Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM ACARA PENGADILAN AGAMA

Dosen Pengampu:

Meri Fitriyanti,M.H

Di Susun Oleh:

Muhamma Surono
Jamilatun Nisa

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM(HKI)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MA’ARIF WAY KANAN

TAHUN AJARAN 2023-2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………….…………….i

Kata Pengantar ………………………………………………………………….ii

Daftra Isi …………………………………………………………………….…iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….4

a. Latar Belakang …………………………………………………………….…..4

b. Rumusan Maslah ………………………………………………………..….…5

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………..…6

a. Apa yang dimaksud dengan Kompetensi Absolut di Peradilan Agama?


b. Bagaimana Wewenang dalam Kompetensi Absolut di Peradilan Agama?
c. Bagaimana Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Perkara Warisan Dicabut?
d. Apa yang dimaksud dengan Kewenangan Mengadili Tidak MeliputiSengketa Hak Milik
Atau Sengketa Lain Antar Orang Islam dengan NonIslam?
e.Apa yang dimaksud dengan Kompetensi Relatif di Peradilan Agama

BAB IV PENUTUP

a. Kesmpulan ……………………………………………………………………..

b. Saran ……………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak(Bahasa

Belanda) , berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat;keagamaan dan

kata rechtspraak berarti peradilan , yaitu daya upaya mencarikeadilan atau

penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan

dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua atasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama menyatakan bahwa yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-

undang ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan

Agamaadalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilanyang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud

dalamundang-undang ini.Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

PeradilanAgama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan

ataumenyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragamaIslam

melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakankekuasaan kehakiman

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Kompetensi Absolut di Peradilan Agama?

2. Bagaimana Wewenang dalam Kompetensi Absolut di Peradilan Agama?

3. Bagaimana Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Perkara Warisan Dicabut?

4. Apa yang dimaksud dengan Kewenangan Mengadili Tidak MeliputiSengketa Hak Milik

Atau Sengketa Lain Antar Orang Islam dengan NonIslam?

5. Apa yang dimaksud dengan Kompetensi Relatif di Peradilan Agama


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kompetensi Absolut Di Peradilan Agama

Kata „kekuasaan‟ sering disebut „kompetensi‟ yang berasal dari bahasa

Belanda „competentie‟, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan „kewenangan‟ dan

kadang dengan „kekuasaan‟. Kekuasaan ataukewenangan peradilan ini kaitannya

adalah dengan hukum acara.Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah

kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis

pengadilanatau tingkat Pengadilan,dlam perbedaannya dengan jenis perkara atau

jenisPengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya.Kekuasaan pengadilan dilingkungan

Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, danmenyelesaikan perkara perdata

tertentu di kalangan golongan rakyattertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

B. Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan

dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.Kekuasaan pengadilan di

lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,memutus, dan menyelesaikan perkara

perdata tertentu di kalangangolongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang

beragama Islam.Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknyaadalah sebagai berikut.

a) Perkawinan

b) waris;

c) wasiat

d) hibah

e) wakaf
f) zakat

g) infaq

h) shadaqah; dan

i) ekonomi syari‟ah.

C. Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan agama yang berhubungan dengan

jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya

dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan. dalam

perbedannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan

lainnya, misalnya:Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka

yang beragama islam sedangkan bagi yang selain islam menjadi kekuasaan peradilan

umum.Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa danmengadili perkara dalam

tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkaradi pengadilan tinggi agama atau

mahkamah agung.Banding dari pengadilan agama diajukan ke pengadilan tinggi

agama, tidak bolehdiajukan ke pengadilan tinggi. Kewenangan peradilan agama

memeriksa, memutus, danmenyelesaikan bidang perdata dimaksud, sekaligus

dikaitkan dengan asas “personalita” ke-islaman yakni yang dapat ditundukkan ke

dalamkekuasaan lingkungan peradilan agama, hanya mereka yang

beragamaislam.yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan

peradilan agama dilakukan oleh pengadilan agama yang bertindak sebagai peradilan

tingakat pertama, bertempat kedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten.

Peradilan tingkat “banding” dilakukan oleh pengadilan tinggi agama yang bertempat

kedudukan di ibukota provinsi.


D. Wewenang dalam Kompetensi Absolut di Peradilan Agama

Kewenangan absolut Peradilan Agama pada akhir Masa KolonialBelanda,

Masa Jepang dan Masa Kemerdekaan adalah sama, diatur dalamStaatsblad Tahun

1882 Nomor 152, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116dan 610, Staatsblad Tahun 1937

Nomor 638 dan 639 dan PP No. 45 Tahun1957. kewenangan absolut Peradilan

Agama pada Masa Orde Baru danMasa Reformasi adalah sama sebagaimana

kewenangan yang diberikanoleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 7

Tahun 1989.Kewenangan absolut Peradilan Agama pada Masa Pasca Reformasi

diaturdalam UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Perkembangan

kewenangan absolut Peradilan Agama dari masa ke masamulai Masa Kolonial

Belanda sampai dengan Masa Pasca Reformasisemakin bertambah atau luas, lebih

banyak perkara yang bisa diperiksaoleh Peradilan Agama, bertambahnya perkara yang

bisa diperiksa olehPeradilan Agama semakin signifikan pada masa Orde Baru. Dan

lompatanterbesar perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama ada padaMasa

Pasca Reformasi, kewenangan Peradilan Agama bertambah denganadanya

kewenangan memeriksa perkara zakat, infak, dan ekonomi syariahserta khusus untuk

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kewenanganPeradilan Agama yang dijalankan

oleh Mahkamah Syar‟iyah semakin bertembah, tidak saja memeriksa perkara perdata

Islam (ahwal syahsiyahdan muamalah) tetapi juga memeriksa perkara pidana Islam

(jinayah).

Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, danmenyelesaikan

perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di

bidang:
PerkawinanDalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau

berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yangdilakukan

menurut syari‟ah, antara lain:i

1) zin beristri lebih dari seorang

2) izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh

satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garislurus ada

perbedaan pendapat

3) dispensasi kawin

4) pencegahan perkawinan

5) penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah

6) pembatalan perkawinan

7) gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri

8) perceraian karena talak

9) gugatan perceraian

10) penyelesian harta bersama

11) penguasaan anak-anak

12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapakyang

seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya

13) Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas

istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri

14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak

15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua

16) Pencabutan kekuasaan wali

17) Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam halkekuasaan

seorang wali dicabut


18) Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur18

(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada

penunjukkan wali oleh orang tuanya

19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telahmenyebabkan

kerugian atas harta benda anak yang ada di bawahkekuasaannya

20) Penetapan asal usul seorang anak

21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

perkawinan campuran

22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan

yang lain.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikankewenangan

Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:

1) Penetapan Wali Adlal

2) Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.

 Warisan

Yang dimaksud dengan “waris” adalah

1) penentuan siapa yang menjadi ahli waris

2) penentuan mengenai harta peninggalan

3) penentuan bagian masing-masing ahli waris

4) melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut

5) penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuansiapa

yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahliwaris.


 Wasiat

Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan

suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku

setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

 Hibah

Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela

dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada oranglain atau badan

hukum untuk dimiliki.

 Wakaf

Yang dimaksud dengan “wakaf‟ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok

orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkansebagian harta benda

miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

syari‟ah.

 Zakat

Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh

seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan

ketentuan syari‟ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

 Infaq

Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan

sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkansesuatu kepada orang

lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata‟ala.

 Shodaqoh

Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan

sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secaraspontan dan sukarela

tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah

Subhanahu Wata‟ala dan pahala semata.

 Ekonomi Syari‟ah

Yang dimaksud dengan “ekonomi syari‟ah” adalah perbuatan atau

kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah, antara lain

meliputi:

 bank syari‟ah

 lembaga keuangan mikro syari‟ah.

 asuransi syari‟ah

 reksa dana syari‟ah

 obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah

 sekuritas syari‟ah

 pembiayaan syari‟ah

 pegadaian syari‟ah

 dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah; dan

 bisnis syari‟ah.
Dalam perkara ekonomi syari‟ah belum ada pedoman bagi hakim

dalammenyelesaikan sengketa ekonomi syari‟ah. Untuk memperlancar proses

pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari‟ah, dikeluarkan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang PeraturanMahkamah Agung

Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah.

Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:1) Hakim pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama yang memeriksa,mengadili dan menyelesaikan perkara

yang berkaitan dengan ekonomi syari‟ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip

syari‟ah dalam KompilasiHukum Ekonomi Syari‟ah.

Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari‟ah dalam Kompilasi Hukum

Ekonomi Syari‟ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab

hakim untuk menggali dan menemukan hukum untukmenjamin putusan yang adil dan

benar.

E. Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Perkara Warisan Dicabut Kewenangan Peradilan

Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara warisan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama dibatasi dengan

adanya hak opsi. Hak opsi adalah hak memilihhukum warisan apa yang akan

dipergunakan dalam menyelesaikan pembagianwarisan. Jadi hak opsi adalah pilihan

hukum bagi pada pihak yang bersengketakhusus dalam perkara warisan untuk

menempuh penyelesaian melalui jalurHukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) atau

Hukum Adat atau hukum Islam.Mengenai hak opsi ini Mahkamah Agung

memberikan petunjuk bagi hakim-hakim dalam menyelesaikan perkara warisan

dengan mengeluarkan Surat EdaranMahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 1990 tentang PetunjukPelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989


yang menyatakan bahwaketentuan pilihan hukum warisan merupakan permasalahan

yang terletak di luar badan peradilan dan berlaku bagi golongan rakyat yang hukum

kewarisannyatunduk pada Hukum Adat dan atau Hukum Perdata Barat (BW) dan atau

HukumIslam. Para pihak boleh memilih Hukum Adat atau Hukum Perdata Barat

(BW)yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Hukum atau memilih Hukum Islam

yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. Pilihan hukum ini berlaku sebelum

perkara diajukan ke pengadilan apabila suatu perkara warisan dimasukkan

kePengadilan Agama maka pihak lawan telah gugur haknya untuk menentukan

pilihan hukum dalam menyelesaikan perkara warisan. Apabila dalam perkarawarisan

diajukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri secara bersamaanoleh para

pihak yang bersengketa maka hal ini telah terjadi sengketa kewenanganmengadili

antara pengadilan pada badan peradilan yang satu dengan pengadilan pada badan

peradilan yang lain sehingga harus diselesaikan dahulu melaluiMahkamah Agung

sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir.Dengan adanya perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama menjadi Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum

Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:

“Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa

yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. Kewenangan

Mengadili Tidak Meliputi Sengketa Hak Milik AtauSengketa Lain Antar Orang Islam

dengan Non Islam Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam

perkara yangmenjadi kewenangan Peradilan Agama cara penyelesaiannya adalah

sebagai berikut.
1) Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lainantara orang

Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenanganPeradilan Umum

untuk memutuskan perkara tersebut. Proses pemeriksaan perkara di Peradilan

Agama terhadap objek sengketa yang masih terdapatsengketa milik atau sengketa

lain antara orang Islam dan selain orangIslam ditunda terlebih dahulu sebelum

mendapatkan putusan dari Peradilan Umum. Sebagaimana diatur dalam pasal

berikut. “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara

sebagaimanadimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut

harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

2) Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lainantara orang

Islam maka Peradilan Agama dapat memutus bersama-sama perkara yang menjadi

kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam pasal berikut. “Apabila

terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud ayat (1) yang subjek hukumnya

antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh

pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.

F. Kompetensi relatif adalah kekuasaan atau kewenanganyang diberikan

antarapengadilandalam lingkungan peradilanyangsama atau kewenangan

yangberhubungan dengan wilayah hukum antar PengadilanAgama. Guna

memudahkanpemahaman pengertian tentang kompentensi relatif maka dibuatlah

suatu kalimatpertanyaan, yaitu ke Pengadilan Agama mana perkara itu akan diajukan?

Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau

wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yangsama

jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan danwilayah

tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.


Pihak yang akanmengajukan perkaranyakepengadilanpada umumnya

dankhususnya Pengadilan Agamaharuslahmemperhatikantentang kompetensi relatif

iniapabila salah dalam menentukan kompetensi relatifnya makaakibat hukumnya

sangat jelas yaitu perkara yang diajukan akan diputus dengan putusan yang tidak

dapatditerima.Dikarenakan jenis perkara yang ada di PeradilanAgamaada

duamacamyaitu perkara permohonan(voluntaire) dan perkara

gugatan(contentius)makakewenanganrelatif masing-masing jenis perkara ini juga

berbeda.

1) Kewenangan Relatif Perkara Permohonan Perkarapermohonan (voluntaire)adalah

perkara yang hanya ada satupihak, karena hanya satu pihakdan tidak ada

lawannyamakadalamperkarapermohonan ini tidak ada pihak yang bersengketa.

Menurut Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oerip kartawinata,perkara

permohonan adalah perkarayang tidak ada pihak-pihak lain yangbersengketa.

Kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan

ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.Ketentuan ini

adalah ketentuan berlaku secara umum (general), baik berlakudiPengadilanpada

lingkungan PeradilanUmum dalam perkara perdata maupundiPengadilan pada

lingkungan PeradilanAgama.Kuncinya adalahpermohonandiajukan kePengadilan

Agamayang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon atau orang

yang mengajukan permohonan Namundalam jenis perkara permohonan tertentu

telah diaturdisebutkanlangsung di dalam undang-undang ke Pengadilan

Agamamana perkarapermohonan tersebut diajukan,perkara-perkara tersebut

adalah:
a) Permohonan ijinpoligami diajukan ke Pengadilan Agama yang

wilayahhukumnya meliputi kediaman pemohon.

b) Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang

belummencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun

bagiperempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada

PengadilanAgama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.

c) Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama

yangwilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.

d) Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agamayang

wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atautempat

tinggal suami atau istri.

Pengaturan kompetensi relatif dalamjenisperkarapermohonan tertentu

diatas merupakan peraturan yang bersifat khusus atau pengecualian dari

peraturanyang bersifat umumsehingga yang diberlakukan adalah peraturan

yang bersifat khusus danmengesampingkan peraturan yang bersifat umum (ex

specialisderogat legi geralis)

2) Kewenangan Relatif Perkara Gugatan Kewenangan relatif dalam perkara gugatan

juga ada aturan yang bersifatumum dan juga bersifat khusus atau pengecualian

dari aturan yang bersifatumum.Kewenanganrelatif yang berlaku secara umum

baik di pengadilan padalingkungan Peradilan Umum dalam memeriksa perkara

perdata dan di pengadilan pada lingkugan PeradilanAgama adalahsebagaimana

diatur dalam Pasal 118HIR sebagai berikut:


a) gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputiwilayah

kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannyamaka

pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal

b) apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan

kepadapengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu

kediamantergugat

c) apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak

diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka

gugatandiajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat

tinggalpenggugat

d) apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan

kepengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.

e) Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatandiajukan

kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.Sedangkan pengaturan yang

bersifat khusus atau pengecualian darikewenangan relatif perkara

gugatanhanya dalam perkara permohonan cerai talak dan cerai gugat saja dan

perkara selebihnya menggunakan kompetensirelatifyangberlakusecara umum

sebagai disebut di atas.

3) Kewenangan Relatif Permohonan Cerai TalakPengadilan Agama yang berwenang

memeriksa, mengadili, danmemutuskan perkara permohonan cerai talak diatur

dalam pasal 66 ayat (2)UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

sebagaimana diubah denganUUNo.3 Tahun 2006 tentang Perubahan AtasUU

No.7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama sebagai berikut


a) Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka

yangberhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah

hukumnyameliputi kediaman istri/termohon.

b) Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke

PengadilanAgama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman

suami/pemohon apabilaistri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat

kediaman tanpa ijinsuami.

c) Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka

yangberwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi

kediamansuami/pemohon.

d) Apabila keduanya keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar

negeri,yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya

meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta

Pusat.

4) Kompetensi Relatif Perkara Gugat Cerai

Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili,

danmemutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-UndangNomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah denganUndang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-UndangNomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama sebagai berikut.

a) Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat

adalahPengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi

kediamanistri/penggugat.
b) Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman

tanpaijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama

yangwilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat.

c) Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka

yangberwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman

suami/tergugat.

d) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yangberhak

adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi

tempatpelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.


BAB III

PENUTUP

G. Kesimpulan

Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka

penulismemberikan kesimpulan sebagai berikut.Kompetensi absolut (absolute

competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa

kekuasaan pengadilan.Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah

memeriksa,memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan

golonganrakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.Kekuasaan absolut

Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang pada pokoknya adalahsebagai berikut.

a) Perkawinan

b) Waris

c) Wasiat

d) Hibah

e) Wakaf

f) Zakat

g) Infaq

h) Shadaqah dan

i) ekonomi syari‟ah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang

Peradilan Syari‟at Islam, kewenangan Peradilan Agama di Aceh meliputi:

a) ahwal syahsiyah (hukum keluarga)

b) muamalah (hukum perdata)

c) jinayah (hukum Pidana);

Kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara warisan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentangPeradilan

Agama dibatasi dengan adanya hak opsi. Hak opsi adalah hak memilihhukum warisan

apa yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan pembagianwarisan.

Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara

yangmenjadi kewenangan Peradilan Agama cara penyelesaiannya adalah sebagai

berikut. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lainantara

orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenanganPeradilan Umum

untuk memutuskan perkara tersebut. Apabila objek sengketaterdapat sengketa hak

milik atau sengketa lain antara orang Islam maka PeradilanAgama dapat memutus

bersama-sama perkara yang menjadi kewenanganPeradilan Agama Perkembangan

kewenangan absolut Peradilan Agama dari masa ke masamulai Masa Kolonial

Belanda sampai dengan Masa Pasca Reformasi semakin bertambah atau luas, lebih

banyak perkara yang bisa diperiksa oleh PeradilanAgama, bertambahnya perkara yang

bisa diperiksa oleh Peradilan Agama semakinsignifikan pada masa Orde Baru. Dan

lompatan terbesar perkara yang menjadikewenangan Peradilan Agama ada pada Masa

Pasca Reformasi, kewenanganPeradilan Agama bertambah dengan adanya

kewenangan memeriksa perkarazakat, infak, dan ekonomi syariah


DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi , Abdullah Tri, 2004,Peradilan Agama di Indonesia

, Yogjakarta:Pustaka Pelajar.Wahyudi , Abdullah Tri, 2014,

Hukum Acara Peradilan Agama DilengkapiContoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum

Acara di Peradilan Agama,Bandung: Mandarmaju.

Wahyudi, Abdullah Tri, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di IndonesiaPada Masa

Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”,Yudisia,Vol. 7, No. 2, Desember 2016.

Rasyid , Drs.H.Chatib SH.M.Hum,.Drs.Syaifuddin.SH,M.Hum,.Hukum AcaraPerdata

dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama.,Yogyakarta :UII Press 2009

Harahap, M.Yahya S.H. Kedudukan Kewenangan Dan Acara

PeradilanAgama.,Jakarta : Sinar Grafika 2005Asasriwarni, Nurhasnah. 2006. Peradilan

Agama di Indonesia. Padang: HayfaPress.

Anda mungkin juga menyukai