Anda di halaman 1dari 16

Tugas Makalah Dosen Pembimbing

Administrasi Peradilan Agama Fenni Febiana, S. Sy., MH

Makalah Tentang

“Bentuk Surat Gugatan atau Permohonan dan Bentuk Teori Gugatan”

Oleh Kelompok 2:

Teungku Cintia Aulia Dewi (11920122590)


Vicky Alhadi (11920112598)

LOKAL AH D

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-
Nya mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Administrasi Peradilan
Agama. Dimana makalah ini membahas tentang ”Bentuk Surat Gugatan atau Permohonan dan
Bentuk Teori Gugatan”. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas
kepada pembaca. Penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun.

Pekanbaru, 15 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
C. Batasan Masalah...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3
A. Definisi gugatan dan permohonan........................................................................................3
1. Isi dan Ciri-Ciri Surat Gugatan dan Permohonan ............................................................3
2. Tata Cara Pengajuan Gugatan dan Permohonan ..............................................................7
3. Bentuk Teori Gugatan.......................................................................................................7
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................11
A. Kesimpulan.........................................................................................................................11
B. Saran...................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya ada persoalan-persoalan yang timbul antar

masyarakat. Permasalahan yang timbul dalam masyarakat pun sangat

beragam,diantaranya adalah permasalahan tindak perdata atau tindak pidana. Maka dari

ituhukum di Indonesia harus memenuhi asas berkeadilan. Dimana apabila ada

pelanggaran baik perdata maupun pidana maka penegakan hukum harus didirikan. Selain

itu pula hukum di Indonesia memberikan ruang dalam masyarakat yang merasadirugikan

dalam permasalah-permasalahan tersebut untuk dapat mengajukan gugatanatau

permohonan di pengadilan.

Gugatan atau permohonan merupakan sebuah pengajuan perkara di pengadilan.Dalam

Peradilan Agama gugatan atau permohonan diajukan kepada Ketua PengadilanAgama

atau dilimpahkan kepada hakim. Gugatan dan permohonan memiliki perbedaan.

Perbedaan uatama gugatan dan permohonan adalah, diamana gugatan memiliki perkara

sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Sedangkan permohonan

tidak adanya sengketa di dalamnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Gugatan dan Permohonan?

2. Bagaimana isi dan ciri-ciri dari Surat Gugatan dan Surat Permohonan?

3. Bagaimana tata cara mengajukan Gugatan atau Permohonan?

4. Bentuk Teori Gugatan?

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi Gugatan dan Permohonan.

2. Mengetahui isi dan ciri-ciri surat Gugatan dan surat Permohonan.


3. Mengetahui tata cara mengajukan Gugatan atau Permohonan.

4. Mengetahui Bentuk Teori Gugatan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Gugatan dan Permohonan

Perkara yang diperiksa pengadilan di lingkungan pengadilan agama ada dua macam, yaitu

Permohonan (voluntair) dan Gugatan (contentieus). Permohonan adalah mengenai suatu

perkara yang tidak ada pihak pihak lain yang bersengketa.Gugatan adalah suatu perkara yang

terdapat sengketa antara dua belah pihak.1

Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itutuntutan hak

perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkangugatan adalah surat

yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntuttuntutan hak yang yang

didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yangdisebut dengan pengadilan yang

sesungguhnya dan produk hokum yang dihasilkan adalah putusan hukum.2

Perbedaan antara permohonan dan gugatan :

1.Gugatan :

a.Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat.

b.Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan untuk

diputuskan.

c.Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukanundang-

undang dan tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.

d.Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikatkepada


1
Wulan Soentantio. Retno dan Iskandar. Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek. (Bandung: Mandar
Maju, 1997). Hal 10
2
Abdullah Tri Wahyudi, pegadilan agama diindonesia, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004). Hal 126
para pihak yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau di dengarkan

keterangannya.3

2.Permohonan :

a.Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.

b.Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimihinkan oleh pihak yang bermohonkarena

hanya bersifat administrative.

c.Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatuhal.

d.Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang

Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis namun apabila para pihak

tidak mampu membaca dan menulis (buta huruf) permohonan/gugatan dapat diajukan secara

lisan ke Ketua Pengadilan Agama atau dilimpahkan kepada hakim untuk disusun.4

permohonan/gugatan kemudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak

kemudian ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama atau hakim yang ditunjuk.

Pihak-pihak yang dapat membaca dan menulis dapat menyampaikan gugatannya

secara lisan ke Pengadilan Agama dengan menyampaikan maksudnya kepada penggugat

Pengadilan Agama untuk dibuatkan permohonan/gugatan oleh yang bersangkutan dan

ditandatangani oleh yang bersangkutan.

B. Isi dan Ciri-Ciri Surat Gugatan dan Permohonan

3
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi contoh surat-surat dalam praktik hukum
Acara diperadilan Agama.( Bandung: Mandar Maju, 2018). Hal 93
4
Abdullah Tri Wahyudi. 2018. Ibid. Hal 93
1.Isi dan ciri-ciri permohonan :

a.Dalam membuat permohonan pada dasarnya memuat :

1)Identitas pemohon;

2)Uraian kejadian (posita);

3)Permohonan(petitum);

b.Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung

sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini diantaranya:

1)Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak

2)Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa.

3)Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan.

2.Isi dan ciri-ciri gugatan :

a.Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut :

1)Identitas para pihak meliputi nama, alamat, umur, pekerjaan, agama,kewarganegaraan.

2)Uraian kejadian (posita)Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya

sengketa yang terjadi dan hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan.Posita juga disebut

fundamentum petendi.5

3)Permohonan (petitum)Petitum atau tuntutan berisi rincian apa saja yang diminta dan

diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan penetapan kepada para pihak

terutama pihak tergugat dalam putusan perkara.6

b.Ciri– ciri dari gugatan ini diantaranya:

1)Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat.

2)Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketadiantara para pihak.

C. Tata Cara Pengajuan Gugatan dan Permohonan


5
Abdullah Tri Wahyudi. 2018. Ibid. Hal 93
6
Abdullah Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992)., hlm 41
1.Tahap PersiapanSebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan

perlu diperhatikahal-hal sebagai berikut:

a.Pihak yang berpekara : Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak

dalam berpekara di pengadilan.

b.Kuasa : Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri

pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri

persidangan di pengadilan.

c.Kewenangan Pengadilan : Kewenangan relative dan kewenangan absolut harus diperhatikan

sebelum membuat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.

2.Tahap pembuatan permohonan atau Gugatan Permohonan atau gugatan pada

prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf)

permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan

gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian

ditandatangani oleh ketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120

HIR.7

3.Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan Setelah permohonan atau gugatan dibuat

kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama yang berwenang memeriksa dengan

membayar biaya panjar perkara. 8Dengan membayar biaya panjar perkara maka penggugat

atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan siding.Perkara

yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan kepada ketua pengadilan

agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili

perkara dengan suatu penetapan yang disebut penetapan majelis hokum (PMH) yang terdiri

7
Abdulla Tri Wahyudi. Ibid. Hal 94

8
H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)., hlm
28
satu orang hakim sebagai ketuamajelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta

panitera siding. Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat

menunjuk panitera sidang sendiri.9

4.Tahap Pemeriksaan Permohonan atau Gugatan Pada hari sidang telah ditentukan apabila

satu pihak atai kedua belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari

sidang berikutnya kepadayang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa

dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek

pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila :

a.Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur.10 Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan

dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.

b.Apabial terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir, pemeriksaan tetap

dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidakmenggunakan haknya untuk membela

diri.

D. Bentuk Teori Gugatan

Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Berbentuk lisan

Bentuk gugatan lisan, diatur dalam pasal 120 HIR (pasal 144 RBG) yang

menegaskan bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat

dimasukkan dengan lisan kepada ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu

atau menyuruh mencatatnya.11


9
Zainal Asikin, op. cit. Hlm 19
10
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, Hlm 48.
11
Ibid
Pada saat undang-undang HIR ini dibuat tahun 1941 (St, 1941 No.44),

ketentuan pasal 120 ini benar-benar realistis, mengakomodasi kepentingan anggota

masyarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini

sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan

memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan

kepada pengadilan negeri, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan

menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya ketua pengadilan negri memformulasinya

dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan itu melepaskan rakyat kecil yang tidak

mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara

dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk membuat

gugatan yang diinginkannya.12

Tanpa mengurangi penjelasan diatas, ada pihak yang berpendapat ketentuan

ini tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat

disbanding masa lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah

mencapai kota kabupaten, memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan

secara lisan. Namun demikian, memerhatikan luasnya Indonesia serta tingkat

kecerdasan yang tidak merata terutama dipelosok pedesaan, dihubungi dengan

mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan pasal 120 HIR, dianggap masih perlu

dipertahankan dalam pembaharuan hukum acara perdata yang akan datang.

Terlepas dari hal di atas, terdapat beberapa segi yang perlu dibicarai mengenai

pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Syarat Formil Gugatan Lisan

Penggugat tidak bisa membaca dan menulis. Dengan kata lain, penggugat buta

aksara. Dalam Pasal 120 HIR, hanya disebut buta aksara. Tidak termasuk orang yang

buta hukum atau yang kurang memahami hukum. Juga tidak disyaratkan orang yang
12
Ibid
tidak mampu secara finansial. Tidak dimasukkan syarat kemampuan finasial sebagai

syarat yang diakumulasi dengan buta aksara,membuat ketentuan ini kurang adil. 13

Alasannya orang yang kaya tetapi buta aksara, pada dasarnya dapat

membiayaipengacara, sehingga kurang layak mendapat bantuan dari Ketua

Pengadilan Negeri.

b. Cara Pengajuan Gugatan Lisan

Pengajuan gugatan dilakukan dengan cara, yaitu :

1. Diajukan dengan lisan.

2. Kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan

3. Menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan.

Pengajuan atau pemasukan gugatan secara lisan, disampaikan sendiri oleh

tergugat. Tidak boleh diwakilkan oleh kuasa atau pengacara yang ditunjuknya.

Dengan menunjuk pengacara sebagai kuasa yang akan mewakili kepentingannya,

menurut hukum dianggap telah melenyapkan syarat buta aksara. Kecuali yang

ditunjuk sebagai kuasa terdiri dari anggota keluarga yang juga buta aksara, pada

diri kuasa dianggap melekat syarat tersebut. Mengenai larangan ini, tertera juga

dalam satu Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan, “orang yang diberi

kuasa, tidak berhak mengajukan gugatan secara lisan.

2. Berbentuk Tertulis

Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut pasal ini,

gugatan perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat

permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau kuasanya. Memperhatikan

13
Ibid. Hal.49.
ketentuan ini, yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan

perdata adalah sebagai berikut :14

A. Penggugat Sendiri

Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. Kebolehan

penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke Pengadilan

Negeri, adalah karena HIR maupun RBG tidak menganut sistem Verplichte Procureur

Stelling, yang mewajibkan penggugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat

pengacara atau advokat untuk mewakilinya, sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh

Reglement op de Rechivordering (Rv).

Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, dengan

demikian:

1. Tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi penggugat untuk menguasakan

atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan

kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat;

2. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau

beberapa orang kuasa, yang akan bertindak mengurus kepentingannya dalam

pembuatan dan pengajuan gugatan.15

b. Melalui Kuasa

Selanjutnya, Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada

kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau

menyampaikan surat gugatan kepada Pengadilan Negeri. Ketentuan ini, sejalan

14
ibid
15
Ibid. Hlm. 50.
dengan yang digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR yang mengatakan, baik

penggugat dan tergugat (kedua belah pihak) :16

1. Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan

tindakan di depan pengadilan, dan

2. Kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of attorney).

Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan surat gugatan yang

dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut.

3. Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan

bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus.

4. Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan

mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat atau pemberi

kuasa (lastgever, mandate).

5. Apabila kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris), membuat,

menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih

dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa :17

a. Gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu, dianggap mengandung

cacat formil.

b. Akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat

diterima atas alasan, gugatan ditandatangani oleh orang yang tidak berwenang

(unauthorized) untuk itu, karena pada waktu kuasa menandatangani gugatan, dia

sendiri belum mempunyai surat kuasa. Dari penjelasan di atas, jika yang bertindak

membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu

dilakukannya, ia harus lebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk

16
Subektif, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977, Hlm.11.
17
M. Yahya Harahap, op.cit .Hlm. 50-51.
surat kuasa khusus dan penggugat. Paling tidak agar penandatanganan surat gugatan

sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat

gugatan diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dapat

diperoleh kesimpulan bahwa gugatan itu merupakan permasalahan perdata yang

mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak

lain sebagai tergugat. Gugatan terbagi dalam dua bentuk yaitu gugatan lisan dan tertulis.

Dimana gugatan lisan dibuat agar mempermudah seseorang yang buta huruf dalam

melaksanakan gugatan. Gugatan lisan merupakan bilamana penggugat buta huruf, maka

surat gugatan dapat dimasukkan dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang

mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya. Sedangkan gugatan tulisan merupakan

gugatan yang diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berkompeten mengadili

perkara. Dengan adanya gugatan ini seseorang dapat melakukan tuntutan untuk

menangani masalah perdatanya dengan baik yaitu dengan cara menggugat seorang pihak

kepada Pengadilan Negeri.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan jauh dari kata

sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah ini dengan berpedoman pada banyak

sumber yang dapat di pertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik

dan saran mengenai makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

1.Abdullah Tri Wahyudi.Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka


Pelajar,2004). hal 126
2.Wulan Soentantio. Retno dan Iskandar.Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.
(Bandung : MandarMaju,1997). hal 10
3.Abdullah Tri Wahyudi.Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat
dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama.(Bandung : Mandar Maju. 2018). Hal 93
4.Abdullah Tri Wahyudi. 2018. Ibid. Hal 93
5.Abdullah Tri Wahyudi. 2018. Ibid. Hal 93
6.Abdul Kadir Muhammad,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1992).,hlm 41
7. https://www.academia.edu/37960306/GUGATAN_DAN_PERMOHONAN

Anda mungkin juga menyukai