Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Tempat Mengajukan Gugatan Atau Permohonan

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama

Dosen Pengampu : Dr. Husnawadi, MA

Disusun Oleh Kelompok IV :

1. Imam Sya’roni
2. Ramdan Ali
3. Jannatun Adnin

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NAHDLATUL WATHAN
LOMBOK TIMUR
TA.2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin berkat rahmat-Nya dan karunia-Nya yang


tak terhingga di limpahkan kepada kita semua sehingga karena itu juga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah untuk mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama dengan Dosen Pengampu Bapak dr. Husnawadi, MA yang berjudul “
Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan”.
Tak lupa sholawat serta salam semoga Allah SWT. senantiasa
melimpahkan-Nya dan mencurahkan-Nya pada penghulu kami baginda Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, dan kita semua selaku
umatnya semoga mendapatkan syafaat di Yaumil Akhir nanti aaminn.
Penulis menyadari dalam makalah yang disusun dengan sedemikian rupa
belum sempurna seperti yang ada dalam benak dan harapan pembaca semua
karena penulis hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik penulis
selaku penyusun maupun pembaca.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

1. Latar belakang......................................................................................
2. Rumusan masalah.................................................................................
3. Tujuan masalah.....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
1. Pengertian gugatan dan permohonan....................................................
2. Tempat mengajukan gugatan/permohonan dizaman rasulullah saw dan
khalifah empat......................................................................................
3. Tempat mengajukan gugatan/permohonan dimuka pengadilan agama bagi
perkara perkawinan...............................................................................
4. Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain perkara
perkawinan............................................................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................
Kesimpulan.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
1.

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan agama memiliki peranan penting dalam masalah hukum
yang terkait dinegara ini salah satunya dalam menangani masalah perdata.
Jika tidak ada peradilan agama entah apa yang terjadi dengan suatu negara
tersebut, yang jelas pemerintahan yang berjalan tidak akan seimbang.
Akan banyak sekali kekacauan yang terjadi dan tidak akan bisa
dikondisikan dengan waktu yang singkat.
Dalam suatu perkara tentunya ada dua pihak yang saling
menggugat dan digugat serta ada yang meminta haknya atau pemohon
yang sering kita dengar dengan istilah permohonan. Dalam menghadapi
masalah perdata seseorang yang menghadapi masalah bisa mengajukan
surat gugatan perdata kepada pengadilan setempat (pengadilan agama).
Surat gugatan perdata dan surat permohonan dibuat oleh pengacara
atau kantor advokat yang ditunjuk oleh orang yang berperkara dan yang
telah diberi kewenangan oleh yang bersangkutan (orang yang berperkara
tersebut). Surat ini merupakan permohonan dari pihak penggugat kepada
pengadilan untuk menyelenggarakan persidangan antara pihak penggugat
dan tergugat terkait kasus yang menimpa pihak penggugat. Sedangkan
surat permohonan merupakan surat untuk memperoleh hak-hak atau
kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gugatan dan permohonan?
2. Dimana tempat mengajukan gugatan/permohonan dizaman rasulullah
dan khalifah empat?
3. Dimana tempat mengajukan gugatan/permohonan dimuka pengadilan
agama bagi perkara perkawinan?
4. Dimana tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara
selain perkara perkawinan?

4
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian gugatan dan permohonan
2. Untuk mengetahui tempat mengajukan gugatan/permohonan
dizaman rasulullah dan khalifah empat
3. Untuk mengetahui tempat mengajukan gugatan/permohonan
dimuka pengadilan agama bagi perkara perkawinan
4. Untuk mengetahui tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam
perkara selain perkara perkawinan

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan Dan Permohonan
Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua
pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan
perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Sedangkan
permohonan adalah suatu suatu surat permohonan yang didalamnya berisi
tuntutan hak perdata oleh sati pihak yang berkepentingan terhadap suatu
hal yang tidak mengandung sengketa.
Perbedaan dari gugatan dan permohonan yaitu, jika gugatan ada
suatu perkara antara penggugat dan tergugat maka permohonan hanya saru
pihak yang berkepentingan dan tanpa sebuah perkara atau sengketa , dalam
gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutuskan
serta berproduk vonis (putusan), sedangkan dalam permohonan hakim
hanya menjalankan fungsi eksekutif power (administrasi) dan berproduk
beschikking (penetapan), untuk penetapan pada putusan gugatan mengikat
kedua belah pihak (berkekuatan eksekutorial), sedang penetapan pada
permohonan hanya mengikat pemohon saja.
Dalam gugatan terdapat istilah penggugat dan tergugat, sedang
dalam permohonan ada istilah pemohon dan termohon. Penggugat bisa
satu orang atau badan hukum atau lebi, sehingga ada istilah penggugat I,
II, III, dan seterusnya. Tergugat pun bisa I, II, III dan seterusnya.
Gabungan penggugat dan tergugat disebut kumulasi subjektif sedang
dalam permohonan hanya satu pihak karena bukan suatu kasus perkara.
B. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan Dizaman Rasulullah Dan
Khalifah Empat
Dari berbagai hadist dan sejarah rasulullah saw, ataupun dari
sejarah peradilan islam dimasa khalifah empat/masa sahabat, ternyata
semua gugatan/permohonan perkara diajukan ke tempat rasulullah saw,
diam atau ke tempat qadi yang ditunjuk oleh beliau yang terdekat letaknya

6
dengan kediaman penggugat/pemohon, atau kepada khalifah, walaupun
pada ketika itu belum ada gedung pengadilan tersendiri. Jadi, asal mula
tempat mengajukan gugatan/permohonan adalah ke pengadilan yang
mewilayahi tempat tinggal pihak penggugat/pemohon.
Keadaan diatas nantinya berkembang dan persoalan itu tidaklah
begitu prinsip karena termasuk masalah keperluan kehidupan (min umur
ad dunya), maka tidaklah bertentangan dengan ajaran islam untuk memilih
mana yang lebih bermanfaat atau menurut istilah kontemporari, memilih
mana yang efektif dan efisien, sejalan dengan kepentingan para pencari
keadilan.
Bila dibandingkan dengan prinsip umum yang berlaku
dilingkungan peradilan umum, yaitu diajukan ke pengadilan negeri yang
mewilayahi tempat tinggal tergugat karena pertimbangan pokok bahwa
tergugat belum bisa dianggap bersalah sebelum dinyatakan dengan
keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Karenanya kalau tergugat digugat, tegasnya kalau ia diganggu
ketenangannya oleh penggugat (yang belum tentu benar), maka pada
ketika itu tergugat perlu dilindungi oleh hukum, sehingga kalau penggugat
merasa perlu dipersilakan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri
yang mewilayahi tempat tinggal tergugat.
Mungkin atas dasar itu pula bahwa menurut kode etik sidang ,
tempat duduk tergugat dimuka sidang selalu disebelah kanan dari
penggugat sedangkan penggugat disebelah kirinya.
1. Peradilan Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada masa pemerintahan abu bakar ash-shiddiq, keadaan umat
islam tidak jauh berbeda semasa rasulullah saw sehingga tidak tampak
adanya perkembangan-perkembangan didalam hukum islam,
khususnya didalam masalah peradilan. Keadaan peradilan dimasa
pemerintahan abu bakar ash-shidddiq relatif sama dengan peradilan
yang terdapat pada masa nabi dan tidak ada suatu perubahan dalam
lapangan peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukannya

7
memerangi sebahagian kaum muslimin yang murtad sepeninggal
rasulullah saw dan kaum pembangkang yang tidak menunaikan zakat
dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya, disamping belum
meluasnya kekuasaan islam pada masa itu.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada masa khalifah
abu bakar, urusan peradilan diserahkan kepada umar bin khattab
selama kurang lebih 2 tahun lamanya. Namun selama itu hanya
terdapat dua orang yang berselisih dan mengadukan permasalahannya
kepada umar karena beliau dikenal dengan ketegasan yang
dimilikinya.
Para ahli sejarah tasyri’ menerangkan bahwa abu bakar apabila
menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan, beliau
memperhatikan isi al-quran. Jika beliau menemukan hukum allah
didalam al-quran, beliau pun memutuskan perkara dengan hukum
allah itu. Tetapi jika tak ada hukum allah terhadap masalah yang
dihadapi, maka beliau memperhatikan sunnah rasul atau keputusan-
keputusan yang pernah diambil rasul. Jika beliau tidak menemukan
sunnah rasul, maka beliau bertanya kepada para ahli ilmu, beliau
mengatakan bahwa : “ saya menghadapi suatu perkara, maka apakah
tuan-tuanada mengetahui hukum rasul terhadap perkara itu?”. Kerap
kali berkumpul dihadapan beliau beberapa orang sahabat. Maka
masing-masing mereka menerangkan apa yang mereka ketahui.
Apabila abu bakar memperoleh keterangan dari orang-orang yang
beliau hadapi, beliau pun memuji allah.
Jika tidak ada yang mengetahui hukum nabi, maka beliau
mengumpulkan para pemimpin untuk berembuk putusan apa yang
akan diberikan. Jika mereka semua sependapat untuk menetapkan
sesuatu hukum, maka beliau pun berpegang pada putusan itu, inilah
dasar ijma’.
2. Peradilan Pada Masa Umar Bin Khattab

8
Setelah khalifah abu bakar meninggal dunia, maka tampuk
pemerintahan beralih ke tangan umar bin khattab. Pada masa
pemerintahan beliau, wilayah kekuasaan islam semakin betambah luas
dan umat islam semakin bertambah banyak. Maka bertambah banyak
pula beban yang dihadapinya. Oleh karena kemajuan yang sangat
pesat itu, maka bangkitlah qadhi dan hakim untuk menangani perkara
yang terjadi didalam masyarakat. Oleh karena itu, pemisahan
kekuasaan eksekutif dan yudikatif dirasakan amat mendesak dimasa
pemerintahan umar bin khattab.
Dalam hal ini, Prof. TM. Hasbi ash-shiddieqy mengemukakan
bahwa dimasa pemerintahan umar bin khattab, daerah islam telah luas,
tugas-tugas yang dihadapi oleh pemerintahan dalam bidang politik,
sosial, dan ekonomi, telah berbagai corak ragamnya dan pergaulan
orang-orang arab dengan orang-orang lain pun sudah sangat erat, dan
terajadilah pertemuan kebudayaan. Karena itu, khalifah umar tidak
dapat menyelesaikan sendiri perkara-perkara yang diajukan
kepadanya.
Maka umar mengangkat beberapa orang hakim untuk
menyelesaikan perkara, dan mereka pun digelari hakim (qadhi).
Khalifah umar mengkat abu darda untuk menjadi hakim dimadinah,
Syuraih dibashrah, Abu Musa Al- Asy’ary di kufah, Ustman Ibn Qais
Ibn Abil ‘Ash di mesir, sedang untuk daerah syam diberi pula hakim
sendiri.
Dimasa pemerintahan umar, urusan peradilan merupakan
bagian dari kekuasaan umar. Maka diantara wewenang penguasa
adalah menentukan qadhi terhadap sebagian urusan peradilan yang
harus ditanganinya, membatasi wewenang tersebut. Karena itu umar
sebagai penguasa, beliau mengangkat pejabat-pejabat qadhi dengan
mambatasi wewenang mereka. Khusus tentang penyelesaian sengketa
harta benda (urusan perdata), tetapi perkara-perkara jinayah (pidana)

9
yang menyangkut hukum qishash/had-had, maka ditangani khalifah
dab penguasa-penguasa daerah.
Adapun pengangkatan qadhi pada masa umar, yaitu qadhi
daerah mulanya ditunjuk oleh khalifah sendiri. Khalifah yang
mengutus dari pusat pemerintahan ke suatu daerah. Tetapi apabila
khalifah tidak menetapkan dan mengutus seseorang yang telah
ditetapkan untuk suatu daerah, maka khalifah menginstruksikan
kepada gubernurnya mengangkat qadhi menurut pilihannya sendiri.
Sudah barang tentu pengangkatan yang dilakukan oleh para gubernur
itu atas nama khalifah. Oleh karena itu, khalifah dapat menyetujui
pengangkatan itu atau membatalkannya serta memecatnya karena
khalifah adalah pemegang kekuasaan tertinggi (kepala negara) dalam
negara atas nama ummat.
Para hakim pada masa umar dalam peradilan, mereka
memutuskan perkara dengan merujuk kepada al-quran. Jika mereka
tidak mendapati hukum dalam al-quran, mereka mencarinya dalam
sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu didalamnya,
mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah diantara mereka
terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam sunnah mengenai perkara
yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa yang
dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya
penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif
jika topik permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip
dasar bagi jamaah dan berijtihad secara individu dalam masalah-
masalah sektoral yang khusus dengan individu.
3. Peradilan Pada Masa Usman Bin Affan
Pada waktu umar meninggal dunia, maka terpilihlah utsman
bin affan untuk menjadi khalifah yang ketiga dari khulafaurrasyidin.
Pada masa pemerintahannya, didalam menghadapi suatu perkara,
maka beliau mengikuti jejak yang ditempuh oleh khalifah
sebelumnya. Pada masa utsman inilah, maka peradilan dilaksanakan

10
dalam suatu gedung tertentu. Khalifah utsman mengikuti langkah
yang ditempuh oleh khalifah umar dalam hal-hal pemilihan qadhi, dan
begitu pula beliau selalu menyandarkan keputusannya kepada al-quran
dan sunnah. Bila tidak ditemukan dalam al-quran dan sunnah, maka
beliau mengadakan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam
menetapkan suatu hukum.
Khalifah utsman begitu menganjurkan kepada petuga-
petugas/qadhi-qhadinya yang berada didaerah apabila dalam
menajalankan tugasnya agar mereka selalu berlaku adil demi
terciptanya kebenaran. Begitu pentingnya masalah keadilan sehingga
beliau mengirimkan surat kepada petugas yang isinya sebagai berikut:
“ maka sesungguhnya allah menciptakan makhluk yang benar. Maka
allah tidak akan menerima juga kecuali dengan benar. Ambillah
kebenaran dan perhatikanlah amanah, tegakkanlah amanah itu dan
janganlah kalian merupakan orang yang pertama kali meniadakannya,
maka kalian akan merupakan bagian dari orang-orang yang sesudah
kamu, penuhilah! Penuhilah! Jangan kalian berbuat aniaya kepada
orang yang engkau mengikat janji dengannya”.
Dapat dipahami dari penjelasan diatas bahwa surat khalifah
utsman tersebut adalah memerintahkan kepada petugas-petugas dan
para qadhinya agar menjalankan keadilan dalam melaksanakan
tugasnya terhadap masyarakat dan melarang untuk berbuat curang
dalam menjalankan tugas mereka.
4. Peradilan Pada Masa Ali Bin Abi Thalib
Demikian pula pada masa pemerintahan khalifah ali bin abi
thalib, beliau mengikuti langkah yang telah dijalankan oleh para
khalifah sebelumnya dan beliau selalu memberikan pesan terhadap
qadhi-qadhi yang bertugas agar menjalankan tugasnya berdasarkan
dengan keadilan dan kasih sayang terhadap masyarakat. Ali
menetapkan hukum diantara manusia selama dimadinah. Ketika keluar
di basrah, dia mengangkat Abdullah Bin Abbas sebagai gantinya

11
dimadinahdan mengangkat Abul Aswad Ad-Du’ali dalam masalah
pemerintahan dibasrah dan sekaligus dalam peradilan. Selain itu, Ad-
Du’ali juga diperintahkan menyusun kitab tentang dasar-dasar ilmu
nahwu.
Ali juga sangat memperhatikan para gubernur dan para hakim
dengan bimbingan dan pengarahan. Sehingga, sangat wajar kitan-kitab
peradilan, fiqih, dan sejarah sering membicarakan ijtihad imam yang
sekaligus hakim ini dan hukum-hukumnya yang menunjukkan
kecerdasan dan kejeniusannya, kecermatan dan kebenaran
pemikirannya, pengukuhan kebenaran dan penegakan keadilan.
C. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan Dimuka Pengadilan
Agama Bagi Perkara Perkawinan
UU Nomor 7 tahun 1989 pasal 54 mengatakan bahwa hukum acara
peradilan agama selain dari pada yang dimuat dalam UU tersebut,
mempergunakan hukum acara perdata peradilan umum. Pengaturan tempat
mengajukan gugatan/permohanan yang dimuat dalam UU Nomor 7 tahun
1989 hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan cerai karena
gugatan.Oleh karena itu, tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam
perkara perkawinan cerai talak dan perkara perkawinan cerai gugatan,
berpegang kepada aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan
menurut yang berlaku dilingkungan peradilan umum.
Tegasnya: (1) untuk perkara perkawinan tentang cerai talak dan
cerai karena gugatan berpedoman kepada UU Nomor 1 tahun 1989, (2)
untuk perkara perkawinan selain (1) berpedoman kepada UU Nomor 1
tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, (3) untuk perkara selain (1) dan
(2) berpedoman kepada Acara Perdata Pengadilan Negeri.
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara
perkawinan sebagai berikut.
1. Permohonan suami untuk menceraikan istrinya dengan cerai talak,
diajukan oleh suami (pemohon) ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat kediaman istri (termohon). Bila termohon

12
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan
bersama tanpa izin pemohon dan atau bila termohon bertempat
kediamandi luar negeri maka permohonan yang diajukan oleh
pemohon ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman
pemohon.
Bila suami-istri (pemohon-termohon) bertempat kediaman di luar
negeri, permohonan diajukan ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya di langsungkan,
atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 66 ayat (5) menyebutkan bahwa permohonan soal
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak
ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
2. Gugatan perceraian diajukan oleh si istri (penggugat) atau
kuasanya ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman
istri (penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami), dan atau bila
penggugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian
diajukan oleh penggugat ke pengadilan agama yang mewilayahi
tempat kediaman tergugat.
Jika suami istri kedua-duanya bertempat kediaman diluar negeri
maka gugatan diajukan oleh istri (penggugat) ke pengadilan agama
yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya
dilangsungkan atau ke pengadilan agama jakarta pusat.
3. Permohonan untuk beristri lebih dari seorang diajukan oleh
pemohon (suami yang bersangkutan) ke pengadilan agama yang
mewilayahi tempat kediaman suami (pemohon).
4. Izin kawin sebagai pengganti izin orang tua/wali/keluarga bagi
calon mempelai (lelaki atau perempuan) yang belum berusia 21
tahun dan tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke

13
pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman calon
mempelai tersebut.
5. Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari
umur 16 tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau kawin
mendahului dari umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan
dispensasi kawin, dia mengajukan permohonan ke pengadilan
agama yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing.
6. Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak
memenuhi syarat syarat perkawinan atau karena alasan lainnya,
diajukan permohonannya kepengadilan agama dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.
7. Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan
perkawinannya oleh PPN (pegawai pencatat nikah) karena menurut
PPN tidak boleh, sedangkan menurut calon boleh, diajukan oleh
sicalon kepengadilan agama yang mewilayahi PPN tersebut.
8. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan kepengadilan agama
yang mewilayahi perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke
pengadilan agama yang mewilayahi suami istri yang bersangkutan,
atau ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman salah
seorang dari suami istri tersebut.
9. Gugatan gabungan (komulasi objektif), misalnya gugatan cerai
yang disertai dengan gugatan yang mengenai akibat dari perceraian
tersebut, maka dilihatlah kepada pokok perkaranya. Dalam hal ini,
pokok perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana berlakulah
ketentuan seperti telah disebutkan dibutir 2. Dimuka.
Demikianlah tempat mengajukan gugatan /permohonan dalam
perkara. Ternyata sebagaian ditemui aturannya didalam UU Nomor
7 tahun 1989 dan sebagian lagi ditemui dalam UU Nomor 1 tahun
1974 jo. PP Nomor 9 tahun 1975.
D. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan Dalam Perkara Selain
Perkara Perkawinan

14
Tempat mengajukan gugatan atau permohonan dalam perkara selain
perkara perkawinan sama dengan tempat mengajukan gugatan atau
permohonan menurut hukum acara perdata pemgadilan negeri, yaitu
sebagai berikut;
1. Asas umumnya diumumnya diajukan ke pengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggal tergugat.
2. Kalau tempat tergugat tidak diketahui, diajukan ke pengadilan
agama yang mewilayahi tempat nyatanya tergugat berdiam
(berada).
3. Jika tergugat lebih dari seorang tidak tinggal dalam satu wilayah
pengadilan agama, diajukan ke pengadilan agama yang mewilayahi
salah satu dari tempat tinggal tergugat menurut yang dipilih oleh
penggugat.
4. Jika tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama dan
penanggung, diajukan ke pengadilan agama tempat tinggal si
perutang yang pertama.
5. Jika tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tinggal
atau tempat tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke pengadilan
agama tempat tinggal penggugat atau salah satu dari penggugat.
6. Jika gugatan mengenai benda tetap (onroerende goederen),
diajukan ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat benda tetap
itu.
7. Kalau penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara
dengan akta secara tertulis, diajukan ke pengadilan agama yang
telah dipilih itu.

15
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua
pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan
perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Sedangkan
permohonan adalah suatu suatu surat permohonan yang didalamnya berisi
tuntutan hak perdata oleh sati pihak yang berkepentingan terhadap suatu
hal yang tidak mengandung sengketa.
Perbedaan dari gugatan dan permohonan yaitu, jika gugatan ada
suatu perkara antara penggugat dan tergugat maka permohonan hanya saru
pihak yang berkepentingan dan tanpa sebuah perkara atau sengketa , dalam
gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutuskan
serta berproduk vonis (putusan), sedangkan dalam permohonan hakim
hanya menjalankan fungsi eksekutif power (administrasi) dan berproduk
beschikking (penetapan), untuk penetapan pada putusan gugatan mengikat
kedua belah pihak (berkekuatan eksekutorial), sedang penetapan pada
permohonan hanya mengikat pemohon saja.

16
DAFTAR PUSTAKA
As-San’any, Muhammad bin Isma’il Al Kahlany, subul as-salam, Dahlan
Bandung, tt.
As-Suyuty, Jalal Ad-Din, Muwatta’ al-Imam Malik, Mustafa al Baby al-
Halaby, Mesir, 1951.
At-Tarablisy,’Alaud ad-Din, 1973. Mu’in al Hukkam, Mustafa al Baby al-
Halaby, Mesir
Al-Haitamy, Ibn Hajar, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj,Mustafa al-
Baby al-Halaby, Mesir, tt.
Ibn Rusyd, 1960. Muhammad ibn Ahmad, Bidayah al-Mujtahid,Mustafa
al-Baby al-Halaby,Mesir.
Ibrahim Hosen, Prof. K.H.,1971. Fiqh Perbandingan, Yayasan Ihya ‘Ulum
ad-din Indonesia, Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai