Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM ACARA PIDANA


(EKSEPSI)

Disusun Oleh :
Putri Magistra Ramadani
Dewi Kasmita
Sopyan Al Roby
Slamet Riyadi
Wira Andika Pratama

Dosen Pengampu :
Rian Prayudi, S.H.,M.H.

PROGRAM STUDI HUKUM S1


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam
menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Pidana Khusus
dengan ini penulis mengangkat judul “Eksepsi dalam Acara Pidana”. Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.

Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran


yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Bangkinang, 27 Oktober 2021

Penulis.

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 4

2.1 Pengertian Eksepsi .................................................................................. 4

2.2 Jenis-Jenis Eksepsi .................................................................................. 4

2.3. Kompetisi (kewenangan mengadili) Badan Peradilan Pidana di Indonesia


..................................................................................................................... 7

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 10

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 10

3.2 Saran....................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Alur pemeriksaan perkara pidana di depan sidang pengadilan dimulai


dengan pembukaan sidang oleh hakim ketua. Sidang dinyatakan dibuka dan
terbuka untuk umum (Pasal 153 KUHAP). Keterbukaan sidang Undang-Undang
ada perkecualiannya yaitu untuk perkara yang menyangkut tindak pidana
kesusilaan dan terdakwanya masih anak-anak (Pasal 153 ayat (3) KUHAP).
Artinya, untuk perkara kesusilaan dan terdakwanya masih anak-anak, maka proses
pemeriksaan dilakukan secara tertutup, namun demikian untuk putusannya tetap
dilaksanakan secara terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP).

Setelah sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umurn, lalu


bergulirlah alur atau tahapan yang lain yaitu pemeriksaan identitas terdakwah.
Pemeriksaan identitas terdakwah ini dilakukan dalam rangka menghindari adanya
atau terjadinya enor in persona atau kesalahan mengenai orang yang dalam hal ini
menjadi terdakwa.

Setelah pemeriksaan identitas terdakwa lalu dilakukan pembacaan surat


dakwaan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Surat dakwaan inilah yang
menjadi dasar pemeriksaan dalam perkara pidana didepan sidang pengadilan.
Dengan perkataan lain melalui surat dakwaan inilah segala hal yang berkaitan
dengan perkara tersebut, dilakukan pemeriksaan dan dibuktikan kebenararurya.
Fungsi surat dakwaan itu sendiri bagi penuntut umum adalah :

1. Dasar untuk melakukan penuntutan (Requisitoir)


2. Dasar pembuktian
3. Dasar melakukan upaya hukum

Bagi terdakwa atau penasihat hukumnya,fungsi surat dakwaan adalah :

1
1. Mengetahui dengan tepat dan teliti tentang apa yang didakwakan
kepadanya
2. Dapat mempersiapkan pembelaan ataupun mengajukan bukti sebaliknya
3. Dasar melakukan upaya hukum

Sedangkan bagi hakim, fungsi surat dakwaan adalah "merupakan 'litis


contestatio' yaitu sebagai dasar sekaligus batas bagi pemeriksaan dan penilaian di
persidangan, oleh karena itu dalam menjatuhkan putusan tidak boleh lebih atau
kurang dari tindak, pidana yang didakwakan" (M. Slamet,l994:4-6).

Terdakwa ataupun penasihat hukum, oleh hakim ketua; diberi kesempatan


mengajukan tanggapan atas surat dakwaan tersebut. Tahap inilah yang disebut
tahap eksepsi atau keberatan atas surat dakwaan tersebut. Apabila terdakwa atau
penasihat hukurmnya melakukan atau mengajukan eksepsi, maka penuntut umum
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapannya. Setelah penuntut umum
memberikan tanggapannya atas eksepsi yang diajukan oleh terdakwa atau
penasihat hukumnya. Putusan ini dinamakan putusan atau vonis sela.

Setelah putusan sela, bergulir tahap berikutnya yaitu pemeriksaan


terdakwa, requisitoir (pembelaan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya), replik,
duplik dan putusan. Kalau dirinci tahapan pemeriksaan di depan sidang
pengadilan untuk acara pemeriksaan biasa adalah sebagai berikut :

1. Pembukaan sidang;
2. Pemeriksaan identitas terdakwa;
3. Pembacaan surat dakwaan;
4. Eksepsi;
5. Tanggapan atas eksepsi;
6. Putusan sela;
7. Pemeriksaan barang bukti dan saksi
a. Pemeriksaan saksi korban atau pelapor atau pengadu.
b. Pemeriksaan saksi yang dibawa oleh penmtut umum.

2
c. Pemeriksaan saksi yang dibawa oleh terdakwa alau penasihat
hukumnya.
d. Pemeriksaan saksi ahli.
8. Pemeriksaan terdakwa.
9. Tuntutan pidana (rewuisitoft).
10. Pembelaan (pledoi).
11. Replik.
12. Duplik.
13. Putusan
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa itu eksepsi?
2. Apa saja jenis-jenis eksepsi?
3. Bagaimana kompetisi (kewenangan mengadili) badan peradilan pidana di
Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengatahui pengertian eksepsi.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis eksepsi
3. Untuk mengetahui kompetisi (kewenangan mengadili) badan peradilan
pidana di Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Eksepsi

Pengertian eksepsi itu sendiri adalah alat-alat pembelaan yang maksudnya


untuk menghindarkan keputusan tentang pokok perkara, karena dengan menerima
baik tangkisan-tangkisan tidak perlu lagi (M.H. Tinaamidj 4ul 992:382).

KUHAP dalam Pasal 156 atau ( I ) menyatakan bahwa : Dalam hal


terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan, bahwa pengadilan
tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau
surat dakwaan harusd ibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut
umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan
tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dari bunyi ketentuan pasal 156
KUHAP diatas, terdakwa atau penasihat hukumnya bisa mengajukan keberatan
(Eksepsi) dalam hal :

1. Pengadilan tidak berwenang mengadiliperkaranya;


2. Dakwaan tidak dapat diterimal
3. Dakwaan batal demi hukum.

2.2. Jenis-jenis eksepsi

Terdapat 3 (tiga) hal yang dapat menjadi alasan eksepsi atau keberatan
oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, yaitu:

1. Eksepsi atau Keberatan tidak berwenang mengadili;


Eksepsi atau Keberatan ini dapat berupa ketidak wenangan mengadili, baik
absolut (kompetensi absolut) maupun relatif (kompetensi relatif).
Mengenai Eksepsi atau Keberatan tidak wenang mengadili, ada macam-
macam alasan, yaitu:

4
 Tidak wenang, karena yang wenang ialah Pengadilan Militer
(kompetensi absolut, Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2002 jo UU No. 31
Tahun 1997 tentang KUHPM);
 Tidak wenang, karena yang wenang ialah majelis pengadilan
Koneksitas (Pasal 89 KUHAP: Tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan
Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali jika
menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan
persetujuan Menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh pengadilan militer)
 Tidak wenang, yang wenang ialah Pengadilan Negeri lain
(Kompetensi relatif, Pasal 84 KUHAP: Pengadilan Negeri
berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan
dalam daerah hukumnya.)
2. Eksepsi atau Keberatan dakwaan tidak dapat diterima;
Ada beberapa alasan yang dapat diajukan terdakwa atau penasehat
hukumnya terhadap eksepsi atau keberatan dakwaan tidak dapat diterima
atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, yaitu:
 Apakah yang didakwakan Penuntut Umum dalam surat
dakwaannya telah kadaluarsa. (Pasal 78 KUHP: (1). Kewenangan
menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai semua
pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan
sesudah satu tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama
tiga tahun,sesudah enam tahun; mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas
tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. (2).
Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum

5
delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas
dikurangi sepertiga.
 Asas nebis in idem. (Pasal 76 KUHP: (1). Kecuali dalam hal
putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak dapat dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap
dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.)
 Tidak adanya unsur pengaduan. (Pasal 74 KUHP: (1). Pengaduan
hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang
berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat
tinggal di Indonesia atau dalam waktu sembilan bulan jika
bertempat tinggal di luar Indonesia
 Apa yang didakwakan terhadap terdakwa bukan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran.
 Apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak
pidana yang dilakukannya.
 Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak
pidana akan tetapi termasuk perselisihan perdata.
3. Eksepsi atau Keberatan Surat dakwaan harus dibatalkan
Eksepsi atau keberatan ini apabila surat dakwaan yang dibuat oleh
Penuntut Umum tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana ketentuan
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang berbunyi: Penutut umum
membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi: uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan. Kadang eksepsi atau keberatan ini masuk eksepsi surat
dakwaan obscuur libel, akibat dari penafsiran terhadap kata yang tidak
lengkap, tidak jelas dan tidak lengkap. Suatu surat dakwaan sebagai tidak
cermat terjadi karena perubatan yang dirumuskan bukan merupakan tindak
pidana atau bahkan faktanya bukan merupakan perbuatan terdakwa, juga
karena kasus itu sudah nebis in idem atau daluwarsa. Kemudian tidak jelas
terjadi bila rumusan perbuatan itu sesungguhnya adaah akibat perbuatan

6
orang lain (perintah jabatan). Sedangkan surat dakwaan tidak lengkap bisa
terjadi dalam hal tindak pidana dilakukan beberapa orang namun setiap
orang berbuat tidak sempurna.

2.3. Kompetisi (kewenangan mengadili) badan peradilan pidana di Indonesia

Kewenangan relatif Pengadilan Negeri

Kewenangan pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu


perkara sesuai dengan jenis dan tingkatan pengadilan berlandaskan kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Landasan menentukan kewenangan
mengadili setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif, diatur di
dalam bagian Kedua Bab X yang terdiri dari Pasal 84, 85 dan Pasal 86 KUHAP.
Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam ke-3 Pasal tersebut diatur
kriteria menentukan pengadilan mengadili perkara pidana.

Bahwa pada dasarnya masalah sengketa kewenangan mengadili yang


diatur pada Bagian Kedua, Bab XVI adalah kewenangan mengadili secara relatif.
Artinya, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang
mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan mengadili
bagi setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif, diatur dalam
Bagian Kedua, Bab X, Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal 86 Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bertitik tolak dari ketentuan
yang dirumuskan dalam ketiga pasal tersebut, ada beberapa kriteria yang bisa
dipergunakan Pengadilan Negeri sebagai tolak ukur untuk menguji
kewenangannya mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya.
Kriteria-kriteria yang dimaksud antara lain adalah:

1. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti)


Inilah asas atau kriteria yang pertama dan utama. Pengadilan Negeri
berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah
hukumnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi: “Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara
mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.” Asas

7
atau kriteria yang dipergunakan pada pasal ini adalah tempat terjadinya
tindak pidana atau disebut locus delicti. Terdapat tiga teori yang dapat
digunakan untuk menentukan tempat terjadinya tindak pidana:
a. Teori Perbuatan Materiel (Ieer van de lichamelijke)
Menurut teori ini locus delicti merupakan tempat dimana seseorang
melakukan suatu tindak pidana. Apabila telah ditentukan mengenai
dimana tempat tindak pidana dilakukan maka dapat ditentukan juga
mengenai pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili orang
yang melakukan tindak pidana tersebut.
 Teori Alat (Ieer van het instrument)
Menurut teori ini locus delicti dititikberatkan pada tempat
dimana alat yang digunakan untuk melakukan sutau tindak
pidana berada atau berdasarkan tempat bekerjanya alat yang
digunakan oleh si pelaku.
 Teori Akibat (Ieer van het gevlog)
Menurut teori ini locus delicti ditentukan karena adanya akibat
yang muncul dari perbuatan yang telah terjadi atau ditentukan
menurut dimana akibat yang muncul terjadi setelah terjadinya
tindak pidana tersebut.

Pengadilan Negeri meneliti dengan seksama apakah tindak pidana itu


terjadi di wilayah hukumnya. Jika sudah nyata terjadi di lingkungan wilayah
hukumnya, dia yang berwenang memeriksa dan mengadilinya. Sebaliknya,
apabila dari hasil penelitian ternyata perbuatan tindak pidana dilakukan di luar
wilayah hukumnya, tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya dan
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan menyerahkan surat pelimpahan
perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang dianggapnya berwenang, dengan
jalan mengeluarkan surat penetapan.

2. Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang
dipanggil

8
Asas kedua menentukan kewenangan relatif berdasar tempat tinggal
sebagian besar saksi. Jika saksi yang hendak dipanggil sebagian besar
bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu Pengadilan Negeri maka
Pengadilan Negeri tersebut yang paling berwenang memeriksa dan
mengadili. Asas ini diatur dalam Pasal 84 ayat (2) KUHAP (dan sekaligus
mengecualikan atau menyingkirkan asas locus delicti) yang berbunyi:
“Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya
berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam
daerahnya tindak pidana itu dilakukan”. Penerapan asas tempat kediaman,
dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan
Negeri dimana sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat
tinggal.
b. Tempat kediaman terakhir terdakwa. Terdakwa berkediaman terakhir
di daerah hukum suatu Pengadilan Negeri dan sebagian besar saksi
yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan
Negeri tersebut.
c. Ditempat terdakwa ditemukan. Di mana terdakwa diketemukan di
suatu daerah hukum Pengadilan Negeri serta saksi-saksi yang hendak
dipanggil kebanyakan bertempat tinggal atau lebih dekat dengan
Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa diketemukan.
d. Di tempat terdakwa ditahan. Tempat penahanan terdakwa serta saksi-
saksi yang hendak diperiksa sebagian besar bertempat tinggal atau
lebih dekat ke Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa ditahan.

9
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan eksepsi


atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya materinya
belum menyangkut pokok perkara. Harapannya dengan diterimanya eksepsi atau
keberatan ini, maka pokok perkara tidak akan dilanjutkan lagi pemeriksaannya
ataupun kalau dilanjutkan diharapkan masih ada waktu untuk mempersiapkan
pembelaan yang lebih baik

Tidak selamanya Locus delicti bersifat menentukan. Memang benar asas


utama menentukan kewenangan relatif mengadili suatu perkara, dititik beratkan
kepada Locus delicti. Akan tetapi asas Locus delicti dapat dikesampingkan oleh
tempat tinggal, tempat kediaman terakhir, tempat ditemukan terdakwa atau tempat
terdakwa ditahan. Dengan catatan dipenuhinya syarat bahwa saksi-saksi yang
akan dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan
Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa bertempat tinggal.

3.2. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan diatas.

10
DAFTAR PUSTAKA

bizlaw.co.id. (2021, May 14). Retrieved Oktober 25, 2021, from


https://bizlaw.co.id/kompetensi-relatif-dalam-hukum-acara-pidana/

Endro, D. (2003). Eksepsi Dalam Perkara Pidana.

Moelyatno. (1987). Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

11

Anda mungkin juga menyukai