Anda di halaman 1dari 38

TemanASN

Pertemuan 4
Dormiunt aliquando
leges, nunquhukum
terkadang tidur,
tetapi hukum tidak
pernah mati.
am moriuntur -

Oleh : Adv. Monalisa., S.H., M.H


TemanASN

CV
1. Miss Intelegensia Sumatera Barat 2018
2. Best Speaker Miss Nusantara 2018
3. Duta Genre Talenta UMMY Solok 2018
4. Juara 1 Debat Fakultas Hukum Se-Sumbar di Universitas
Muhamadiyah Sumatera Barat
5. Juara 1 Pidato Se-Sumbar
6. Top 15 Putra-Putri Maritim Sumatera Barat
7. Top 20 Duta Bahasa Sumatera-Barat
8. Lulusan Terbaik S1 UMMY Solok Tingkat Universitas
dan Fakultas Hukum Tahun 2019
9. Mahasiswa Berprestasi Tahun 2019
10. Lulusan Terbaik S2 Universitas Andalas tingkat
Fakultas Hukum 2022

Adv. Monalisa., S.H., M.H.


Dosen & Praktisi Hukum Pekerjaan:
1. Dosen Luar Biasa
2. Praktisi Hukum (Advokat) 2022-sekarang
TemanASN

PERTEMUAN IV
Sistem pembuktian dalam perkara perdata
Ada 6 prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata, mulai dari pembuktian mencari dan mewujudkan
kebenaran formil hingga bukti lawan. Secara sederhana, prinsip pembuktian adalah landasan yang digunakan
dalam penerapan pembuktian. Lebih lanjut, semua pihak, termasuk halnya hakim, harus berpegangan pada prinsip-
prinsip pembuktian ini. Terkait prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata, Umarwan Sutopo dkk.
menerangkan bahwa ada enam prinsip umum yang dikenal. Adapun 6 prinsip pembuktian dalam hukum acara
perdata yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil


Diterangkan Martha E. Safira dalam Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, sistem pembuktian yang dianut
hukum acara perdata tidak bersifat stelsel negatif (negatief wettelijk stelsel) menurut undang-undang. Hal ini
berbeda dari pemeriksaan pidana yang menuntut pembuktian berdasarkan alat bukti dengan batas minimal,
sekurang-kurangnya dua alat bukti. Kemudian, selain alat bukti, diperlukan dukungan keyakinan hakim akan
kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa atau beyond a reasonable doubt. Dalam proses peradilan perdata,
prinsip pembuktian tidak dilakukan demikian. Hal ini sebagaimana diterangkan Yahya Harahap bahwa kebenaran
yang dicari dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil. Dari diri dan sanubari hakim, tidak dituntut keyakinan.
Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian, namun secara teoritis harus diterima hakim untuk
melindungi hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.
TemanASN

2. Peran Hakim Bersifat Pasif


Dalam proses perkara perdata, peran hakim terbatas dalam mencari dan menemukan kebenaran formil yang mana
kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan.
Adapun makna hakim bersifat pasif tidak sekadar berarti hakim hanya menerima dan memeriksa sebatas yang
diajukan para pihak, melainkan tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke
persidangan.

3. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta


Seorang hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Ditolak atau dikabulkannya gugatan harus
berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta yang diajukan. Pembuktian hanya dapat ditegakkan
berdasarkan dukungan fakta, tanpa ada fakta yang mendukung pembuktian tidak dapat ditegakkan.

4. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara


Pemeriksaan perkara berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap
materi pokok perkara. Kemudian, apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat materi pokok yang didalilkan
penggugat, perkara yang disengketakan dianggap selesai. Pasalnya, dengan adanya pengakuan itu, telah dipastikan
dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak, begitu juga sebaliknya.
TemanASN

5. Fakta-Fakta yang Tidak Perlu Dibuktikan


Kategori fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan adalah sebagai berikut.
Hukum positif tidak perlu dibuktikan: pihak yang berperkara tidak perlu menyebutkan hukum mana yang dilanggar
dan hukum mana yang harus diterapkan karena hal itu dianggap telah diketahui hakim.
Fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan: dikenal dengan notoire feiten. Secara sederhana, ketentuan atau
peristiwa yang diketahui umum yang sudah demikian adanya atau sudah pasti demikian, tidak perlu dibuktikan lagi.
Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan: fakta yang tidak dibantah dianggap telah terbukti kebenarannya.
Sebaliknya, fakta yang dibantah atau disangkal adalah wajib dibuktikan, sesuai dengan prinsip pembuktian.
Fakta yang ditemukan selama proses persidangan tidak perlu dibuktikan: fakta atau peristiwa yang diketahui, dialami,
dilihat, atau didengar hakim selama proses pemeriksaan persidangan berlangsung, tidak perlu dibuktikan.

6. Bukti Lawan
Bukti lawan adalah bukti penyangkal atau contra-enquete yang diajukan dan disampaikan oleh tergugat di persidangan
untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak lawan. Tujuan dari bukti lawan ini adalah untuk membantah
kebenaran pihak lawan dan meruntuhkan penilaian hakim atas pembuktian yang diajukan pihak lawan.
Ada dua prinsip pokok terkait penerapan bukti lawan. Pertama, semua alat bukti yang diajukan pihak lain, dapat
dibantah atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. Kedua, tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti
lawan. Lebih lanjut, pengajuan bukti lawan haruslah didasarkan pada asas proporsional, yang mana berarti bukti lawan
yang diajukan tidak boleh lebih rendah nilainya dari bukti yang hendak dilumpuhkan.
TemanASN

Upaya hukum di MA
(upaya hukum biasa dan luar biasa)
TemanASN

A. Pengertian

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau
badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-
pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat
melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.
TemanASN

B. Macam Upaya Hukum


Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa dengan upaya hukum luar
biasa.

1. Upaya hukum biasa


Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini
mencakup:
a. Perlawanan/verzet
b. Banding
c. Kasasi
Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan tersebut telah
dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitboverbaar bij voorraad dalam
pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.

2. Upaya hukum luar biasa


Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya
hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:
a. Peninjauan kembali (request civil)
b. Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial
TemanASN
.

a. Upaya Hukum Biasa: Perlawanan/verzet


Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal
129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek
diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.

Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):


1. keluarnya putusan verstek
2. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8
hari; dan
3. verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya.

b. Upaya Hukum Biasa: Banding


Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya
adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.
Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
1. ada pernyataan ingin banding
2. panitera membuat akta banding
3. dicatat dalam register induk perkara
4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.
TemanASN

C. Upaya Hukum Biasa: Kasasi

Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas
penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan
dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:
1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;
2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlak
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan
TemanASN

1. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali


Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana
oleh pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:
a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana yang dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung
memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).

2. Upaya Hukum Luar Biasa: Denderverzet


Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR. Dikatakan sebagai
upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan
tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh ebab itu
dikatakan luar biasa).
Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama.
TemanASN

Perkara Grasi (UU 22/2002 jo. UU 5/2010)


UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22
tahun 2002 tentang Grasi
TemanASN

UU Grasi pada awalnya adalah UU 22 tahun 2002 tentang Grasi, Kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
tahun 2002 tentang Grasi. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikianlah dalam UU 22 tahun 2002
tentang Grasi. Undang-Undang tentang Grasi mengalami Perubahan pada tahun 2010.
Grasi memiliki dasar hukum dari Konstitusi Dasar yaitu UUD NRI 1945. Pada Pasal 14 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan
grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
tahun 2002 tentang Grasi, Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap adalah:
TemanASN

putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau putusan kasasi. Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 Nomor 40)
dinyatakan tidak berlaku. Pasal 16, UU 22 tahun 2002 tentang Grasi.

Grasi dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasimerupakan pemberian dari Presiden dalam
bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi
bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian
terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden
dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.
Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan
kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan
kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
TemanASN

UU 22 tahun 2002 tentang Grasi diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. Karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan
grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Permohonan Grasi diberikan waktu penyelesaian selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2002 tentang Grasi. Namun, tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan
semua permohonan grasi tersebut, sehingga penyelesaian grasi tersebut setelah tanggal 22 Oktober 2004 tidak
mempunyai landasan hukum. UU 22 tahun 2002 tentang Grasi didalamnya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum
tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.

Ketentuan mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan pertimbangan dari instansi
yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban penyelesaian permohonan grasi dan mencegah
penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang
dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan
putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat
diajukan 1 (satu) kali lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan
telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah
diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
keputusan pemberian grasi diterima.
TemanASN
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi

Status, Mencabut
UU 22 tahun 2002 tentang Grasi mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 Nomor 40) dan menyatakan tidak berlaku.

Latar Belakang
Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, adalah:
bahwa untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang
telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden;
bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat, dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat; bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Grasi;

Dasar Hukum
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi adalah:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3879);
TemanASN
Penjelasan Umum UU Grasi
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pada saat ini pengaturan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.
Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, Undang-Undang tersebut di samping tidak
mengenal pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan
dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan mengatur pula penundaan pelaksanaan putusan pengadilan jika
diajukan permohonan grasi. Hal tersebut mengakibatkan begitu banyak permohonan grasi yang diajukan dan adanya
penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan sehingga penyelesaian permohonan grasi memakan
waktu yang lama dan terlalu birokratis. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 perlu diganti dengan Undang-
Undang yang baru. Pembentukan Undang-Undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai grasi dengan ketentuan
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Presiden
memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan
merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi
bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan
ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani
pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap
terpidana.
TemanASN

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan
penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa
melibatkan pertimbangan dari instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban
penyelesaian permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini
diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta
ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati.
Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana
tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali lagi.

Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2
(dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari
pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima.
Untuk menjamin kepastian hukum dan hak-hak terpidana, dalam Undang-Undang ini diatur percepatan tata cara
penyelesaian permohonan grasi dengan menentukan tenggang waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian
permohonan grasi. Tata cara pengajuan grasi, terpidana langsung menyampaikan permohonan tersebut kepada
Presiden, dan salinan permohonan tersebut disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan atau menolak permohonan grasi
setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
TemanASN

Isi UU Grasi
Berikut adalah isi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, bukan format asli:
UNDANG-UNDANG TENTANG GRASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan :
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP PERMOHONAN DAN PEMBERIAN GRASI
Pasal 2
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi
kepada Presiden.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur
hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
• terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan
permohonan grasi tersebut; atau
• terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
TemanASN

Pasal 3
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Pasal 4
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
peringanan atau perubahan jenis pidana;
pengurangan jumlah pidana; atau
penghapusan pelaksanaan pidana.

BAB III
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN GRASI
Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan Grasi
Pasal 5
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat
pertama.
Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Pasal 6
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.
TemanASN

Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan terpidana.

Pasal 7
Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.

Pasal 8
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa
hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh
terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada
Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
TemanASN

Bagian Kedua
Penyelesaian Permohonan Grasi
Pasal 9
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara
terpidana kepada Mahkamah Agung.
Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.
Pasal 11
Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal 12
Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.
Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :
Mahkamah Agung;
Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;
Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Pasal 13
Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat
dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
TemanASN

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 14
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan peninjauan
kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka
permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu.
Keputusan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima
Presiden.
Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
TemanASN
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
Permohonan grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini diselesaikan dalam waktu 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Serikat Tahun 1950 Nomor 40) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

UU 22 tahun 2002 tentang Grasi diubah dengan UU 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi. UU 5 tahun 2020 tentang
Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi disahkan di Jakarta oleh Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 20 Agustus
2010. UU 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi diundangkan oleh Menkumham Patrialis Akbar pada tanggal 23
Agustus 2010 di Jakarta.
Perpanjangan waktu 10 (sepuluh) tahun diberikan oleh UU 5 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi terhitung sejak
tanggal 22 Oktober 2002 sampai dengan tanggal 22 Oktober 2012 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penyelesaian permohonan
Grasi yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi dan telah diproses berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002, namun belum selesai.
Agar setiap orang mengetahuinya, UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi ditempatkan pada Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100. Penjelasan Atas UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi ditempatkan
pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150.
TemanASN

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010


tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
Latar Belakang
Pertimbangan dalam UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi, adalah
bahwa untuk mendapatkan pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan grasi kepada Presiden;
bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk
menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus mencerminkan
keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa permohonan grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi
belum dapat diselesaikan dalam batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, sehingga terdapat kekosongan hukum untuk penyelesaian
permohonan tersebut;
TemanASN

Bahwa pemberian grasi harus dilakukan secara tepat dalam waktu tertentu dan sesegera mungkin untuk
tercapainya kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi;

Dasar Hukum
Dasar hukum UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi, adalah:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 14, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4234);
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
TemanASN

Penjelasan Umum UU Perubahan UU Grasi


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi yang belum mendapat penyelesaian yang
diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi diberikan waktu penyelesaian selama 2
(dua) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Namun, tenggang waktu 2 (dua)
tahun tersebut ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan semua permohonan grasi tersebut, sehingga penyelesaian grasi tersebut
setelah tanggal 22 Oktober 2004 tidak mempunyai landasan hukum.
Untuk menghindari adanya kekosongan hukum bagi penyelesaian pemberian Grasi yang diajukan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1950, batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
perlu diperpanjang sampai dengan tanggal 22 Oktober 2012.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memberikan batasan waktu pengajuan permohonan grasi bagi
terpidana mati, sehingga dalam pelaksanaannya menyebabkan eksekusi atau pelaksanaan pidana mati menjadi tertunda sampai
dengan waktu yang tidak terbatas. Demi kepastian hukum, perlu diatur mengenai batasan waktu pengajuan permohonan grasi
bagi terpidana mati.
Dalam memberikan keputusan atas suatu permohonan grasi, Presiden perlu mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal
yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan secara
berulang-ulang (residif), tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Isi UU Perubahan UU Grasi


Berikut adalah isi UU 5 tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU 22 tahun 2002 tentang Grasi, bukan format asli:
TemanASN

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG


GRASI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4234) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A, yang berbunyi sebagai berikut:
TemanASN

Pasal 6A
Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi.
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan Grasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan
berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada
Presiden.
Di antara Pasal 15 dan Bab VI disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
Permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
diselesaikan paling lambat tanggal 22 Oktober 2012.
Terhadap terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi, jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dihitung sejak Undang-
Undang ini berlaku.
TemanASN

Bantuan hukum (Posbakum)


Pengaturan mengenai Pos Bantuan Hukum (“Posbakum”) di pengadilan dapat kita lihat dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umumsebagaimana yang telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum(“UU
49/2009”), serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan
Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan(“Peraturan MA 1/2014”).
Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan
Pada dasarnya, setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Negara menanggung
biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Pihak yang tidak mampu harus melampirkan surat
keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan.

Pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan meliputi:


Layanan Pembebasan Biaya Perkara,
Sidang di Luar Gedung Pengadilan, dan
Posbakum Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pada setiap pengadilan negeri dibentuk Pos Bantuan Hukum (“Posbakum”) kepada pencari keadilan yang tidak
mampu dalam memperoleh bantuan hukum
TemanASN
Pos Bantuan Hukum
Posbakum Pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap pengadilan tingkat pertama
untuk memberikan layanan hukum berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta pembuatan dokumen
hukum yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pada setiap Pengadilan dibentuk Posbakum Pengadilan. Pembentukan Posbakum Pengadilan dilakukan secara
bertahap. Pengadilan menyediakan dan mengelola ruangan dan sarana/prasarana untuk Posbakum Pengadilan
sesuai kemampuan dengan memperhatikan akses untuk penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, dan
orang lanjut usia. Pengadilan harus menyediakan akses bagi terdakwa yang sedang ditempatkan pada ruang
tahanan Pengadilan untuk bisa mengakses layanan Posbakum Pengadilan.
Bagi Pengadilan yang belum memiliki anggaran untuk membiayai kerjasama kelembagaan dalam rangka
penyelenggaraan Posbakum Pengadilan, tetap berkewajiban menyediakan ruangan Posbakum Pengadilan.
Apabila diperlukan, Posbakum Pengadilan dapat dilaksanakan secara terpadu dengan pelaksanaan Sidang di
luar Gedung Pengadilan.

Posbakum Pengadilan memberikan layanan berupa:


1. pemberian informasi, konsultasi, atau advis hukum.
2. bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan.
3. penyediaan informasi daftar Organisasi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum atau organisasi bantuan hukum atau advokat lainnya yang
dapat memberikan bantuan hukum cuma-cuma
TemanASN

Cara Memperoleh Bantuan Hukum dari Posbakum


Setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau tidak memiliki akses pada
informasi dan konsultasi hukum yang memerlukan layanan berupa pemberian informasi, konsultasi, advis
hukum, atau bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan, dapat menerima layanan pada Posbakum
Pengadilan.[
Orang atau sekelompok orang yang dimaksud adalah pihak yang akan/telah bertindak sebagai:
• penggugat/pemohon; atau
• tergugat/termohon; atau
• terdakwa; atau
• Tidak mampu dibuktikan dengan melampirkan:
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Kepala wilayah setingkat
yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, atau
Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras Miskin (Raskin), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan
Langsung Tunai (BLT), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), atau dokumen lainnya yang yang berkaitan dengan
daftar penduduk miskin dalam basis data terpadu pemerintah atau yang dikeluarkan oleh instansi lain yang
berwenang untuk memberikan keterangan tidak mampu, atau
TemanASN

Surat pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon layanan
Posbakum Pengadilan dan disetujui oleh Petugas Posbakum Pengadilan, apabila Pemohon layanan Posbakum
Pengadilan tidak memiliki dokumen sebagaimana disebut dalam huruf a atau b.
Jadi Posbakum Pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap pengadilan tingkat pertama
untuk memberikan layanan hukum berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta pembuatan dokumen
hukum yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mekanisme permohonan bantuan hukum adalah pemohon jasa bantuan hukum mengajukan permohonan kepada
Posbakum dengan melampirkan persyaratan-persyaratan yang telah kami sebutkan di atas.
Secara eksplisit memang tidak disebutkan bantuan hukum yang diberikan mulai dari penyidikan sampai pada proses
pengadilan. Tetapi, melihat dari pihak-pihak yang memerlukan layanan Posbakum yang disebutkan di atas
(penggugat/pemohon, tergugat/termohon, terdakwa, atau saksi), Posbakum dibentuk oleh dan ada pada setiap
pengadilan tingkat pertama, dan bantuan hukum yang diberikan pada semua tingkat peradilan sampai putusan
terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, itu artinya layanan Posbakum dilakukan mulai
pada saat perkara masuk ke pengadilan tingkat pertama sampai putusan terhadap perkara tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bantuan hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum, yang bertujuan untuk : Menjamin dan
memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan.
TemanASN

Layanan administrasi perkara secara elektronik (SIPP, SIAP, Direktori Putusan)


Layanan Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik (E-court) No. SK: SOP/AP/I/1.1

• Menetapkan SK TIM Administrasi Perkara di Pengadilan Secara elektronik


• Menandatangani perjanjian kerja sama dengan pihak Bank
• Mengupdute SIPP yang telah terkoneksi dengan e-court
• Melakukan pengecekan adanya pendaftaran perkara melalui tab e-court SIPP dengan cara login pada aplikasi SIPP
• Melakukan pengecekan pembayaran biaya perkara dan berkas yang diajukan oleh pengguna terdaftar (dalam menu
pendaftaran perkara baru)
• Melakukan pemilihan klasifikasi perkara pada aplikasi SIPP
• Memberi status terverifikiasi atau tidak terhadap perkara yang didaftar melalui e-court
• Memberi nomor perkara terhadap pendafataran yang telah diverifikasi
• Melakukan panggilan pertama secara elektronik kepada kuasa hukum penggugat dan kuasa hukum tergugat dengan
melakukan login pada aplikasi e-court
• Memeriksa jadwqal sidang sebelum melakukan konfirmasi pengiriman panggilan
• Mengupload relass panggilan yang telah ditanda tangani dan dibubuhi cap dinas ke dalam aplikasi e-court
• Mengirim e-panggilan kepada para pihak melalui domisili elektronik
• Melakukan panggilan pertama melalui jurusita jika tergugat tidak menggunakan kuasa hukum
• Melaksanakan persidangan pertama dengan menawarkan kepada tergugat untuk beracara seacra elektronik
• Menerima surat asli berupa surat kuasa, surat gugatan dan surat persetujuan prinsipal untuk beracara secara elektronik
• Melakukan pengecekan terhadap dokumen yang diupload pihak melalui e-court yang meliputi jawaban, replik, duplik, dan
kesimpulan
TemanASN

Menginput jadwal persidangan dan agenda persidangan


Menginput status putusan perkara antara lain berisi tanggal putus, amar putusan, jenis putusan, e-doc putusan
Mengirim pemberitahuan putusan atau penetapan dengan melakukan login pada aplikasi e-court
meneliti kehadiran para pihak pada saat pembacaan putusan atau penetapan dan amar putusan sebelum
melakukan konfirmasi pengiriman e-pbt
Mengupload relas pemberitahuan yang telah ditanda tangani dan dibubuhi cap dinas
Mengirimkan e-pbt kepada para pihak melalui domisili elektronik
Mengirimkan salinan puutusan atau penetapan melalui aplikasi e-court dalam bentuk tautan atau link
Menandatangani laporan rekapitulasi berkala (bulanan dan tahunan)
Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan administrasi perkara secara elektronik
Mengirimkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan administrasi perkara secara elektronik ke PTA/Msy

Layanan persidangan secara elektronik (eCourt/e Litigation)

Apa beda e court dan e litigasi?


E-litigation merupakan perluasan dari E court dimana tidak hanya administrasi saja namun penerapan
elektronik dilakukan secara secara menyeluruh terhadap tahapan persidangan.
TemanASN

• Pengadilan secara elektronik atau biasa disebut E-litigasi adalah bagian dari implementasi dari asas hukum
sederhana, cepat, dan biaya ringan seperti yang tertuang dalam pasal (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada awal tahun 2016 Mahkamah Agung telah berupaya mewujudkan sistem
administrasi peradilan secara elektronik dengan hadirnya sistem informasi penelusuran perkara (SIPP). Sistem SIPP
tersebut sudah mengganti berbagai sistem yang pernah ada pada 4 (empat) lembaga peradilan sehingga terwujud
kesatuan administrasi pada Mahkamah Agung RI.
• Proses beracara secara E-litigasi sebelumnya sudah ada bahkan sebelum pendemi Covid-19 melanda Indonesia. Hal
ini merupakan upaya untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan dilingkungan
Mahkamah Agung beserta jajarannya yaitu dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam melayani publik
sehingga bisa menghemat waktu, biaya, dan tenaga. Peluncuran aplikasi E-Litigasi ini merupakan pelaksanaan dari
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 mengenai administrasi dan persidangan secara elektronik,
sebagai perubahan PERMA Nomor 3 tahun 2018 tentang administrasi di Pengadilan secara elektronik. Peraturan
Mahkamah Agung ini merupakan Landasan hukum dalam penerapan aplikasi E-Litigasi pada lembaga peradilan di
Indonesia.
TemanASN
• Penerapan dari e-litigation ini menjadi jawaban yang disuguhkan oleh Mahkamah Agung dalam membentuk
pelayanan peradilan yang praktis dan efektif dengan memanfaatkan kemajuan dari teknologi informasi. Efektif
sendiri adalah implementasi bentuk terwujudnya asas peradilan yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 ayat 4 menentukan bahwa pengadilan membantu pencari
keadilan dan merupakan salah satu usaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan sehingga tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
• Sistem e-litigasi mewadahi pelaksanaan proses persidangan secara elektronik yang memuat dokumen
persidangan (gugatan, permohonan, persetujuan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan), pembuktian dan
pengucapan putusan dilakukan secara elektronik. Berperkara secara eletronik diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung dan empat lambaga peradilan dibawahnya, yaitu:
– a) Peradilan Umum
– b) Peradilan Agama
– c) Peradilan Tata Usaha Negara
– d) Peradilan Militer
• Persidangan perkara perdata melalui E-litigasi adalah bentuk inovasi lebih meluas, dimana tidak hanya terbatas
melakukan administrasi pelayanan publik pengadilan seperti pendaftaran gugatan, pembayaran panjar perkara,
dan pemanggilan (relasse) secara online. E-litigation merupakan perluasan dari E court dimana tidak hanya
administrasi saja namun penerapan elektronik dilakukan secara secara menyeluruh terhadap tahapan
persidangan.
TemanASN

Terimakasih
Kemana pun diri kamu pergi, lakukanlah segala
sesuatu dengan segenap hati.

Anda mungkin juga menyukai