DisusunOleh :
Hamid Hanafi Hanan (2102016153)
Bagas Titian Gumelang (2102016156)
Luzmil Irsyad (2102016155)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN WALISONGO
2023
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama yang diampu oleh ibu Fithriyatus Sholihah, S.H.I., M.H.. berupa makalah
yang berjudul “Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama dan Kekuasaan Kehakiman”.
Shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai
uswatul hasanah bagi seluruh manusia dan mengemban pencerahan kehidupan. Makalah ini
memaparkan tentang beberapa asas-asas hukum perdata dan asas kekuasaan kehakiman.
Terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah terlibat dalam
pembuatan makalah ini. Kepada teman-teman yang membantu memberikan masukan dan
sumbangan pemikiran kepada kami atas terselesainya tugas ini.
Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan kami sadar bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna, apabila ada kritik dan saran daripembaca, penulis
mengucapkan terimakasih. Karena kritik dan saran dari pembaca dapat menyempurnakan
makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
MAKALAH................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
BAB III.....................................................................................................................................13
PENUTUP................................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan................................................................................................................13
iii
3.2 Saran-saran................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Asas hukum adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi
latar belakang dari peraturan hukum yang pasti (Hukum Positif). Satjipto
Rahardjo mengatakan asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena
merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan
hukum. Asas hukum ini dapat ditemukan disimpulkan langsung ataupun tidak
langsung dalam peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung
unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan.
Asas sebagai pelaksanan kekuasaan kehakiman. Dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan Umum,
lingkungan peradilan Agama/ Mahkamh Syar‟iyah, lingkungan Peradilan
Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Oleh Sebuah Mahkamah
Konstitusi (one roof sistem). Peradilan di Indonesia menerapkan hukum dan
menegakan keadilan berdasarkan Pancasila
Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman pasca Undang-
Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada prinsipnya tugas
Hakim adalah melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi peradilan ini tugas hakim menegakkan
hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam menjatuhkan
putusan Hakim harus memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu
keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit) dan kepastian
(rechsecherheit).
Hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman yang dianggap memahami hukum untuk dapat
menerimam, memeriksa, dan mengadili suatu perkara, sesuai dengan pasal 10
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
4
sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi Hakim untuk dapat
menemukan hukum, baik melalui hukum tertulis maupun tidak tertulis untuk
memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana
dan bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tugasnya Hakim haruslah
memakai asas-asas kekuasaan kehakiman (berlaku juga untuk hukum acara PA),
maka dari itu dalam makalah ini akan di bahas mengenai asas-asas kekuasaan
kehakiman.
Apa saja yang termasuk asas-asas kekuasaan kehakiman (berlaku juga untuk
hukum acara PA).?
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
5
2.1 Asas Personalitas Keislaman
6
Lebih lanjut Seno Adji menyebutkan ada tiga ciri khusus konsepsi negara
hukum yaitu:
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi di bidang politik, hokum, social,
ekonomi, budayadan pendidikan.
2. Legalitas dalam arti hukum dalam sejarah. Tidak bersifat memihak, bebas
dari segala pengaruh kekuasaan lain
Dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka diwajibkan
kepada hakim untuk selalu menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan
tugas dan fungsinya (pasal 3 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman).
Berdasarkan penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan kemandirian Hakim
adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan
baik fisik maupun psikis.5 Kebebasan Hakim dalam pelaksanaan tugas peradilan
Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan apapun, bahkan ketua hakim
pengadilan yang lebih tinggi, tidak berhak untuk ikut campur dalam soal peradilan
yang dilaksanakannya.6
Asas dari hukum acara perdata (sebagaimana halnya asas hukum acara pada
umumnya) bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan,
sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan. Ini berarti bahwa
apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau gugatan akan diajukan
atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan (yang
merasa dirugikan). Kalau tidak ada gugatan atau penuntutan, tidak ada hakim. Jadi,
yang mengajukan gugatan adalah pihakpihak yang berkepentingan, sedangkan
hakim bersikap menunggu diajukannya suatu perkara atau gugatan (periksa Pasal
118 HIR, Pasal 142 RBg). Ini berarti bahwa hakim tidak boleh aktif mencari- cari
perkara (menjemput bola) di masyarakat, sedangkan yang menyelenggarakan proses
adalah negara. Akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, hakim tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apa pun Undang-
Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5
R. Benny Riyanto, Hukum Acara Perdata: Permulaan Proses Di Pengadilan (Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2009).
6
Siti Zubaidah, ‘Memaknai “Freedom of Judge” Dalam Kewenangan Hakim’, 2019.
7
2.4 Asas Hakim Bersifat Pasif
Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para
pihak. Dalam pembuktian para pihaklah yang diwajibkan membuktikan dan bukan
hakim, hakim hanya menilai siapa di antara para pihak yang berhasil membuktikan
kebenaran dalilnya dan apa yang benar dari dalil yang dikemukakan pihak
tersebut.
Dalam beracara dengan HIR/RBg, hakim Indonesia harus aktif sejak perkara
dimasukkan ke pengadilan, memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan,
membantu para pihak dalam mencari kebenaran, penjatuhan putusan, sampai
dengan pelaksanaan putusannya (eksekusi). Karena dalam sistem HIR/RBg tidak
ada keharusan menunjuk kuasa hukum, seorang yang buta hukum pun dapat
menghadap sendiri ke muka pengadilan.
Keharusan hakim aktif dalam beracara dengan HIR/RBg mulai tampak pada
saat penggugat mengajukan gugatannya. Pasal 119 HIR, 143 RBg menentukan
bahwa ketua pengadilan negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan
7
‘Putusan MA’, 21 Februari tahun 1970. Nomor 339 K/Sip/1969, JJ. Pen.I/70, hlm. 13.
8
waktu dimasukkannya gugatan tertulis, baik kepada penggugat sendiri maupun
kuasanya. Hal ini tidak berarti bahwa hakim memihak. Di sini, hakim hanya
menunjukkan bagaimana seharusnya bentuk dan isi sebuah surat gugat
9
tujuan negara tercapainya kedamaian. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan
menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seaduil-
adilnya putusan jauh lebih baik dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan
perdamaian, karena karakter didalam persidangan dalam Peradilan pasti ada
menang dan kalah seadil adilnya putusnya hakim akan di rasa tidak adil oleh pihak
yang kalah, dan sebaliknya seadil adilnya putusan akan dirasa adil oleh yang
menang. Untuk itu hasil dari perdamaian yang dihasilkan dari kesadaran kedua
belah pihak merka akan sama-sama merasa menang dan mermasa kalah. Akan
tetapi dalam masalah perceraian perdamaian wajib bagi hakim dimana yang
sifatnya “imperative”8
Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama,
tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membedakan orang sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Hal tersebut mengandung arti bahwa
dalam hukum acara perdata, pihak-pihak beperkara harus sama-sama diperhatikan,
berhak atas perlakuan yang sama dan adil, serta masing-masing harus diberi
kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus
didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem atau eines mannes rede
ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide. Halini berarti bahwa hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak
lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya. Hal ini berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di
muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 158 ayat (1) dan ayat
(2))
8
R. Benny Riyanto, Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Bisnis (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2009).
10
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan,
pemberitahuan para pihak, serta biaya materai. Di samping itu, apabila diminta
bantuan seorang pengacara, harus dikeluarkan biaya. Sebagai contoh, Pengadilan
Negeri Baturaja dalam putusannya pada 6 Juni 1971 Nomor 6/1971/Pdt
menggugurkan gugatan penggugat karena penggugat tidak menambah uang muka
biaya perkaranya sehingga penggugat tidak lagi meneruskan gugatannya.
Akan tetapi, mereka yang memang benar-benar tidak mampu membayar biaya
perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara18 dan dengan
melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat.
Adapun yang dimaksud dengan pejabat setempat dalam praktik adalah camat yang
membawahkan daerah tempat tinggal dari orang yang berkepentingan.
Permohonan akan ditolak oleh ketua pengadilan negeri apabila pihak yang
berkepentingan bukan orang yang tidak mampu.
Selanjutnya, mereka yang benar-benar tidak mampu dan kurang mengerti
hukum pada saat ini dapat pula meminta bantuan hukum dengan cuma-cuma
kepada lembaga-lembaga atau biro-biro bantuan hukum yang ada di lingkungan
fakultas hukum universitas-universitas negeri ataupun swasta serta yang bernaung
di bawah organisasi-organisasi sosial dan politik, seperti Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Peradin, Lembaga Konsultasi dan Penyuluhan Hukum (LPPH) di
bawah naungan Golongan Sosi, Lembaga Bantuan Hukum MKGR, dan lain-lain.
Selain hakim dalam putusan harus menunjuk dasar hukum yang dipakai
sebagai dasar putusannya, hakim harus pula memutus semua tuntutan dari pihak
(Pasal 178 ayat (2) HIR, 189 ayat (2) RBg). Misalnya, penggugat mengajukan
tuntutan-tuntutan 1) tergugat dihukum mengembalikan utangnya; 2) tergugat
dihukum membayar ganti rugi; 3) tergugat dihukum membayar bunga maka tidak
satu pun dari tuntutan tersebut boleh diabaikan oleh hakim.
Mengenai hakim akan menolak atau mengabulkan tuntutan tersebut, hal itu
tidak menjadi masalah, tergantung dari terbukti atau tidaknya hal-hal yang dituntut
tersebut.
11
Meskipun hakim harus memutus semua tuntutan yang diajukan oleh penggugat
dalam gugatannya, hakim tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang
dituntut, Pasal 178 ayat (3) HIR, 189 ayat (3) HIR.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam hakim memutus menurut hukum
adat maka putusan hakim harus ”tuntas”. Itu artinya bahwa putusan hakim tersebut
harus sungguh- sungguh menyelesaikan atau menyudahi masalah atau sengketa
antara para pihak itu. Oleh karena itu, putusan hakim Indonesia biasa disebut atau
merupakan bemiddelende vonnis (putusan antara).9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
12
1. Asas personalitas keislaman (Pasal 2 jo Pasal 49 UU Peradilan Agama);
2. Asas hukum yang berlaku adalah hukum Islam (Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 49
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama );
3. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 57 ayat (3) UU.
No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama);
4. Asas equality before the law atau asas persamaan hak di muka hukum (Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman jo Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
Tentang Peradilan Agama);
5. Asas beracara dikenakan biaya (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR jo Pasal
145 ayat (4), 192, 193, 194 Rbg);
6. Asas hakim bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan gugatan
dan menjawab gugatan diserahkan sepenuhnya kepada penggugat dan
tergugat atau pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Asas hakim bersifat aktif, artinya sejak awal sampai akhir persidangan,
hakim membantu pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang
No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama);
8. Asas persidangan bersifat terbuka untuk umum (Pasal 18, 19 Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal
59 ayat (1) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama);
9. Asas tidak wajib diwakilkan, artinya para pihak yang berperkara tidak
diharuskan mewakilkan kepada penasehat hukum atau advokat;
10. Asas audi et alteram partem artinya hakim mendengar dari kedua belah
pihak (Pasal 121 ayat (2), 132 a HIR jo. Pasal 142, dan 145 Rbg);
11. Asas beracara boleh diwakilkan (Pasal 123 HIR jo. Pasal 142 ayat (2) dan
147 Rbg);
12. Asas hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa (Pasal
130 HIR jo Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
13
Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 50 Tahun
2009 Tentang Peradilan Agama );
13. Asas putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau dasar hukum (Pasal
19 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 62 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama, Pasal 184 ayat (1), 319 ayat (2) HIR);
14. Asas putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal
20 UNDANG-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 60 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama ).
Namun dalam makalah ini penulis belum bisa menyebutkan ke-14 asas
tersebut karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki. Maka dari itu
penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.
3.2 Saran-saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2008)
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001)
15