Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEADVOKATAN KEWENANGAN MENGADILI

(Relatif dan Absolut)

Dosen Pengampu : Dr. H.Sutisna,M.A

Anggota kelompok 14 :
Agung Wiraguna
Alfian Januaryanto
Hilal Ramadan

AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBNU KHALDUN BOGOR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan
Rahmatnya sehingga kami dapat merasakan menuntut ilmu di Universitas Ibnu
Khaldun Bogor dan kami dapat membuat makalah mata kuliah
KEADVOKATAN. Sholawat serta salam kami ucapkan kepada baginda
Rasulullah SAW yang selalu membawa kabar gembira untuk kita semua dan
semoga kita mendapatkan syafa'atnya di hari akhir nanti. Dan kami juga berterima
kasih kepada seluruh pihak yang membantu pembuatan makalah ini, sehingga
makalah ini dapat selesai dengan baik.

Dengan seluruh kerendahan hati kami meminta kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca makalah kami yang masih banyak memiliki
kekurangan, semoga dengan adanya makalah dari kami dapat bermanfaat bagi
kami penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Aamiin. cukup sekian
pengantar dari kami, mohon maaf jika ada salah salah penulisan karena
kesempurnaan hanya milik Allah semata. Terima Kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................
PENDAHULUAN BAB I
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................
PEMBAHASAN BAB II
A. Pengertian Kewenangan (Relatif dan Absolut)..............................................
B. Macam-macam dalam Kewenangan..............................................................
PENUTUPAN BAB III
A. Kesimpulan...................................................................................................

PENDAHULUAN
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.
Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, Indonesia dalam
menjalankan pemerintahannya memiliki lembaga- lembaga pemerintahan,
salah satunya lembaga yudikatif sebagaimana terlihat dari Pasal 24
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah
Mahkamah Konstitusi.”
Lebih jauh lagi juga di atur lebih khusus dalam Pasal 10 ayat (1)
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, serta
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang dimaksud
mencakup 4 (empat) wilayah hukum, yang secara resmi diakui dan berlaku
di Indonesia yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat lembaga peradilan diatas, masing-masing memiliki
kekuasaan (kewenangan) yang terdiri atas kekuasaan relatif (relative
competentie) dan kekuasaan mutlak atau absolut (absolute competentie).
Kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan
atau kewenangan untuk mengatur pembagian kekuasaan mengadili
pengadilan yang serupa tergantung sari tempat dari tempat tinggal
tergugat. Sedangkan kewenangan absolut (kekuasaan mutlak) berkaitan
dengan wewenang suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan
lain atau menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan.1
Berkaitan dengan kewenangan absolut suatu peradilan, peradilan
agama dan peradilan umum memiliki kewenangan yang sama yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama salah satunya di bidang Perkawinan. Dalam hal
ini yang membedakannya adalah untuk peradilan agama hanya berkaitan
dengan perkawinan yang dilakukan antara orang - orang yang beragama
Islam, sedangkan peradilan umum untuk mereka yang nonmuslim.2
Kewenangan mengadili perkara dalam lingkungan peradilan agama
terbatas pada perkara-perkara tertentu. Kewenangan mengadili perkara
hanya bersifat khusus, yaitu meliputi hukum tertentu sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 2 Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang - Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi: Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

1
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV. Mandar
Maju, 2009
2
Meilisa Fitri Harahap (2011), Perkawinan Antar Agama dalam SekaliLagi.com, diakses tanggal 9
januari 2016)
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.3
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara
tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan
melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap pemerintah dalam
perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima
oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan diKantor Catatan Sipil.
Tetapi dalam kenyataannya bahwa Kantor Urusan Agama telah
menikahkan pasangan sebelumnya menikah secara khatolik.
Perkawinan yang telah dijalani dengan penuh keharmonisan pada
awalnya apabila tidak dijaga dengan baik, akan menimbulkan ketidak
cocokan di antara keduanya sehingga kebanyakan salah satu pasangan
menginginkan adanya Perceraian. Perceraian merupakan salah satu sebab
dari putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan
suami istri.
Perceraian yang dilakukan antar suami-istri yang memiliki agama
dan keyakinan yang sama tidak ada masalah dalam pengajuan permohonan
atau gugatannya kepada pengadilan, karena jelas jika perceraian itu
dilakukan oleh mereka yang memiliki agama Islam maka pengadilan
agama yang akan memutusnya, namun jika perceraian dilakukan oleh
mereka yang menganut agama di luar Islam maka pengadilan Negeri yang
akan memutusnya karena sesuai dengan kewenangan absolut suatu
pengadilan.
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman , yaitu :
1. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak

3
Oyo Sunaryo Mukhlas,Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan
Agama di Indonesia, Bandung:Ghalia Indonesia, 2011, hlm 155-156
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Berkaitan dengan itu, Pengadilan Agama Depok telah
menyelesaikan perkara yang diputus melalui Nomor :
1370/Pdt.G/2013/PA.Dpk. sebelumnya suami-istri itu keduanya telah
melakukan perkawinan secara khatolik di Gereja GPIB Effatha pada
tanggal 12 Desember 1993, dengan kutipan akta perkawinan Nomor
330/J5/1993 tanggal 12 November 1993 dari satuan Pelaksana Catatan
Sipil Jakarta selatan, kemudian pada tanggal 25 Maret 1995 keduanya
menikah lagi secara Islam dengan akta nikah Nomor 854/48/III/1995 dari
Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukajadi, Bandung.
Bahwa sekalipun antara Pembanding dan Terbanding telah terjadi
perceraian berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor
132/Pdt.G/2013/PN.Dpk. tanggal 30 September 2013 yang telah
berkekuatan hukum tetap serta telah mendapatkan kutipan akta perceraian
Nomor 68/PC/2013 dari Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Depok.
Dalam hal ini Pengadilan Agama Depok dalam putusan Nomor :
1370/Pdt.G/2013/PA.Dpk. Pengadilan Agama Depok tidak menerima
gugatan cerai Penggugat dengan dalil tidak berwenang memeriksa dan
mengadilinya. Penggugat mengajukan permohonan banding pada tanggal
10 Februari 2014 sebagaimana ternyata dari akta permohonan banding
Nomor: 1370/Pdt.G/2013/PA.Dpk yang dibuat oleh Panitera Pengadilan
Agama Depok, selanjutnya permohonan banding tersebut diberitahukan
kepada Tergugat pada tanggal 28 Februari 2014 sebagai pihak Terbanding.
Bahwa permohonan banding Pembanding telah diajukan dalam tenggang
waktu dan dengan cara serta syarat sebagaimana ditentukan menurut
ketentuan Peraturan perundnag-undangan yang berlaku, karenanya
permohonan banding tersebut dapat diterima.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok hanya memeriksa dan
mengadili tentang kedudukan Pembanding dan Terbanding yang sudah
tidak berhak lagi sebagai pihak-pihak perkara ini ( tidak mempunyai legal
standing) dan sama sekali belum masuk pada substansi dari perkara itu
sendiri, maka sebelum memeriksa bagian eksepsi, Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Agama Bandung akan terlebih dahulu memeriksa dan
menentukan tentang masih dapat atau tidaknya Pembanding dan
Terbanding beracara (sebagai pihak-pihak) dalam perkara ini. Dalam
perkawinan yang dilakukan secara dua kali dengan tata cara agama yang
berbeda sama halnya dengan mempermainkan nilai-nilai yang paling
mendasar, yaitu agama yang dianut, karena tidak saja dapat terjadinya
kekacauan hukum (legal disorder) dalam hal pencatatan perkawinan, tetapi
juga dapat berakibat disfungsionalnya system perkawinan, tetapi juga
dapat berakibat disfungsionalnya system perkawinan yang agamis. Padahal
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf F Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
adalah bersifat fungsionalisme imperative, yaitu hanya memperkenankan
perkawinan intern religious (se agama) tidak perkawinan inter religious
(antar agama). Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung dengan
membatalkan putusan majelis hakim Pengadilan Agama Depok Nomor:
1370/Pdt.G/2013/PA.Dpk.
Dari Permasalahan di atas terdapat perbedaan antara putusan hakim
pada tingkat pertama dan pendapat hakim pada tingkat banding, hal ini
dapat membuat masyarakat kebingungan. Mana sebenarnya hukum yang
dapat dijadikan acuan untuk masalah seperti itu, sehingga permasalahan ini
sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dari Relatif dan Absolut ?
2. Apa saja macam-macam dalam kewenangan ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kewenangan (Relatif dan Absolut)


Istilah teori kewenangan / Relatif adalah “Keseluruhan aturan-aturan
yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah
oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik”.4
Ada dua unsur yang terkandung dalam pengertian konsep
kewenangan yang disajikan oleh H.D. Stoud, yaitu:
1. Adanya aturan-aturan hukum
2. Sifat hubungan hukum
Sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang
melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Sifat hubungan hukum adalah sifat
yang berkaitan dan mempunyai sangkut paut atau ikatan atau pertalian
atau berkaitan dengan hukum. Hubungan hukumnya ada yang bersifat
publik dan privat.
Unsur-unsur yang tercantum dalam kewenangan, meliputi: Adanya
kekuasaan formal; dan Kekuasaan diberikan oleh undang-undang.
Unsur-unsur wewenang, yaitu hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu dari kewenangan.
Wewenang dalam arti yuridis adalah “suatu kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum. Dalam kontruksi ini, kewenangan
tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan,
namun relatif juga diartikan:
1. Untuk menerapkan dan menegakkan hukum
2. Ketaatan yang pasti
3. Perintah

4
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hal 183
4. Memutuskan
5. Pengawasan
6. Yurisdiksi
7. Kekuasaan
Pada umumnya, kewenangan/relatif diartikan sebagai kekuasaan.
Kekuasaan merupakan : “Kemampuan dari orang atau golongan
untuk menguasai orang lain atau golongan lain berdasarkan
kewibawaan, kewenangan, kharisma atau kekuatan fisik.”5
Konstruksi kekuasaan dalam definisi ini, yaitu adanya kemampuan
untuk menguasai orang lain. Kemampuan untuk menguasai orang lain
yaitu didasarkan pada:
1. Kewibawaan
2. Kewenangan
3. Kharisma
4. Kekuatan fisik
Kewibawaan adalah menyangkut wibawa. Wibawa adalah
pembawaan atau kekuasaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi
orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung
kepemimpinan dan penuh daya tarik. Kewenangan adalah hak dan
kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kharisma adalah
keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar
biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan rasa
kagum masyarakat terhadap dirinya atau wibawa adalah atribut (sifat)
kepemimpinan atau kualitas kepribadian individu. Kekuatan fisik
adalah tenaga atau kekuasaan badan atau jasmani yang dipunyai oleh
seseorang pemimpin.
Pada hakikatnya kewenangan merupakan kekuasaan yang diberikan
kepada alat-alat perlengkapan negara untuk menjalankan roda
pemerintahan.

5
Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, (Salatiga: BPK Gunung Mulia, 1975), hal 85.
Dalam definisi di atas, tidak tampak pengertian teori kewenangan.
Menurut hemat penulis, teori kewenangan (authority theory)
merupakan teori yang mengkaji dan mengalisis tentang: “Kekuasaan
dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya, baik dalam
lapangan hukum publik maupun hukum privat”.6
Unsur-unsur yang tercantum dalam teori kewenangan, meliputi:
1. Adanya kekuasaan
2. Adanya organ pemerintah
3. Sifat hubungan hukumnya
Dari ketiga unsur itu, maka yang dijelaskan hanya pengertian organ
pemerintah dan sifat hubungan hukum. Organ pemerintah adalah alat-
alat pemerintah yang mempunyai tugas untuk menjalankan roda
pemerintahan. Hubungan hukum merupakan hubungan yang
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan
kewajiban.
Absolut (absolute competentie) atau kewenangan mutlak adalah
kewenangan suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
Pengadilan lain. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu
orang-orang yang beragama Islam yang diatur dalam UU Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana yang telah diubah
dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU
Nomor 50 Tahun 2009, sedangkan kekuasaan Peradilan Umum adalah
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana baik itu bersifat
maupun kusus dan perkara perdata yang bersifat umum maupun niaga.
7

6
M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal 156
7
Erlis Setiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013, hal 193
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan
(kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).Kompetensi
dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Sedangkan
kata Absolut berasal dari Inggris dari kata Absolutus yang bermakna
mutlak, sedangkan secara harfia bermakna bebas.
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan jenis dan lingkungan
pengadilan dibedakan atas Pengadilan Umum, Pengadilan Militer,
Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan
Administrasi). Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan terdiri
atas Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi (Banding), dan
Mahkamah Agung (Pengadilan Tingkat Kasasi).8 Dengan demikian
jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh jumlah pemerintah
daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) yang ada, jumlah pengadian
tingkat tinggi (banding) sebanyak jumlah pemerintahan tingkat I
(provinsi). Sedangkan Mahkamah Agung (kasasi) hanya ada di ibukota
Negara sebagai puncak dari semua lingkungan peradilan yang ada.
Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu
pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara :
pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya. kedua dengan
melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasi. Ketigadengan
melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Dapat dilihat dari pokok sengketanya dan subyek pelaku hukumnya,
apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat,
maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim
pengadilan umum), dan apabila dalam lapangan pelaku kegitan
beragama islam dan kegiatan yang diselenggarakan secara islami maka
yang berkompetensi adalah hakim pengadilan agama. Apabila pokok
sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu

8
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Perdana, 2008), hal 256
yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim
PTUN).
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar
proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah,
dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.9
Dalam dasar hukum Absolut Peradilan umum berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata
Kompetensi Absolut Dari Peradilan Umumadalah memeriksa,
mengadili, dan memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh
orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan
perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU 2/1999).10
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
dan Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
B. Macam-macam Kewenangan
Kewenangan mengemukakan tiga macam kewenangan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan, meliputi:
1. Atribusi
2. Delegasi
9
Mahkamah Agung, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum dan Peradilan, 2014
10
Mashuri, Jurnal dengan Hukum Acara Di Pengadilan Agama Dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 2016, hal. 1
3. Mandat
Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-
undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada
maupun yang baru sama sekali.
Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ
pemerintahan kepada orang lain. Dalam delegasi mengandung suatu
penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk
selanjutnya menjadi kewenangan si B. kewenangan yang telah
diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab
penerima wewenang. Mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau
Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab
kewenangan atas dasar mandate masih tetap pada pemberi mandat,
tidak beralih kepada penerima mandat.
Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.
Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan
untuk membuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang
memberi mandat. Tanggung jawab tidak berpindah ke mandataris,
melainkan tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal
ini dapat dilihat dari kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua
akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang
dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi
mandat.
C. Jenis-jenis Kewenangan
Kewenangan dapat dibedakan menurut sumbernya, kepentingannya,
teritoria, ruang lingkupnya, dan menurut urusan pemerintahan.
Kewenangan menurut sumbernya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Wewenang personal
2. Wewenang ofisial.11

11
E. Sendari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Press,
2002), hal 186-187
Wewenang personal, yaitu wewenang yang bersumber pada
inteligensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk
memimpin. Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi
yang diterima dari wewenang yang berada di atasnya.

PENDAHULUAN
BAB III
A. Kesimpulan
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum
Indonesia adalah negara hukum yang konsepnya disesuaikan dengan
Pancasila. Negara hukum berdasarkan pada Pancasila ini berarti suatu
sistem hukum yang didirikan berdasarkan asas-asas atau norma-norma
yang terkandung dari nilai yang ada dalam Pancasila sebagai dasar negara.
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Keempat lembaga peradilan diatas, masing-masing memiliki kekuasaan
(kewenangan) yang terdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie)
dan kekuasaan mutlak atau absolut (absolute competentie). Kewenangan
relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan atau
kewenangan untuk mengatur pembagian kekuasaan mengadili pengadilan
yang serupa tergantung sari tempat dari tempat tinggal tergugat.
Sedangkan kewenangan absolut (kekuasaan mutlak) berkaitan dengan
wewenang suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu
yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain atau
menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan.
Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau
memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
agar tercapai tujuan tertentu
Kewenangan mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan
absolut untuk mengadili.
Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari
undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari
kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan
kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan
sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu Kewenangan relatif mengatur
pembagian kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah antara pengadilan
yang serupa.
Wewenang dalam arti yuridis adalah “suatu kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum.
Dalam definisi di atas, tidak tampak pengertian teori kewenangan.
Menurut hemat penulis, teori kewenangan (authority theory) merupakan
teori yang mengkaji dan mengalisis tentang: “Kekuasaan dari organ
pemerintah untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan
hukum publik maupun hukum privat”. Unsur-unsur yang tercantum dalam
teori kewenangan, meliputi:
1. Adanya kekuasaan
2. Adanya organ pemerintah
3. Sifat hubungan hukumnya
Dari ketiga unsur itu, maka yang dijelaskan hanya pengertian organ
pemerintah dan sifat hubungan hukum. Organ pemerintah adalah alat-alat
pemerintah yang mempunyai tugas untuk menjalankan roda pemerintahan.
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
DAFTAR PUSTAKA
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung:
CV. Mandar Maju, 2009
Meilisa Fitri Harahap (2011), Perkawinan Antar Agama dalam SekaliLagi.com,
diakses tanggal 9 januari 2016)
Oyo Sunaryo Mukhlas,Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab
ke Peradilan Agama di Indonesia, Bandung:Ghalia Indonesia, 2011, hlm 155-156
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hal 183
Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, (Salatiga: BPK Gunung Mulia,
1975), hal 85.
M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal 156
Erlis Setiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal 193

Anda mungkin juga menyukai