Anda di halaman 1dari 13

Kekuasaan Badan Peradilan Agama

Makalah Ini Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan Agama Di
Indonesia

Dosen: Nur Sholikin S.H., M.H.

Oleh:

1. Annisa Lutfiah S (192121180)


2. Devi Widiastuti (192121181)
3. Desi Pusparini (192121195)

FAKULTAS SYARIAH

HUKUM KELUARGA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak (Bahasa
Belanda), berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat; keagamaan dan
kata rechtspraak berarti peradilan. Pengertian Peradilan Agama menurut istilah yaitu
daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan
menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
Sementara itu menurut UU No. 50/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 7/1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang dimaksud Peradilan
Agama dalam undang undang ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.36 Sedangkan UU No. 3/2006 tentang Perubahan atas UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. Dari pengertian di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang
dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi
orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk
melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkara-perkara tertentu yang diselesaikan oleh Peradilan Agama itulah yang
disebut dengan kompetensi absolut atau kewenangan absolut atau kekuasaan absolut.
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah.
Masing-masing peradilan selain Peradilan Agama dalam menjalankan
fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman juga mempunyai kewenangan
untuk memeriksa perkara tertentu. Seperti kewenangan Peradilan Agama di NAD
Masing-masing peradilan tidak boleh mengadili perkara yang menjadi kewenangan
peradilan lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Gugatan dan Permohonan dalam Peradilan Agama?
2. Bagaimana Kekuasaan Relatif Peradilan Agama?
3. Bagaimana Kekuasaan Absolut Peradilan Agama?
4. Bagaimana Kekuasaan Peradilan Agama di NAD?
C. Tujuan
1. Untuk tentang Gugatan dan Permohonan dalam Peradilan Agama
2. Untuk mengetahui tentang Kekuasaan Relatif Peradilan Agama
3. Untuk mengetahui tentang Kekuasaan Absolut Peradilan Agama
4. Untuk mengetahui tentang Kekuasaan Peradilan Agama di NAD
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gugatan dan Permohonan

1. Pengertian Gugatan dan Permohonan

Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua pengadilan
yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu
sengketa dan melupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian
kebenaran suatu hak. Sedangakan permohonan adalah suatu surat permohonan yang
di dalamnya berisis tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan
terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa1.
Perbedaan dari gugatan dan permohonan yaitu, jika gugatan ada suatu perkara
antara penggugat dan tergugat maka permohonan hanya satu pihak yang
berkepentingan dan tanpa sebuah perkara atau sengketa, dalam gugatan hakim
berfungsi sebagai hakin yang mengadili dan memutuskan serta berproduk vonis
(putusan), sedangkan dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi eksekutif
power (administratif) dan berproduk beschikking (penetapan), untuk penetapan pada
putusan gugatan mengikat kedua belah pihak (berkekuatan eksekutorial), sedang
penetapan pada permohonanhanya mengikat pemohon saja. Dalam gugatan terdapat
istilah penggugat dan tergugat, sedang dalam permohonan ada istilah pemohon dan
termohon. Penggugat bisa satu orang atau badan hukum atau lebih, sehingga aga
istilah penggugat I, II, III, dan seterusnya. Tergugatpun bisa I, II, III, dan seterusnya.
Gabungan penggugat atau tergugat disebut kumulasi subjektif. Sedang dalam
permohonan hanya satu pihak karena bukan suatu kasus perkara.2

2. Pembuatan Surat Gugatan dan Permohonan


1
(Abdullah Tri Wahyudi, Op. Cit., Hlm. 126)
2
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah, (Sinar Grafika
Offset, Jakarta 2017), Hlm. 80
Gugatan harus diajukan secara tertulis oleh penggugat atau kuasanya dan bagi yang
buta huruf dapat mengajuakan secara lesan. Surat gugatan harus memuat diantaranya:
a. Identitas para pihak (nama lengkap, gelar, alias, julukan, bin atau binti, umur,
agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai penggugat atau
tergugat),
b. Posita atau position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara dua
belah pihak)
c. Petita atau petitum (isi tuntutan). 20 (Abdullah Tri Wahyudi, Op. Cit., Hlm
93.) Sedangkan untuk surat permohonan tidak jauh beda dengan isi dari surat
gugatan yaitu identitas, petita, dan posita. Hanya saja pada surat permohonan
tidal dijumpai kalimat “berlawanan dengan”, “duduk perkaranya”, dan
“permintaan membayar biaya perkara kepada pihak lain”.
B. Kekuasaan Relatif
Ada beberapa istilah yang digunakan mempunyai pengertian yang sama
dengan "kewenangan" yaitu "kekuasana" atau "kompetensi". Yang dimaksud dengan
kewenangan relatif adalah kekuasana atau kewenangan yang diberikan antara
pengadilan dlaam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan
dengan wilayah hukum natara peradilan agama dalam lingkungan peradilan agama.
Muslany antar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilna Agama Bogor.
Kewenangan relatif berkenaan dengan wilayah hukum pengadilan. Untuk
lebih memudahkan pemahaman mengenai kewenangan relatif maka dibuat suatu
pertanyaan, "Ke Pengadilan Agama mnaa suatu perkara diajukan? " Apakha ke
pengadilan Agama Jakarta Selatan padahal itu bukan kewenangannya melainkan
menjadi kewenangan Peradilan Agama Jakarta Pusat maka Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tidak akna menerima perkara tersebut.
Tujuan mengetahui kewenangan relatif adalah agar pihak yang akan
mengajukan perkara ke pengadilan agama yang berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memberikan putusan. Kesalahan dalam menentukan ke pengadilan
agamamana perkaranya diajukan mengakibatkan perkara on vankelijk verklaard,
membuang-buang waktu, tanaga, dan biaya.
Ada dua jenis perkara di Peradilan Agama, yaitu perkara permohonan
(voluntair) dan oerkara gugatan (cintentieus), maka masing-masing perkara tersebut
mempunyai kewenangan relatif sendiri-sendiri. 3
3
Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 136-137
1. Kewenangan Relatif perkara permohonan
Pengaturan tentang kewenangan relatif dalam perkara permohonan yang bersifat
umum, berlaku dilingkungan peradilan agama atau di peradilan umum dalam perkara
perdata adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
pemohon. Contoh, dalam perkara penetapan ahli waris, pemohon bertempat tinggal di
wilayah Kota Bandung maka permohonan penetapan ahli waris diajukan ke
pengadilan agana yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal pemohon yaitu
pengadilan agama Bandung.
Sementara itu pengaturan yang bersifat khusus tentang kewenangan relatif perkara
permohonan di pengadilan agama adalah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 7
tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 mengenai
kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu sebagai berikut :
a. Permohonan ijin poligami diajukan ke pengadilan agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman pemohon. 4
b. Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atua istri yang
belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16
tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan
kepada pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
pemohon.
c. Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan agama
ynag wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan. 5
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan
agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya
pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri 6

2. Kewenangan Relatif perkara gugatan

Pengaturna tentang kewenangan relatif dalam perkara gugatan yang bersifat umum
dan berlaku baik di lingkungna peradilan agama dan peradilan umum dalam perkara
perdata adalah gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi :
a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat
kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
4
Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
5
Pasal 7 ayat (7) UU No. 1 tahun 1974
6
Pasal 17 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
b. Apabila tergugat lebih dati satu orang maka gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan ynag wilayah hukumnya meliputi wilayah salah
satu kediaman tergugat.
c. Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat
tinggalnya tidak dikatahui atau jika tergugat tidak dikenal maka
gugatan diajukan ke pengadilan yng wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal penggugat.
d. Apabial objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat
diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letka benda
tidak bergerak.
e. Apabia dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan
diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih. 7

C. Kekuasaan Absolut

Kewenangan absolut adalah kekuasaan atau kewennagan yang berhubungan


dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasanaatau kewennagan
pengadilan di lingkungna peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perjara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu
orang-orang yang beragama islam. Pasal 2 UU No. 3 thaun 2006 menyatakan bahwa
"Peradilan agama adalah salah satu pelkah kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama islna mengenai pencari keadilan". Yang dimaksud dengan
"Rakyat encari keadilan" adalah setiap ornag baik warga negara Indonesia maupun
orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia. 8

Yang dimaksud dengan "antara ornag-orang yang beragama islam" adalah


termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan
sukarela kepada hukum islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan
agama. Kewenangan absolut berkenaan dengan perkara yang dapat diajukan ke
pengadilan. Untuklebih memudahkan pemahaman mengenai kewennagan absolut
maka dibuat suatu pertanyaan, "Perkara apa saja yang menjadi kewennagan peradilan
agama untuk memeriksa dan memutus? ".9

7
Pasal 118 HIR
8
Penjelasan Pasal 2 UU No. 3 tahun 2006
9
Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 142-143
Perkara-perkara ynag menjadi kewenangan peradilan agama adalah :

a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wkaaf
f. Zakat
g. Infak
h. Shodaqoh
i. Ekonomi syariah

Penjelasan masing-masing perkara ynag menjadi kewenangan peradilan agama adalah


sebagai berikut:

1. Perkawinan

Kewenangan peradilan agama dalam perkawinan meliputi hla-hal yang diatur dalam
UU No. 1 tahun 1974.10

2. Waris

Yang dimaksud dengan perjara waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuna mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris,
melaksanakan pembagian harta peninggalna tersebut dna penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris.

3. Wasiat

Yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda
atau mnafaat kepada ornag lain atau lembaga badan hukum yang berlaku setelah yang
memberi tersebut meninggal dunia. 11

4. Hibah

10
Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 143
11
Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 173
Yang di maksud hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki.

5. Wakaf

Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif)
untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentinganny aguna untuk ibadah dan kesejahteraan umum.

6. Zakat

Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim
atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

7. Infaq

Yang dimaksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, bai berupa makanan, minumna, mendermakan,
memberi rizki, atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas
karena Allah SWT.

8. Shodaqoh

Yang dimaksud dengan shodaqoh adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu


kepada orang lain atau lembaga badan hukum secara spontan sukarela tanpa dibatasi
oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah SWT unyuk
mengharap pahala dari Nya.

9. Ekonomi syariah
Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilkasanakan menurut prinsip syariah12.

D. Peradilan Agama di NAD

12
Abdullah Tri Wahyuni, Peraadilan Agama di Indonesia, hlm.175-177
Upaya pemerintah Aceh mewujudkan pengaturan Syariat Islam tersebut
adalah melalui Mahkamah Syar’iyah. Kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh
didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003
tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah
Propinsi di Propinsi Aceh13.
Dalam konsepsi kompetensi relatif dan absolut Mahkamah Syar’iyah di Aceh,
baik aparatur maupun lembaga hukum masing- masing berperan dalam menegakkan
sistemhukum yang ditransformasikan dalam sebuah struktur hukum. Kompetensi
relatif pada dasarnya membahas dan menguraikanbteritorial letak dimana Mahkamah
Syar’iyah itu berada. Menurut teori Von Savigny, masyarakat Aceh mempunyai
peranan penting untuk tunduk dan patuh terhadap hukum yang hidup dalam
masyarakat setempat. Sebagai sebuah kearifan lokal tentunyakeberadaan Mahkamah
Syar’iyah tidak boleh lepas dari domisili masyarakatnya.
Mahkamah Syar’iyah memiliki keistimewaan tersendiri yang berbeda dari
Pengadilan Agama di propinsi lain di luar Aceh. Perbedaan pertama adalah soal
Nomenklatur. Mahkamah Syar’iyah kembalimenjadi nomenklatur resmi peradilan
Islam di Aceh berdasarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sedangkan perbedaan kedua adalah tentang kewenangan hukum yang dimiliki
Mahkamah Syar’iyah. Selain memiliki kewenangan sebagaimana Peradilan Agama di
luar Aceh, berdasarkan Pasal 128 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan yang
meliputi tiga bidang, yaitu: (1) Ahwâl al-Syakhshiyyah (hukum keluarga); (2)
Mu’âmalah (hukum perdata); dan (3) Jinâyah (hukum pidana) yang didasarkan atas
syariat Islam.
Yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari Peradilan Agama,
berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun2009 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama meliputi
kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (1) perkawinan; (2) waris; (3)

Pustaka Pelajar, Kumpulan Undang-Undang Peradilan Terbaru, (Yogyakarta: Pustaka


13

Pelajar, 2005), h. 239-246. Lihat juga, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden,


Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalm, Aceh, edisi
kelima 2006)
wasiat; (4) hibah; (5) wakaf; (6) zakat; (7) infaq; (8) shadaqah; dan (9) ekonomi
syariah.14

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

14
AL-‘ADALAH Vol. XIII, No. 1, Juni 2016
Pengertian Peradilan Agama menurut istilah yaitu daya upaya mencari keadilan atau
penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam
lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Gugatan adalah surat yang diajukan oleh
penggugat pada ketua pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung suatu sengketa dan melupakan dasar landasan pemeriksaan perkara
dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Sedangakan permohonan adalah suatu surat
permohonan yang di dalamnya berisis tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang
berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa.

Tujuan mengetahui kewenangan relatif adalah agar pihak yang akan mengajukan
perkara ke pengadilan agama yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memberikan
putusan. Kesalahan dalam menentukan ke pengadilan agamamana perkaranya diajukan
mengakibatkan perkara on vankelijk verklaard, membuang-buang waktu, tanaga, dan biaya.

Kewenangan absolut adalah kekuasaan atau kewennagan yang berhubungan dengan


jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasanaatau kewennagan pengadilan di
lingkungna peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perjara perdata
tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama islam.

Dalam konsepsi kompetensi relatif dan absolut Mahkamah Syar’iyah di Aceh, baik
aparatur maupun lembaga hukum masing- masing berperan dalam menegakkan sistemhukum
yang ditransformasikan dalam sebuah struktur hukum. Kompetensi relatif pada dasarnya
membahas dan menguraikanbteritorial letak dimana Mahkamah Syar’iyah itu berada.
Menurut teori Von Savigny, masyarakat Aceh mempunyai peranan penting untuk tunduk dan
patuh terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Sebagai sebuah kearifan lokal
tentunyakeberadaan Mahkamah Syar’iyah tidak boleh lepas dari domisili masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah, (Sinar
Grafika Offset, Jakarta 2017)

AL-‘ADALAH Vol. XIII, No. 1, Juni 2016

Pustaka Pelajar, Kumpulan Undang-Undang Peradilan Terbaru, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2005)

Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi


Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalm, Aceh, edisi kelima 2006)

Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai