari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar tuntutan.6 Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa batasan
perubahan gugutan yang bersumber dari praktik peradilan:7
1. Tidak boleh mengubah materi pokok acara
2. Perubahan gugatan yang tidak prinsipil dapat dibenarkan.
3. Perubahan nomor surat keputusan
4. Tidak mengubah posita gugatan.
5. Pengurangan gugatan tidak boleh merugikan tergugat.

b. Penambahan Gugatan
Penambahan gugatan misalnya, oleh karena semula tidak semua
ahli waris di ikut sertakan, lalu ditambah agar mereka yang belum
diikutsertakan ditarik pula sebagai tergugat atau turut tergugat atau
misalnya dalam hal lupa dimohonkan/dicantumkan dalam petitum
(tuntutan pokok) menyatakan sah dan berharga suatu sita jaminan
kemudian dimohonkan agar petitum itu ditambahkan, diperkenankan.
Juga apabila mohon agar gugatan ditambah dengan petitum agar
putusandapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad),
dapat diluluskan.

c. Pengurangan Gugatan
Pengurangan gugatan senantiasa akan diperkenankan oleh
hakim. Misalnya semula digugat untuk menyerahkan 4 bidang sawah,
6
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009
7
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,dan Putusan
Pengadilan) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 81.
kemudian penggugat merasa keliru bahwa sesungguhnya sawah yang
dikuasai olehtergugat itu bukan 4 bidang, akan tetapi hanya 2 bidang
saja, maka iadiperkenankan untuk mengurangi gugat dan hanya hanya
menggugatsawah yang 2 bidang yang dikuasai tergugat itu.
d. Pencabutan Gugatan
Menyangkut pencabutan gugatan dalam HIR/RBg juga tidak
diatur. Yang mengatur hal ini adalah Pasal 271 RV yang menetukan
bahwagugatan boleh dicabut oleh penggugat sebelum tergfugat
memberikan jawaban. Bilamana tyergugat sudah memberikan
jawaban, maka gugatantidak boleh dicabut atau ditarik kembali
kecuali disetujui oleh tergugat.8

2) Tahap Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara
penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien. Pasal 130 HIR
maupun pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa
melalui cara damai. Maka hakim mempunyai peranan aktif mengusahakan
penyelesaian dengan cara perdamaian terhadap peristiwa perdata yang
diperiksanya.
Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian,
menanamkan kesadaran terhadap pihak-pihak yang beroperkara, bahwa
penyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan cara penyelesaian yang
terbaik dari pada harus diselesaikan dengan putusan pengadilan. Apabila
tercapai perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, makahasil tersebut
kemudian disampaikan kepada hakim di persidangan yang biasanya
dituangkan dalam bentuk perjanjian di bawah tangan. Selanjutnya hakim
menjatuhka putusan (acte van vergelijk). Yang isinya menghukum pihak-
pihak yang berperkara untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian
tersebut.9
Putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan
sebagai hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan
oleh hakim. Karenanya sudah sepantasnya apabila perjanjian perdamaian
tersebut dipertanggung jawabkan sendiri oleh pihak-pihak yang berperkara.
Dengan demikian hasil putusan dari kedua belah pihak tidak dapat

8
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),54-56.
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988), 83.
dimintakan pemeriksaan banding (Pasal 130 ayat 3 HIR/ Pasal 154ayat 3
RBg).10

3) Pembacaan Gugatan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukanoleh
penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal
yangditentukan para pihak datang ke pengadilan. Di ruang pengadilan,
makasalah satu pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap
pihakpenggugat adalah, apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak adaperubahan
lagi? Jika penggugat menjawab bahwa gugatan sudah tidakada perubahan,
maka tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban terhadap
gugatan tersebut.11
Mengenai pembacaan surat gugatan ini diatur dalam pasal 131 HIR
/155 RBg pasal 1 yang berbunyi: “jika kedua belah pihak hadir, akan tetapi
mereka tidak dapat diperdamaian (hal ini harus disebutkan dalamberita
acara) maka surat gugatan dibaca dan jika salah satu pihak tidakmengerti
bahasa yang dipakai dalam surat itu, maka surat tersebutditerjemahkan
kedalam bahasa yang dimengerti oleh juru bahasa yangditunjuk oleh ketua. 12
Surat gugatan selalu dibacakan oleh penggugat atau kuasa hukumnya
yang sah, kecuali jika penggugat buta huruf dan menyerahkannya kepada
panitera sidang. Usai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan
kalau tidak tercapai maka majelis akan melanjutkan denganmenanyakan
kepada penggugat apakah ia akan menjawab secara lisanatau tertulis, bila akan
menjawab secara tertulis maka akan membutuhkanwaktu berapa lama untuk
itu.Hak bicara terakhir didepan sidang selalu pada tergugat jadi replik-duplik
belum akan berakhir di depan sidang selalu ada pada tergugat, jadiproses
replik-duplik belum akan selesai sepanjang tergugat masih adayang akan
diutarakannya.13

4) Jawaban Gugatan
Setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil,
maka kepada tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawabanatau
gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sebagaimana
10
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2000), 67.
11
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),52.
12
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia (Jakarta: Prenada
Media, 2005), 31.
13
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: CV Rajawali, 1991), 96-97.
penggugatdiperkenankan untuk mengajukan gugatan secara tertulis
dan lisan, maka tergugat pun diperkenankan untuk mengajukan jawaban
secara tertulis dan lisan. Jawaban tergugat dapat terdiri dari tiga macam
yaitu:14
1. Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok
perkara.
2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale).
3. Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang diajukan tergugat kepada
penggugat.
Perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi para pihak
berperkara, maka dalam Undang-Undang tidak ditentukan mengenai
kewajiban tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam pasal 121
ayat 2 HIR hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baiksecara
lisan maupun tertulis. Jawaban tergugat ini dapat berupa pengakuan, referte
(diam) dan dapat pula berupa bantahan atau penyangkalan.15
Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan baik sebagian maupun
seluruhnya. Pengakuan harus dibedakan dari referte, keduanya merupakan
jawaban yang bersikap tidak membantah. Jikalau pengakuan itu merupakan
jawaban yang membenarkan isi gugatan, maka referte berarti menyerahkan
segala kebenaran gugatan kepada kebijaksanaan hakim dengan tidak
membantah maupun membenarkan isi gugatan. Sedangkan bantahan atau
sangkalan berarti menolak atau tidak membenarkan isi gugatan penggugat.
Dalam pasal 113 Reglement Rechsvordering ditentukan bahwa bantahan
harus disertai alasan-alasan sehingga duduk perkara dan inti permasalahan
menjadi jelas. Bantahan yang tidak beralasan dapat dikesampingkan
oleh hakim.16
Hakikatnya bantahan bertujuan agar gugatan si penggugat ditolak
Bantahan tergugat ini dapat terdiri dari sangkalan dan tangkisan atauyang
dikenal dengan sebutan eksepsi. Eksepsi ialah suatu bantahan daripihak
tergugat terhadap gugatan yang tidak langsung mengenai pokokperkara. Misalnya
bantahan yang menyatakan bahwa hakim tidakberkuasa memeriksa gugatan
yang diajukan penggugat, atau bantahanyang menyatakan bahwa perkara yang
diajukan oleh penggugat telah diputus oleh hakim.
14
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),63.
15
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2000), 68.
16
Soepomo R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: PT Pradnya Pramita,1994), 48.
Tentang eksepsi atau tangkisan, HIR hanya mengenal satu
macameksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim, yaitu eksepsi
yangmenyangkut kekuasaaan relatif dan eksepsi yang menyangkutkekuasaaan
absolut. Kedua macam eksepsi ini disebut eksepsi prosesual Eksepsi yang
menyangkut kekuasaan relatif atau kewenangan nisbi diatur dalam Pasal 133
HIR/159 RBg. Eksepsi kewenangan absolut diaturdalam Pasal 134 HIR/160
RBg.17
Menurut pasal 136 HIR/ pasal 162 RBg maka jawaban yang berupa
eksepsi kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh
diajukan dan dipertimbangkan secara terpisah, tapi diperiksa dan diputus
bersama pokok perkara. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, pasalini
hanya berarti anjuran saja seberapa dapat tergugat mengumpulkan segala
sesuatu yang ingin diajukan dalam jawabannya saat permulaan pemeriksaan
perkara. Sedangkan menurut Soepomo, pasal ini tidak lainbertujuan untuk
menghindarkan kelambatan yang tidak perlu.
Lain halnya dengan penyangkalan. Penyangkalan atau bantahan ialah
pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang digugat
terhadap tergugat. Jika tergugat mengajukan bantahan, maka bantahan itu
harus disertai dengan alasan-alasan.18
Jawaban (sangkalan) tergugat yang mengenai pokok perkara, tidak
harus diajukan pada permulaan sidang, akan tetapi dapat diajukan selama
proses pemeriksaan bahkan dapat diajukan dalam tingkat banding asal tidak
bertentangan dengan jawaban saat pemeriksaan tingkat pertama.
Selanjutnya, jika suatu bantahan dibenarkan oleh hakim maka dengan
sendirinya perkara telah selesai dengan putusan akhir pada tingkat pertama
dimana eksepsi yang diajukan itu diterima dan berarti gugatan penggugat
tidak dapat dikabulkan. Jika penggugat tidak puas, maka dapat mengajukan
permohonan banding. Dan apabila eksepsi tidak dibenarkan, maka
pengadilan yang bersangkutan berwenang melanjutkan proses pemeriksaan
gugatan tersebut sekaligus memuat perintah agar pihak yang berperkara
melanjutkan perkaranya.

17
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),63-64.
18
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),66.
5) Replik dan Duplik
Setelah tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan
perkara di pengadilan selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat
terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan
secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk
meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
Setelah penggugat mengajukan Replik, tahapan pemeriksaan
selanjutnya ialah Duplik, yaitu jawaban tergugat terhadap Replik yang
diajukan penggugat. Sama halnya dengan replik, duplik inipun juga dapat
diajukan dalam bentuka tertulis maupun lisan. Duplik diajukan
tergugatuntuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan
terhadap gugatan penggugat.19
Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang
biasanya proses Replik dan Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan
dengan bentuk tulisan, sehingga untuk menyiapkan segala kebutuhannya
membutuhkan waktu yang cukup lama, dengan cara menunda sidang selama
beberapa hari sampai kedua belah pihak siap dandapat melanjutkan
persidangan.20
Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai
berikut:

1. Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir.


2. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah,
hanya menanyakan yang berkaitan dengan hukum,
begitupulaReplik-Duplik yang diajukan oleh penggugat dan
tergugat.
3. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau
darihakim harus melalui izin dari ketua majlis.
4. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang
bersifatumum selalu oleh ketua majlis.

6) Gugatan Rekovensi
Dalam pasal 132 a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan
rekovensi ialah gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat konvensi

19
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),68.
20
Riduan Syahrani,Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2000), 72.
sebagai gugatan balasan atas gugatan penggugat kepadanya pada saat proses
pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini seseorang yang awalnya berkedudukan
sebagai penggugat dalam konvensi menjadi tergugat dalam rekonvensi,
sedangkan tergugat dalam konvensikedudukannya merangkap sebagai
penggugat dalam gugat rekonvensi.
Menurut Soepomo, tujuan adanya gugat rekovensi ini untuk
mempermudah prosedur karena gugat konvensi dan rekonvensi inidiperiksa
dan diputus bersama dalam satu proses dan dituangkan dalamsatu putusan.
Selain itu juga dapat menghemat waktu dan biaya bagi pihak yang
berperkara, serta dapat terhindar dari kemungkinan adanya putusan yang
saling bertentangan.21
Pada dasarnya, gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam berbagai hal,
kecuali 3 hal yang disebut dalam pasal 132a HIR, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam gugatan konvensi bertindak bukan untuk diri sendiri
(sebagaiwali), sedangkan dalam gugatan rekonvensi bertindak
untuk diri sendiri.
2. Apabila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan konvensi
tidakb erwenang secara mutlak untuk memeriksa gugatan
rekonvensi.
3. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.
Pada dasarnya dalam Undang-Undang tidak mengatur bahwa antara
tuntutan penggugat konvensi dan tuntutan rekonvensi harus memiliki
hubungan yang erat. Tuntutan rekonvensi dapat berdiri sendiri (zelfstandig)
yang oleh tergugat dapat diajukan kepada hakim didalam proses tersendiri.
Namun dalam prakteknya seringkali dikaitkan bahwa dasar tuntutan
rekonvensi harus mempunyai hubungan dengan tuntutan konvensi. Hal
tersebut didasarkan agar tujuan gugat rekonvensi dapat terealisasikan dengan
baik, jadi sedapat mungkin harus ada konektifitas antara keduanya sehingga
dapat diselesaikan secara bersamaan.
Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat
baik tertulis maupun lisan. Jika jawab menjawab antara penggugat dan
tergugat telah selesai dan dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak
diperbolehkan mengajukan gugatan rekonvensi. Selanjutnya menurut pasal
132a ayat 2 HIR telah ditentukan bahwasanya jika gugatan rekonvensi
21
M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata dan Putusan Pengadilan (Jakarta: SinarGrafika, 2008).
dalam persidangan tingkat pertama tidak diajukan, maka dalam tingkat
banding tidak dapat diajukan lagi.
Kedua gugatan tersebut dapat diselesaikan sekaligus dan dapatdiputus
dalam satu putusan (pasal 132b HIR dan pasal 158 RBg). Akan tetapi hakim
berwenang untuk memisahkan keduanya jika ia berpendapat bahwa suatu
perkara dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada perkara yang lain. Proses
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan dijatuhkan dalam
satu putusan jika antara konvensi dan rekonvensisama sekali tidak ada
hubungan. Dan dapat pula dilakukan secara terpisah dan diputus dalam
putusan yang berbeda. Mengenai dasar kebolehan tersebut tidak tercantum
dalam Undang-Undang namun diserahkan pada penilaian pertimbangan
hakim.
Di sini perlu digaris bawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya
berlaku dalam perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh
karena itu dalam permohonan (voluntria) penuh tidak berlaku gugat balik
(rekonvensi).

7) Konklusi
Sebelum hakim melakukan musyawarah kemudian dilanjutkan dengan
pengucapan keputusan akhir, masing-masing dari kedua belahpihak
diperkenankan untuk menyampaikan konklusi atau kesimpulan-kesimpulan
dari sidang menurut pihak yang bersangkutan. Karena konklusi ini sifatnya
hanya untuk membantu hakim dalam memutuskan perkara, maka pada
dasarnya hakim boleh meniadakan konklusi.
D. Proses Acara Mediasi
Mediasi merupakan suatu persetujuan di mana kedua belah pihak
dengan menyerahkan, manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu
perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat
secara tertulis. Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah
pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka ketua majelis hakim
berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat
dicapai perdamaian, maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan
putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati
persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di
muka persidangan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat
dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap putusan perdamaian ini tidak
dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat banding.
Jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir,
maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR dan Pasal
154 RBg). Dalam rangka mengefektifkan ketentuan tersebut di atas,
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama
Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg) yang
kemudian diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2
Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi. PERMA
tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa mediasi merupakan salah
satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada
para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian
yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Kemudian dirubah dengan
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi. Dan terakhir di
rubah dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Proses Mediasi, juga
telah menegaskan kewajiban untuk melakukan perdamaian. Pasal 3 ayat (1)
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 menegaskan bahwa setiap Hakim, Mediator,
Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian
sengketa melalui mediasi.

Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian


sengketa. Ada 2 jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar
pengadilan. Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta,
perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian
sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN). Mediasi yang
berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi
sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari
hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya.
Penggunaan mediator hakim dan penyelenggaraan mediasi di salah satu
ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. Proses mediasi
pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki
lain.
Putusan perdamaian yang dibuat oleh hakim karena adanya
perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara tersebut kekuatannya sama
dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal 154 ayat 2 RBg/Pasal 185 ayat (1) KUH
Perdata jo. MA tanggal 1-8-1973 Nomor 1038 K/Sip/1972). Hal ini karena
putusan tersebut didasarkan pada perdamaian yang justru dibuat oleh
pihakpihak yang berperkara, untuk menyelesaikan perkara mereka sendiri
menurut kehendak mereka sendiri, bukan sebagai hasil pertimbangan dan
penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim. Oleh sebab itu, sudah
selayaknya apabila perjanjian perdamaian tersebut dipertanggungjawabkan
sendiri oleh oleh pihak-pihak yang berperkara yang membuatnya dan tidak
dapat dimintakan banding.
Persyaratan sahnya suatu perdamaian secara limitatif seperti yang
termuat dalam Pasal 1320, 1321, 1851-1864 KUH Perdata, yaitu:
 Perdamaian harus atas persetujuan kedua belah pihak.
Unsurunsur persetujuan yakni adanya kata sepakat secara
sukarela (toesteming), kedua belah pihak cakap dalam membuat
persetujuan (bekwamnied), objek persetujuan mengenai pokok
yang tertentu (bepaalde onderwerp), berdasarkan alasan yang
diperbolehkan (seorrlosofde oorzaak). Dengan demikian bahwa
persetujuan-persetujuan tidak boleh terdapat cacat pada setiap
unsur esensialnya suatu persetujuan.
 Perdamaian harus mengakhiri sengketa. Pasal 130 HIR, Pasal
154 RBg mengatakan bahwa apabila perdamaian telah dapat
dilaksanakan, maka dibuat putusan perdamaian yang disebut
dengan akta perdamaian. Akta yang dibuat ini harus betul-betul
dapat mengakhiri sengketa yang terjadi antara kedua belah
pihak berperkara apabila tidak maka dianggap tidak memenuhi
syarat formal, dianggap tidak syah dan tidak mengikat para
pihak-pihak yang berperkara. Putusan perdamaian harus dibuat
dalam persidangan majelis hakim, disinilah peran hakim sangat
dibutuhkan dalam akte perdamaian ini dapat diwujudkan.
 Perdamaian harus atas dasar keadaan sengketa yang telah ada.
Syarat untuk dapat dasar suatu putusan perdamaian itu
hendaklah atas dasar persengketaan para pihak yang sudah
terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata
terwujud tapi baru akan diajukan ke pengadilan. Sehingga
perdamaian itu dapat mencegah gugatan atas perkara di
pengadilan. Hal ini berarti bahwa perdamaian itu dapat lahir
dari suatu perdata yang belum diajukan ke pengadilan.
 Bentuk perdamaian harus secara tertulis (akta perdamaian).
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata disebutkan bahwa persetujuan
perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis dengan format
yang telah ditetapkan oleh ketentuan peraturan yang berlaku.
Syarat ini sifatnya memaksa (inferatif), dengan demikian tidak
ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara lisan,
meskipun dihadapan pejabat yang berwenang. Bentuk
perjanjian damai yang dapat diajukan ke depan sidang
pengadilan dapat saja dibuat dalam bentuk akta notaris atau
akta dibawah tangan.

Kelebihan Mediasi :
 Lebih sederhana daripada penyelesaian melalui proses hukum acara
perdata;
 Efisien;
 Waktu singkat;
 Rahasia;
 Menjaga hubungan baik para pihak;
 Hasil mediasi merupakan KESEPAKATAN;
 Berkekuatan hukum tetap;
 Akses yang luas bagi para pihak yang bersengketa untuk memperoleh
rasa keadilan.
Proses Mediasi :
a. Proses Pra Mediasi :
1) Para pihak dalam hal ini penggugat mengajukan gugatan dan
mendaftarkan perkara;
2) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim;
3) Pada hari pertama sidang majelis hakim wajib mengupayakan
perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi;
4) Para pihak dapat memilih mediator hakim atau non hakim yang
telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu)
hari;
5) Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka majelis
menetapkan mediator dari para hakim.

b. Proses Mediasi :
1) Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan
fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-
surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan
sengketa kepada mediator dan para pihak;
2) Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian
proses mediasi;
3) Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak,
dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan;
4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan
menggali kepentingan para pihak dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian yang terbaik;
5) Apabila diperlukan, kaukus atau pertemuan antara mediator
dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya, dapat
dilakukan.

c. Proses Akhir Mediasi :


1) Jangka waktu proses mediasi di dalam pengadilan paling lama
adalah 40 hari kerja, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14
hari kerja;
2) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan
ditandatangani kedua pihak, dimana hakim dapat mengukuhkannya
sebagai sebuah akta perdamaian;
3) Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan, hakim melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan Hukum Acara yang
berlaku.
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian, merupakan cara
penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien. Hal tersebut
dikarenakan penyelesaian dengan jalan perdamaian mengandung berbagai
keuntungan yang ditinjau dari segi substansial dan psikologisnya, diantara
keuntungan tersebut yaitu22 :
1. Penyelesaian bersifat informal
2. Aturan pembuktian tidak perlu
3. Proses penyelesaian bersifat konfidensial (Rahasia)
4. Hubungan para pihak bersifat kooperatif
5. Aturan pembuktian tidak perlu
6. Bebas emosi dan Dendam

Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg
mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai (Jika
pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan
negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka).
Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka jelas hakim mempunyai
peranan aktif untuk mengusahakan penyelesaian dengan cara perdamaian
terhadap peristiwa perdata yang diperiksanya. Bertitik tolak dari pasal
tersebut, apabila ada hakim yang mengabaikan pemeriksaan tahap
mendamaikan dan langsung memasuki tahap pemeriksaan jawab menjawab,
dianggap melanggar tata tertib beracara. Akibatnya pemeriksaan dianggap
tidak sah dan cacat melawan hukum.
Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian,
menanamkan kesadaran terhadap pihak-pihak yang berperkara, bahwa
penyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan cara penyelesaian yang
terbaik dari pada harus diselesaikan dengan putusan pengadilan, baik
dipandang dari segi hubungan masyarakat, maupun dipandang dari segi
waktu, biaya dan tenaga yang diperlukan.
Apabila tercapai perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara.
Maka hasil tersebut kemudian disampaikan kepada hakim di persidangan,
yang biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian di bawah tangan.
Selanjutnya hakim menjatuhkan putusan (acte van vergelijk), yang isinya

22
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
danPutusanPengadilan), Jakarta :SinarGrafika, 2008, hal. 236-237.
menghukum pihak-pihak yang berperkara untuk melaksanakan isi perjanjian
perdamaian tersebut.23
Dengan adanya perdamaian pihak-pihak yang berperkara tersebut,
maka perkara perdata antara mereka selesai secara tuntas. Sebab, putusan
perdamaian yang dibuat oleh hakim tersebut kekuatannya sama dengan
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal
130 ayat 2 HIR/154 ayat 2 RBg/185a ayat 1 BW jo.MA.tgl. 1-8-1973 No.
1038 K/Sip/1972).24
Putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan
sebagai hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan
oleh hakim. Karenanya sudah sepantasnya apabila perjanjian perdamaian
tersebut dipertanggungjawabkan sendiri oleh pihak-pihak yang berperkara.
Dengan demikian hasil putusan perdamaian dari kedua belah pihak tidak
dapat dimintakan pemeriksaan banding. (pasal 130 ayat 3 HIR/pasal 154
ayat 3 RBg).
Penjelasan mengenai ketentuan tersebut diatas dijelaskan dalam
putusan MA No. 975 K/Sip/1973 yang menyatakan bahwa putusan
perdamaian atau acte van vergelijk, merupakan suatu putusan yang tertinggi,
tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya. Itu sebabnya secara teknis
yuridis dikatakan, putusan akta perdamaian dengan sendirinya melekat
kekuatan eksekutorial sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.

E. Putusan Verstek
Putusan verstek atau in absentia adalah putusan tidak hadirnya
tergugat dalam suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut
tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau
kuasa hukumnya untuk menghadiri dalam persidangan. Istilah verstek
dikenal juga dengan hukum acara tanpa hadir/ acara luar hadir/ verstek
procedure. Verstekvonnis sebagai putusannya yaitu putusan tanpa hadirnya
tergugat.
Syarat acara verstek dalam Pasal 125 ayat (1) HIR bahwa tergugat
telah dipanggil dengan sah dan patut. Dilakukan oleh juru sita dalam bentuk

23
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2004, hal. 83.
24
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 67.
surat tertulis, dan disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau
disampaikan pada kepala desa bila yang bersangkutan tidak diketemukan di
tempat kediaman. Surat panggilan harus sudah diterima maksimal 3 (tiga)
hari sebelum hari sidang yang telah ditentukan.
Tidak hadir tanpa alasan yang sah tergugat tidak hadir pada hari
perkara itu diperiksa, tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang
bertindak mewakilinya padahal tergugat telah dipanggil secara patut tetapi
tidak menghiraukan dan menaati penggilan tanpa alasan yang sah, dalam
kasus seperti ini hakim dapat dan berwenang menjatuhkan putusan verstek
yaitu putusan diluar hadirnya tergugat. Berdasarkan Pasal 125 ayat (1) jo
Pasal 121 HIR hukum acara memberi hak kepada tergugat mengajukan
eksepsi kompetensi (exceptie van onbevoegheid) baik kompetensi absolut
(Pasal 134 HIR) atau kompetensi relatif (Pasal 133 HIR). Jika tergugat tidak
mengajukan eksepsi seperti itu dan tergugat juga tidak memenuhi panggilan
sidang berdasarkan alasan yang sah maka hakim dapat langsung
menyelesaikan perkara berdasarkan acara verstek.
Sebaliknya, meskipun tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah
tetapi dia menyampaikan jawaban tertulis yang berisi eksepsi kompetensi
yang menyatakan pengadilan negeri tidak berwenang menghadiri perkara
secara absolut dan relative, maka, hakim tidak boleh langsung menerapkan
acara verstek meskipun tergugat tidak hadir memenuhi panggilan. Dengan
adanya eksepsi tersebut, tidak perlu dipersoalkan alasan ketidakhadiran,
karena eksepsi menjadi dasar alasan ketidakhadiran.
Jika tergugat mengajukan eksepsi kompetensi, proses pemeriksaan
yang harus dilakukan hakim menurut Pasal 125 ayat (2) HIR, yaitu wajib
lebih dahulu memutus eksepsi, yaitu bila eksepsi dikabulkan maka
pemeriksaan berhenti. Bila eksepsi ditolak maka dilanjutkan dengan acara
verstek. Penerapan acara verstek tidak imperatif, ketidakhadiran tergugat
pada sidang pertama langsung memberi wewenang kepada hakim untuk
menjatuhkan putusan verstek.
Jika tergugat telah dipanggil secara patut namun tidak datang
menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah, hakim langsung dapat
menerapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan putusan verstek.
Mengundurkan sidang dan memanggil tergugat sekali lagi jika hakim tidak
langsung menjatuhkan putusan verstek pada sidang pertama, maka hakim
memerintahkan pengunduran sidang. Bersamaan dengan itu, memerintahkan
juru sita memanggil tergugat untuk kedua kalinya supaya datang pada
tanggal yang ditentukan.
Batas waktu toleransi pengunduran hanya sampai 3 (tiga) kali saja,
apabila pengunduran dan pemanggilan sudah sampai 3 (tiga) kali tetapi
tergugat tidak datang menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, maka hakim
wajib menjatuhkan putusan verstek. Penerapan verstek apabila tergugat lebih
dari satu. Di dalam Pasal 127 HIR, jika pada sidang pertama semua tergugat
tidak hadir, langsung dapat diterapkan acara verstek.
Jika seluruh tergugat tidak hadir menghadap dipersidangan tanpa
alasan yang sah meskipun mereka telah dipanggil dengan patut, pengadilan
negeri atau hakim dapat melakukan tindakan alternatif, yaitu: dapat langsung
menerapkan acara verstek dengan jalan menjatuhkan putusan verstek. Tidak
menjatuhkan putusan verstek tetapi memerintahkan pengunduran sidang dan
memanggil para tergugat sekali lagi. Pada sidang berikutnya semua tergugat
tetap tidak hadir, dapat diterapkan acara verstek.
Pasal 125 ayat (1) jo. Pasal 126 dan Pasal 127 HIR memberikan
pilihan bagi hakim melakukan tindakan menerapkan acara verstek dengan
jalan menjatuhkan putusan verstek. Mengundurkan persidangan sekali lagi
dan memerintahkan juru sita memanggil para tergugat untuk yang ke tiga
kalinya (terakhir).
Jika pengunduran dan pemanggilan sudah berlanjut untuk yang ke
tiga kalinya, tetapi para tergugat tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah,
maka Hakim wajib menerapkan acara verstek dengan jalan menjatuhkan
putusan verstek. Dalam kasus seperti itu, tidak layak dan tidak beralasan lagi
mengundurkan persidangan untuk yang ke empat kalinya.
Salah seorang tergugat tidak hadir, sidang wajib diundurkan. Menurut
Pasal 127 HIR, harus ditegakkan tata cara: secara imperatif, pemeriksaan
diundurkan persidangan ke hari lain; Memerintahkan untuk memanggil
tergugat yang tidak hadir, agar hadir pada sidang berikutnya. Sedangkan
kepada tergugat yang hadir, pengunduran cukup diberitahukan pada
persidangan itu. Tidak boleh memeriksa tergugat yang hadir dan tidak boleh
menjatuhkan verstek kepada yang tidak hadir.
Hakim dilarang/tidak diperbolehkan untuk memeriksa para tergugat
yang hadir, yang harus dilakukan hakim adalah mengudurkan sidang,
memanggil sekali lagi tergugat yang tidak hadir. Hakim juga tidak boleh
menerapkan acara verstek kepada tergugat yang tidak hadir; tetap tidak hadir
pada sidang berikutnya, proses pemeriksaan dilangsungkan secara
contradictoir; melangsungkan proses pemeriksaan terhadap para tergugat
yang hadir dengan penggugat secara kontradiktor atau exceptie van
onbevoegheid.
Sedangkan terhadap tergugat yang tidak hadir pemeriksaan berlaku
baginya tanpa bantahan terhadap dalil penggugat, yang berakibat tergugat
tersebut dianggap mengakui dalil penggugat. Akan tetapi, meskipun proses
pemeriksaan dianggap berlaku kepada tergugat yang tidak hadir. Hakim
wajib memerintahkan untuk memanggilnya pada sidang berikutnya. Pada
sidang berikutnya, kepadanya terbuka kesempatan mengajukan bantahan
apabila dia menghadiri persidangan.
Salah seorang atau semua tergugat yang iki ihadir pada sidang
pertama, tidak hadir pada sidang berikutnya, tetapi tergugat yang dahulu
tidak hadir, sekarang hadir. Dalam hal ini, hakim dapat memilih alternatif,
mengundurkan persidangan, melangsungkan persidangan secara
contradictor. Salah seorang tergugat terusmenerus tidak hadir sampai
putusan dijatuhkan proses pemeriksaan kontradiktor.

F. Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:
 Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai
pokok perkara.
 Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
 Rekonvensi yaitu gugatan balik atau gugat balas yang diajukan
tergugat kepada penggugat.

Pasal 118 HIR, jika tergugat dipanggil menghadap pengadilan negeri


ia dapat mengajukan tangkisan supaya pengadilan negeri itu menyatakan
tidak berwenang untuk mengadilinya, dengan ketentuan bahwa tangkisan itu
harus diajukan segera pada sidang pertama, pernyataan itu tidak akan
diperhatikan lagi, kalau tergugat telah mengemukakan jawaban atas pokok
perkara. Contoh eksepsi kewenangan relatif, Gugatan yang diajukan oleh
pengugat salah alamat atau keliru karena yang berwenang untuk mengadili
perkara tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakarta Timur, bukan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.
Eksepsi kewenangan absolut diatur dalam Pasal 134 HIR, apabila
persengketaan itu adalah suatu perkara yang tidak termasuk wewenang
Pengadilan Negeri untuk mengadilin0oya, maka pada setiap saat dalam
pemeriksaan perkara itu tergugat dapat mengajukan tangkisan supaya
pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili perkara itu dan
Pengadilan Negeri karena jabatannya harus pula menyatakan bahwa tidak
berwenang mengadili perkara itu.
Contoh eksepsi kewenangan absolut, perkara perceraian, bagi orang
yang beragama Islam bukan wewenang pengadilan negeri melainkan
wewenang pengadilan agama. Sebaliknya perceraian antara seorang suami
yang beragama Islam dengan istri yang beragama Kristen merupakan
wewenang pengadilan negeri bukan Pengadilan Agama.
Eksepsi lain adalah:
 Eksepsi bahwa persoalan yang sama telah pernah diputus dan
putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
 Eksepsi bahwa persoalan yang sama sedang diperiksa oleh
pengadilan negeri yang lain atau masih dalam taraf banding
atau kasasi, Eksepsi bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai kualifikasi/sifat untuk bertindak.
 Eksepsi Dilatoir yaitu menyatakan bahwa gugatan penggugat
belum dapat dikabulkan karena penggugat telah memberikan
penundaaan pembayaran,
 Eksepsi Peremtoir yaitu eksepsi yang menghalangi
dikabulkannya gugatan karena gugatan telah diajukan lampau
waktu atau kadaluarsa atau utang yang menjadi dasar gugatan
telah dihapus.

Eksepsi ditolak karena tidak beralasan, maka dijatuhkan putusan sela


dan dalam putusan tersebut sekaligus diperintahkan agar kedua belah
pihak melanjutkan perkara tersebut. Selanjutnya pokok perkara
diperiksa dan jawaban terhadap pokok perkara, terdiri dari:
1) pengakuan yaitu jawaban yang membenarkan isi gugatan,
artinya apa yang digugat terhadap tergugat diakui
kebenarannya. Jika tergugat pada jawaban pertama mengakui,
maka dalam jawaban berikutnya sampai ketingkat banding,
tergugat tetap terikat dengan pengakuan itu, artinya pengakuan
itu tidak dapat ditarik kembali.
2) Penyangkalan/ bantahan yaitu pernyataan yang tidak
membenarkan atau tidak mengakui apa yang digugat terhadap
tergugat. Bantahan yang secara umum mengatakan bahwa
keterangan dan tuntutan penggugat itu adalah tidak benar sama
sekali tanpa menyebutkan alasan-alasannya, tidak akan ada
artinya dan dianggap hakim sebagai tidak membantah.
3) Rekonvensi (reconvention/ reconvention) yaitu gugatan
balasan/ gugatan balik atau gugatan balasan yang dilakukan
oleh tergugat kepada penggugat. Gugatan yang diajukan oleh
tergugat berhubung penggugat juga pernah melakukan
wanprestasi terhadap tergugat. Rekonvensi yang diajukan
tergugat itu sebetulnya adalah jawaban tergugat terhadap
gugatan penggugat atas perkara yang sedang diperiksa oleh
pengadilan. Gugatan konvensi dan rekonvensi diselesaikan
sekaligus dan diputus dalam satu surat putusan, kecuali kalau
pengadilan berpendapat bahwa perkara yang satu dapat
diselesaikan lebih dahulu dari pada yang lain.

Dalam hal ini perkara yang dapat diperiksa dahulu boleh didahulukan,
tetapi gugatan semula dan gug at balas (rekonvensi) yang belum diputuskan
tetap diperiksa oleh hakim yang sama, sampai dijatuhkan putusan terakhir
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 132 b ayat (3) HIR. Keuntungan
gugat balas bagi kedua belah pihak, yaitu menghemat ongkos perkara,
mempermudah pemeriksaan, mempercepat penyelesaian perkara, dan
menghindari putusan yang saling bertentangan.

G. Gugatan Rekovensi
Menurut Yahya Harahap, istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam
Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan
tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat
kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, …oleh karena
bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan,
artinya untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu
mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan
pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan
lawannya.
Dalam pasal 132a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan
rekovensi ialah gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat konvensi
sebagai gugatan balasan atas gugatan penggugat kepadanya pada saat proses
pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini seseorang yang awalnya berkedudukan
sebagai penggugat dalam konvensi menjadi tergugat dalam rekonvensi,
sedangkan tergugat dalam konvensi kedudukannya merangkap sebagai
penggugat dalam gugat rekonvensi.
Menurut Soepomo, tujuan adanya gugat rekovensi ini untuk
mempermudah prosedur karena gugat konvensi dan rekonvensi ini diperiksa
dan diputus bersama dalam satu proses dan dituangkan dalam satu putusan.
Selain itu juga dapat menghemat waktu dan biaya bagi pihak yang
berperkara, serta dapat terhindar dari kemungkinan adanya putusan yang
saling bertentangan.25
Pada dasarnya, gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam berbagai hal,
kecuali 3 hal yang disebut dalam pasal 132a HIR, yaitu sebagai berikut 26 :
Dalam gugatan konvensi bertindak bukan untuk diri sendiri (sebagai
wali), sedangkan dalam gugatan rekonvensi bertindak untuk diri sendiri 2.
Apabila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak
berwenang secara mutlak untuk memeriksa gugatan rekonvensi 3. Dalam hal
perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

H. Replik
Replik merupakan tahap yang dilakukan setelah proses pengajuan
jawaban tergugat di pengadilan. Replik adalah jawaban penggugat terhadap
jawaban tergugat atas gugatannya. Diajukan secara tertulis (maupun lisan),
untuk meneguhkan gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai
alasan dalam penolakan yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya.
Replik adalah lanjutan dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di
dalam pengadilan negeri setelah tergugat mengajukan jawabannya.
Replik ini berasal dari 2 (dua) kata yakni re (kembali) dan pliek
(menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwa replik berarti kembali
menjawab. Menurut JTC Simoramgkir Replik ialah jawaban balasan atas
25
Yahya Harahap, Op.Cit, hal.468-473.
26
Riduan Syahrani,Op.Cit, hal. 71
jawaban tergugat di dalam perkara perdata. Replik harus disesuaikan dengan
kualitas dan kuantitas dalam jawaban tergugat. Oleh sebab itu, replik ialah
respons penggugat atas suatu jawaban yang diajukan tergugat. Bahkan juga
tidak tertutup kemungkinan membuka peluang kepada penggugat agar
mengajukan replik. Replik penggugat ini bisa berisi pembenaran terhadap
suatu jawaban tergugat atau juga boleh jadi penggugat menambahkan
keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang diajukan
penggugat di dalam gugatannya tersebut.
Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur
dalam H.I.R/R.Bg, akan tetapi di dalam Pasal 142 Rv, replik itu biasanya
berisi dalil-dalil atau hak-hak tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil
gugatan si penggugat. Penggugat di dalam replik ini juga bisa
mengemukakan sumber sumber pendapat pendapat para ahli, kepustakaan,
kebiasaan, doktrin, dan sebagainya. Peranan yurisprudensi sangat penting
dalam replik, mengigat kedudukanya adalah salah satu dari sumber hukum.
Untuk dalam penyusunan replik biasanya cukup sekiranya dengan cara
mengikuti poin-poin jawaban pihak tergugat.
Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat
baik tertulis maupun lisan. Jika jawab menjawab antara penggugat dan
tergugat telah selesai dan dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak
diperbolehkan mengajukan gugatan rekonvensi. Selanjutnya menurut pasal
132a ayat 2 HIR telah ditentukan bahwasanya jika gugatan rekonvensi
dalam persidangan tingkat pertama tidak diajukan, maka dalam tingkat
banding tidak dapat diajukan lagi.
Kedua gugatan tersebut dapat diselesaikan sekaligus dan dapat diputus
dalam satu putusan (pasal 132b HIR dan pasal 158 RBg). Akan tetapi hakim
berwenang untuk memisahkan keduanya jika ia berpendapat bahwa suatu
perkara dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada perkara yang lain. Proses
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan dijatuhkan dalam
satu putusan jika antara konvensi dan rekonvensi sama sekali tidak ada
hubungan. Dan dapat pula dilakukan secara terpisah dan diputus dalam
putusan yang berbeda. Mengenai dasar kebolehan tersebut tidak tercantum
dalam Undang-Undang namun diserahkan pada penilaian pertimbangan
hakim.
Disini perlu digarisbawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya
berlaku dalam perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh
karena itu dalam permohonan (voluntria) penuh tidak berlaku gugat balik
(rekonvensi).

I. Duplik
Setelah penggugat mengajukan replik, maka tahapan pemeriksaan
selanjutnya adalah Duplik, yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang
diajukan penggugat. Diajukan secara tertulis (maupun lisan), duplik yang
diajukan tergugat berisi peneguhan jawabannya, yang lazimnya berisi
penolakan terhadap gugatan penggugat. Dalam prakteknya acara jawab
menjawab di pengadilan antara penggugat dengan tergugat berjalan secara
tertulis. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang cukup dengan menunda
waktu selama satu atau dua minggu untuk tiap-tiap tahap pemeriksaan.
Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat
duplik tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-
dalilnya yang dimuat dalam jawaban. Bila dalam jawaban ada eksepsi yang
kemudian eksepsi tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka
tergugat dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil yang pada dasarnya
semakin memperkuat dalilnya semula. Kemudian dalil tersebut dapat
merupakan pendapat doktrin atau yurisprudensi yang berkaitan erat dengan
apa yang dikemukakan dalam dalil tersebut.
Bila perlu dalil tersebut sekaligus juga harus dapat mematahkan atau
setidaknya melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam
repliknya. Kemudian dalam pokok perkara sama dengan replik ada dua
klausul yang harus dimuat. Pertama, berisi pernyataan agar dalil-dalil yang
dikemukakan pada bagian eksepsi dianggap merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pokok perkaranya. Kedua, merupakan pernyaatan yang
menolak dalil-dalil penggugat secara keseluruhan, kecuali memang ada dalil
yang diakui olehnya. Kemudian dalil-dalil pada replik harus satu demi satu
dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat.
Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang
biasanya proses Replik – Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan
dengan bentuk tulisan, sehingga untuk menyiapkan segala kebutuhannya
membutuhkan waktu yang cukup lama, dengan cara menunda sidang selama
beberapa hari sampai kedua belah pihak siap dan dapat melanjutkan
persidangan.
Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai
berikut27:
1. Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir
2. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah, hanya
menanyakan yang berkaitan dengan hukum, begitupula Replik-Duplik
yang diajukan oleh penggugat dan tergugat.
3. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau dari
hakim harus melalui izin dari ketua majlis.
4. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang bersifat
umum selalu oleh ketua majlis.

J. Intervensi
Intervensi pihak ketiga tersebut kemudian disebut intervenient,
sedangkan bentuknya disebut intervensi (Vide: Pasal 279 s/d Pasal 282 Rv),
yaitu Voeging, Tussenkomst dan vrijwaring. Berikut penjelasannya:
1. Intervensi bentuk voeging (menyertai) yakni pihak ketiga mencampuri
sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan
bersikap memihak kepada salah satu pihak, biasanya pihak tergugat dan
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan
jalan membela salah satu pihak yang bersengketa. Contoh: C sebagai
pihak ketiga, berkapasitas sebagai penanggung dari B sebagai tergugat
dapat mencampuri sengketa hutang piutang antara A (penggugat) dan B
(tergugat) untuk membantu atau membela B.
2. Tussenkomst (menengahi), pihak yang mengintervensi tidak ada
keberpihakannya kepada salah satu pihak, baik tergugat maupun
penggugat. Berdasarkan aturan hukum acara perdata, mestinya pihak
yang mengintervensi dalam tussenkomst, dapat mengajukan tuntutan
sendiri kepada masing-masing pihak tanpa mencampurinya. Namun
dengan penerapan Penyederhanaan perkara dan mencegah adanya
putusan yang saling bertentangan, maka pihak ketiga ini dapat menjadi
pihak yang juga melakukan tuntutan kepada kedua pihak yang sedang
27
Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 72.
berperkara itu. Contoh: A sebagai seorang ahli waris menuntut B yang
menguasai harta peninggalan agar menyerahkan harta peninggalan
tersebut, kemudian dating C mengintervensi sengketa antara A dan B
dengan tuntutan dialah yang berhak atas harta peninggalan tersebut
berdasarkan testamen.
3. Vrijwaring juga dianggap sebagai pihak ketiga, namun keterlibatannya
bukan karena pihak ketiga itu yang berkepentingan, melainkan karena
dianggap sebagai penanggung (garantie) oleh salah satu pihak, biasanya
tergugat, sehingga dengan melibatkan pihak ketiga itu akan dibebaskan
dari pihak yang menggugatnya akibat putusan tentang pokok perkara.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan Voeging dan


Tussenkomst. Pihak ketiga di sini adalah, secara terpaksa sehingga ia terlibat
dalam suatu perkara perdata, bukan karena kehendak pihak ketiga itu
sendiri. Sebagaimana yang terjadi pada intervensi: Voeging dan
Tussenkomst. Menurut Sudikno Mertokusumo, Vrijwaring terbagi atas 2
(dua) yakni:
1) Vrijwaring Formil (Garantie Formelle) terjadi jika seseorang
diwajibkan untuk menjamin orang lain menikmati suatu hak atau
benda terhadap suatu yang bersifat kebendaan, seperti penjual yang
harus menanggung pembeli dari gangguan pihak ketiga (Pasal 1492
BW). Dalam kaitannya dengan Vrijwaring, jika ternyata pembeli ini
(Mis A) kemudian digugat oleh C, karena B dulunya menjual barang
C kepada A, maka B dapat ditarik sebagai Vrijwaring.
2) Vrijwaring Simple/ Sederhana, terjadi apabila sekiranya tergugat
dikalahkan dalam sengketa yangs sedang berlangsung, ia mempunyai
hak untuk menagih kepada pihak ketiga: penanggung dengan
melunasi hutang mempunyai hak untuk menagih kepada Debitur
(Vide: Pasal 1839, dan Pasal 1840 KUH Perdata). Artinya, dalam
tuntutan itu ada tuntutan penggugat lawan tergugat (tertanggung) dan
tuntutan tergugat lawan pihak ketiga (penanggung).

Dari berbagai pemaparan di atas, Voeging sebagai pihak ketiga yang


mempunyai kepentingan terhadap para pihak dengan memihak kepada salah
satu pihak. Tussenkomst, pihak ketiga itu menjadi pihak yang
mengintervensi kepada para pihak tanpa ada keberpihakannya, dengan
maksud untuk membela kepentingannya sendiri. Vrijwaring intervensi oleh
karena pihak ketiga ditarik secara terpaksa (bukan kehendak pihak ketiga).
Pihak ketiga dianggap sebagai penanggung atas perkara yang dituntut oleh
penggugat kepada tergugat.
Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging,
intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg,
tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan
berpedoman pada Rv (Pasal 279 Rv dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan prinsip
bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil
maupun hukum formil.
Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada
penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, hakim
memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, selanjutnya
dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus
disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut. Intervensi (tussenkomst) adalah
ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan
ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak
ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh
penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak
dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada
dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan
intervensi.
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab
(untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat).
Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan
perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya, tergugat digugat
oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung
cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak
ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut
bertanggung jawab atas cacat itu.
Setelah ada permohonan vrijwaring, hakim memberi kesempatan para
pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan
putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut. Apabila
permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan
akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke Pengadilan
Tinggi harus bersamasama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok
tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari
intervensi tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan tersendiri.
Apabila permohonan dapat dikabulkan, maka putusan tersebut
merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara, dan selanjutnya
pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi ke
dalam perkara pokok.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Proses Mediasi Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib


menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi
surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa
kepada mediator dan para pihak; 2) Mediator wajib menentukan jadwal
pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi; 3)Pemanggilan saksi ahli
dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu
ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan; 4)Mediator wajib
mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan para
pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik; 5)Apabila
diperlukan, kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak
tanpa kehadiran pihak lainnya, dapat dilakukan.
Peraturan di atas pada umumnya dapat dianggap sebagai pokok asas bagi
pemeriksaan perkara perdata, bahwa hakim, untuk dapat mengambil putusan
yang tepat, sebaiknya mendengarkan kedua belah pihak. Ini juga sesuai
dengan sifat hukum perdata, yang pelaksanaannya pada umumnya
diserahkan kepada kemauan yangberkepentingan sendiri, maka cukuplah
apabila dalam peraturan hukum acaraperdata kepada kedua belah pihak
diberi kesempatan penuh untuk untukmenjelaskan sendiri kepada hakim
segala sesuatu yang mereka anggap perlusupaya diketahui oleh hakim,
sebelum suatu putusan dijatuhkan.
Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian,
menanamkan kesadaran terhadap pihak-pihak yang beroperkara, bahwa
penyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan cara penyelesaian yang
terbaik dari pada harus diselesaikan dengan putusan pengadilan. Putusan
yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai hasil
pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim.
Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang biasanya
proses Replik – Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan dengan
bentuk tulisan, sehingga untuk menyiapkan segala kebutuhannya
membutuhkan waktu yang cukup lama, dengan cara menunda sidang selama
beberapa hari sampai kedua belah pihak siap dan dapat melanjutkan
persidangan. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah,
hanya menanyakan yang berkaitan dengan hukum, begitupula Replik-Duplik
yang diajukan oleh penggugat dan tergugat.

B. Saran

1.Mempertimbangkan dengan saksama sah atau tidaknya surat panggilan


(Relaas) yang dilakukan Jurusita agar putusan verstek dapat dijatuhka
dengan seadil-adilnya
2. Memeriksa dengan lebih saksama alat bukti dan saksi yang diajukan oleh
Pihak Penggugat, karena Pihak Penggugat adalah pemeran tunggal dalam
pemeriksaan persidangan. Ada kemungkinan Pihak Penggugat melakukan
rekayasa yang dapat membuat posisi Pihak Tegugat semakin tersudut atau
bahkan ternyata objek gugatan adalah tidak nyata dan jelas.
3. Memperkuat posisi Jurusita dalam melakukan eksekusi putusan, dalam
dalam membuat surat panggilan (Relaas) dan dalam mencari Pihak Tergugat
serta memperkuat posisi Jurusita dalam bekerja sama dengan polisi dalam
pelaksanaan eksekusi putusan.
4. Memberikan penjelasan kepada Pihak Penggugat bahwa dalam ekskusi
putusan, Pihak Yang Menang atau Pihak Penggugat dalam kasus ini, harus
lebih aktif dalam menghubungi Pihak Pengadilan yang dalam hal ini adalah
melalui Jurusita.

Anda mungkin juga menyukai