KEWENANGAN MENGADILI
DISUSUN OLEH
ROZA WAHANA
RYIANDY BATU BARA
SISKA ARIANIS
SLASABILLA
Bismillahirahmanirahim, Wb
Alhamdulillah, Puji beserta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami
mampu menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini berisikan tentang “Kewenangan Absolut Kewenangan Relatif ,
Serta Proses Alur Pengajuan Gugatan”
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini .
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita . Amin .
Penulis
DAFTAR ISI
ii
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
manusia, maupun sarana dan prasarana yang memadani. Akibatnya dalam
praktik sebagian para pihak menggunakan alternatif mekanisme penyelesaian
sengketa melalui Pengadilan Negeri dan sebagian lainnya menggunakan jalur
non litigasi, diantaranya penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kewenangan Absolut Serta Proses Alur Pengajuan Gugatan?
2. Bagaimana Kewenangan Serta Proses Alur Pengajuan Gugatan Relatif?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Kewenangan Absolut Serta Proses Alur Pengajuan Gugatan
2. Mengetahui Kewenangan Relatif Serta Proses Alur Pengajuan Gugatan
BAB II
2
PEMBAHASAN
A. Kewenangan Absolut
Kompetensi absolut (absolute competentie) atau kewenangan mutlak
adalah kewenangan suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain.
Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam yang diatur
dalam UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana yang
telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan
UU Nomor 50 Tahun 2009, sedangkan kekuasaan Peradilan Umum adalah
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana baik itu bersifat maupun
kusus dan perkara perdata yang bersifat umum maupun niaga.1
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar
proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah.
Kewenangan absolut bagi suatu peradilan agama untuk mengadili
sengketa ekonomi syariah dapat pula menimbulkan permasalahan lain
menyangkut kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi antara orang Islam dan non-Islam, karena transaksi bisinis syariah
tidak sebatas orang-orang yang beragama Islam saja, namun juga orang-orang
non- Islam. Dengan demikian Pemberian wewenang dalam penanganan
perkara baru ini bukannya tanpa hambatan. Setelah dikeluarkannya Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 ternyata tidak lebih menguatkan kewenangan
Pengadilan agama dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
1 Erlis Setiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal 193
3
Kewenangan Absolut dalam Gugatan Terkait pertanyaan Anda,
persidangan gugatan sederhana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatana sebagaimana
diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Perlu diketahui, hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap
materi gugatan sederhana berdasarkan syarat dalam Pasal 3 dan Pasal 4
Perma 4/2019. Hakim menilai sederhana atau tidaknya pembuktian. Apabila
dalam pemeriksaan, hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam
gugatan sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan
bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan
memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat.
Menjawab pertanyaan Anda, dalam proses pemeriksaan gugatan
sederhana, memang tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi,
rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan. Adapun putusan
gugatan sederhana terdiri dari:
1. kepala putusan dengan irah-irah yang berbunyi "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
2. identitas para pihak;
3. uraian singkat mengenai duduk perkara;
4. pertimbangan hukum; dan
5. amar putusan.
Sehingga bila ada kondisi putusan atas gugatan sederhana yang
menerima eksepsi yang diajukan tergugat, hal ini dapat menimbulkan putusan
yang cacat hukum. Namun bila hakim menyatakan diri secara ex-officio tidak
berwenang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ini bukanlah suatu
putusan yang cacat hukum. Ini dikarenakan apa yang diputus hakim justru
berdasar pada ketentuan hukum acara perdata yang tetap berlaku sepanjang
tidak diatur secara khusus dalam Perma 2/2015 dan Perma 4/2019. Sehingga
menurut hemat kami, perlu ditelisik lebih mendalam proses persidangan,
4
muatan jawaban tergugat, pertimbangan hukum, dan amar dari putusan
gugatan sederhana, hingga berujung pada pernyataan hakim tidak berwenang
mengadili tersebut.
Apabila penggugat tidak menerima putusan gugatan sederhana dengan
dalih adanya cacat hukum seperti yang dimaksud di atas, penggugat bisa
mengajukan upaya hukum keberatan. Keberatan diajukan kepada ketua
pengadilan dengan menandatangani akta pernyataan keberatan di hadapan
panitera disertai alasan-alasannya.
Permohonan keberatan diajukan paling lambat tujuh hari setelah
putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Kepaniteraan
menerima dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan keberatan disertai
dengan memori keberatan. Permohonan keberatan yang diajukan melampaui
batas waktu pengajuan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan
ketua pengadilan berdasarkan surat keterangan panitera.
Putusan terhadap permohonan keberatan diucapkan paling lambat
tujuh hari setelah tanggal penetapan majelis hakim. Putusan keberatan
merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi,
atau peninjauan kembali. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik
hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan
bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk
mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan
langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
B. Kewenangan Relatif
Kewenangan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan
antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang
yang berhubungan dengan wilayah hukum antar pengadilan agama. Misalnya
antar pengadilan agama bandung dengan pengadilan agama bogor.2
Faktor yang menimbulkan terjadinya pembatasan kewenangan relatif
masing-masing pengadilan pada setiap lingkungan peradilan adalah faktor
5
“wilayah hukum”. Menurut ketentuan pasal 4 UU No. 7 Tahun 1989 “tempat
kedudukan” setiap Pengadilan Agama ialah pada setiap kotamdya atau
ibukota atau ibukota kabupaten. Berarti, pada setiap kotamadya atau
kabupaten berdiri sebuah pengadilan agama.
Daerah atau wilayah hukum kekuasaan setiap pengadilan agama
hanya terbatas meliputi wilayah hukum daerah kabupaten yang bersangkutan.
Dapat dilihat, setiap pengadilan agama hanya berwenang mengadili perkara
yang termasuk kedalam kewenangan wilayah hukumnya. Jangkauan
kewenangan pelayanan peradilan yang dapat dilakukan dilakukan secara
formil. Hanya perkara-perkara yang termasuk ke dalam wilayah daerah
hukumnya.
Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang
menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan diajukan, agar gugatan
memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas bahwa yang
berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat. Asas ini dalam
bahasa latin disebut “actor sequirtur forum rei”. Menurut asas ini,
pengadilan tidaklah berwenang untuk memeriksa suatu perkara apabila
terdapat pengadilan di lain tempat yang lebih berwenang untuk memeriksa
perkara tersebut.
Prinsip ini kemudian secara universal diterima sebagai prinsip umum
dalam pengadilan perdata dengan menggunakan acuan tempat kedudukan
Tergugat. Namun ada beberapa pengecualian, yaitu yang tercantum dalam
pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), yaitu : faktor tempat tinggal tergugat,
faktor jumlah tergugat dikaitkan dengan tempat tinggal para tergugat, faktor
tempat tinggal tergugat “tidak diketahui”, dan faktor objek gugat terdiri dari
benda “tidak bergerak”.3
Kewenangan relatif perkara gugatan Pada dasarnya setiap gugatan
diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi :
6
1. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya
maka pengadilan dimana tergugat bertempat tinggal.
2. Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu
kediaman tergugat.
3. Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya
tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka
gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal penggugat.
4. Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat
diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda
tidak bergerak.
5. Apabila dalam satu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan
diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.
7
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan
atau tempat tinggal suami atau istri.4
BAB III
PENUTUP
8
A. Kesimpulan
Kewenangan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan
antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang
yang berhubungan dengan wilayah hukum antar pengadilan agama. Misalnya
antar pengadilan agama bandung dengan pengadilan agama bogor.
Kewenangan absolut bagi suatu peradilan agama untuk mengadili
sengketa ekonomi syariah dapat pula menimbulkan permasalahan lain
menyangkut kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi antara orang Islam dan non-Islam, karena transaksi bisinis syariah
tidak sebatas orang-orang yang beragama Islam saja, namun juga orang-orang
non- Islam.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan,
manfaat untuk kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
9
Erlis Setiana Nurbani, (2013) Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
10