Anda di halaman 1dari 15

HUKUM PERDATA

(PELAKSANAAN PUTUSAN DAN CARA MELAKSANAKAN PUTUSAN HAKIM)

Disusun Oleh:
Yogi Sastra Wijaya 2011150140
Rebi Mandala Saputra 2011150136

Dosen Pengampu:
Rema Syelvita, MH

PRODI HUKUM TATA NEGARA (HTN)


FAKULTAS SYARIAH
UIN FATMAWATI SOEKARNO BENGKULU
2022
KATA PENGANTAR
            Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kita
berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu
membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada
kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai
menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
            Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta
teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun
materil,sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
            Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah yang berjudul
“PELAKSANAAN PUTUSAN DAN CARA MELAKSANAKAN PUTUSAN
HAKIM” ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangannya,
baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal penyajiannya, untuk itu besar harapan
kami kepada Dosen dan teman-teman untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun guna lebih menyempurnakan makalah kami dilain waktu.
            Harapan paling besar dari penyusunan makalah ini adalah mudah-mudahan
apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang
lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari
judul makalah kami ini sebagai tambahan dalam menambah referensi yang ada.

Bengkulu, 16 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Putusan
B.  Putusan Hakim
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR FUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tujuan utama suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak
dapat diubah lagi. Dengan putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang
berperkara ditetapkan untuk selamalamanya, bahwa apabila putusan tidak ditaati
secara sukarela, maka putusan tersebut dapat dipaksakan dengan bantuan alat-alat
negara. Ketentuan pada Pasal 195 Ayat (1) HIR/ Pasal 206 Ayat (1) RBg yang
menyatakan bahwa:
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh
putusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat
yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi
putusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada
kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada
gunanya.
Cara pelaksanaan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal
208 HIR. Putusan dilaksanakan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang
mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan menegur pihak
yang kalah dalam delapan hari memenuhi putusan tersebut dengan suka rela. Jika
pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu dengan sukarela, maka baru
pelaksanaan yang sesungguhnya di mulai. Setelah waktu tersebut terlampaui dan
pihak yang kalah belum memenuhi eksekusi sesuai dengan amar putusan hakim, maka
dengan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya memerintahkan Jurusita
dengan disertai dua orang saksi yang dipandang mampu dan cakap untuk
melaksanakan sita eksekusi terhadap barang-barang termohon eksekusi yang setelah
itu dibuat berita acaranya.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Itu Putusan?
B. Apa Saja Macam-Macam Putusan?
C. Bagaimana Pelaksanaan Putusan?
D. Apa Itu Putusan Hakim?
E. Bagaimana Cara Melaksanakan Putusan Hakim?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Putusan
Pengertian putusan secara bahasa disebut dengan vonnis (Belanda) atau al-
aqda’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang
berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk pengadilan
semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau
jurisdictio cententiosa”.
Definisi Putusan yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa: “Putusan adalah keputusan
pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Menurut
Sudikno Mertokusumo, Putusan adalah suatu pernyataan yang diberikan oleh Hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.
Sedangkan definisi lebih lanjut mengenai putusan menurut Gemala Dewi,
adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai suatu produk Pengadilan (Agama)
sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu
sengketa.3 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian putusan adalah
pernyataan hakim yang tertulis atas perkara gugatan oleh Majelis Hakim yang
berwenang menangani dan menyelesaikan suatu sengketa diantara para pihak yang
berperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

B. Macam-Macam Putusan
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Manan, macam-macam putusan Hakim
Pengadilan dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu dari segi sifatnya, segi isinya, dan
juga dari segi jenisnya:
a. Dilihat dari segi sifatnya:
 Putusan declaratoir : yaitu putusan pengadilan yang amarnya menyatakan
suatu keadaan dimana keadaan tersebut dinyatakan sah menurut hukum.
 Putusan constitutif : yaitu putusan yang bersifat menghentikan atau
menimbulkan hukum baru.
 Putusan condemnatoir : yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim.
b. Dilihat dari segi isinya:
 Niet Onvankelijk Verklaart (N.O.) : maksudnya adalah putusan ini tidak dapat
diterima gugatannya, karena adanya alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Terdapat beberapa kemungkinan alasan tidak diterimanya gugatan Penggugat,
yaitu :
1. Gugatan tidak berdasarkan hukum.
2. Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang
melekat pada diri Penggugat.
3. Gugatan kabur (obsucur libel).
4. Gugatan masih prematur.
5. Gugatan Nebis in idem
6. Gugatan error in persona
7. Gugatan telah lampau waktu (daluwarsa)
8. Pengadilan tidak berwenang mengadili
 Gugatan dikabulkan : yaitu apabila suatu gugatan yang diajukan kepada
pengadilan dapat dibuktikan kebenaran dalil gugatannya. Jika terbukti
keseluruhan, maka gugatan tersebut dikabulkan seluruhnya. Jika sebagian saja
yang terbukti, maka gugatan tersebut dikabulkan sebagian.
 Gugatan ditolak : yaitu putusan yang perkaranya telah diperiksa dan setelah
diperiksa terbukti dalil gugatannya tidak beralasan atau tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.
 Gugatan didamaikan : yaitu apabila pihak yang berperkara berhasil
didamaikan, maka hakim menyarankan agar gugatannya dicabut dan hakim
menjatuhkan putusan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian.
 Gugatan digugurkan : yaitu apabila Penggugat telah dipanggil secara patut
danmtidak hadirmmenghadap pengadilanmpada harimyang telah
ditentukanmtanpa menyuruhmorang lain sebagaiowakilnya, sedangkan pihak
Tergugat hadir. Maka dalam hal ini gugatan Penggugat dinyatakan gugur dan
dihukum untuk membayar ongkos perkara.
 gatan dibatalkan : yaitu apabila Penggugat pernah hadir dalam sidang
pengadilan, kemudian pada sidang-sidang selanjutnya tidak 21 pernah hadir
lagi, maka panitera wajib memberitahukan kepada Penggugat agar ia hadir
untuk membayar ongkos perkara tambanhan sesuai yang ditetapkan. Apabila
dalam tempo satu bulan sejak tanggal pemberitahuan tersebut Penggugat tidak
hadir, maka gugatannya dinyatakan dibatalkan.
 Gugatan dihentikan (aan hanging) : yaitu penghentian gugatan yang
disebabkan karena adanya perselisihan kewenangan mengadili antara
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.
c. Dilihat dari segi jenisnya
 Putusan Sela : yaitu putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan ini
tidak mengikat hakim, bahkan hakim yang menjatuhkan putusan sela
berwenang mengubah putusan sela tersebut jika ternyata mengandung
kesalahan. Adapun beberapa bentuk putusan sela menurut Pasal 48 dan 332
Rv dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Putusan Preparatoir : adalah putusan sela untuk mempersiapkan putusan
akhir, tanpa ada pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir.
Putusan Interlucotoir : adalah putusan yang memerintahkan pembuktian
dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
2. Putusan Insidentil : adalah putusan sela atas suatu perselisihan yang tidak
begitu mempengaruhi atau berhubungan dengan pokok perkara
 Putusan Provisi : adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu
permintaan para pihak yang bersangkutan agar untuk sementara diadakan
tindakan pendahuluan.
 Putusan Akhir : adalah suatu pernyataan yang oleh hakim yang berwenang,
diucapkan dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri perkara atau
sengketa para pihak yang berperkara di pengadilan. Putusan akhir ini sangat
menentukan kredibilitas hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka
sangat diharapkkan kepada hakim untuk membuat putusan yang benar.

C. Pelaksanaan Putusan
Terdapat 3 (tiga) jenis pelaksanaan putusan (eksekusi) yang dikenal dalam
hukum acara perdata, yaitu sebagai berikut:
a. Eksekusi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, yang
mana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
b. Eksekusi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 225 HIR, yang mana seseorang
dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan atau tidak melaksanakan suatu
perbuatan.
c. Eksekusi Riil.
Kemudian ada 4 syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan putusan hakim yaitu
sebagai berikut:
a. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht (kecuali dalam hal;
pelaksanaan putusan serta merta; putusan yang dapat dilaksanak terlebih dahulu,
pelaksanaan putusan provinsi atau putusan sela, Pelaksanaan akta perdamaian dan
pelaksanaan grosse akta).
b. Putusan tidak dijalankan oleh para pihak secara sukarela (aanmaning), padahal
Ketua Pengadilan sudah memberi peringatan kepadanya.
c. Putusan hakim bersifat condemnatoir, sehingga dalam
putusan declaratoir dan constitutief tidak perlu dieksekusi.
d. Ketua Pengadilan memimpin proses eksekusi terhadap suatu putusan hakim.

D. Putusan Hakim
Jenis-jenis putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata,Yang dimaksud
dengan Putusan Hakim adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan persidangan di
pengadilan dalam suatu perakra. (Sarwono, Hlm.211). Putusan akhir dalam suatu
sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya
mengandung sangsi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu
persidangan di pengadilan. Sangsi hukuman ini baik dalam hukum acara perdata
maupun acara pidana pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak
tanpa pandang bulu, hanya saja bedanya dalam hukum acara perdata hukumannya
berupa pemenunah prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah
dirugikan atau dimenangkan dalam persidangan pengadilan suatu sengketa,
sedangkan dalam hukum acara pidana umumnya hukumannya penjara dan atau denda.

a. Putusan Declaratoir (Pernyataan)

Putusan Declaratoir (Pernyataan) adalah putusan hanya menegaskan atau


menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya: Putusan tentang
keabsahan anak angkat menurut hukum, putusan ahli waris yang sah, putusan
pemilik atas suatu benda yang sah dan lain sebagainya.

b. Putusan Constitutief (Pengaturan)

Putusan Constitutief (Pengaturan) adalah putusan yang dapat meniadakan


suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
Misalnya: putusan tentang perceraian, putusan yang menyatakan bahwa seseorang
jatuh pailit, putusan tidak berwenangnya pengadilan menangani suatu perakra dan
lain sebagainya.

c. Putusan Condemnatoir (Menghukum)

Putusan Condemnatoir (Menghukum) adalah putusan yang bersifat


menghukum pihak yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi.
Pada umumnya putusan condemnatoir ini terjadi disebabkan oleh kareana dalam
hubungan perikatan anatara Penggugat dengan Tergugat yang bersumber pada
perjanjian atau undang-undang telah terjadinya wanprestasi dan perakranya
diselesaikan di Pengadilan.

d. Putusan Preparatoir

Putusan Preparatoiradalah putusan sela yang dipergunakan untuk


mempersiapkan putusan akhir. Putusan ini tidak mempunyai pengaruh atas pokok
perakra atau putusan akhir karena putusannya dimaksudkan untuk mempersipkan
putusan akhir.

e. Putusan Interlocutoir

Putusan Interlocutoiradalah putusan sela yang berisi tentang perintah untuk


mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bukti-bukti yang ada pada para
pihak yang sedang berperkara dan para saksi yang dipergunakan untuk
menentukan putusan akhir. Putusan interlocutoir ini dapat mempengaruhi putusan
akhir karena bahan pertimbangan untuk membuat keputusan akhir.

f. Putusan Insidentil
Putusan Insidentil adalah putusan sela yang berhubungan dengan insident atau
peristiwa yang dapat menghendtikan proses peradilan biasa untuk sementara.

g. Putusan Provisionil

Putusan provisionil adalah putusan sela yang dijatuhkan sebelum putusan


akhir sehubungan dengan pokok perkara, agar untuk sementara sambil menunggu
putusan akhir dilaksanakan terlebih dahulu dengan alasan yang sangat mendesak
demi untuk kepentingan salah satu pihak. Misalnya: Putusan dalam perkara
perceraian di mana pihak istri mohon agar di perkenankan meninggalkan tempat
tinggal bersama suami selama proses persidangan beralangsung.

h. Putusan Contradictoir

Putusan Contradictoiradalah putusan yang menyatakan bahwa Tergugat atau


para Tergugat pernah hadir dalam persidangan, tetapi dalam persidangan
selanjutnya tergugat atau para tergugat atau salah satu dari tergugat tidak pernah
hadir walaupun telah dipanggil dengan patut. Dan
Putusan Contradictoirmerupakan lawan dari putusan verstek, dalam
putusan contradictoir diberikan disebabkan oleh tergugat atau para tergugat yang
pernah hadir dipersidangan, tetapi dalam sidang-sidang berikutnya tergugat atau
salah satu dari tergugat tidak pernah hadir, sedangkan putusan verstek adalah
putusan diberikan oleh hakim karena tergugat tidak pernah hadir dipersidangan.

i. Putusan Verstek atau In Absensia

Putusan Verstek atau In Absensiaadalah putusan tidak hadirnya tergugat dalam


suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut tidak pernah hadir
dalam persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau kuasa hukumnya untuk
menghadiri dalam persidangan. (Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata)

E. Melaksanakan Putusan Hakim


Eksekusi dalam perkara perdata merupakan proses yang melelahkan, menyita
energy, biaya dan pikiran. Putusan perdata belum memiliki makna apapun ketika
pihak yang dikalahkan tidak bersedia menjalankan putusan secara sukarela.
Kemenangan yang sesungguhnya baru dapat diraih setelah melalui proses yang
panjang dengan eksekusi untuk mewujudkan kemenangan tersebut. Proses eksekusi
menjadi lama dan rumit karena pihak yang dikalahkan sulit untuk menerima putusan
dan tidak mau menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Puncak dari suatu
perkara perdata adalah ketika putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) dapat dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan eksekusi, terdapat asas-asas yang digunakan dalam pelaksanaan
eksekusi. Asas-asas tersebut antara lain:
a. Putusan yang dapat dijalankan adalah putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap

Adapun keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dapat berupa:

1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan pemeriksaan ulang


(banding) atau kasasi karena telah diterima oleh para pihak yang berperkara.
 Putusan pengadilan tingkat banding yang telah tidak dimintakan kasasi ke
Mahkamah Agung.
 Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung atau putusan
peninjauan kembali dari Mahkamah Agung.
 Putusan verstek dari pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan upaya
hukumnya.
 Putusan hasil perdamaian dari dua pihak yang berperkara.
Putusan yang dapat dilakukan eksekusi pada dasarnya hanya putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap karena dalam putusan tersebut telah terkandung wujud
hubungan hukum yang tetap (res judicata) dan pasti antara pihak yang berperkara.
Akibat wujud hubungan hukum tersebut sudah tetap dan pasti sehingga hubungan
hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh pihak yang kalah. Terhadap asas
ini terdapat beberapa pengecualian yaitu:
Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu
Bentuk pelaksanaan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad) merupakan
salah satu pengecualian terhadap asas menjalankan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Menurut Pasal 180 ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan
terhadap putusan pengadilan, sekalipun putusan yang bersangkutan belum
berkekuatan hukum tetap. Pasal tersebut memberikan hak kepada penggugat untuk
mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu,
sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.
Pelaksanaan putusan provisi
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih
dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok-pokok perkara. Apabila
hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut
dapat dilaksanakan sekalipun perkara pokoknya belum diputus.
Akta perdamaian
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR. Akta perdamaian yang dibuat di
persidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Sejak tanggal lahirnya akta perdamaian, telah
melekat pula kekuatan eksekutorial pada dirinya meskipun ia bukan merupakan
putusan yang memutus sengketa.
Eksekusi terhadap grosse akta
Grosse akta ini sesuai dengan Pasal 224 HIR. Eksekusi grosse akta merupakan
eksekusi yang dijalankan untuk memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk
grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan
eksekutorial.
1. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Dalam menjalankan isi putusan, terdapat 2 (dua) cara yaitu dengan jalan
sukarela dan dengan jalan eksekusi. Pada dasarnya eksekusi sebagai tindakan
paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan
menjadi pilihan untuk dilakukan apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan
atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Sedangkan menjalankan putusan
secara sukarela, pihak yang kalah memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan
pengadilan. Pihak yang kalah, tanpa paksaan dari pihak lain, menjalankan
pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Dengan sukarela pihak
yang kalah memenuhi secara sempurna segala kewajiban dan beban hukum yang
tercantum dalam amar putusan. Dengan dilaksanakannya ketentuan putusan oleh
pihak yang kalah, maka tindakan paksa tidak dapat lagi diberlakukan kepada pihak
yang kalah.
Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir
Putusan condemnatoir yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung
unsur “penghukuman” dan dengan sendirinya melekat kekuatan hukum
eksekutorial sehingga putusan tersebut dapat dieksekusi apabila tergugat tidak
mau menjalankan putusan secara sukarela.
Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1), jika terdapat putusan yang dalam
tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri dan telah
berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah
perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Terdapat hal-
hal yang harus diperhatikan dalam asas ini, yaitu:
Penentuan pengadilan mana yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan.
Pedoman menentukan kewenangan tersebut didasarkan atas faktor di Pengadilan
Negeri mana perkara (gugatan) diajukan dan di Pengadilan Negeri mana perkara
diperiksa dan diputus pada tingkat pertama. Satu-satunya faktor penentu
kewenangan eksekusi semata-mata didasarkan pada pengajuan dan penjatuhan
putusan pada tingkat pertama. Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus
suatu perkara dalam tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri yang berwenang
untuk menjalankan eksekusi atas putusan yang bersangkutan, tanpa mengurangi
hak dan wewenangnya untuk melimpahkan delegasi eksekusi kepada Pengadilan
Negeri yang lain, apabila objek yang hendak dieksekusi terletak di luar daerah
hukumnya.
1. Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan
Negeri. Tidak menjadi suatu permasalahan ketika suatu putusan yang hendak
dieksekusi tersebut merupakan hasil putusan Pengadilan Negeri atau
Mahkamah Agung, eksekusinya tetap berada di bawah kewenangan
Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama.
2. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin
eksekusi merupakan kewenangan formal secara ex officio. Atas dasar
kewenangan itulah Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi
berbentuk surat penetapan (beschikking) setelah adanya permintaan dari pihak
yang menang. Kemudian yang menjalankan eksekusi adalah Panitera atau Juru
Sita Pengadilan Negeri.

Terhadap pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) dalam perkara perdata, terdapat 3


(tiga) jenis eksekusi, yaitu:
1. Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk membayar sejumlah
uang;
2. Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan;
3. Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk pengosongan barang
tidak bergerak (eksekusi riil).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Putusan hakim harus memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana dan
dapat membuat terdakwa menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dan dapat
kembali menjadi warga masyarakat yang lebih baik. Putusan juga harus bisa
mencegah orang lain untuk melakukan tindak pidana. Putusan Hakim bukan
merupakan bentuk aksi balas dendam akan tetapi untuk mewujudkan rasa keadilan
dalam masyarakat. Dalam menjatuhkan pidana Hakim harus mempertimbangkan
banyak hal. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak yang
melakukan tindak pidana pencurian yaitu Fakta-fakta yang diketemukan dalam proses
pemeriksaan, selain itu yang menjadi pertimbangan hakim adalah halhal yang
meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa, serta saran dari Balai
Pemasyarakatan.

DAFTAR FUSTAKA

Atang Ranoemiharja, 1976, Hukum Acara Pidana, Transito, Bandung


Bambang Poernomo, 1985, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, Jakarta.
Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Darwan prist, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Dwija Priyatno, 2006, Sistem Pelaksaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung.
Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak,Bumi Aksara,
Jakarta
Kartini Kartono, 1998, Phatologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Lamintang, 1997, Dasar-dasar HukumPidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai