Pertemuan 4
Dormiunt aliquando
leges, nunquhukum
terkadang tidur,
tetapi hukum tidak
pernah mati.
am moriuntur -
CV
1. Miss Intelegensia Sumatera Barat 2018
2. Best Speaker Miss Nusantara 2018
3. Duta Genre Talenta UMMY Solok 2018
4. Juara 1 Debat Fakultas Hukum Se-Sumbar di Universitas
Muhamadiyah Sumatera Barat
5. Juara 1 Pidato Se-Sumbar
6. Top 15 Putra-Putri Maritim Sumatera Barat
7. Top 20 Duta Bahasa Sumatera-Barat
8. Lulusan Terbaik S1 UMMY Solok Tingkat Universitas
dan Fakultas Hukum Tahun 2019
9. Mahasiswa Berprestasi Tahun 2019
10. Lulusan Terbaik S2 Universitas Andalas tingkat
Fakultas Hukum 2022
PERTEMUAN IV
Sistem pembuktian dalam perkara perdata
Ada 6 prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata, mulai dari pembuktian mencari dan mewujudkan
kebenaran formil hingga bukti lawan. Secara sederhana, prinsip pembuktian adalah landasan yang digunakan
dalam penerapan pembuktian. Lebih lanjut, semua pihak, termasuk halnya hakim, harus berpegangan pada prinsip-
prinsip pembuktian ini. Terkait prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata, Umarwan Sutopo dkk.
menerangkan bahwa ada enam prinsip umum yang dikenal. Adapun 6 prinsip pembuktian dalam hukum acara
perdata yang dimaksud adalah sebagai berikut.
6. Bukti Lawan
Bukti lawan adalah bukti penyangkal atau contra-enquete yang diajukan dan disampaikan oleh tergugat di persidangan
untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak lawan. Tujuan dari bukti lawan ini adalah untuk membantah
kebenaran pihak lawan dan meruntuhkan penilaian hakim atas pembuktian yang diajukan pihak lawan.
Ada dua prinsip pokok terkait penerapan bukti lawan. Pertama, semua alat bukti yang diajukan pihak lain, dapat
dibantah atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. Kedua, tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti
lawan. Lebih lanjut, pengajuan bukti lawan haruslah didasarkan pada asas proporsional, yang mana berarti bukti lawan
yang diajukan tidak boleh lebih rendah nilainya dari bukti yang hendak dilumpuhkan.
TemanASN
Upaya hukum di MA
(upaya hukum biasa dan luar biasa)
TemanASN
A. Pengertian
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau
badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-
pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat
melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.
TemanASN
Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas
penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan
dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:
1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;
2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlak
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan
TemanASN
UU Grasi pada awalnya adalah UU 22 tahun 2002 tentang Grasi, Kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
tahun 2002 tentang Grasi. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikianlah dalam UU 22 tahun 2002
tentang Grasi. Undang-Undang tentang Grasi mengalami Perubahan pada tahun 2010.
Grasi memiliki dasar hukum dari Konstitusi Dasar yaitu UUD NRI 1945. Pada Pasal 14 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan
grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
tahun 2002 tentang Grasi, Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap adalah:
TemanASN
putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau putusan kasasi. Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 Nomor 40)
dinyatakan tidak berlaku. Pasal 16, UU 22 tahun 2002 tentang Grasi.
Grasi dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasimerupakan pemberian dari Presiden dalam
bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi
bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian
terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden
dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.
Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan
kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan
kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
TemanASN
UU 22 tahun 2002 tentang Grasi diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. Karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan
grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Permohonan Grasi diberikan waktu penyelesaian selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2002 tentang Grasi. Namun, tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan
semua permohonan grasi tersebut, sehingga penyelesaian grasi tersebut setelah tanggal 22 Oktober 2004 tidak
mempunyai landasan hukum. UU 22 tahun 2002 tentang Grasi didalamnya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum
tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.
Ketentuan mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan pertimbangan dari instansi
yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban penyelesaian permohonan grasi dan mencegah
penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang
dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan
putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat
diajukan 1 (satu) kali lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan
telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah
diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
keputusan pemberian grasi diterima.
TemanASN
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi
Status, Mencabut
UU 22 tahun 2002 tentang Grasi mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 Nomor 40) dan menyatakan tidak berlaku.
Latar Belakang
Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, adalah:
bahwa untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang
telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden;
bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat, dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat; bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Grasi;
Dasar Hukum
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi adalah:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3879);
TemanASN
Penjelasan Umum UU Grasi
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pada saat ini pengaturan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.
Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, Undang-Undang tersebut di samping tidak
mengenal pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan
dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan mengatur pula penundaan pelaksanaan putusan pengadilan jika
diajukan permohonan grasi. Hal tersebut mengakibatkan begitu banyak permohonan grasi yang diajukan dan adanya
penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan sehingga penyelesaian permohonan grasi memakan
waktu yang lama dan terlalu birokratis. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 perlu diganti dengan Undang-
Undang yang baru. Pembentukan Undang-Undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai grasi dengan ketentuan
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Presiden
memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan
merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi
bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan
ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani
pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap
terpidana.
TemanASN
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan
penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa
melibatkan pertimbangan dari instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban
penyelesaian permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini
diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta
ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati.
Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana
tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali lagi.
Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2
(dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari
pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima.
Untuk menjamin kepastian hukum dan hak-hak terpidana, dalam Undang-Undang ini diatur percepatan tata cara
penyelesaian permohonan grasi dengan menentukan tenggang waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian
permohonan grasi. Tata cara pengajuan grasi, terpidana langsung menyampaikan permohonan tersebut kepada
Presiden, dan salinan permohonan tersebut disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan atau menolak permohonan grasi
setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
TemanASN
Isi UU Grasi
Berikut adalah isi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, bukan format asli:
UNDANG-UNDANG TENTANG GRASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan :
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP PERMOHONAN DAN PEMBERIAN GRASI
Pasal 2
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi
kepada Presiden.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur
hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
• terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan
permohonan grasi tersebut; atau
• terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
TemanASN
Pasal 3
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Pasal 4
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
peringanan atau perubahan jenis pidana;
pengurangan jumlah pidana; atau
penghapusan pelaksanaan pidana.
BAB III
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN GRASI
Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan Grasi
Pasal 5
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat
pertama.
Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Pasal 6
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.
TemanASN
Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan terpidana.
Pasal 7
Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.
Pasal 8
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa
hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh
terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada
Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
TemanASN
Bagian Kedua
Penyelesaian Permohonan Grasi
Pasal 9
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara
terpidana kepada Mahkamah Agung.
Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.
Pasal 11
Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal 12
Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.
Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :
Mahkamah Agung;
Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;
Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Pasal 13
Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat
dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
TemanASN
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 14
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan peninjauan
kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka
permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu.
Keputusan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima
Presiden.
Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
TemanASN
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
Permohonan grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini diselesaikan dalam waktu 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Serikat Tahun 1950 Nomor 40) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
UU 22 tahun 2002 tentang Grasi diubah dengan UU 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi. UU 5 tahun 2020 tentang
Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi disahkan di Jakarta oleh Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 20 Agustus
2010. UU 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi diundangkan oleh Menkumham Patrialis Akbar pada tanggal 23
Agustus 2010 di Jakarta.
Perpanjangan waktu 10 (sepuluh) tahun diberikan oleh UU 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi terhitung sejak
tanggal 22 Oktober 2002 sampai dengan tanggal 22 Oktober 2012 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penyelesaian permohonan
Grasi yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi dan telah diproses berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002, namun belum selesai.
Agar setiap orang mengetahuinya, UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi ditempatkan pada Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100. Penjelasan Atas UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi ditempatkan
pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150.
TemanASN
Bahwa pemberian grasi harus dilakukan secara tepat dalam waktu tertentu dan sesegera mungkin untuk
tercapainya kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi;
Dasar Hukum
Dasar hukum UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi, adalah:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 14, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4234);
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
TemanASN
Pasal 6A
Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi.
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan Grasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan
berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada
Presiden.
Di antara Pasal 15 dan Bab VI disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
Permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
diselesaikan paling lambat tanggal 22 Oktober 2012.
Terhadap terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi, jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dihitung sejak Undang-
Undang ini berlaku.
TemanASN
Surat pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon layanan
Posbakum Pengadilan dan disetujui oleh Petugas Posbakum Pengadilan, apabila Pemohon layanan Posbakum
Pengadilan tidak memiliki dokumen sebagaimana disebut dalam huruf a atau b.
Jadi Posbakum Pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap pengadilan tingkat pertama
untuk memberikan layanan hukum berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta pembuatan dokumen
hukum yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mekanisme permohonan bantuan hukum adalah pemohon jasa bantuan hukum mengajukan permohonan kepada
Posbakum dengan melampirkan persyaratan-persyaratan yang telah kami sebutkan di atas.
Secara eksplisit memang tidak disebutkan bantuan hukum yang diberikan mulai dari penyidikan sampai pada proses
pengadilan. Tetapi, melihat dari pihak-pihak yang memerlukan layanan Posbakum yang disebutkan di atas
(penggugat/pemohon, tergugat/termohon, terdakwa, atau saksi), Posbakum dibentuk oleh dan ada pada setiap
pengadilan tingkat pertama, dan bantuan hukum yang diberikan pada semua tingkat peradilan sampai putusan
terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, itu artinya layanan Posbakum dilakukan mulai
pada saat perkara masuk ke pengadilan tingkat pertama sampai putusan terhadap perkara tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bantuan hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum, yang bertujuan untuk : Menjamin dan
memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan.
TemanASN
• Pengadilan secara elektronik atau biasa disebut E-litigasi adalah bagian dari implementasi dari asas hukum
sederhana, cepat, dan biaya ringan seperti yang tertuang dalam pasal (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada awal tahun 2016 Mahkamah Agung telah berupaya mewujudkan sistem
administrasi peradilan secara elektronik dengan hadirnya sistem informasi penelusuran perkara (SIPP). Sistem SIPP
tersebut sudah mengganti berbagai sistem yang pernah ada pada 4 (empat) lembaga peradilan sehingga terwujud
kesatuan administrasi pada Mahkamah Agung RI.
• Proses beracara secara E-litigasi sebelumnya sudah ada bahkan sebelum pendemi Covid-19 melanda Indonesia. Hal
ini merupakan upaya untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan dilingkungan
Mahkamah Agung beserta jajarannya yaitu dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam melayani publik
sehingga bisa menghemat waktu, biaya, dan tenaga. Peluncuran aplikasi E-Litigasi ini merupakan pelaksanaan dari
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 mengenai administrasi dan persidangan secara elektronik,
sebagai perubahan PERMA Nomor 3 tahun 2018 tentang administrasi di Pengadilan secara elektronik. Peraturan
Mahkamah Agung ini merupakan Landasan hukum dalam penerapan aplikasi E-Litigasi pada lembaga peradilan di
Indonesia.
TemanASN
• Penerapan dari e-litigation ini menjadi jawaban yang disuguhkan oleh Mahkamah Agung dalam membentuk
pelayanan peradilan yang praktis dan efektif dengan memanfaatkan kemajuan dari teknologi informasi. Efektif
sendiri adalah implementasi bentuk terwujudnya asas peradilan yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 ayat 4 menentukan bahwa pengadilan membantu pencari
keadilan dan merupakan salah satu usaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan sehingga tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
• Sistem e-litigasi mewadahi pelaksanaan proses persidangan secara elektronik yang memuat dokumen
persidangan (gugatan, permohonan, persetujuan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan), pembuktian dan
pengucapan putusan dilakukan secara elektronik. Berperkara secara eletronik diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung dan empat lambaga peradilan dibawahnya, yaitu:
– a) Peradilan Umum
– b) Peradilan Agama
– c) Peradilan Tata Usaha Negara
– d) Peradilan Militer
• Persidangan perkara perdata melalui E-litigasi adalah bentuk inovasi lebih meluas, dimana tidak hanya terbatas
melakukan administrasi pelayanan publik pengadilan seperti pendaftaran gugatan, pembayaran panjar perkara,
dan pemanggilan (relasse) secara online. E-litigation merupakan perluasan dari E court dimana tidak hanya
administrasi saja namun penerapan elektronik dilakukan secara secara menyeluruh terhadap tahapan
persidangan.
TemanASN
Terimakasih
Kemana pun diri kamu pergi, lakukanlah segala
sesuatu dengan segenap hati.