Anda di halaman 1dari 13

PRODUK BADAN PERADILAN AGAMA

(Penetapan, Putusan, Isi Putusan dan Produk Peradilan Agama dalam Pembinaan
Hukum Nasional)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Peradilan Agama di Indonesia

Dosen Pengampu Agus Wahyudi, SHI., MH

Disusun oleh :

Kelompok 11

Umniatul Aula 202121010

Lintang Ardito R. 202121028

KELAS 5A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada kami. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad Saw., karena
dengan risalah yang beliau sampaikan merupakan bentuk petunjuk bagi umat manusia untuk
mengarahkan dan membimbing jalannya kehidupan di dunia maupun di akhirat. Semoga kita
termasuk dalam golongan umat Beliau yang bisa mendapatkan syafa’atnya kelak di hari akhir.
Atas pertolongan Allah yang Maha Kuasa, Alhamdulillah kami dari kelompok sebelas yang
mendapatkan tugas mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Produk Badan Peradilan Agama (Penetapan, Putusan, Isi Putusan dan Produk
Peradilan Agama dalam Pembinaan Hukum Nasional)”. Makalah ini dibuat sebagai bahan
materi belajar dan presentasi kelompok. Hal ini ditujukan untuk menambah wawasan ilmu
pengetahuan bagi pemateri dan pembaca.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Agus Wahyudi, SHI., MH. yang telah
memberikan tugas ini, sehingga bisa menambah wawasan bagi kami, khususnya pembuat
makalah dan teman-teman yang terlibat dalam diskusi. Kami berusaha mencari, memahami
dan menulis materi berdasarkan buku, jurnal dan media lainnya sehingga memberikan banyak
kemanfaatan bagi kami. Dalam pembuatan makalah ini, penyusun menyadari masih terdapat
banyak kekurangan dan memerlukan koreksi baik dari segi kepenulisan maupun isi pokok
bahasan. Oleh karena itu, kami memerlukan kritik dan saran yang membangun guna pembuatan
makalah yang lebih baik di masa mendatang.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Surakarta, 26 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Penetapan ..................................................................................................................... 2
B. Putusan ......................................................................................................................... 2
C. Isi Putusan .................................................................................................................... 7
D. Produk Peradilan Agama dalam Pembinaan Hukum Nasional .................................... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 9
B. Saran ............................................................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan wadah bagi umat islam Indonesia dalam
merealisasikan keadilan sesuai dengan hukum islam atau syariat islam. Peradilan Agama
berkuasa atau berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata
orang islam.1 Kewenangan ini diatur dalam pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang pada pokoknya
menangani perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syariah. Hakim akan memutus suatu perkara dengan hasil akhir yang berbentuk
putusan maupun penetapan.
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak dan dapat dimaknai beragam
tergantung pada paradigma seseorang dalam memandang keadilan itu sendiri. Adil bagi
sesorang belum tentu adil bagi orang lain. Keadilan dalam suatu putusan hakim merupakan
suatu pertimbangan hukum dalam memutus suatu perkara sesuai pedoman hukum. Hakim
dituntut untuk bijaksana dalam memandang nilai-nilai keadilan dalam penegakan hukum.
Rujukan pada undang-undang dan nilai-nilai hidup manusia menjadi tolak ukur suatu
putusan maupun penetapan hakim.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari penetapan?
2. Apa pengertian putusan hakim?
3. Bagaimana isi putusan hakim dalam suatu peradilan?
4. Apa saja produk peradilan agama dalam pembinaan hukum nasional?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi atau pengertian penetapan
2. Mengetahui pengertian putusan hakim
3. Mengetahui isi maupun bentuk putusan hakim dalam suatu peradilan
4. Mengetahui produk peradilan agama dalam pembinaan hukum nasional.

1
Nur Aisyah, “Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal Al-
Qadau Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, Volume 5 Nomor 1 juni 2018, hlm. 73-92

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penetapan
Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara permohonan atau voluntair (pasal 60 UU No. 7 tahun 1989). Penetapan disebut
juga Al-isbat atau beschiking yaitu produk peradilan agama dalam arti bukan peradilan
yang sesungguhnya (karena hanya ada pemohon yang memohon untuk ditetapkan tentang
sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan), yang diistilahkan dengan juridictio
Voluntaria. Dictum penetapan tidak berbunyi “menghukum” melainkan “menetapkan”,
dalam hal ini hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).2
Contoh produk penetapan hakim dalam Peradilan Agama adalah perkara dispensasi
nikah, izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah dan sebagainya.3 Sebelum
dikeluarkannya penetapan oleh hakim, pemohon mengajukan permohonan atas perkara
yang akan diajukan ke pengadilan. Bentuk dan isi penetapan diantaranya yaitu:
1. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapannya memuat identitas
pemohon. Kalaupun dimuat identitas termohon, termohon disitu bukanlah pihak
2. Tidak ada ditemui kata-kata “Berlawanan dengan” seperti pada putusan
3. Tidak ditemui kata-kata “Tentang duduk perkaranya”, melainkan langsung diuraikan
isi permohonan pemohon
4. Amar hanya bersifat declaratoir atau constitutoire
5. Didahului kata “Menetapkan”
6. Biaya perkara dibebankan pada pemohon
7. Dalam penetapan tidak mungkin ada rekonvensi atau intervensi.
B. Putusan
Pasal 60 UU No. 7 Tahun 1989 mengenai definisi putusan. Putusan adalah
keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Putusan
disebut juga dengan Vonis atau Al-Qada’u merupakan suatu pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa

2
Sulaikin Lubis. dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 159.
3
Nur Aisyah, “Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal Al-
Qadau Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, Volume 5 Nomor 1 juni 2018, hlm. 73-92

2
(kontentius).4 Putusan peradilan selalu membuat perintah dari pengadilan kepada pihak
yang kalah untuk melakukan sesuatu atau membuat sesuatu atau melepaskan sesuatu atau
menghukum sesuatu. Dictum vonis selalu bersifat kondemnatoir (menghukum) atau
constitutoir (menciptakan).
Macam-macam putusan:
1. Berdasarkan fungsi dalam mengakhiri perkara
a. Putusan akhir
Merupakan putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah
melalui semua tahap pemeriksaan atau belum. Contoh putusan yang dijatuhkan
sebelum sampai tahap akhir pemeriksaan adalah putusan gugur, putusan verstek
yang tidak diajukan verzet, putusan tidak diterima dan putusan yang menyatakan
pengadilan agama tidak berwenang memeriksa. Semua putusan akhir dapat
diajukan banding kecuali Undang-undang menentukan lain.
b. Putusan sela
Merupakan putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara
dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan (putusan tidak
mengakhiri pemeriksaan). Putusan sela tidak dapat dinyatakan banding kecuali
bersama-sama dengan putusan akhir (pasal 201 RBg/Pasal 9 ayat (1) UU No.
20/1947). Hal yang membutuhkan putusan sela diantaranya: pemeriksaan prodeo.
Pemeriksaan eksepsi tidak berwenang, sumpah suppletoir, sumpah decisoir,
sumpah penaksir (taxatoir), gugat provisional dan gugat insidentil (intervensi).
Beberapa nama putusan sela menurut Rv:
1) Putusan praeparatoir yaitu putusan sela yang merupakan persiapan putusan
akhir tanpa mempunyai pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir,
contohnya putusan tentang penggabungan perkara, penolakan pengunduran
pemeriksaan saksi.
2) Putusan interlocutoir yaitu putusan sela yang isinya memerintahkan
pembuktian, misalnya perintah untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksan objek
sengketa.
3) Putusan insidentil yaitu putusan sela yang berhubungan dengan insiden
(peristiwa yang untuk sementara menghentikan pemeriksaan tetapi belum

4
Sulaikin Lubis. dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 146.

3
berhubungan dengan pokok perkara). Contohnya putusan tentang gugat prodeo,
eksepsi tidak berwenang dan gugat insidentil
4) Putusan provisional yaitu putusan sela yang menjawab gugat provisional.
2. Berdasarkan hadir tidaknya para pihak
a. Putusan gugur (pasal 124 HIR /Pasal 148 RBg)
Merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan atau permohonan gugur
karena penggugat atau pemohon tidak hadir. Dijatuhkan di sidang pertama atau
sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan atau permohonan. Putusan gugur
dapat dijatuhkan jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Penggugat / pemohon telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir dalam
sidang hari itu
2) Penggugat/ pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula
mewakilkan orang lain untuk hadir serta tidak pula ketidakhadirannya itu karena
sesuatu halangan yang sah
3) Tergugat / termohon hadir dalam persidangan
4) Tergugat / termohon mohon keputusan
5) Tergugat / termohon adalah tunggal

Dalam hal penggugat/pemohon tidak tunggal dan tidak hadir semua, maka dapat di
jatuhkan putusan gugur. Dalam putusan gugur juga penggugat/pemohon dihukum
membayar biaya perkara dan terhadap putusan ini dapat dimintakan banding atau
diajukan lagi perkara baru.

b. Putusan verstek / tergugat tidak hadir (pasa 125 HIR/ Pasal 49 RBg)

Merupaka putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun


telah dipanggil secara resmi. Putusan versek dapat dijatuhkan jika telah memenuhi
syarat sebagai berkut:

1) Tergugat tekah dipanggil secara resmi dan patut


2) Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain dan
tidak pula ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah
3) Tergugat tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi
4) Penggugat hadir di persidangan
5) Penggugat mohon keputusan

4
3. Berdasarkan isi terhadap gugatan/perkara 5
a. Niet Onvankelijk Verklaart (N.O)
Maksudnya adalah putusan ini tidak dapat diterima gugatannya karena adanya
alasan yang dibenarkan oleh hukum. Diantaranya yaitu: gugatan tidak berdasarkan
hukum, gugatan tidak memmpunyai kepentigan hukum secara langsung yang
melekat pada diri penggugat, gugatan kabur (obsucur libel), gugatan masih
premature, gugatan Nebis in idem, gugatan eror in persona, gugatan telah lampau
waktu (daluwarsa) dan pengadilan tidak berwenang mengadili.
b. Gugatan dikabulkan
Yaitu apabila suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan dapat dibuktikan
kebenaran dalil gugatannya. Jika terbukti keseluruhan maka gugatan tersebut
dikabulkan seluruhnya. Jika sebagian saja yang terbukti, maka gugatan dikabulkan
sebagian.
c. Gugatan ditolak
Yaitu putusan yang perkaranya telah diperiksa dan setelah diperiksa terbukti dalil
gugatannya tidak beralasan atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya
d. Gugatan didamaikan
Yaitu apabila pihak yang berperkara berhasil didamaikan, maka hakim
menyarankan agar gugatannya dicabut dan hakim menjatuhkan putusan perdamaian
dalam bentuk akta perdamaian.
e. Gugatan digugurkan
Yaitu apabila penggugat telah dipanggil secara resmi, patut dan tidak hadir
menghadap Pengadilan pada saat hari yang telah ditentukan tanpa menyuruh orang
lain sebagai wakilnya sedangkan pihak tergugat hadir, maka dalam hal ini gugatan
penggugat terhadap tergugat dinyatakan gugur dan dihukum untuk membayar
ongkos perkara
f. Gugatan dibatalkan
Yaitu apabila penggugat pernah hadir dalam sidang pegadilan, kemudian pada
sidang-sidang selanjutnya tidak pernah hadir lagi. Maka panitera wajib
memberitahukan kepada penggugat agar ia hadir untuk membayar ongkos perkara
ditambahkan sesuai yang ditetapkan. Apabila dalam tempo satu bulan sejak tanggal

5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005),
hlm.297-299

5
pemberitahuan tersebut penggugat tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan
dibatalkan.
g. Gugatan dihentikan (aan hanging)
Yaitu penghentian gugatan yang disebabkan karena adanya perselisihan
kewenangan mengadili antara pengadilan agama dan pengadilan negeri.
4. Berdasarkan sifat terhadap akibat hukum yang ditimbulkan
a. Putusan declaratoir
Putusan pengadilan yang amarnya menyatakan suatu keadaan dimana keadaan
tersebut dinyatakan sah menurut hukum. Putusan deklataoir tidak memerlukan
eksekusi, putusan ini tidak mengubah atau menciptakan hukum baru melainkan
hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada.
Semua perkara voluntair diselesaikan dengan bentuk penetapan atau beschiking
yang biasanya berbunyi “menyatakan”.
b. Putusan constitutive
Putusan yang bersifat menciptakan atau menimbulkan hukum baru, berbeda dengan
keadaan hukum sebelumnya. Contohnya putusan perceraian, putusan pembatalan
perkawinan. Dari contoh dapat dilihat bahwa terjadi perubahan keadaan hukum
seseorang, sebelum diputus cerai, status para pihak masih suami isteri, sebelum
dibatalkan perkawinan, perkawinan itu masih dianggap sah.
c. Putusan condemnatoir
Putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk untuk memenuhi suatu
prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Putusan condemnatoir selalu berbunyi
“menghukum”. Putusan ini memerlukan eksekusi apabila pihak terhukum tidak
mau melaksanakan isi putusan dengan sukarela. Putusan ini dapat berupa hukuman
untuk menyerahkan suatu barang, membayar sejumlah uang, melakukan suatu
perbuatan tertentu, menghentikan suatu perbuatan atau keadaan dan mengosongkan
tanah atau rumah.6

6
Sulaikin Lubis. dkk, Hukum Acara Perdata peradilan Agama di Indonesia, hlm. 152-153.

6
C. Isi Putusan
Diatur dalam HIR pasal 178, 182, 183, 184 dan 185. Pengaturan secara khusus
tentang putusan pengadilan agama diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagai berikut:7
1. Bagian kepala putusan
Putusan harus memuat kepala putusan yang meliputi “Putusan”. Kemudian diikuti
dibawahnya dengan nomor putusan (diambil dari nomor perkara) lalu dilanjutkan
dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” (sesuai pasal 57 ayat 2 UU No. 7 Tahun
1989, sebagai dasar ideologis). Kemudian dilanjutkan dengan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” (sebagai dasar Filosofis)
2. Nama pengadilan agama yang memutus dan jenis perkara
Misalnya Pengadilan Agama Surakarta yang memeriksa perkara gugat cerai pada
pengadilan tingkat pertama.
3. Identitas pihak-pihak
Minimal harus mencantumkan nama, alamat, umur, agama, dan dipertegas dengan
status para pihak sebagai penggugat dan tergugat.
4. Duduk perkaranya (bagian posita)
Memuat tentang uraian lengkap isi gugatan, pernyataan sidang dihadiri para pihak,
pernyataan upaya perdamaian, uraian jawaban tergugat, uraian replik, uraian duplik,
uraian kesimpulan para pihak dan pembuktian para pihak.
5. Tentang pertimbangan hukum
Biasanya dimulai dengan kata-kata “menimbang……. dan seterusnya”. Hakim harus
mempertimbangkan peristiwa, dalil gugatan, bantahan, eksepsi tergugat, pasal-pasal
tertentu dari peraturan perundang-undangan maupun hukum tidak tertulis, serta
dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada. Setelahnya hakim menarik kesimpulan
tentang terbukti atau tidaknya gugatan tersebut.
6. Dasar hukum
7. Diktum atau amar putusan
Diuraikan mengenai perkara tersebut di kabulkan, di tolak atau tidak diterima.
8. Bagian kaki putusan
Memuat kapan putusan dijatuhkan dan dibacakan, kehadiran para pihak.
9. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya

7
Sudirman, Hukum Acara Peradilan Agama, (Sulawesi Selatan: IAIN Parepare Nusantara Press, 2021), hlm.
111-113.

7
D. Produk Peradilan Agama dalam Pembinaan Hukum Nasional
1. Volunter (bentuk perkara permohonan tanpa adanya lawan dan produknya adalah
penetapan)
a. Penetapan dispensasi kawin bagi anak dibawah umur (pasal 7 ayat (2) UU
No.1/1974)
b. Isbat nikah untuk perkawinan yang tidak dicatatkan (penjelasan pasal 49 angka 37
UU No. 3/2006)
c. Penetapan wali adhal (Peraturan Menteri Agama No. 2/1987 Pasal 2 ayat 3
d. Penentuan ahli waris (penjelasan pasal 49 angka 37 UU No. 3/2006)
e. Penetapan kuasa/wali untuk menjual harta warisan, termasuk hak milik lainnya
yang dimiliki anak yang belum dewasa
f. Penetapan asal usul anak
g. Penetapan pengangkatan anak
h. Penetapan penunjukan seorang wali dalam hal anak yang belum cukup umur 18
tahun yang ditinggal mati kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali
dari orang tuanya
i. Perubahan biodata pada buku nikah (pasal 34 ayat 1 PMA No. 19/2018)
j. Mafqud (49 UU No. 3/2006)
k. Isbath rukyat hilal (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006)
2. Contensius (bentuk perkara gugatan / ada sengketa didalamnya dan produk putusannya
adalah vonis)
Macam-macam perkara Contensius yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama
berdasarkan UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
peradilan Agama diantaranya: perkawinan UU No. 1/1974, kewarisan, wakaf, Zakat,
Infaq, Shodaqoh, Hibah, Wasiat dan Ekonomi syariah.8

8
Sumber Hukum dan Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama, 2019, situs:
http://www.pa-magetan.go.id dikunjungi 26 September 2022, 14.51

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Peradilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara perdata orang islam. Kewenangan ini diatur dalam pasal 49 UU Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang pada
pokoknya menangani perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah dan ekonomi syariah. Hakim akan memutus suatu perkara dengan hasil akhir
berbentuk putusan maupun penetapan. Putusan merupakan suatu pernyataan hakim yang
dituangkan adalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa
(kontentius). Sedangkan penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil
dari pemeriksaan perkara permohonan atau voluntair.
B. Saran
Putusan pengadilan hendaknya memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum, serta memuat landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis sehingga sistematik dan
komprehensif. Segala upaya hukum yang dilakukan di proses pengadilan, efektivitasnya
masih harus ditentukan kemudian melalui pelaksanaan putusan hakim atau eksekusinya.
Sudah sepantasnya bagi warga negara Indonesia untuk patuh hukum dan menyadari
bahwasanya negara Indonesia adalah negara hukum yang menerapkan adanya hukum
positif.

9
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Nur, “Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam di
Indonesia”, Jurnal Al-Qadau Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, Volume 5 Nomor
1 juni 2018.
Lubis, Sulaikin. dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Jakarta:
Kencana, 2005.
Sudirman, Hukum Acara Peradilan Agama, Sulawesi Selatan: IAIN Parepare Nusantara Press,
2021.
Sumber Hukum dan Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif di Pengadilan Agama, 2019,
situs: http://www.pa-magetan.go.id dikunjungi 26 September 2022, 14.51

10

Anda mungkin juga menyukai