Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“Susunan Hirarki Peradilan Agama”

DOSEN PENGAMPU : Dr. H. Moh. Ali Wafa SH, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh:

Hana Muthia
Jidan Ahmad Pratama
Moch. Syain
Rafi Darussalam

PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM ALZAYTUN INDONESIA
TAHUN AJARAN 2021

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan taufiknya
kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah Hukum Acara
Peradilan Agama ini. Karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Shalawat serta salam kami mohonkan kepada Allah SWT, semoga selalu tercurah kepada
pemimpin umat islam sedunia, yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita ke dunia
yang terang benderang seperti saat ini.

Makalah ini kami buat sebagaimana tugas yang telah diberikan oleh dosen mata kuliah Hukum
Acara Peredilan Agama Dr. H. Moh. Ali Wafa SH, S.Ag., M.Ag. Makalah yang telah selesai kami
kerjakan, berkat izin dari Allah SWT kami dapat juga menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. kritik, saran, masukan, tambahan dan sanggahan sangat kami
harapkan bagi siapapun yang membaca makalah ini. Semoga bermanfaat.

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan peradilan yang berwenang menangani perkara perdata yang di
adukan oleh masyarakat berkenaan dengan permasalahan yang dapat diselesaikan oleh Pengadilan
Agama. Peradilan Agama terbagi menjadi 2 (dua), yaitu : Pengadilan Agama, dan Pengadilan
Tinggi Agama. Pengadilan Agama atau pengadilan tingkat pertama berada di wilayah Kabupaten
dan Kotamadya, sedangkan Pengadialan tinggi Agama atau Pengadilan tingkat banding/tingkat
terakhir berada di lingkupan wilayah provinsi daerah.
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam pasal 1 angka 1 UU No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama
adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Sesuai penjelasan
pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” dalam
pasal 49 adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Pengadilan Agama?
2. Apa yang dimaksud dengan Pengadilan Tinggi Agama?
3. Bagaimana susunan Organisasi Pengadilan Agama?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pengadilan Agama.


2. Untuk mengetahui apa itu pengadilan Tinggi Agama.
3. Untuk mengetahui bagaimana susunan Organisasi Peradilan Agama.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. SUSUNAN HIERARKI PERADILAN AGAMA


Susunan Hierarki Peradilan Agama secara instansional diatur dalam pasal 6.
Menurut ketentuan pasal ini, secara instansional, lingkungan Peradilan Agama terdiri dari
dua tingkat:
1. Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama
2. Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding
Makna Pengadilan Agama sebagai pengadilan toingkat pertama ialah pengadilan yang
bertindak menerima, memeriksa, dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap
paling awal dan paling bawah. Pengadilan Agma bertindak sebagai peradilan sehari-hari
yang menampung pada tahap awal dan memutus atau mengadili segala perkara yang
diajukan masyarakat pencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau
gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Agama. Semua jenis perkara lebih dulu mesti
melalui Pengadilan Agama dalam Kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama.
Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam
memutusnya, dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 56 yang
berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan memutusnya.”
Dari pengertian Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah
pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan, pemeriksaan, dan
pemutusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih dulu diajukan ke Pengadilan Agama,
tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tidak boleh langsung diajukan ke pengadilan
yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi. Karena fungsi peradilan yang diberikan
Undang-undang kepada Pengadilan Tinggi bukan sebagai Pengadilan tingkat pertama, tapi
pengadilan tingkat banding.
Memang menurut pasal 6, di atas Pengadilan agama secara Hierarkis dan
instansional ditempatkan Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan sebagai
pengadilan “tingkat banding”. Penagilan Tinggi agama bertindak dan berwenag
“memeriksa ulang” suatu perkara yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan agama,
apabila pihak yang berperkara mengajukan permintaan banding. Dengan kata lain, apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara tidak puas terhadap putusan
Pengadilan Agama, dapat mengajukan mengajukan permintaan banding terhadap putusan
tersebut tersebut. Dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai pengadilan
tingkat banding, Pengadilan Tinggi mengoreksi putusan Pengadilan Agama. Pengadialn
Tinggi dalam tingkat banding dapat menguatkan (membenarkan) putusan Pengadilan

4
Agama, jika putusannya itu dianggap sudah tepat. Bisa juga menguatkan tapi sekaligus
memperbaiki amar atau pertimbangan yang kurang jelas. Atau hanya sekadar menambah
pertimbangan yang kurang lengkap. Sebaliknya berwenang untuk membatalkan putusan
Pengadilan Agama. Berbarengan dengan pembatalan itu Pengadilan Tinggi “mengadili
sendiri” dengan amar putusan yang berlainan sama sekali dengan amar putusan Pengadilan
Agama.
Putusan Pengadilan Agama dikaitkan dengan hierarki instamsional, disebut
putusan Pengadilan “tingkat pertama”. Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
dalamn tingkat banding disebut putusan “tingkat terakhir”. Hal ini sesuai dengan
penegasan pasal 10 ayat (3) UU No.14 Tahun 1970 dan pasal 29 UU NO.14 Tahun 1985
yang berbunyi: “Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap pengadilan
tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.”
Makna putusan Pengadilan Tinggi Agama sebagai putusan tingkat terakhir ialah
pemeriksaan mengenai keadaan, fakta, pembuktian pokok perkara sudah selesai dan
berakhir. Itu sebabnya pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding disebut
peradilan judex facti. Tidak ada lagi instansi peradilan yang dapat menilai dan mengutak-
utik hal-hal yang berkenaan dengan fakta dan pembuktian yang telah dinilai Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi, karena penilaian dan putusan tentang itu sudah berakhir
dan final.
Mahkamah Agung berkedudukan sebagai peradilan “kasasi” yang kewenangannya terbatas
dalam memeriksa dan memutus dalam hal-hal tertentu dan terbatas sesuai apa yang diatur
dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1989.
Mengenai susunan Peradilan Agama secara “horizontal” berkedudukan pada setiap
kotamadya atau ibukota kabupaten. Susunan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan
pada setiap ibukota provinsi.

B. SUSUNAN ORGANISASI PENGADILAN AGAMA


Susunan organisasi Pebgadilan Agama sesuai dengan yang dikehendaki pada Bab
II, Bagian Pertama, Pasal 9 dan seterusnya dapat digambarkan sebagai berikut.
pembahasan mengenai susunan Organisasi Pengadilan Agama, akan diuraikan hal-hal yang
berkenaan dengan syarat pengangkatan, pemberhentian, dan pengambilan sumpah hakim.
Syarat Pengangkatan Pemberhentian dan Sumpah Hakim
Sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 11 “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman.” Oleh karena itu, wajar apabila Undang-undang menentukan
syarat penganagkatan, pemberhentian serta sumpah yang sesuai dengan jabatan tesebut.
1) Syarat Pengangkatan Hakim
Mengenai syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat diangkat menjadi hakim
di lingkungan Peradilan Agama diatur dalam pasal 13 UU No. 7 tahun 1989. Syarat
kesarjanaan dilingkungan Peradilan Agama pada dasarnya ialah sarjana Syariah
atau sarjana Hukum yang menguasai hukum Islam.

5
Syarat yang paling utama berbeda bagi hakim dilingkungan Peradilan Agama
dibanding dengan lingkungan, adalah mutlak harus beragama Islam. Tentang syarat
beragama Islam bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama, memang sebagian ada
yang beranggapan bahwa syarat pengangkatan hakim ini mengandung cacat
dikriminasi. Sebab dengan syarat tersebut, hukum menutup pintu bagi yang non-
Islam untuk menjadi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama. Padahal lingkungan
Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970,
termasuk “Peradilan Negara”. Tetapi dalam konteks ini terdapat kekhususan yang
dilekatkan Undang-undang. Peradilan Agama memiliki ciri dan bidang tertentu
yang sangat berkaitan erat dengan faktor, yakni: faktor personalita ke-Islaman, dan
faktor umum yang diterapkan (khusus hukum Islam).

2) Pengangkatan Hakim
Maksud pengangkatan hakim disini ialah berkenaan dengan tata cara dan
instansi yang berwenang menetapkan pengangkatan Hakim di Pengadilan Agama.
Mengenai hal ini di atur dalam pasal 15 UU No.7 Tahun 1989 yang sama bunyinya
dengan ketentuan pasal 16 UU No.2 Tahun 1986. Dengan demikian pengangkatan
Hakim di lingkungan Peradilan Agama sama persis dengan pengangkatan Hakim
di lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan salah
satu syarat tentang kesamaan derajat antara semua lingkungan peradilan sebagai
peradilan Negara.
Menurut Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, Yang berwenang megangkat Hakim
di lingkungan peradilan Agama ialah presiden selaku Kepala Negara.

3) Pemberhentian Hakim
Mengenai pemberhentian Hakim, Sama prosedurnya dengan pengangkatan
hakim. Pemberhentian dilakukan presiden selaku kepala negara atas ‘usul’ mentri
agama berdasar ‘persetujuan’ ketua mahkamah agung, sebagaimana yang di
tegaskan pasal 15 Ayat 1 UU No.7 Tahun 1989.
UU mengenai dua jenis pemberhentian. Setiap jenis pemberhentian di
dasarkan atas alasan-alasan tertentu yakni pemberhtian dengan ‘hormat’ dan
‘pemberhentian tidak hormat’.
 Pemberhentian dengan Hormat
Pemberhentian dengan hormat di atur dalam pasal 18 UU No.7 Tahun 1989
yang sama bunyinya dengan pasal 19 UU No 2 Tahun 1986 dan pasal 19
UU No.5 Tahun 1986. Dengan demikian alasan yang mendasari
pemberhentian hakim untuk lingkungan Peradilan Agama serupa dengan
alasan yang di tentukan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha
Negara.
 Pemberhentian Tidak dengan Hormat

6
Pemberhentian tidak dengan hormat di atur dalam pasal 19 UU No.7 tahun
1989 alasan-alasan pemberhentian tidak dengan hormat yang ditentukan
dalam pasal ini sama dengan alasan yang di atur dalam pasal 20 UU No.2
tahun 1986 dan pasal 20 UU No.5 tahun 1986 atau sama dengan pasal 12
UU No 14 tahun 1985 sehingga ketentuan mengenai alasan pemberhentian
terdapat keseragaman menyeluruh atara semua lingkungan peradilan.

4) Pengambilan Sumpah Hakim


Sebelum seorang Hakim menjalankan fungsi jabatan sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman “wajib” lebih dulu mengucapkan kata sumpah menurut agama islam.
Lafal sumpah jabatan di rumuskan dalam pasal 16 yang berbunyi :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapaun juga”
5) Larangan Rangkap
Menurut pasal 17,hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a) Pelaksana putusan pengadilan
b) Wali pengampu,dan jabatan yang berkaitan dengan suatu perkara yang di
periksa
c) Pengusaha
d) Tidak boleh merangap menjdi penasihat hukum
6) Penangkapan dan Penahanan Hakim
Hakim sebagai pejabat penegak hukum bukan manusia kebal hukum oleh
karena itu, apabila seorang Hakim melakukan tindak pidana, kepadanya dapat
dilakukan tindakan upaya paksa berupa “penangkapan” atau “penahanan”
sebagaimana yang di atur dalam pasal 19 dan pasal 21 KUHAP. Hanya prosedur
yang agak berbeda dengan upaya paksa yang dilakuan terhadap orang lain.

C. SUSUNAN ORGANISASI PERADILAN PENGADILAN TINGGI AGAMA


Mengenai susunan organisasi pengadilan tinggi Agama sama dengan susunan
organisasi Pengadilan Agama. Perbedaanya hanya terletak pada bidang juru sita. Jika pada
susunan organisasi Pengadilan Agama terdapat sub bagian juru sita yang ditetapkan pada
bagian struktur fungsional kepaniteraan Pengadilan Tinggi. Hal ini memang logis. Di tinjau
dari segi kedudukan hierarki pengadilan Tinggi secara instansional adalah peradilan tingkat
banding, tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan pemanggilan,
pemberitahuan penyitaan, dan eksekusi. Sedang fungsi juru sita adalah tugas-tugas
pelayanan mengambil, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.

7
1. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan penyumpahan Hakim Tinggi
Yang dimaksud dengan Hakim Tinggi menurut pasal 10 ayat (3) adalah Hakim anggota
pada pengadilan Tinggi Agama. Berapa banyak jumlah Hakim Tinggi pada setiap
pengadilan tinggi Agama,tidak ditentukan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989.
Secara realistik jumlah Hakim Tinggi yang ideal pada setiap pengadilan Tinggi Agama
lebih tepat di dasarkan pada patokan volume perkara. Pada pengadilan Tinggi Agama yang
besar jumlah volume perkara, wajar untuk menempatkan Hakim Tinggi yang sebanding
dengan jumlah perkara.
Menurut pengamatan dan pengalaman, terdapat perbedaan jumlah volume perkara banding
antara satu pengadilan Tinggi Agama yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu tidak
rasional dan tidak realistik untuk menempatkan Hakim Tinggi yang sama jumlah nya pada
setiap Pengadilan Tinggi Agama.
a. Syarat-Syarat Hakim Tinggi
Persyaratan seorang Hakim untuk dapat diangat menjadi Hakim Tinggi pada Pengadilan
Tinggi Agama, diatur dalam pasal 14 ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1) yang terdiri dari:
 Warga Negara Indonesia
 Beragama Islam
 Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
 Setia kepada Pancasila dan UU 1945
 Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis indonesia termasuk
organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak
langsung dalam gerakan G-30 S/PKI, atau organisasi terlarang lainya.
 Pegawai Negri
 Berumur serendah-rendahnya 40 tahun
 Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
 Berpengalaman sekurang-urangnya 15 tahun sebagai Hakim pengadilan Tinggi
Agama

b. Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Tinggi


Mengenai pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Hakim Tinggi ,berlaku
sepenuhnya ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Hakim yang di atur dalam pasal
15. Dengan demikian pengangkatan dan pemberhentianya :
a) dilakukan oleh Pesiden selaku Kepala Negara
b) atas usul Mentri Agama dan
c) berdasar persetujuan ketua Mahkamah Agung.

8
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pengadilan Agama di Indonesia merupakan pengadilan yang mengadili perkara-
perkara yang berhubungan dengan Perdata dalam Islam saja, dalam Pengadilan Agama
perkara yang berhubungan dengan perdata islam dapat di selesaikan melalui Peradilan
Agama tingkat Kabupaten/Kota, yang merupakan pengadilan tingkat pertama pada proses
menangani permasalahan dan pemutusan perkara yang di ajukan oleh pihak yang
berperkara. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama yang pada persidangannya
merupakan pengadilan banding, dalam hal ini terperkara dapat mengajukan banding setelah
putusan dari pengadilan Agama, dan putusan itu tidak merasa sesuai dengan apa yang
diinginkan maka terperkara boleh mengajukan banding ke pengadilan tinggi Agama Untuk
mendapatkan keadilan yang sepadan.

9
DAFTAR PUSTAKA
M. Yahya Harahap. 2007. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Sinar
Grafika : Jakarta.
Sodiq, Salahuddin. Kamus Istilah Agama. CV. Sientrarama : Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai