Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TENTANG TAHAPAN-TAHAPAN PEMERIKSAAN PARKARA PERADILAN


PERDATA

Disusun oleh :

Ericko Wahyudi Silfanus

20170610332

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM
Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat
penting dan sangat komplek dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin
rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran
yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang
bersifat absolut (ultimate absoluth), tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan
cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari kebenaran yang
demikian tetap menghadapi kesulitan.1

Sebelum Majelis Hakim sampai kepada pengambilan Putusan dalam setiap


perkara perdata yang ditanganinya, terlebih dahulu harus melalui proses dan tahapan
pemeriksaan persidangan, tanpa melalui proses tersebut, Majelis Hakim tidak akan dapat
mengambil keputusan. Melalui proses ini pula, semua pihak baik Penggugat maupun
Tergugat (dapat diwakilkan oleh Penasihat Hukum/Pengacara/Advokat yang bekerja di
kantor hukum sebagai kuasa hukumnya) diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan
segala sesuatunya dan mengemukakan pendapatnya, serta menilai hasil pemeriksaan
persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Proses persidangan ini merupakan
salah satu aspek hukum formil yang harus dilakukan oleh Hakim untuk dapat
memberikan Putusan dalam perkara/kasus perdata. Proses pemeriksaan persidangan
perkara perdata di Pengadilan yang dilakukan oleh Hakim, secara umum diatur dalam
peraturan perundang-undangan yaitu HIR (Herzien Indonesis Reglement) untuk Jawa dan
Madura dan Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten) untuk di luar Jawa dan Madura.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah tahapan – tahapan pemeriksaan dalam Hukum perdata ?


2. Bagaimanakah eksekusi keputusan hakim dalam Hukum Perdata ?

BAB II
1
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Cet. Kedua,.Jakarta : Sinar Grafika, hal. 498
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemeriksaan Perdata

Perkara Perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang satu dengan
pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan.

Pengertian Perkara Perdata tentang hubungan keperdataan antara pihak yang satu dengan
pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang sedang
berperkara umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil-
adilnya. Perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak hanya terhadap
perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh para pihak, tetapi dalam
hal-hal tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu permohonan penetapan ke pengadilan
untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang berkepentingan
agar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan. Umumnya dalam permohonan penetapan
tentang hak-hak keperdataan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan tidak mengandung
sengketa karena permohonannya dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak yang
berwajib.

Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang
mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian perkara
perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat
dipastikan mengandung sengketa.

Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunnya Hukum Acara Perdata
Indonesia menyatakan bahwa Pengertian perkara perdata adalah "meliputi baik perkara yang
mengandung sengketa (contentius) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair)".2

B. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata

Perkara perdata ada 2 yaitu perkara gugatan contohnya perkara gugatan sengketa tanah
dan perkara permohonan contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses pemeriksaan
perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke pengadilan.3

Adapun proses pemeriksaan perkara gugatan (dalam praktek) biasanya sebagai berikut :

1. Diawali karena adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu
di bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar panjar biaya perkara, penetapan
nomor register perkara, disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan
2
Sarwono, 2012. HUKUM ACARA PERDATA Teori dan Praktik. Sinar Grafika: Jakarta.
3
https://tiarramon.wordpress.com/2013/05/15/proses-pemeriksaan-perkara-perdata-gugatan/
Majelis Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan
melalui panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang
yang telah ditetapkan.
2. Pada persidangan pertama jika Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah
dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan
memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah
dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan
memberikan putusan Verstek. Namun demikian jika Penggugat dan Tergugat hadir, maka
majelis hakim akan menanyakan dahulu apakah gugatannya ada perubahan, jika ada
diberika kesempatan untuk merubah dan dicata panitera pengganti. Jika tidak ada
perubahan majelis Hakim akan melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari.
3. Jika selama 40 hari tersebut mediasi ataud amai tidak tercapai, maka persidangan
selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Dalam prakteknya pembacaan
gugatan selalu tidak dilakukan yang terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang
antara Penggugat dan Tergugat sepakat. Hal ini untuk menghemat waktu. karena pada
dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan disampaikan
pengadilan (juru sita) minimal 3 hari sebelum persidangan pertama dimulai.
4. Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap dibacakan, Majelis Hakim
menanyakan kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila
lisan majelis hakim pada persidangan tersebut akan mencatat dan apabila tertulis
biasanya diberi kesempatan 1 minggu untuk menanggapinya yang disebut dengan
Jawaban Tergugat atas Gugatan Penggugat. Dalam jawaban tergugat ini tergugat dapat
melakukan bantahan, mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta
mengajukan eksepsi (formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik).
5. Pada persidangan selanjutnya adalah menyerahkan Jawaban Tergugat. Dalam prakteknya
jawaban tergugat tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Penggugat secara
tertulis untuk menanggapi Jawaban Tergugat yang disebut dengan Replik Penggugat
(Tanggapan terhadap Jawaban Tergugat). Replik Penggugat isinya sebenarnya harus
mempertahankan dalil-dalil isi gugatan adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam
jawaban tergugat adalah salah. Replik juga bisa lisan tentunya jika lisan jawaban harus
dibacakan agar Penggugat tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
6. Pada persidangan berikutnya adalah menyerahkan Replik Penggugat Dalam prakteknya
Replik Penggugat juga tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Tergugat secara
tertulis untuk menanggapi Replik Penggugat yang disebut dengan Duplik Tergugat
(Tanggapan terhadap Replik Penggugat). Duplik Tergugat isinya sebenarnya harus
mempertahankan dalil-dalil jawaban Tergugat adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam
Replik Penggugat adalah salah. Duplik juga bisa lisan tentunya jika lisan Replik harus
dibacakan agar Tergugat tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
7. Pada persidangan berikutnya, adalah menyerahkan Duplik Tergugat yaitu tanggapan
terhadap Replik Penggugat. Setelah Duplik, majelis hakim akan melanjutkannya
penyerahan alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga
menyerahkan alat-alat bukti tertulis kepada majelis hakim.
8. Setelah penyerahan alat bukti tertulis selesai, jika penggugat merasa perlu menghadirkan
saksi-saksi untuk mendukung alat bukti tertulisnya, maka majelis hakim memberikan
kesempatan dan dilakukan pemeriksaan saksi untuk diminta keterangannya sesuai
perkara. Setelah itu baru diberi kesempatan juga pada Tergugat untuk menghadirkan
saksi untuk dimintai keterangannya.
9. Setelah pemeriksaan alat bukti selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat (PS)
yaitu Majelis Hakim akan datang ke lokasi objek sengketa (tanah) untuk melihat fakta
apakah antara isi gugatan dengan fakta dilapangan mempunyai kesesuaian.
10. Apabila pemeriksaan setempat selesai, dilanjutnya dengan kesimpulan oleh penggugat
maupun tergugat.
11. Terakhir adalah putusan hakim (vonis). Jika eksepsi diterima putusannya adalah gugatan
tidak dapat diterima (NO), jika gugatan dapat dibuktikan oleh penggugat putusan hakim
adalah mengabulkan baik seleuruh maupun sebagian serta jika gugatan tidak dapat
dibuktikan oleh Penggugat, putusan hakim adalah menolak gugatan. (catatan : sebelum
vonis hakim dijatuhkan, perdamaian masih dapat dilakukan, bahkan perdamaian tersebut
harus selalu ditawarkan hakim pada setiap tahap persidangan).
12. Terhadap putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya
hukum Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada
saat putusan dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan dijatuhkan.

C. Eksekusi Keputusan Hakim Perkara Perdata dan Pidana

a. Pengertian Eksekusi

Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van
vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan
kekuatan umum, apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau
menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah
tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.4

Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan yang mengandung
perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan
hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan
untuk melaksanakannya.5

4
M. Yahya Harahap, 1988 : 5
5
Abdul Manan, 2005: 313
Dari pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban
dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi

prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan


panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena
tidak dilaksanakannya secara sukarela.

Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara
perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri.

b) Dasar Hukum Eksekusi

Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam perkara, maka
masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan :

 Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258
R.Bg (tentang tata cara eksekusi secara umum);
 Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu);
 Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223 HIR/Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang
”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
 Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun
2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi);
 Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil); Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 (tentang pelaksanaan putusan pengadilan).

c) Asas Eksekusi

Untuk menjalankan eksekusi, perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:

1. Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in
kracht van gewijsde).

Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para
pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum
(Rachtsmiddel), yakni:

Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;

a) Putusan Makamah Agung (kasasi/PK);


b) Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.

Sebagai pengecualian dari asas di atas adalah:


a) Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad);
b) Putusan provisi;
c) Putusan perdamaian;
d) Grose akta hipotik/pengakuan hutang.

2. Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum


(condemnatoir).

Maksudnya, pada putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara
yang berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan, bahwa
perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat, proses
pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir).

Misalnya amar putusan yang berbunyi :

a) Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan“ sesuatu barang;


b) Menghukum atau memerintahkan “pengosongan“ sebidang tanah atau rumah;
c) Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ suatu perbuatan tertentu;
d) Menghukum atau memerintahkan “penghentian“ suatu perbuatan atau keadaan;
e) Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ pembayaran sejumlah uang.6

3. Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela

Maksudnya, bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak
bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia
melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah
tidak diperlukan lagi.

4. Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1)
HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg]

Maksudnya, bahwa pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah


mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga secara ex
officio (ambtshalve) kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan tingkat pertama
(pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari
aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).

5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi
tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya

6
M. Yahya Harahap, 1988: 13
ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum
sebagai argumentasi hakim.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang
mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian perkara
perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat
dipastikan mengandung sengketa.

Perkara perdata ada 2 yaitu perkara gugatan contohnya perkara gugatan sengketa tanah dan
perkara permohonan contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses pemeriksaan perkara
gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke pengadilan.

Prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan panitera/


jurusita/ jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak
dilaksanakannya secara sukarela.

Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian
perkara perdata yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri.

Daftar Pustaka

M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Kedua,.Jakarta : Sinar Grafika, hal. 498
M. Yahya Harahap, 1988

M. Yahya Harahap, 1988

Sarwono, 2012. HUKUM ACARA PERDATA Teori dan Praktik. Sinar Grafika: Jakarta.

https://tiarramon.wordpress.com/2013/05/15/proses-pemeriksaan-perkara-perdata-gugatan/

Anda mungkin juga menyukai