Disusun Oleh:
Hana Muthia
Jidan Ahmad Pratama
Moch. Syain
Rafi Darussalam
1
Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan taufiknya
kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah Hukum Acara
Peradilan Agama ini. Karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Shalawat serta salam kami mohonkan kepada Allah SWT, semoga selalu tercurah kepada
pemimpin umat islam sedunia, yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita ke dunia
yang terang benderang seperti saat ini.
Makalah ini kami buat sebagaimana tugas yang telah diberikan oleh dosen mata kuliah Hukum
Acara Peredilan Agama Dr. H. Moh. Ali Wafa SH, S.Ag., M.Ag. Makalah yang telah selesai kami
kerjakan, berkat izin dari Allah SWT kami dapat juga menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. kritik, saran, masukan, tambahan dan sanggahan sangat kami
harapkan bagi siapapun yang membaca makalah ini. Semoga bermanfaat.
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan peradilan yang berwenang menangani perkara perdata yang di
adukan oleh masyarakat berkenaan dengan permasalahan yang dapat diselesaikan oleh Pengadilan
Agama. Peradilan Agama terbagi menjadi 2 (dua), yaitu : Pengadilan Agama, dan Pengadilan
Tinggi Agama. Pengadilan Agama atau pengadilan tingkat pertama berada di wilayah Kabupaten
dan Kotamadya, sedangkan Pengadialan tinggi Agama atau Pengadilan tingkat banding/tingkat
terakhir berada di lingkupan wilayah provinsi daerah.
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam pasal 1 angka 1 UU No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama
adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Sesuai penjelasan
pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” dalam
pasal 49 adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama.
1.3 Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Agama, jika putusannya itu dianggap sudah tepat. Bisa juga menguatkan tapi sekaligus
memperbaiki amar atau pertimbangan yang kurang jelas. Atau hanya sekadar menambah
pertimbangan yang kurang lengkap. Sebaliknya berwenang untuk membatalkan putusan
Pengadilan Agama. Berbarengan dengan pembatalan itu Pengadilan Tinggi “mengadili
sendiri” dengan amar putusan yang berlainan sama sekali dengan amar putusan Pengadilan
Agama.
Putusan Pengadilan Agama dikaitkan dengan hierarki instamsional, disebut
putusan Pengadilan “tingkat pertama”. Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
dalamn tingkat banding disebut putusan “tingkat terakhir”. Hal ini sesuai dengan
penegasan pasal 10 ayat (3) UU No.14 Tahun 1970 dan pasal 29 UU NO.14 Tahun 1985
yang berbunyi: “Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap pengadilan
tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.”
Makna putusan Pengadilan Tinggi Agama sebagai putusan tingkat terakhir ialah
pemeriksaan mengenai keadaan, fakta, pembuktian pokok perkara sudah selesai dan
berakhir. Itu sebabnya pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding disebut
peradilan judex facti. Tidak ada lagi instansi peradilan yang dapat menilai dan mengutak-
utik hal-hal yang berkenaan dengan fakta dan pembuktian yang telah dinilai Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi, karena penilaian dan putusan tentang itu sudah berakhir
dan final.
Mahkamah Agung berkedudukan sebagai peradilan “kasasi” yang kewenangannya terbatas
dalam memeriksa dan memutus dalam hal-hal tertentu dan terbatas sesuai apa yang diatur
dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1989.
Mengenai susunan Peradilan Agama secara “horizontal” berkedudukan pada setiap
kotamadya atau ibukota kabupaten. Susunan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan
pada setiap ibukota provinsi.
5
Syarat yang paling utama berbeda bagi hakim dilingkungan Peradilan Agama
dibanding dengan lingkungan, adalah mutlak harus beragama Islam. Tentang syarat
beragama Islam bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama, memang sebagian ada
yang beranggapan bahwa syarat pengangkatan hakim ini mengandung cacat
dikriminasi. Sebab dengan syarat tersebut, hukum menutup pintu bagi yang non-
Islam untuk menjadi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama. Padahal lingkungan
Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970,
termasuk “Peradilan Negara”. Tetapi dalam konteks ini terdapat kekhususan yang
dilekatkan Undang-undang. Peradilan Agama memiliki ciri dan bidang tertentu
yang sangat berkaitan erat dengan faktor, yakni: faktor personalita ke-Islaman, dan
faktor umum yang diterapkan (khusus hukum Islam).
2) Pengangkatan Hakim
Maksud pengangkatan hakim disini ialah berkenaan dengan tata cara dan
instansi yang berwenang menetapkan pengangkatan Hakim di Pengadilan Agama.
Mengenai hal ini di atur dalam pasal 15 UU No.7 Tahun 1989 yang sama bunyinya
dengan ketentuan pasal 16 UU No.2 Tahun 1986. Dengan demikian pengangkatan
Hakim di lingkungan Peradilan Agama sama persis dengan pengangkatan Hakim
di lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan salah
satu syarat tentang kesamaan derajat antara semua lingkungan peradilan sebagai
peradilan Negara.
Menurut Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, Yang berwenang megangkat Hakim
di lingkungan peradilan Agama ialah presiden selaku Kepala Negara.
3) Pemberhentian Hakim
Mengenai pemberhentian Hakim, Sama prosedurnya dengan pengangkatan
hakim. Pemberhentian dilakukan presiden selaku kepala negara atas ‘usul’ mentri
agama berdasar ‘persetujuan’ ketua mahkamah agung, sebagaimana yang di
tegaskan pasal 15 Ayat 1 UU No.7 Tahun 1989.
UU mengenai dua jenis pemberhentian. Setiap jenis pemberhentian di
dasarkan atas alasan-alasan tertentu yakni pemberhtian dengan ‘hormat’ dan
‘pemberhentian tidak hormat’.
Pemberhentian dengan Hormat
Pemberhentian dengan hormat di atur dalam pasal 18 UU No.7 Tahun 1989
yang sama bunyinya dengan pasal 19 UU No 2 Tahun 1986 dan pasal 19
UU No.5 Tahun 1986. Dengan demikian alasan yang mendasari
pemberhentian hakim untuk lingkungan Peradilan Agama serupa dengan
alasan yang di tentukan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha
Negara.
Pemberhentian Tidak dengan Hormat
6
Pemberhentian tidak dengan hormat di atur dalam pasal 19 UU No.7 tahun
1989 alasan-alasan pemberhentian tidak dengan hormat yang ditentukan
dalam pasal ini sama dengan alasan yang di atur dalam pasal 20 UU No.2
tahun 1986 dan pasal 20 UU No.5 tahun 1986 atau sama dengan pasal 12
UU No 14 tahun 1985 sehingga ketentuan mengenai alasan pemberhentian
terdapat keseragaman menyeluruh atara semua lingkungan peradilan.
7
1. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan penyumpahan Hakim Tinggi
Yang dimaksud dengan Hakim Tinggi menurut pasal 10 ayat (3) adalah Hakim anggota
pada pengadilan Tinggi Agama. Berapa banyak jumlah Hakim Tinggi pada setiap
pengadilan tinggi Agama,tidak ditentukan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989.
Secara realistik jumlah Hakim Tinggi yang ideal pada setiap pengadilan Tinggi Agama
lebih tepat di dasarkan pada patokan volume perkara. Pada pengadilan Tinggi Agama yang
besar jumlah volume perkara, wajar untuk menempatkan Hakim Tinggi yang sebanding
dengan jumlah perkara.
Menurut pengamatan dan pengalaman, terdapat perbedaan jumlah volume perkara banding
antara satu pengadilan Tinggi Agama yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu tidak
rasional dan tidak realistik untuk menempatkan Hakim Tinggi yang sama jumlah nya pada
setiap Pengadilan Tinggi Agama.
a. Syarat-Syarat Hakim Tinggi
Persyaratan seorang Hakim untuk dapat diangat menjadi Hakim Tinggi pada Pengadilan
Tinggi Agama, diatur dalam pasal 14 ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1) yang terdiri dari:
Warga Negara Indonesia
Beragama Islam
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Setia kepada Pancasila dan UU 1945
Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis indonesia termasuk
organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak
langsung dalam gerakan G-30 S/PKI, atau organisasi terlarang lainya.
Pegawai Negri
Berumur serendah-rendahnya 40 tahun
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
Berpengalaman sekurang-urangnya 15 tahun sebagai Hakim pengadilan Tinggi
Agama
8
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengadilan Agama di Indonesia merupakan pengadilan yang mengadili perkara-
perkara yang berhubungan dengan Perdata dalam Islam saja, dalam Pengadilan Agama
perkara yang berhubungan dengan perdata islam dapat di selesaikan melalui Peradilan
Agama tingkat Kabupaten/Kota, yang merupakan pengadilan tingkat pertama pada proses
menangani permasalahan dan pemutusan perkara yang di ajukan oleh pihak yang
berperkara. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama yang pada persidangannya
merupakan pengadilan banding, dalam hal ini terperkara dapat mengajukan banding setelah
putusan dari pengadilan Agama, dan putusan itu tidak merasa sesuai dengan apa yang
diinginkan maka terperkara boleh mengajukan banding ke pengadilan tinggi Agama Untuk
mendapatkan keadilan yang sepadan.
9
DAFTAR PUSTAKA
M. Yahya Harahap. 2007. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Sinar
Grafika : Jakarta.
Sodiq, Salahuddin. Kamus Istilah Agama. CV. Sientrarama : Jakarta.
10