EKSEPSI
Eksepsi kompetensi absolut dapat diajukan oleh Tergugat kapan saja selama
proses pemeriksaan di Pengadilan Agama masih berlangsug dan sebelum putusan
dijatuhkan, sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 134 HIR yang menyatakan:
“Jika suatu perkara itu tidak masuk kekuasaan Pengadilan Negeri (baca Pengadilan
Agama), maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya
2
Hakim manyatakan dirinya tidak berkuasa dan Hakimpun wajib pula mengikutinya
karena jabatannya”
- Pasal 125 ayat (2) HIR: “Akan tetapi jika Tergugat di dalam surat jawabannya
yang tersebut pada pasal 121 mengemukakan perlawanan (exsepstie), bahwa
Pengadilan Negeri tidak kuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia
sendiri atau wakilnya tidak hadir, Ketua Pengadilan Negeri wajib memberi
kaputusan tentang perlawanan itu, sesudah didengarnya Penggugat dan hanya
jika perlawanan itu tidak diterima, maka Ketua Pengadilan Negeri memutuskan
tentang perkara itu”.
- Pasal 133 HIR: “Jika Tergugat dipenggil menghadap Pengadilan Negeri sedang
ia menurut aturan Pasal 118 tidak usah menghadap Hakim maka ia dapat
meminta pada Hakim, jika hal itu dimajukan sebelum sidang pertama, supaya
Hakim menyatakan bahwa ia tidak berkuasa; surat gugat itu tidak akan
diperhatikan lagi, jika Tergugat telah melahirkan sesuatu perlawanan lain”.
3
II
Prinsip kompetensi relative dalam perkara perdata secara umum diatur dalam
Pasal 118 HIR, dengan asas: “yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Tempat
tinggal atau tempat kediaman Tergugat”. Asas ini dalam bahasa latin disebut “Actor
Sequitur Forum Rei”. Yang dimaksud tempat tinggal adalah di mana seseorang
menempatkan pusat kediamannya. Tempat tinggal seseorang dapat dilihat pada alamat
yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk. Sedangkan yang dimaksud tempat
kediaman adalah di mana seseorang berdiam senyatanya (Pasal 17 B.W). Apabila
seseorang pindah dan tidak meninggalkan alamat barunya dan tempat tinggal atau
tempat kediamannya tidak diketahui, maka dia digugat pada Pengadilan tempat
tinggalnya yang terakhir.
Namun demikian, dalam asas actor sequitur forum rei ini mengandung perincian
sebagaimana tersebut di dalam pasal 118 ayat (2), (3) dan (4) HIR yang singkatnya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jika Tergugat lebih dari satu orang, sedang mereka tidak tinggal dalam satu
wilayah, gugatan diajukan di pengadilan di tempat tinggal salah seorang dari
tempat itu;
6
2. Apabila tempat diam dari Tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat
sebetulnya tidak diketaui, atau jika Tergugat tidak dikenal, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal Penggugat atau salah seorang
dari Penggugat
3. Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,
maka penggugat jika ia suka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dalam
daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu.
Sedangkan dalam perkara perceraian, kompetensi relative atau tentang
pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara perceraian diatur sebagai beriut:
1. Bagi orang-orang yang beragama non islam atau suami-isteri yang nikahnya
dilaksanakan tidak di hadapan PPN/KUA, berlaku ketentuan Pasal 20 ayat
(1) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan; yakni baik perkara ijin ikrar talak maupun cerai gugat
harus diajukan di Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal Tergugat. Artinya jika suami yang mengajukan cerai, maka
yang berwenang mengadili secara relative adalah Pengadilan Negeri tempat
tinggal isteri dan jika isteri yang mengajukan cerai, maka yang berwenang
mengadili secara relative adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal suami.
2. Bagi orang-orang yang beragama islam atau suami-isteri yang nikahnya
dilaksananakan di depan PPN/KUA, berlaku ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan
Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; yakni
untuk perkara ijin ikrar talak harus diajukan di Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon, sedangkan untuk
perkara gugat cerai harus diajukan di Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal Penggugat . Artinya baik perkara ijin
ikrar talak maupun perkara cerai gugat yang berwenang mengadili secara
relative adalah Pengadilan Agama tempat tinggal isteri.
III
“2) Jika Tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan
(eksepsi) tentang kewenangan mengadili secara relatif, Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak beleh menyatakan dirinya tidak
berwenang (Pasal 133 HIR/159 R.Bg).
Memang benar, tetapi harus difahami, bahwa yang dimaksud oleh Buku II
tersebut adalah ketentuan menganai kompetensi relative dalam perkara perdata secara
umum (perkara non perceraian), sedangkan tentang kompetensi relatif dalam perkara
perceraian telah diatur secara spesifik di dalam Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 66 ayat (2): “Permohonan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Termohon, kecuali apabila Termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa
ijin Pemohon”.
Pasal 73 ayat (1): “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin Tergugat”.
Kedua pasal tersebut telah secara tegas dan limitative menetapkan, bahwa baik
perkara cerai talak maupun perkara cerai gugat adalah wewenang Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggal isteri (Termohon/Penggugat) kecuali isteri tersebut
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin suaminya
(minggat/kabur). Apabila isteri tidak kabur atau tidak minggat atau perginya
meninggalkan tempat kediaman bersama atas ijin suaminya, maka baik perkara ijin ikrar
talak maupun perkara cerai gugat harus diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal
isteri. Dengan demikian Pengadilan Agama tempat tinggal suami harus menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili terhadap perkara yang diajukan kepadanya tanpa ada
10
alasan isteri kabur atau minggat. Jika tidak demikian berarti Pengadilan Agama tersebut
telah mengadili perkara yang bukan berada dibawah kewengannya.
Menurut hemat Penulis, Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun
1989 adalah acara yang secara khusus dan merupakan leg spicialis dari ketentuan umum
tentang eksepsi kompetensi relative. Dalam perkara perceraian, Pengadilan Agama
semestinya tidak perlu menunggu terlebih dahulu ada atau tidaknya eksepsi dari pihak
Tergugat/Termohon. jika ada perkara permohonan ikrar talak yang diajukan oleh suami
di Pengadilan Agama tempat tinggalnya sendiri, padahal menurut Pasal 66 ayat (2)
seharusnya perkara tersebut diajukan di Pengadilan Agama tempat kediaman isterinya,
maka secara ex-officio Pengadilan Agama tersebut harus menyatakan dirinya tidak
berwenang mengadili. Demikian juga apabila ada perkara gugat cerai diajukan oleh
isteri di Pengadilan Agama tempat tinggal suaminya, padahal menurut Pasal 73 Ayat (1)
seharusnya perkara tersebut diajukan di Pengadilan Agama tempat kediamannya sendiri,
maka secara ex-officio Pengadilan Agama tersebut juga harus menyatakan dirinya tidak
berwenang mengadili.
Tegasnya, apabila ada suami mengajukan ijin ikrar talak di Pengadilan Agama
bukan tempat kediaman isterinya (Termohon), maka suami dalam surat permohonannya
harus mempunyai alasan, bahwa isterinya meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa seijin dirinya. Demikian pula jika ada isteri yang menggugat cerai di Pengadilan
Agama bukan Tempat kediamannya sendiri (Penggugat), maka isteri tersebut harus
11
mempunyai alasan, bahwa dirinya telah meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
ijin suaminya. Hakim tidak dibenarkan serta merta menyatakan berwenang mengadili
dengan alasan tidak ada eksepsi dari Termohon/Tergugat, karena dalam perkara
perceraian tidak diperlukan eksepsi.
Persoalan bagaimana jika suami dan isteri sepakat atau tidak keberatan terhadap
perkara perceraiannya diselesaikan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal suami atau isteri berdasarkan ketentuan dalam Pasal 118 ayat 4 HIR yang
berbunyi: “Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,
maka Penggugat, jika ia suka dapat memasukkan surat gugat itu kepada Ketua
Pengadilan Negeri (baca Pengadilan Agama) dalam daerah hukum siapa terletak
tempat kedudukan yang dipilih itu” juga harus difahami, bahwa ketentuan ini adalah
ketentuan umum, sedangkan untuk perkara perceraian di Pengadilan Agama harus
diberlakukan ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1).
Dalam masalah kompetensi relative ini harus diperhatikan apa yang disebut
dengan tauliyah fil qadla’. Teori ini menjelaskan bahwa Hakim hanya dapat
menjalankan tugasnya sebagai hakim berdasarkan pelimpahan wewenang dari Kepala
Negara atau Undang-Undang. Negara melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama telah memberi tauliyah dalam hal kompetensi relative dalam
perkara perceraian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1)
sebagaimana tersebut di atas. Maka semestinyalah Hakim teguh menerapkan pasal-
pasal tersebut. Hakim Pengadilan Agama yang tidak melaksanakan Pasal 66 ayat (2)
atau Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentu dapat dianggap melakukan
pelanggaran terhadap Undang-Undang dan dapat dianggap sebagai telah mengadili
perkara diluar kewenangannya. Sehingga putusannya tidak sah dan batal demi hukum.
IV
KESIMPULAN
Dengan analisa singkat sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
12
1. Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 adalah merupakan
ketentuan khusus dalam menentukan Pengadilan Agama mana yang memiliki
kompetensi relatif dalam perkara perceraian;
REFERENSI
M Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, VIII, Jakarta. 2008;
----------------------------, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, edisi
ke II, Sinar Grafika, III, Jakarta, 2003;
Retnowulan Sutanto, S.H, Hukum Acara Perdata dam Teori dan Praktek, Mandar
Maju, X, 2005, Bandung;
A Mukti Arto, Mencari Keadilan , Pustaka Pelajar, I, 2001, Yogyakarta;
Mahkamah Agung, Ditjen Badilag, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama (Buku II), edisi revisi, 2013.