Nama Kelompok:
1.
1.
Umi Arifaini
NIM: 19070035
NIM: 19070037
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penyusun meneyelesaikan tugas kelompok dengan judul “ Hakim pada badan
peradilan di Indonesia ” dalam waktu ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas terstruktur yang diberikan. Maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini
adalah sebagai salah satu panduan mahasiswa dan mahasiswi khususnya di dalam
mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia .
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan-kesalahan, baik dari segi pengetikan maupun materi yang
disajikan. Oleh sebab itu, saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya
membangun sangat diharapkan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya. Tidak lupa pula penyusun haturkan permohonan maaf sebesar-
besarnya apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kata-kata yang tidak
berkenan di hati pembaca dan tidak sesuai, karena penyusun hanya manusia biasa dan
kesempurnaan hanya milik Allah.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.......................................................................................................1
2. Rumusan Masalah..................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
1. Syarat-syarat Pemberhentian Hakim.....................................................................2
2. Tugas dan Wewenang Hakim................................................................................3
3. Peran Hakim dalam Menegakkan Supermasi Hukum di Indonesia......................5
4. Lembaga Pengawasan Hakim (Komisi Yudisial)..................................................7
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakim merupakan salah satu unsur terpenting dalam lembaga peradilan (agama).
Ia memainkan peranan yang sangat penting dalam melaksanakan pemberlakuan
hukum Islam dan merupakan orang yang paling bertanggungjawab sepenuhnya dalam
menjaga dan mempertahankan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa syarat-syarat pemberhentian Hakim?
2. Apa tugas dan wewenang Hakim?
3. Bagaimana peran Hakim dalam menegakkan supermasi hokum (hokum
dan keadilan) di Indonesia?
4. Apa yang dimaksud dengan lembaga pengawasan hakim (komisi
yudisial)?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Pemberhentian Hakim
1. Gila. Jika seorang hakim terkena penyakit gila secara terus menerus, maka
dengan sendirinya dia telah berhenti dari jabatan hakim tersebut.1
2. Sakit. Yang dimaksud sakit di sini adalah sakit yang menyebabkan hakim
tersebut cacat, sehingga ia tidak mampu lagi bergerak dan
menghalanginya untuk menjatuhkan putusan. Sakit seperti ini dapat
menyebabkan seseorang tidak lagi menjadi hakim dengan sendirinya jika
tidak ada harapan sembuh. Tetapi jika sakit tersebut mempunyai harapan
sembuh atau sakitnya itu hanya membuatnya tidak mampu bergerak tetapi
tidak menghalanginya untuk menjatuhkan putusan, maka ia tidak terpecat
dengan sendirinya.
3. Mengingkari jabatan hakim. Jika seorang hakim mengingkari jabatannya,
misalnya ia mengaku bukan hakim tanpa ada sebab yang
membolehkannya untuk menyembunyikan jabatan tersebut, maka dengan
sendirinya ia telah terpecat. Berbeda halnya jika pemerintah yang
menafikan bahwa ia bukan seorang hakim, maka ia tidak akan terpecat
dengan sendirinya.
4. Fasik. Jika seorang hakim menjadi fasik, maka dengan sendirinya ia telah
terpecat dan putusan yang telah dijatuhkannya tidak boleh dilaksanakan.2
1
Muhammad al-Khatab asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi
wa Awladuh, 1958) jilid IV, h. 380.
2
Ibid, h.381
2
keadaan tersebut dapat menyebabkan dua hal. Pertama, hakim dipecat dengan
sendirinya. Kedua, hakim dipecat oleh pemerintah.
3
16) Membantu Ketua Pengadilan Agama dalam upaya untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan
17) Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh atasan. 3
Abu Ya`la al-Farra mengatakan bahwa secara umum ada sepuluh kewenangan
yang dimiliki oleh hakim dalam menyelesaikan perkara, yaitu:
4
Dari sepuluh kompetensi hakim yang telah dipaparkan di atas, dapatlah kita
mengetahui bahwa kewenangan yang diberikan kepada seorang hakim tidak hanya
terletak dalam menyelesaikan sebuah persengketaan semata, akan tetapi, lebih dari
pada itu juga punya kewajiban untuk memperhatikan aspek kehidupan manusia
terutama orang-orang yang lemah. Oleh karena itu, sangat wajar apabila para ulama
memberikan persyaratan yang begitu ketat bagi seorang hakim.
1) Wewenang hakim yang terbatas pada dua orang yang sedang berperkara
dalam kasus tertentu, maka hakim tersebut tidak boleh mengadili selain
keduanya. Kompetensi hakim terhadap keduanya masih diakui selama
keduanya masih berperkara. Sehingga apabila putusan telah dijatuhkan
bagi keduanya, maka wewenang sang hakim secara otomatis hilang.
2) Wewenang khusus berdasarkan materi hukum, seperti pengkhususan
hakim terbatas pada hutang-piutang, perkawinan atau sejumlah harta.5
Hakim memegang peranan yang sangat penting. Ia sebagai penegak hukum dan
keadilan, serta pejabat negara yang mempunyai tugas mulia dalam mewujudkan
negara hukum, memberikan kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat
melalui putusan hukumnya di pengadilan. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa
hukum materiil yang dipergunakan hakim di Pengadilan tertentu masih banyak yang
belum diwujudkan dalam bentuk UU. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan
4
Al-Mawardi,Al-Ahkam Al-Sultaniyyah (Banten:Qisti Press, 2014), h. 73
5
Ketika seorang kepala negara mengangkat seorang menjadi hakim, ia berhak menentukan
jenis-jenis perkara yang dapat diputuskan oleh hakim tersebut, misalnya, terbatas hanya pada kasus
kekeluargaan saja atau hanya perkara-perkara pidana. Maka hakim tersebut tidak sah memutuskan
perkara dalam jenis yang tidak termasuk wewenangnya, baik dalam daerahnya apalagi daerah orang
lain. Lihat penjelasan ini dalam T. M. Hasbi ash-Shiddiqiey, Peradilan dan hukum Acara Islam
(Bandung: Al-Ma`arif, t. t.), h. 45.
5
memutuskan perkara, hakim harus senantiasa mendasarkan pada hukum yang berlaku
dalam arti luas, yang meliputi; UU sebagai hukum positif, kebiasaan yang hidup di
dalam masyarakat, yurisprudensi, serta pendapat para ahli (doktrin hukum).
Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait
dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang
paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan
keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni
undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak
bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang
hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. Artinya untuk melaksanakan peran tersebut, hakim
harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Tugas hakim bukan hanya sebagai penerap hukum (Undang-undang) atas perkara-
perkara di Pengadilan atau 'agent of conflict". Tetapi seharusnya juga mencakup
penemuan dan pembaruan hukum. Hakim yang ideal, selain memiliki kecerdasan
yang tinggi, juga harus mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu
mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun
6
dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui setiap putusan yang
dibuatnya. Karena pada hakikatnya, mahkota seorang hakim itu bukan pada palunya,
melainkan pada bobot atau kualitas dari putusan yang dihasilkan.
Bukankah filosof Taverne, dulu pernah berkata: "Berikan saya seorang jaksa dan
seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan hukum yang paling buruk pun,
niscaya akan menghasilkan putusan yang adil". Tugas menemukan hukum terhadap
suatu perkara yang sedang diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang
paling dilaksanakan. Meskipun para hakim dianggap tahu hukum (ius curianovit),
sebenarnya para hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai
macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. (Agus, 2008). 6
6
https://media.neliti.com/media/publications/18014-ID-peranan-hakim-dalam-upaya-
penegakkan-hukum-di-indonesia.pdf. Diakses pada: Minggu, 3 Oktober 2021, pukul 22;49 WIB
7
institusi peradilannya. Gagasannya adalah terkait perlunya sebuah lembaga
pengawasan eksternal selain pengawasan internal yang memantau dan memonitor
perilaku para hakim terkait penjatuhan putusan terhadap suatu perkara tetapi tidak
mencampuri materi perkara agar tidak tumbang tindih dengan peradilan banding. 7
Pemikiran itulah yang menginspirasi berdirinya Komisi Yudisial. Gagasan yang
melembagakan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal merupakan
solusi atas tidak efektinya pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung sendiri. Mas Achmad Santoso mempermasalahkan lemahnya pengawasan
internal di lingkungan Mahkamah Agung disebabkan antara lain: (1) kualitas dan
integritas pengawas yang tidak memadai; (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak
transparan; (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses, serta hasilnya; (4) semangat membela
sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak
seimbang dengan perbuatan; (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan
lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.8
7
Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz; Memoar 930 Hari di
Puncak Gedung Bundar, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 26-30.
8
Mas Achmad Santoso, Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, KOMPAS, 2 Maret 2005,
dalam Bunyamin Alamsyah, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia,
9
M. Busyro Muqoddas, Peran Komisi Yudisial dalam Transformasi dan Reformasi Peradilan
(Kendala dan Prospek), dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2008), hlm. 237
8
UUD 1945 telah mengkonstruksi Komisi Yudisial yang bertugas untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Secara
eksplisit dapat ditafsirkan bahwa pengawaan Komisi Yudisial terhadap hakim
dilakukan dalam konteks upaya preventif dan upaya represif. Fungsi menjaga sebagai
upaya preventif dilaksanakan melalui bentuk kegiatan memberikan pendidikan calon
hakim serta pendidikan dan latihan hakim secara berkala. Sedangkan fungsi
menegakkan merupakan upaya represif dalam mewujudkan terciptanya kehormatan
dan keluhuran hakim. Menegakkan mengandung arti pendisiplinan sehingga dalam
praktiknya diikuti dengan penjatuhan sanksi.10 Dari perspektif yang berbeda, fungsi
Komisi Yudisial sebagai pengawasan itu dimaknai secara progresif dan dinamis.
Artinya fungsi pengawasan itu dilihat sebagai pengawasan yang bersifat represif
(posteriori) yang dilakukan setelah diketahui adanya tindakan penyimpangan atau
pelanggaran hakim dan preventif (a posteriori) yang dilakukan sebelum untuk
mencegah penyimpangan itu terjadi.11
10
Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi Yudisial,
(Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia), hlm 8-9.
11
Suparman Marzuki, Pengawasan Hakim Untuk Peradilan Yang Fair, dalam Membumikan
Tekad Menuju Peradilan Bersih, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2011), hlm. 59.
9
Yudisial di Indonesia relevan dengan model Eropa Selatan yang menjalankan
tindakan disiplin terhadap hakim dalam rangka menjaga kemandirian pengadilan.
BAB III
12
Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, (Jakarta: LeIP dan The Asia
Foundation-USAID, 2002), hlm. 11.
10
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim dapat diberhentikan apabila:
a. gila,
b. sakit,
c. mengingkari jabatan hakim, dan
d. fasik
2. Tugas Pokok dan Fungsi Hakim antara lain :
a. Menerima dan meneliti berkas perkara yang akan disidangkan dan
memasukkan dalam buku kalender persidangan
b. Memimpin/mengikuti sidang-sidang sebagai ketua majelis/anggota
c. Selaku Ketua Majelis menetapkan Hari Sidang
d. Menetapkan Sita Jaminan atas perkara yang ditangani
e. Mengonsep Putusan/Penetapan dan memarafnya
f. Meneliti ketikan Putusan/Penetapan dan memarafnya
g. Memonitoring perkara-perkara tundaan yang menjadi wewenangnya
untuk diproses lebih lanjut dengan dibantu oleh Panitera Pengganti
3. Dalam kaitan dengan memutuskan perkara, hakim harus senantiasa
mendasarkan pada hukum yang berlaku dalam arti luas, yang meliputi; UU
sebagai hukum positif, kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat,
yurisprudensi, serta pendapat para ahli (doktrin hukum). Tujuan akhir hukum
adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum
mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling
cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan
keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit,
yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka
hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai
hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-
prinsip keadilan. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
11
4. Akuntabilitas terhadap kinerja hakim dan institusi Mahkamah Agung
merupakan implementasi prinsip checks and balances terhadap institusi
peradilan menjadi gagasan atas dilema konsep independensi kekuasaan
kehakiman. Akuntabilitas tersebut berguna dalam rangka menghilangkan
resiko kemerdekaan hakim tanpa batas yang berpotensi menimbulkan
penyimpangan perilaku dan etika. Kedua, pengalaman pengawasan hakim
dalam masa orde lama hanya menjangkau keprofesionalitasan hakim dalam
memutus perkara, tidak menyangkut perilaku hakim. Ketiga, apabila hakim
terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, penjatuhan
sanksi berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan pemberhentian
tetap tidak dengan hormat, Komisi Yudisial mengusulkannya kepada Majelis
Kehormatan Hakim. Keempat, dalam kerangka checks and balances dan
pembatasan kekuasaan, kewenangan penjatuhan sanksi berupa pemberhentian
tetap dengan hak pensiun dan pemberhentian tetap tidak dengan hormat
menjadi domain Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung dalam wujud
MKH sebagai forum pembelaan diri Hakim Terlapor. Kelima, prestasi Komisi
Yudisial bukanlah banyaknya hakim yang dipecat, melainkan tugas Komisi
Yudisial mengembalikan spirit independensi kekuasaan kehakiman agar
sesuai dengan spirit untuk menegakkan hukum dan keadilan.
12
DAFTAR PUSATAKA
A. Buku
Marzuki, Suparman, 2011. Pengawasan Hakim Untuk Peradilan Yang Fair, dalam
Membumikan Tekad Menuju Peradilan Bersih, Jakarta: Komisi Yudisial
Republik Indonesia.
Saleh, Abdul Rahman, 2008. Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz;
Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
Voermans, Wim, 2002. Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Jakarta:
LeIP dan The Asia Foundation-USAID.
B. Internet
https://media.neliti.com/media/publications/18014-ID-peranan-hakim-dalam-
upaya-penegakkan-hukum-di-indonesia.pdf. Diakses pada: Minggu, 3 Oktober
2021, pukul 22;49 WIB
https://pa-palangkaraya.go.id/tugas-dan-fungsi-jabatan/. Diakses pada: Minggu, 3
Oktober 2021, pukul: 22:33 WIB