Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

EKSEPSI DAN BANTAHAN POKOK PERKARA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

HUKUM ACARA PERDATA

Dosen Pengampu:

Lisa Aminatul Mukaromah, M.S.I

Disusun Oleh:

1. Sri Eni (220401101)


2. Chandra Lefia Nisaningtyas (220401103)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO

TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim, Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT


yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga
penulisan makalah yang bejudul “EKSEPSI DAN BANTAHAN POKOK
PERKARA” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini, tim penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
yang terhormat:

1. M. Jauharul Ma’arif, M.Pd.I selaku Rektor Universitas Nahdlatul Ulama


Sunan Giri Bojonegoro
2. Agus Sholahudin Shiddiq, M.H.I selaku Dekan Fakultas Syariah dan Adab
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro
3. Eko Arif Cahyono, M.Ek selaku Kaprodi Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro
4. Lisa Aminatul Mukaromah, M.S.I selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
“Hukum Acara Perdata” Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri
Bojonegoro

Tidak dapat dipungkiri, keterbatasan penulis dalam menyusun makalah ini


masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami dengan sangat terbuka
menerima masukan dan juga saran dari para pembaca demi perbaikan dalam
proses pembuatan makalah selanjutnya. Harapan kecil dari kami semoga para
pembaca dapat memetik manfaat dari makalah kami ini.

Bojonegoro, 20 November 2023

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………..……...iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….…......1

A. Latar Belakang……………………………………………………........1

B. Rumusan Masalah………………………………………………...........1

C. Tujuan Penulisan..………………………………………………...........1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………......…….....2

A. Pengertian Eksepsi…………………………………………………….2
B. Ruang Lingkup Eksepsi……………………………………………….3
C. Bantahan Terhadap Pokok Perkara…………………………………..11

BAB III PENUTUP ………………………………………………..…...……....13

A. Kesimpulan……………………………………………...……….......13
B. Saran………………………………………………………………….13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pemeriksaan perkara dalam pengadilan negeri tahap jawab
menjawab antara tergugat dan penggugat adalah hal yang penting apa yang
dikemukakan oleh tergugat itu lebih penting dari pada penggugat karena
tergugat adalah sasaran penggugat. Pada dasarnya tergugat tidak wajib
menjawab gugatan penggugat, akan tetapi jika tergugat menjawabnya maka
dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Jawaban tergugat bisa berupa
pengakuan, bantahan, tangkisan dan referte.
Dengan macam-macam jawaban tersebut maka, makalah ini akan
mengambil salah satu permasalan yang akan dibahas yaitu tentang tangkisan
atau (eksepsi). Eksepsi adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak
menyangkut pokok perkara. Eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan isi
gugatan yang dibuat penggugat dengan cara mencari kelemahan-kelemahan
ataupun hal lain diluar gugatan yang dapat menjadi alasan menolak/menerima
gugatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Eksepsi?
2. Bagaimana Ruang Lingkup Eksepsi?
3. Bagaimana Bantahan Terhadap Pokok Perkara?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Eksepsi
2. Untuk Mengetahui Ruang Lingkup Eksepsi
3. Untuk Mengetahui Bantahan Terhadap Pokok Perkara

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Eksepsi
Ekseptie (belanda), Ekseption (Inggris) secara umum berarti pengecualian.
Akan tetapi dalam konteks hukum perdata eksepsi berarti tangkisan atau
bantahan (objedtion), bisa juga pembelaan (plea) yang diajukan tergugat
terhadap materi pokok gugatan penggugat. Menurut Yahya Harahap dalam
bukunya Hukum Acara Perdata: Gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian
dan putusan pengadilan “Eksepsi adalah tangkisan atau bantahan yang
ditujukan kepada hal-hal menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan
yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil
dan tidak berkaitan dengan pokok perkara (verweer ten principale) yang
mengakibatkan gugatan tidak sah sehingga harus dinyatakan tidak dapat
diterima (inadmissible).

Dalam hukum acara eksepsi dapat bermakna sebagai tangkisan atau


bantahan, eksepsi diajukan oleh tergugat kepada gugatan penggugat. Maksud
inti pengajuan eksepsi yaitu untuk menyudahi tahapan tanpa harus
melanjutkan kepada pokok perkara. Bantahan yang diajukan melalui eksepsi
ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut formalitas gugatan yang
1
mengakibatkan gugatan tidak sah sehingga tidak dapat diterima.

Dengan demikian eksepsi adalah jawaban tergugat bentuk bantahan atau


sangkalan terhadap gugatan penggugat namun tidak secara langsung mengenai
pokok perkara dengan maksud agar gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat
diterima. Dengan demikian dalam eksepsi terkandung minimal tiga unsur di
dalamnya yaitu:
1. Jawaban tergugat yang berisi bantahan atau sangkalan
2. Bantahan atau sangkalan tersebut tidak secara langsung mengenai pokok
perkara, dan
3. Bertujuan agar gugatan tidak dapat diterima.

1
Ahmad Hasan Basri, Rina Suryanti, Hukum Acara Perdata, (Jember: Al-Bidayah, 2023), hlm.
42.

2
B. Ruang Lingkup
1. Tujuan Eksepsi
Tujuan pokok pengajuan eksepsi adalah agar pengadilan
mengakhiri proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok
perkara, pengakhiran yang diajukan melalui eksepsi bertujuan agar
pengadilan menjatuhkan putusan yang negatif yang menyatakan gugatan
tidak dapat diterima (Niet Onvant Klihk). Berdasarkan keputusan negatif
itu pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung penyelesaian pokok
perkara. Misalnya tergugat mengajukan eksepsi, gugatan penggugat tidak
jelas (Obscuur Libel). Apabila eksepsi itu diterima dan dibenarkan
Pengadilan Negeri, proses penyelesaian perkara diakhiri dengan putusan
negatif yang menyatakan gugatan tidak diterima. Contoh putusan MA No.
239k/sip/1986, yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan
tidak memenuhi syarat formil karena gugatan yang diajukan tidak
berdasarkan hukum.

2. Jenis-Jenis Eksepsi

Harzien Inlandsch Reglement (HIR) menyebutkan adanya dua jenis


eksepsi, yaitu eksepsi kompetensi absolut dan eksepsi kompetensi relatif,
sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 125 ayat 2, Pasal 132, dan
Pasal 133, sebagaimana dijelaskan dalam buku Strategi Jitu Memenangi
Perkara Perdata dalam Praktik Peradilan oleh Whimbo Pitoyo. Akan tetapi
pada Pasal 136, HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi
dalam hukum perdata:

a) Eksepsi Prosesual
Eksepsi prosesual adalah jenis eksepsi yang berkaitan dengan syarat
formil gugatan. Eksepsi prosesual dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Eksepsi Kompetensi Absolut
Eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri yang
melakukan pemeriksaan dinilai perkara tidak berwenang untuk
mengadili perkara tersebut. Hal ini terjadi karena dasar gugatan

3
tidak termasuk wewenang pengadilan negeri, melainkan
pengadilan lain.
Eksepsi jenis ini dapat diajukan kapanpun selama masa
pemeriksaan perkara berlangsung. Hakim juga wajib mengakui
eksepsi tersebut atas dasar jabatannya.
2) Eksepsi Kompetensi Relatif
Eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tentu tidak
berwenang untuk mengadili suatu perkara. Hal ini dikarenakan
objek sengketa berada diluar wilayah hukum pengadilan negeri
yang sedang mengadili atau memeriksa perkara tersebut.
Berbeda dengan eksepsi kompetensi absolut, eksepsi kompetensi
relatif tidak dapat diajukan setiap waktu. Eksepsi ini hanya dapat
diajukan pada waktu kali pertama sidang, yakni saat jawaban
terkait pokok perkara belum diajukan. Hakim akan memberikan
putusan dalam bentuk putusan sela apabila eksepsi ditolak, dan
putusan akhir apabila eksepsi diterima.
b) Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi
Eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi memiliki beberapa jenis.
Hal yang paling penting dalam eksepsi prosesual diluar eksepsi
kompetensi dan paling sering diajukan dalam praktik adalah:
1) Eksepsi surat kuasa khusus yang tidak sah
2) Eksepsi error in pesona
3) Eksepsi res judicata atau ne bis in dem
4) Eksepsi obscuur libel atau surat gugatan penggugat tidak jelas atau
kabur.
c) Eksepsi Hukum Materill
Eksepsi hukum materiil terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Eksepsi Dilatoir
Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan belum dapat dikabulkan.
Dapat dikatakan bahwa gugatan penggugat perlu diperiksa
sengketanya di pengadilan karena masih premature.
2) Eksepsi Peremptoir

4
Eksepsi yang menghambat atau menghalangi dikabulkannya
sebuah gugatan.
Adapun terkait pengajuan eksepsi dilakukan bersamaan dengan
jawaban terkait pokok perkara. Kemudian penyelesaiannya akan
dilakukan oleh hakim dengan memeriksa dan memutuskan
bersama-sama dengan pokok perkara. Putusan dalam eksepsi ini
tidak berbentuk putusan sela, akan tetapi berbentuk putusan akhir
sebagai satu kesatuan dengan putusan pokok perkara. 2

3. Pengajuan Eksepsi
Cara pengajuan eksepsi terdapat pada pasal 134 HIR dan 132 Rv.
Berdasarkan pasal tersebut eksepsi dapat diajukan:
a) Pengajuan eksepsi absolut atau kewenangan mutlak dapat diajukan
tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sampai
sebelum putusan dijatuhkan, akan tetapi hakim secara kewenangan
yang melekat kepadanya ex officio juga berwenangan menyatakan
dirinya tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut
meskipun hal itu tidak diminta atau diajukan oleh tergugat. Tentang
hal ini sudah digariskan dalam pasal 132 Rv. Dalam hal hakim tidak
memiliki wewenang karena sifat perkara, sekalipun tidak diajukan
bantahan terkait hal tersebut, seorang hakim tetap harus menyatakan
bahwa ia tidak berwenang karena kedudukannya;
b) Pengajuan eksepsi absolut bisa diajukan pada tahapan banding dan
kasasi. Dalam hal ini tergugat bisa dituangkan dalam memori banding
serta memori kasasi dengan dasar bahwa sudah terjadi cara mengadili
yang melampaui batas kewenagan;
c) Pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam pasal 125 ayat (2),
133 HIR, dapat berbentuk tulis pasal 125 ayat (2) jo pasal 121 HIR
maupun lisan pasal 133 HIR. Metode pengajuannya dengan cara mesti

2
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6247674/eksepsi-dalam-hukum-perdata-pengertian-
tujuan-dan-jenis-jenisnya/amp. Diakses pada tanggal 21, November, 2023.

5
dilakukan pada sidang pertama setelah pembacaan gugatan
berbarengan dengan pengajuan jawaban terhadap pokok perkara serta
tidak boleh diajukan terpisah pada setiap agenda sidang, apabila
dilampaui batas waktunya, maka hilang hak tergugat guna mengajukan
eksepsi tersebut;
Berikutnya eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi. Ada beberapa
bentuk eksepsi diluar eksepsi kompetensi diantaranya:
a) Eksepsi surat kuasa yang berbentuk umum seperti kuasa umum
berdasarkan pasal 1795 KUHPerdata dimana penerima kuasa
hanya diberikan kuasa untuk mengurus harta kekayaan pemberi
kuasa, tidak secara spesifik memberikan kuasa yang bersifat
khusus seperti apa yang digariskan oleh pasal 123 HIR untuk
beracara di pengadilan;
b) Surat kuasa dibuat oleh orang yang keliru atau tidak berwenang
memberikan kuasa seperti kuasa yang diberikan oleh manajer
perusahaan, dimana dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas yang berhak mewakili perusahaan adalah seorang
Direktur Utama;
c) Error In Person, yang bertindak sebagai pihak belum cakap secara
hukum contoh anak dibawah umur yang seharus diwakili oleh
orang tuanya. Atau bisa juga pihak yang digugat tidak mempunyai
hubungan hukum dengan penggugat, pihak yang ditarik dalam
gugatan kurang yang seharusnya 4 orang namun yang digugat
hanya 2 orang;
d) Nebis In Idem artinya apa yang diperkarakan sudah pernah digugat
sebelumnya yang para pihak dan objeknya sama dan terhadap
perkara tersebut telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap;
e) Gugatan prematur artinya gugatan yang diajukan belum saatnya
untuk diajukan karena beberapa hal, misalnya dalam gugatan
wanprestasi perjanjian hutang piutang yang mana dalam perjanjian
sudah jelas ditentukan waktu pembayarannya akan tetapi belum

6
sampai pada saat yang diperjanjikan telah dilakukan gugatan,
berikut gugatan antara pekerja dengan perusahaan yang diajukan di
pengadilan hubungan industrial, dimana sebelum gugatan diajukan
ada proses yang harus dilalui yaitu penyelesaian secara bipartit dan
tripartit yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang Ketenaga
Kerjaan;
f) Tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan dan objek gugatan yang
mengakibatkan gugatan menjadi kabur, misalkan gugatan cerai
dengan alasan disuruh oleh orang tuanya untuk bercerai, padahal
dalam Undang-Undang Perkawinan telah ditentukan alasan-alasan
yang mengakibatkan dapat diajukannya cerai, pada gugatan
tersebut tidak terdapat alasan yang didasarkan pada Undang-
Undang;
g) Tidak ada kesesuaian antara posita gugatan dengan petitum
gugatan, jadi apa yang diuraikan berbeda dengan apa yang diminta.
Misalkan penggugat menguraikan alasan keretakan rumah
tangganya beserta dasar hukum untuk bercerai, akan tetapi yang
diminta adalah harta gono gini.

Penyelesaian terhadap eksepsi diatur dalam pasal 136 HIR.


Apabila tergugat mengajukan eksepsi kompetensi baik absolut maupun
relatif, maka hakim memeriksa dan memutus terlebih dahulu eksepsi
tersebut yang dilakukan sebelum pemeriksaan pokok perkara, putusan
itu dituangkan dalam putusan sela yang dicatat dalam berita acara
sidang dan tidak dituangkan tersendiri dalam putusan. Adapun
konsekuensi apabila eksepsi dikabulkan dalam putusan sela maka
perkaranya tidak diteruskan dan dapat melakukan upaya hukum
banding atas putusan sela, apabila dalam putusan sela menolak eksepsi
tergugat maka pemeriksaan dilanjutkan pada pokok perkara dengan
tidak mengurangi hak tergugat untuk melakukan upaya hukum banding

7
dengan ketentuan upya hukum tersebut dilakukan bersama-sama
dengan putusan akhir. 3

4. Upaya Hukum Terhadap Putusan Eksepsi


Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Bab l
Pasal 1 angka 26 KUHAP yang berbunyi: upaya hukum adalah hak yang
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan, banding, kasasi atau hak terpidana Untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Tujuan upaya hukum ini pada pokoknya adalah
untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan
untuk kesatuan dalam peradilan. Dengan Adanya upaya hukum ini, ada
jaminan bagi terdakwa atau masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta
dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam. Eksistensi dari upaya
hukum itu tumbuh, berkembang dan terlaksana apabila terdakwa/penuntut
umum menolak putusan pengadilan/hakim (Pasal 1 angka 12 serta Pasal 196
ayat (3) huruf a, b, dan d KUHAP yang berbunyi: Segala sesuatu putusan
pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan
kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a) Hak segera menerima atau segera menolak putusan
b) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan, menerima, atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini
c) Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal menolak
putusan
Menurut pandangan para ahli hukum, adapun maksud dari upaya
hukum adalah sebagai berikut:
a) Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan
b) Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-
wenang dari hukum
c) Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan
3
Ibid. hlm. 43-46.

8
d) Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan
keterangan baru

Secara fundamental, pada hakikatnya upaya hukum dalam hukum


acara perdata dapatlah dibagi menjadi: 4

a) Upaya hukum biasa terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Upaya


hukum tersebut adalah:
1) Perlawanan
2) Banding
3) Terhadap putusan peradilan tingkat banding dapat diajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
b) Hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap:
1) Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum
2) Peninjauan kembali putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap

Dari ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP, dapat ditarik kesimpulan


bahwa upaya hukum itu berupa:

a) Terhadap putusan Pengadilan Negeri (peradilan tingkat pertama), yaitu


perlawanan dan banding.
b) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi (peradilan tingkat banding) dapat
diajukan permohonan kasasi.
c) Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dapat diajukan peninjauan kembali.

Menurut konteks eksepsi atau keberatan pada Pasal 156 ayat (3)
dan ayat (5) KUHAP, maka upaya hukum yang ada adalah:

a) Perlawanan

4
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, (Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2014), hlm. 237.

9
b) Bersama-sama permintaan banding

Berikut ini akan dibahas tentang upaya hukum terhadap putusan


atas eksepsi atau keberatan berupa perlawanan dan bersama-sama
permintaan banding dari peradilan tingkat pertama.

Secara explisit perlawanan merupakan salah satu upaya hukum


yang diatur dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, Pasal 149 ayat (2) KUHAP,
Pasal 156 ayat (3) KUHAP dan Pasal 214 ayat (4) KUHAP Pasal 1 angka
12 KUHAP yang menentukan: “upaya hukum adalah hak tterdakwa atau
penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang undang ini”

Pasal 149 ayat (1) KUHAP yang menentukan:

a) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan


pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka ia
mengajukan “perlawanan” kepada pengadilan tinggi yang
bersangkutan dalam waktu tujuh hari setelah penetapan tersebut
diterima;
b) Tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan
batalnya perlawanan;
c) Perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam
buku daftar panitera.
d) Dalam waktu tujuh hari pengadilan wajib meneruskan perlawanan
tersebut kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan
Pasal 156 ayat (3) KUHAP yang menentukan: dalam hal penuntut
umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan
negeri yang bersangkutan
Pasal 214 ayat (4) KUHAP yang menentukan: dalam hal putusan di
luar hadir nya terdakwa dan putusan itu berupa perampasan kemerdekaan,

10
terdakwa dapat mengajukan perlawanan pada asasnya, perlawanan ini
hanya dapat dilakukan terhadap perkara yang dilimpahkan ke pengadilan
dan belum ditunjuk majelis hakim yang akan menanganinya, Putusan
pengadilan negeri yang belum memeriksa pokok perkaranya putusan
verstek dalam acara pemeriksaan Cepat dimana putusan tersebut berupa
pidana perampasan kemerdekaan perlawanan adalah upaya hukum yang
dapat dilakukan atau yang dapat dibenarkan terhadap putusan sela yang
jatuhkan hakim (pengadilan negeri) mengenai eksepsi atau keberatan
kewenangan mengadili pasal 156 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) KUHAP
secara tegas menyebut bentuk upaya pemahaman nya adalah perlawanan
dalam Pasal 156 ayat (3) KUHAP ditegaskan bahwa yang berwenang
memeriksa dan memutus perlawanan terhadap putusan eksepsi atau
keberatan adalah pengdilan tinggi. Perlawanan diajukan kepada
pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan yang
memeriksa perkara tersebut. Pasal 156 KUHAP tidak mengatur bahkan
tidak menyinggung tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan. Hal
ini sebenarnya merupakan hal yang sangat penting sebagai syarat formal
tegaknya kepastian hukum.

C. Bantahan Terhadap Pokok Perkara


Bantahan pokok perkara merupakan tangkisan atau pembelaan tergugat
terhadap pokok gugatan penggugat yang berisi alasan dan penegasan dari
tergugat baik lisan maupun dengan tulisan dengan maksud melumpuhkan
kebenaran dalil penggugat. Ketentuan ini tidak kita jumpai dalam HIR dan
RBg, melainkan ada di pasal 142 Rv yang menegaskan para pihak dapat saling
menyampaikan surat jawaban serta replik duplik. Akan tetapi dalam pasal 121
ayat (2) HIR pada saat juru sita menyampaikan surat panggilan yang dilampiri
surat gugatan tergugat diberikan hak untuk mengajukan jawaban secara
tertulis. Jawaban tergugat berisi alasan-alasan yang rasional dan objektif yang
mencerminkan keseriusan tergugat sehingga layak diperhatiakan oleh hakim.
Sebuah jawaban dari tergugat dapat berupa:
1. Pengakuan dalil penggugat baik sebagian maupun seluruhnya;

11
2. Membantah dalil gugatan baik sebagian maupun seluruhnya;
3. Pernyataan yang menyerahkan sepenuhnya kebenaran gugatan kepada
hakim (referte aan het oordel des rechter), yang dalam praktek biasanya
jawaban seperti ini diberikan oleh turut tergugat yang ditarik masuk oleh
penggugat.
Cara mengajukan jawaban sekaligus berisi eksepsi dan bantahan terhadap
pokok perkara yaitu sebagai berikut:
1. Mendahulukan uraian eksepsi pada bagian depan (dengan judul eksepsi);
2. Kemudian menyusul uraian bantahan terhadap pokok perkara (dengan
judul (bantahan terhadap pokok perkara);
3. Terakhir berupa tuntutan dari eksepsi dan bantahan yang juga diuraikan
secara terpisah sesuai dengan susunan di atas. 5

5
Ahmad Hasan Basri, Rina Suryanti, Hukum Acara Perdata,…hlm. 46-47.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam hukum acara eksepsi dapat bermakna sebagai tangkisan atau
bantahan, eksepsi diajukan oleh tergugat kepada gugatan penggugat. Maksud
inti pengajuan eksepsi yaitu untuk menyudahi tahapan tanpa harus
melanjutkan kepada pokok perkara. Bantahan yang diajukan melalui eksepsi
ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut formalitas gugatan yang
mengakibatkan gugatan tidak sah sehingga tidak dapat diterima.
Tujuan pokok pengajuan eksepsi adalah agar pengadilan mengakhiri
proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara,
pengakhiran yang diajukan melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan
menjatuhkan putusan yang negatif yang menyatakan gugatan tidak dapat
diterima (Niet Onvant Klihk). Harzien Inlandsch Reglement (HIR)
menyebutkan adanya dua jenis eksepsi, yaitu eksepsi kompetensi absolut dan
eksepsi kompetensi relative.
Bantahan pokok perkara merupakan tangkisan atau pembelaan tergugat
terhadap pokok gugatan penggugat yang berisi alasan dan penegasan dari
tergugat baik lisan maupun dengan tulisan dengan maksud melumpuhkan
kebenaran dalil penggugat.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak sekali
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Kedepannya kami akan lebih berhati-
hati dalam menjelaskan makalah dengan sumber yang lebih banyak serta
terperinci, kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita
semua dan menjadi wawasan kita dalam memahami eksepsi dan bantahan
pokok perkara.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hasan Basri Ahmad, Suryanti Rina, Hukum Acara Perdata, (Jember: Al-Bidayah,
2023).
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6247674/eksepsi-dalam-hukum-perdata-
pengertian-tujuan-dan-jenis-jenisnya/amp. Diakses pada tanggal 21,
November, 2023.
Mulyadi Lilik, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014).

14

Anda mungkin juga menyukai