Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Hukum Arbitrase Bisnis Syariah

Dosen pengampu:
Rani Eka Andatu, S.E.I, M.E

Disusun Oleh :
1. Ahmad Leo (21631005)
2. Dela sari ( 21631016)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr., Wb.

Segala puji atas kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul : “Hukum arbitrase
bisnis syariah” yang dibimbing oleh Ibu Rani Eka Andatu, S.E.I, M.E sebagai dosen pengampu
mata kuliah arbitrase bisnis syariah .
Dalam proses penyajiannya, makalah ini berusaha disusun dengan baik dengan sejumlah
sumber yang kami gunakan untuk membantu dalam memahami arbitrase bisnis syariah yang
menjadi fokus kajian ini. Kemudian, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang turut membantu dalam penulisan dan penyusunan makalah ini. Selain itu, kami juga
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini kedepannya dan membangun pola
pikir yang baik dan benar.Demikianlah makalah ini kami susun, kami mohon maaf atas segala
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr., Wb.

Curup, 3 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2

A. Pengertian Dan Unsur Arbitrase Syariah ?


B. Eksistensi Arbitrase Syariah ?
C. Perjanjian Arbitrase Dan Komparasi Absolut?
D. Prosedur Arbitrase Melalu Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASN)
E. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Syariah
BAB III PENUTUP ...................................................................................................22

A. Kesimpulan ............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..23

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Setiap individu atau kelompok menghendaki hidup damai dan tenteram serta selalu
berusaha menghindari munculnya sengketa, walaupun demikian dalam kenyataan kesalah
fahaman sebagai penyebab sengketa tersebut terkadang sulit dihindari. Kesalah fahaman
dimaksud ada yang dapat diselesaikan oleh mereka sendiri dan ada pula yang memerlukan
campur tangan pihak lain serta memerlukan penyelesaian secara serius, bahkan ada pula
yang menjadi hangat dan sengit jika kemudian tidak kunjung ditemukan cara yang tepat
untuk menyelesaikannya.
Sengketa ini merupakan problema sosial yang langsung bersentuhan dengan hukum
dan memerlukan pemecahan secara integral. Terlebih lagi karena manusia sebagai mahluk
sosial maka sangat diperlukan cara penyelesaian yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Hal demikian untuk melengkapi fakta dan teori dalam menghadapi sengketa agar kita tidak
terjebak dalam empirisme dan masuk pada batasan teoritikal yang tanpa nilai (makna)
sehingga kehilangan idealisme. Padahal sesungguhnya makna itulah yang akan dicari yakni
nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Setiap tatanan masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh
kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaian sengketa di kalangan mereka.
Masyarakat mulai meninggalkan cara cara kebiasaan beralih ke cara cara formal menurut
hukum yang berlaku yang diakui oleh negara. Dalam memahami hukum masyarakat kerap
kali memandang pandang sebagai hal yang skeptis, yakni dipandang sebatas mengenai ilmu
tentang peradilan, atau bahkan hukum diidentikkan dengan peradilan.
Pandangan yang demikian terkadang mengakibatkan hukum bermakna sangat sempit.
Padahal jauh lebih luas, termasuk di dalamnya pemecahan sengketa tanpa melalui jalur
peradilan dapat diartikan sebagai hukum itu sendiri. Cara penyelesaiannya seringkali diawali
dengan nasehatnasehat keagamaan. tentang arti pentingnya persaudaraan sedemikian rupa,
sehingga perselisihan dapat diselesaikan secara damai dan orang yang bersengketa saling
memafkan. Apabila salah satu pihak yang dirugikan, pihak lainnya secara rela
mengembalikan hak saudaranya itu, atau sebaliknya pihak yang merasa dirugikan secara

1
suka rela demi kepentingan perdamaian menggugurkan haknya dan bisa jadi disatu kali
kedua belah pihak sama-sama mengalah yakni saling mengalah demi perdamaian.
Praktik inilah yang disebut dengan bertahkim kepada seorang yang ahli untuk meminta
diselesaikan atau diputus-kan perkara diantara mereka. Hanya saja masyarakat belum
mengenal dengan istilah arbitrase (hakam). Dengan demikian dalam makalah ini penulis
akan membahas tentang Arbitase syariah di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan unsur arbitrase syariah ?
2. Bagaimana Eksistensi Arbitrase Syariah ?
3. Bagaimana Perjanjian arbitrase dan komparasi absolut?
4. Bagaimana prosedur Arbitrase Melalu badan arbitrase syariah nasional (BASN)
5. Bagaimana pelaksanaan Putusan Arbitrase Syariah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan unsur arbitrase syariah ?
2. Untuk mengetahui Eksistensi Arbitrase Syariah ?
3. Untuk mengetahui Perjanjian arbitrase dan komparasi absolut?
4. Untuk mengetahui prosedur Arbitrase Melalui badan arbitrase syariah nasional
(BASN)
5. Untuk mengetahui pelaksanaan Putusan Arbitrase Syariah ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbirase Syariah dan unsur Arbirase Syariah
Secara etimologias , kata arbitrase dapat dipedanakan dengan istilah tahkim. Tahkim
berarti, Pertama, menyerahkan penyelesaian suatu masalah hukum kepada seseorang. Kedua
, Mencegah kerusakan atau mendamaikan. Ketiga, mengangkat seorang hakam. Menurut
Sallam Madkur kedudukan Tafkim lebih rendah dari peradilan atau biasa disebut uasi
peradilan. Menurutnya tahim adalah menunjuk dan mengangkat seorang hakim untuk
memutus perkara bagi para pihak berdsarkan hukum Islm (syariat).
Secara terminology, Abdul Karin Zaidan mendefenisikan tahkim sebagai
pengangkatan atau penunjukan (secara suka rela) dari dua orang yang bersengketa terhadap
seseorang yang dapat menyelesaikan persoalan hukum di antara keduanya dan hasilnya
menjadi putusan hukum seperti layaknya putusan adhi atau hukum.
Secara oprasional, arbitrase syariah dapat didefenisikan sebagai penyelesaian sengketa
oleh kedua pihak atau lebih di luar pengadilan yang mengutamakan prindip perdamaian atau
sukarela, terhadap suatu persoala hukum sesuai dengan kewenangan yang diatur menurut
ajaran Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan defenisi diatas terdapat lima unsur dalam arbitrase syariah (tahkim),
yaitu:
a. para pihak yang mengadakan perjanjian (mencamtumkan klausul).
b. objek atau persoalan yang disengketakan.
c. arbiter yang situnjuk.
d. syariah (hukum Islam) sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa,
e. perdamaian (ishlah) sebagai tujuan penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui jalur tahkim merupakan bagian dari sistem pengadilan
swasta yang dapat dijadikan sebagai system non litigasi yang prosedur beracaranya mirip
dengan system peradilan. Karena itu, untuk menjadikannya sebagai system peradilan yang
implikasi amar putusannya dapat memiliki kekuatan hukum mengikat dan memaksa harus
ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Takim atau arbitrase syariah tidak
hanya ditetapkan berdasarkan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang sifar amar

3
putusannya tidak mengikat dan memaksa, namun harus ditunjuk langsung berdasarkan
peraturan pemerintah atau perundang-undangan.
Badan arbitrase syariah BASYARNAS bagian dari struktur penegakan hukum (law
enforchment) . Friedman menganalisis bahwa efektifitas hukum dapat berjalan dengan baik
apabila didukung oleh unsur-unsur, yaitu
a) Subtansi hukum atau mentri hukum berupa aturan perundang-undangan
b) Penegakan dan penata hukum berupa penegak hukum
c) Culture hukum (budaya hukum).
Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditentukan, “badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Yang
dimaksud badan-badan lain, yaitu badan-badan yang tidak tersurat langsung dan diatur
dalam konstitusi Negara. Selain itu, terdapat sejumlah lembaga yang negara yang
kewenangannya langsung diberikan oleh undang-undang dasar yang memiliki fungsi, yaitu:
a) Hanya bersifat supporting atau penunjang terhadap kekuasaan kehakiman
b) Pemberian kewenangan konstituonal yang eksplisit hanya bertujuan penegasan
kedudukan konstituonalnya yang independen.
c) Penentuan kewenangan pokoknya hanya bersifat by implication bukan dirumuskan
secara tegas.
d) Keberadaan kelembagaanya atau kewenangannya tidak tegas ditentukan dalam undang-
undang dasar melaikan hanya ditentukan berdasarkan Undang-undang.
Kedudukan BASYARNAS dalam struktur peradilan non litigasi secara yuridis formal
tegas ditunjuk oleh perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang NO. 30/1999
Tentang Arbitrqase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tentang pilihan forum
sengketa yang didasarkan atas perjanjian par pihak. Undang-undang tersebut secara umum
mengatur penyelesaian sengketa non litigasi baik melalui lembaga arbitrase konvensional
maupun syariah. Karena itu, sifat kedudukan dan amar putusannya mendapatkan ligitimidasi
undang-undang sehingga putusannya bersifat final dan mengikat, serta pengadilan tidak
berhak mengadili sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase dan tidak memeriksa alasan
atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Hal yang sama ditegaskan dalam undang-undang
No 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 58, yaitu:

4
“Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat silakukan di luar pengadilan negara
melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”. Pasal 58. Yaitu: “1) Arbitrase
merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2)
Putusan arbirase bersifat finansial dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak. 3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Penjelasan pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa “ yang dimaksud dengan arbitrase
dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah”. Secara redaksional ketentuan
perundang-undangan di atas menegaskan kedudukan BASYARNAS sebagai lembaga non
litigasi dalam penyelesaian sengketa para pihak. Secara sistematis undang-undang No.
30/1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikuatkan dengan Undang-
undang No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu secara yuridis formal
kedudukan BASYARNAS menjadi legitimed dan putusannya berlaku mengikat dan
memaksa. 1
B. Eksistensi arbitrase syariah

Eksistensi arbitrase syariah adalah sebuah bentuk alternatif penyelesaian sengketa


yang berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum Islam (syariah). Arbitrase syariah memiliki
beberapa karakteristik yang membedakannya dari arbitrase konvensional dan mendukung
eksistensinya dalam konteks hukum Islam. Berikut ini adalah penjelasan rinci mengenai
eksistensi arbitrase syariah:

1. Dasar Hukum:

Arbitrase syariah berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah, yang terutama


bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Hukum Islam memberikan panduan tentang
bagaimana menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi atau
perjanjian.

2. Pengaturan Hukum:

1
Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing,2017), h.118

5
Banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim memiliki regulasi dan
lembaga yang mengatur arbitrase syariah. Contohnya, di Indonesia, terdapat Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang mengatur proses arbitrase syariah.

3. Kepercayaan Pihak-pihak Terlibat:

Arbitrase syariah biasanya dipilih oleh pihak-pihak yang ingin menyelesaikan


sengketa mereka. Pilihan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pengambilan keputusan
yang berlandaskan pada hukum Islam adalah cara yang lebih sesuai dengan nilai dan
prinsip mereka.

4. Kebebasan Kontrak:

Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi atau perjanjian dapat sepakat untuk
menggunakan arbitrase syariah sebagai metode penyelesaian sengketa dalam kontrak
mereka. Hal ini mencerminkan prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum Islam.

5. Panel Arbitrase Syariah:

Dalam arbitrase syariah, panel arbitrase terdiri dari para ahli hukum Islam yang
memiliki pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip syariah. Mereka bertindak
sebagai arbiter dan memutuskan sengketa sesuai dengan hukum Islam.

6. Kepatuhan Syariah:

Salah satu tujuan arbitrase syariah adalah memastikan bahwa keputusan yang
diambil sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keputusan arbitrase syariah harus
mematuhi nilai-nilai dan prinsip hukum Islam, seperti larangan riba, gharar
(ketidakpastian), dan maysir (perjudian).

7. Keterbatasan Arbitrase Syariah:

Arbitrase syariah tidak selalu cocok untuk semua jenis sengketa. Biasanya
digunakan dalam konteks transaksi bisnis atau keuangan yang melibatkan pihak-pihak
yang ingin menjalankan aktivitas mereka sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

8. Eksekusi Putusan:

6
Setelah arbitrase syariah menghasilkan putusan, putusan tersebut dapat dieksekusi
oleh pihak yang menang dalam arbitrase sesuai dengan hukum negara yang berlaku.

Penting untuk dicatat bahwa eksistensi arbitrase syariah dapat berbeda-beda di


berbagai negara, tergantung pada regulasi dan kebijakan hukum yang berlaku. Meskipun
demikian, arbitrase syariah tetap menjadi pilihan penting bagi pihak-pihak yang ingin
menyelesaikan sengketa mereka dengan mematuhi prinsip-prinsip hukum Islam.2

C. Perjanjian arbitrase dan komparasi absolut

Perjanjian arbitrase dan komparasi absolut adalah dua konsep yang berbeda dalam
konteks hukum arbitrase.

Berikut adalah penjelasan rinci mengenai kedua konsep ini:

1. Perjanjian Arbitrase:

Perjanjian arbitrase adalah perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat
dalam sebuah kontrak atau perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul di
masa depan melalui arbitrase, bukan melalui pengadilan. Dalam perjanjian arbitrase, pihak-
pihak menentukan aturan, prosedur, dan badan arbitrase yang akan digunakan untuk
menyelesaikan sengketa tersebut.

Perjanjian arbitrase adalah langkah awal yang sangat penting dalam proses arbitrase.
Ini adalah kesepakatan tertulis antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian atau
kontrak yang menentukan bahwa jika timbul sengketa yang terkait dengan perjanjian
tersebut, sengketa tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase. Berikut adalah rincian lebih
lanjut tentang perjanjian arbitrase:

1. Pihak-pihak yang Terlibat

Perjanjian arbitrase biasanya mencantumkan pihak-pihak yang terlibat dalam


perjanjian atau kontrak awal yang mungkin memiliki sengketa di masa depan. Ini dapat
mencakup perusahaan, individu, atau entitas hukum lainnya yang terlibat dalam transaksi
atau perjanjian.

2
Djauhari, Ahmad. Arbitrase Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Basyarnas, 2006.hlm 27-28

7
2. Klausul Arbitrase

Klausul arbitrase adalah bagian utama dari perjanjian arbitrase. Ini adalah klausul
atau pasal yang secara tegas menyatakan bahwa jika ada sengketa yang muncul dari
perjanjian tersebut, pihak-pihak setuju untuk menyelesaikannya melalui arbitrase. Contoh
klausul arbitrase mungkin adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa yang timbul dari atau
terkait dengan perjanjian ini akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan [nama
badan arbitrase]."

3. Pemilihan Badan Arbitrase

Dalam perjanjian arbitrase, pihak-pihak juga harus menentukan badan arbitrase yang
akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Badan arbitrase adalah lembaga independen
yang mengelola proses arbitrase, menunjuk panel arbiter, dan memberikan pedoman dan
prosedur untuk pelaksanaan arbitrase.

4. Aturan dan Prosedur

Perjanjian arbitrase biasanya mencakup referensi atau lampiran yang menetapkan


aturan dan prosedur yang akan digunakan selama proses arbitrase. Ini mungkin mencakup
prosedur untuk pemilihan arbiter, penyampaian bukti, jadwal persidangan, dan prosedur lain
yang terkait dengan arbitrase.

5. Bahasa Arbitrase

Perjanjian arbitrase juga biasanya mencantumkan bahasa yang akan digunakan


selama proses arbitrase. Ini mencakup bahasa yang akan digunakan dalam dokumen-
dokumen arbitrase dan dalam persidangan arbitrase jika ada.

6. Biaya dan Biaya

Perjanjian arbitrase dapat mencantumkan ketentuan mengenai pembagian biaya dan


biaya antara pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase. Ini dapat mencakup biaya panel
arbiter, biaya administrasi badan arbitrase, dan biaya lain yang terkait dengan proses
arbitrase.

7. Kewenangan Arbiter

Perjanjian arbitrase juga menetapkan kewenangan arbiter. Ini mencakup masalah apa
saja yang dapat dan tidak dapat diputuskan oleh arbiter, serta kapan putusan arbitrase
dianggap final dan mengikat.

8. Pelaksanaan Putusan

8
Perjanjian arbitrase biasanya mencantumkan kewajiban pihak-pihak untuk
melaksanakan putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh panel arbiter. Ini memastikan bahwa
putusan arbitrase benar-benar dijalankan oleh pihak yang kalah.

9. Hukum yang Berlaku

Perjanjian arbitrase dapat mencantumkan hukum yang akan digunakan untuk


memutuskan sengketa. Ini bisa menjadi hukum yang berlaku di negara tertentu atau hukum
yang mengacu pada prinsip-prinsip syariah dalam kasus arbitrase syariah.

10. Penandatanganan

Akhirnya, perjanjian arbitrase ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat dalam


perjanjian atau kontrak. Tanda tangan ini menunjukkan persetujuan mereka untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

Perjanjian arbitrase adalah instrumen yang penting dalam menentukan cara


penyelesaian sengketa di masa depan dan harus disusun dengan cermat untuk memastikan
bahwa proses arbitrase berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang
terlibat.

 Komponen utama dari perjanjian arbitrase meliputi:


a. Kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

Kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase adalah langkah awal


dalam perjanjian arbitrase. Ini adalah klausul atau pasal dalam perjanjian atau kontrak yang
menyatakan bahwa jika timbul sengketa terkait perjanjian tersebut, pihak-pihak akan
menyelesaikannya melalui arbitrase, bukan melalui pengadilan. Klausul ini menciptakan
kewajiban hukum bagi pihak-pihak untuk mengikuti proses arbitrase sebagai cara
penyelesaian sengketa.

b. Penunjukan badan arbitrase atau panel arbitrase yang akan menangani sengketa.

Perjanjian arbitrase mencantumkan badan arbitrase atau panel arbitrase yang akan
mengelola dan menangani sengketa. Badan arbitrase adalah lembaga independen yang
memiliki pengalaman dan keahlian dalam arbitrase. Panel arbitrase adalah kelompok
arbitrator yang akan dipilih oleh badan arbitrase untuk menangani sengketa tertentu.
Perjanjian dapat menyebutkan badan arbitrase tertentu, seperti ICC (International Chamber
of Commerce) atau SIAC (Singapore International Arbitration Centre), atau mencantumkan
prosedur untuk memilih panel arbiter.

c. Aturan dan prosedur yang akan diterapkan dalam arbitrase.

9
Perjanjian arbitrase biasanya mencantumkan aturan dan prosedur yang akan
digunakan selama proses arbitrase. Ini mencakup langkah-langkah seperti prosedur pemilihan
arbiter, penyampaian bukti, jadwal persidangan, dan pengaturan lain yang mengatur
pelaksanaan arbitrase. Aturan dan prosedur ini dapat merujuk pada aturan badan arbitrase
yang dipilih atau dapat disusun khusus dalam perjanjian.

d. Kewajiban para pihak untuk mematuhi hasil arbitrase.

Perjanjian arbitrase juga mencantumkan kewajiban para pihak untuk mematuhi hasil
arbitrase. Ini berarti bahwa putusan yang dikeluarkan oleh panel arbiter akan dianggap final
dan mengikat. Pihak yang kalah harus melaksanakan putusan tersebut, termasuk jika itu
melibatkan pembayaran denda, ganti rugi, atau tindakan lain yang diwajibkan. Kewajiban ini
penting untuk memastikan bahwa putusan arbitrase benar-benar dijalankan dan sengketa
diselesaikan.

Perjanjian arbitrase adalah alat yang sangat penting dalam penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, dan komponen-komponen di atas harus dirinci secara jelas dalam perjanjian
agar proses arbitrase berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan para pihak yang
terlibat. Keterlibatan hukum dan profesional hukum yang berpengalaman dalam penyusunan
perjanjian arbitrase sangat dianjurkan untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut
memenuhi persyaratan hukum dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat.

Perjanjian arbitrase dapat berbentuk perjanjian terpisah atau dapat dimasukkan ke dalam
kontrak utama sebagai salah satu klausul.

2. Komparasi Absolut:

Komparasi absolut (absolute comparison) adalah istilah yang digunakan dalam


arbitrase untuk mengukur besaran kerugian atau klaim yang diajukan oleh pihak yang merasa
dirugikan dalam sengketa. Ini melibatkan perbandingan antara klaim yang diajukan oleh
pihak tersebut dengan bukti dan fakta yang ada dalam sengketa tersebut, tanpa
memperhatikan klaim pihak lain atau faktor-faktor lain di luar sengketa tersebut.

Prinsip komparasi absolut berarti bahwa dalam menilai klaim atau kerugian, arbiter
hanya mempertimbangkan klaim tersebut dalam konteks sengketa yang sedang berlangsung
dan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.

10
Konsep ini bertentangan dengan komparasi relatif (relative comparison), di mana
arbiter membandingkan klaim pihak yang merasa dirugikan dengan klaim atau kerugian
pihak lain atau dengan standar kompensasi yang mungkin berlaku dalam situasi serupa.

Dalam konteks arbitrase, komparasi absolut penting karena dapat memengaruhi


besaran penghargaan atau keputusan yang diberikan oleh panel arbitrase. Hal ini membantu
memastikan bahwa klaim yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan diputuskan
berdasarkan bukti dan fakta yang ada dalam sengketa tersebut, tanpa memperhitungkan
faktor-faktor eksternal yang tidak relevan. Prinsip ini memungkinkan arbitrase untuk menjadi
metode yang adil dan objektif dalam menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang
terlibat.3

D. Prosedur Arbitrase Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)


Prosedur arbitrase melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASN) akan bervariasi
tergantung pada negara dan badan arbitrase yang berlaku. Namun, berikut adalah rincian
umum mengenai prosedur yang mungkin terlibat dalam arbitrase syariah melalui BASN:

1. Inisiasi Perkara:

Proses dimulai ketika salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa mengajukan
permohonan arbitrase ke BASN. Permohonan ini harus memuat informasi tentang pihak-
pihak yang terlibat, sengketa yang diajukan, dan pernyataan mengenai keinginan untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

2. Pemilihan Panel Arbiter:

Setelah menerima permohonan, BASN akan membentuk panel arbiter yang akan
menangani sengketa tersebut. Biasanya, panel arbiter terdiri dari para ahli hukum syariah dan
profesional lain yang kompeten dalam masalah yang bersangkutan.

3. Penunjukan Arbitrator:

3
Gautama, Sudargo. Aneka Hukum Abitrase (Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru). Cet. 1.
Bandung: Penerbit PT. Citra Abadi. 1996

11
Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa biasanya memiliki kesempatan untuk
menunjuk arbitrator mereka sendiri. Arbitrator ini akan menjadi perwakilan pihak yang
memilihnya dan akan ikut dalam panel arbiter.

4. Pendahuluan:

Sebelum proses arbitrase dimulai, para pihak dapat mengadakan pertemuan awal
untuk menetapkan prosedur yang akan digunakan dalam arbitrase, seperti pemilihan bahasa
yang digunakan, tempat penyelenggaraan arbitrase, dan batasan waktu.

5. Pertukaran Informasi:

Para pihak dapat diminta untuk menukar informasi dan bukti terkait dengan sengketa.
Ini memungkinkan panel arbiter untuk memahami masalah yang lebih baik dan membuat
keputusan yang adil.

6. Persidangan Arbitrase:

Arbitrase syariah melibatkan persidangan formal di hadapan panel arbiter. Selama


persidangan, para pihak memiliki kesempatan untuk mengajukan argumen,
mempresentasikan bukti, dan menghadirkan saksi jika diperlukan.

7. Putusan Arbitrase:

Setelah mendengar semua bukti dan argumen dari kedua pihak, panel arbiter akan
mengeluarkan putusan arbitrase. Putusan ini akan memutuskan sengketa dan dapat mencakup
tindakan yang harus diambil oleh pihak yang kalah.

8. Pelaksanaan Putusan:

Pihak yang kalah harus melaksanakan putusan sesuai dengan apa yang diatur dalam
putusan arbitrase. Jika tidak, pihak yang menang dapat mengambil langkah-langkah hukum
tambahan untuk menegakkan putusan tersebut.

9. Penutupan:

12
Setelah putusan arbitrase dijalankan dan sengketa diselesaikan, proses arbitrase
dianggap selesai.

10. Biaya Arbitrase:

Para pihak biasanya akan diminta untuk membayar biaya arbitrase, termasuk biaya
panel arbiter, biaya administratif BASN, dan biaya lain yang terkait dengan proses arbitrase.

Prosedur di atas memberikan gambaran umum tentang bagaimana arbitrase syariah


melalui BASN dapat berlangsung. Namun, detailnya bisa berbeda-beda antara negara dan
badan arbitrase yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk merujuk kepada peraturan dan
prosedur yang berlaku di BASN tertentu dan memahami dengan cermat bagaimana proses
arbitrase akan berjalan dalam konteks tersebut.4

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai salah satu lembaga yang
menawarkan jasa arbitrase untuk sektor bisnis ekonomi Islam atau bisnis berbasis syariah.
Lembaga arbitrase yang mengklaim berdasarkan hukum Islam. Sebagai suatu Badan
Arbitrase, BASYARNAS bertujuan menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan
dengan prinsip mengutamakan perdamaian atau ishlah.
Sejarah mencatat bahwa ide untuk melahirkan Badan Arbitrase Syariah Nasional
muncul pada waktu Rakernas Majelis Ulama Indonesia tahun 1992, diwacanakan pendirian
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang pendiriannya diawali dengan diskusi
yang dihadiri pada pakar dari kalangan akademis, praktis hukum, ulama, dan praktis
perbankan syariah. Pada rakermas majelis ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan
untuk membentuk lembaga arbitrase Muamalat(BAMUI) dan mendesak agar MUI segera
merealisasikanya dalam waktu secepatnya. Karenqa itu, pada tanggal $ mei 1992 MUI
menerbitkan SK. No. Kep.392/MUI/V/1992 yang berisikan penunjukan kelompok kerja
pembentukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Pada tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H/21 Oktober 1993 dihadapan notaris Ny. Lely
Roostiati Yudo Paripurno ditandatangani akte pendirian yayasan Badan Arbitrase

4
Gautama, Sudargo. Aneka Hukum Abitrase (Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru). Cet. 1.
Bandung: Penerbit PT. Citra Abadi. 1996

13
Mu’amalat Indonesia yang dilakukan oleh KH. Hasan Basri dan HS Prodj okusmo dari
unsur MUI pusat dan disaksikan oleh HM. Soedjono dan H. Zainulbahar Noor, SE sebagai
dirut Bank Muamalat Indonesia. BAMUI merupakan badan otonom yang bersifat
independen yang benaung dalam status hukum yayasan. .
Secara sosiologis, eksistensi perbankan syariah semakin mendapat tempat di
masyarakat Indonesia. karena itu, regulasi yang memanyungi perbankan syariah terus
dikembangkan sebagai sarana adaftif untuk mengantisipasi laju pertumbuhan perbankan
syariah di Indonesia. Untuk mengantisipasi laju pertumbuhan perbankan syariah dan
mengantisipasi potensi sengketa yang diakibatkan wanprestasi atas ikatan perjanjian yang
telah dibangun, maka pada tahun 2003 Majelis Ulama Indonesia melalui SK No.
Kep09/MUI/XII/2003 tanggal 3O Syawal H/24 Desember 2003 M yang ditanda tangani oleh
Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh selaku ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUD dan Prof.
Dr. H. M. Dien Syamsuddin selaku sekretaris MUI menetapkan:
1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
2. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada
dibawah MUI dan mempakan perangkat organisasi MUI
3. Tugas dan fungsi BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
Tujuan pendirian BASYARNAS adalah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
mengutamakan usaha-usaha perdamaian dan mediasi. Kehadiran lembaga arbitrase syariah
ini juga mempertegas eksistensi dan keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Karena salah
satu hukum beracara yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa adalah hukum
Islam dan hukum perikatan Islam atau fiqih muamalah. 5
 Lingkup Kewenangannya BASYARNAS
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) berwenang:
a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam
bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan
para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada
BASYARNAS sesuai dengan prosedur BASYARNAS.
5
Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing,2017), h.101

14
b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu
sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
Adanya BASYARNAS sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk
menyelesaikan kemungkianan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank syari‟ah
dengan para nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada khususunya dan antara
sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan
syari‟ah Islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang
sungguh-sungguh nyata. 6
Secara yuridis formal, dasar hukum penanganan perselisihan dengan arbitrase dijelaskan
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 3 ayat 1, yang berbunyi: “Penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah
memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan.”
Dalam perkembangannya, landasan dibolehkannya arbitrase ini pun didukung oleh
hadirnya UU No. 30 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa setiap Iembaga arbitrase akan
sah secara hukum apabila telah memenuhi syarat/ketentuan yang diatur undang- undang.
Kedudukan hukum arbitrase syariah sendiri, dari segi kelembagaan berstatus yayasan
yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993, dan
berdasarkan surat dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C-
190.H.T.03.07.TH.1992 tertanggal 7 Agustus 1992. Sementara jika dilihat dari tata hukum
di Indonesia, lembaga arbitrase syariah ini juga memiliki kekuatan hukum. Hal ini
mengingat, dalam hukum positif Indonesia, lembaga lain di luar lembaga peradilan
diperbolehkan untuk menjadi penengah/wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) memiliki
kewenangan untuk terlibat dan menyelesaikan sengketa bisnis.
 Penyelesaian Senketa Litigasi Dan Non Litigasi
Penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi dapat ditempuh melalui
jalur konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilian ahli, dan arbitrase. Penyelesaian
arbitarase didasarkan pada perjanjian para pihak, baik perjanjian sebelum terjadi sengketa
(pactum de compromettendo) atau perjanjian setelah sengketa (akta kompromis).

6
Bp Lawyers “mengenal Lebih Jauh Tentang Arbitrase Syariah” https://blog.bplowers.co.id. Sep 2023

15
Penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian merupakan kewenangan arbitase dan
pengadilan berhak menolak dan tidak dapat mengintervensi sengketa yang telah dilimpahkan
melalui arbitrase. Perjanjian yang dibuat secara tertulis dihadapkan pejabat yang berwenang
merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.
Penyelesaian sengketa secara litigasi dasar hukumnya telah jelas, yaitu merupakan
kewenangan absolute pengadilan agama. Sedangkan penyelesaian sengketa ekonomi
syaariah non litigasi didasarkan pada perjanjian para pihak, baik melalui pactum de
compromettendo atau acte comporomise, biasa disebut dengan istilah submission agreement,
yaitu sutu perjanjian berkenaan dengan sengketa yang telah terjadi. Sedangkan eksekusi
putusan BASYARNAS dilimpahkan kepada pengadilan negri berdasarkan UU No. 30/1999
Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 61 “dalam hal para pihak
tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negri atas permohonan satu pihak yang bersengketa.7
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Menurut Suyud Margono berpendapat bahwa:
“Litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan
konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambilan
keputusan dua pilihan yang bertentangan”. Litigasi merupakan proses penyelesaian
sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu
sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu
penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.
Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal (very formalistic) dan sangat
teknis (very technical). Seperti yang dikatakan J. David Reitzel “there is a long wait for
litigants to get trial”, jangankan untuk mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap,
untuk menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja, harus antri menunggu. Prosedur
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di pengadilan (litigasi), lazimnya dikenal juga
dengan proses persidangan perkara perdata sebagaimana ditentukan berdasarkan hukum
acara perdata.
Tahap akhir dari penyelesaian sengketa secara litigasi adalah berupa putusan hakim.
Putusan pengadilan pun dirasakan tidak menyelesaikan masalah, cenderung menimbulkan
7
Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing,2017), h.119

16
masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, kondisi ini menyebabkan para pihak
mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal.
2. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Nonlitigasi)
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya
penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolutin (ADR), yang
dijelaskan dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan ADR, yang berbunyi sebagai berikut:
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli.”
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa
semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan
penumpukan perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung.
Penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya
pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa
(settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan ADR dalam berbagai
bentuk, seperti:
a. Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 1999 menjelaskan bahwa, “Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa”. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan mungkin terjadi
maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara
negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian
sengketa melalui peradilan.
b. Negosiasi
Menurut Ficher dan Ury, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang
untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan
yang sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh
Susanti Adi Nugroho bahwa, negosiasi ialah proses tawar-menawar untuk mencapai

17
kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan
tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang
dihadapi oleh kedua belah pihak.
c. Mediasi
Menurut Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator. Mediasi (mediation)
melalui sistem kompromi (compromise) diantara para pihak, sedang pihak ketiga yang
bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong (helper) dan fasilitator.
d. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator.
Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-
bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak
dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution.
e. Penilaian Ahli
Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan
meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.
Selain dari cara penyelesaian sengketa sebagaimana disebutkan di atas yang didasarkan
kepada Undang-Undang No 30 Tahun 1999, dalam sistem hukum Indonesia tentang hal
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 dan Pasal 60, yang pada pokoknya
menentukan tentang penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui mediasi.
Hasil akhir dari rangkaian proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan
mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur alam Pasal 6 ayat 7 Undang-Undang No 30
Tahun 1999 yang berhasil maka akan menghasilkan kesepakatan atau perdamaian diantara
para pihak.
 Contoh Perkara Yang Dapat Diselesaikan Oleh BASYARNAS
BASYARNAS sejak berdirinya pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2006 baru
menyelesaikan perkara sebanyak 14 perkara dari berbagai perkara yang telah diajukan.
Adapun banyaknya perkara yang ditolak, dikarenakan perkara yang diajukan kurang

18
memenuhi persyaratan, dari 14 perkara tersebut yang paling banyak terjadi adalah pada akad
mudharabah dan murabahah dengan sistem profit and loss sharing.
Persengketaan yang terjadi seperti:
1. Tidak memenuhi kewajiban, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang seperti tidak
membayar pada saat jatuh tempo.
2. Kewajiban-kewajiban nasabah kepada bank, terutama nasabah-nasabah besar.
Dan apabila keputusan Basyarnas belum final bagi para pihak yang bersengketa,
mereka biasanya melakukan banding ke pengadilan agama. Arbiter (penyelesai masalah
sengketa) di Basyarnas ada 5 orang yaitu: H. Yudo Paripurno, SH, H. Hidayat Achyar, SH,
Achmad Djauhari, SH, Drs. H. Mochtar Luthfi, SH, dan Fatih.
Untuk memenuhi keinginan market, Basyarnas membuka perwakilan di Riau,
Yogyakarta, Surabaya, Lampung dengan kepengurusan yang sama. Dan akan dibuka di
Padang, Kalimantan Timur, Aceh dan Jawa Tengah. Adapun kantor pusat Basyarnas berada
di Jl. Cikini Raya No. 60, Jakarta Pusat, Tel. 3144794, Fax. 3915479. 8
E. Pelaksanaan putusan arbitrase syariah

Pelaksanaan putusan arbitrase syariah adalah tahap penting dalam proses arbitrase
untuk memastikan bahwa keputusan yang telah diberikan oleh panel arbiter dijalankan
dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Berikut ini adalah penjelasan rinci tentang tahapan pelaksanaan putusan arbitrase
syariah:

1. Pemahaman Putusan

Pihak yang menang dalam arbitrase harus memahami dengan cermat isi putusan
arbitrase. Ini melibatkan identifikasi kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang kalah,
seperti jumlah uang yang harus dibayarkan, tindakan tertentu yang harus dilakukan, atau
larangan tertentu yang harus diikuti.

2. Notifikasi

8
Yunsah zaidah, “Lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia” Tempo, 2 September 2023, hlm.129

19
Pihak yang menang dalam arbitrase harus memberi tahu pihak yang kalah tentang isi
putusan arbitrase. Notifikasi ini harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam
perjanjian arbitrase atau hukum yang berlaku. Notifikasi biasanya dilakukan secara tertulis
dan harus mencantumkan rincian putusan, tenggat waktu pelaksanaan, dan konsekuensi jika
pihak yang kalah tidak mematuhi putusan.

3. Pembayaran atau Pelaksanaan Tindakan

Jika putusan arbitrase mengharuskan pembayaran uang kepada pihak yang menang,
pihak yang kalah harus melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah dan tenggat waktu
yang ditentukan dalam putusan. Jika putusan melibatkan tindakan tertentu yang harus
dilakukan, seperti pengembalian properti atau aset tertentu, pihak yang kalah harus
melaksanakannya sesuai dengan instruksi dalam putusan.

4. Verifikasi Kepatuhan Syariah

Selama pelaksanaan putusan, pastikan bahwa semua tindakan yang diambil mematuhi
prinsip-prinsip syariah. Ini melibatkan memastikan bahwa tidak ada unsur riba (bunga) atau
transaksi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan putusan.

5. Bukti Pelaksanaan

Simpan catatan dan bukti yang jelas tentang pelaksanaan putusan. Ini termasuk bukti
pembayaran, surat-surat atau komunikasi yang berkaitan, dan dokumentasi lainnya yang
menunjukkan bahwa putusan telah dijalankan dengan benar.

6. Kesepakatan Lainnya

Jika pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase mencapai kesepakatan tambahan terkait
dengan pelaksanaan putusan, pastikan kesepakatan tersebut juga dicatat dengan baik dan
dijalankan sesuai dengan kesepakatan.

7. Penilaian Hasil Pelaksanaan

Setelah putusan arbitrase telah dijalankan, evaluasi hasil pelaksanaan untuk


memastikan bahwa semua kewajiban yang diatur dalam putusan telah dipenuhi dengan benar.

20
Jika ada ketidaksesuaian atau masalah lain, pertimbangkan langkah-langkah yang diperlukan
untuk mengatasinya, termasuk melalui proses arbitrase tambahan jika diperlukan.

8. Penegakan Hukum (Opsional)

Jika pihak yang kalah tidak mematuhi putusan arbitrase, pihak yang menang mungkin
perlu mengambil langkah hukum tambahan, seperti mengajukan permohonan eksekusi
kepada otoritas hukum yang berwenang, agar putusan dapat dijalankan dengan paksa.

Penting untuk diingat bahwa proses pelaksanaan putusan arbitrase syariah harus
mematuhi hukum syariah dan prinsip-prinsip keadilan yang relevan. Dalam konteks hukum
syariah, transparansi, integritas, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etika sangat penting
selama seluruh proses ini. Jika ada keraguan atau pertanyaan tentang pelaksanaan putusan
arbitrase syariah, sebaiknya konsultasikan dengan ahli hukum syariah yang kompeten untuk
memastikan bahwa prosesnya berjalan sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip syariah yang
berlaku.9

9
Djauhari, Ahmad. Arbitrase Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Basyarnas, 2006. Hlm 235-236

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologias , kata arbitrase dapat dipedanakan dengan istilah tahkim. Tahkim
berarti, Pertama, menyerahkan penyelesaian suatu masalah hukum kepada seseorang. Kedua ,
Mencegah kerusakan atau mendamaikan. Ketiga, mengangkat seorang hakam.
Secara terminology, Abdul Karin Zaidan mendefenisikan tahkim sebagai pengangkatan
atau penunjukan (secara suka rela) dari dua orang yang bersengketa terhadap seseorang yang
dapat menyelesaikan persoalan hukum di antara keduanya dan hasilnya menjadi putusan hukum
seperti layaknya putusan adhi atau hukum.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi dapat ditempuh melalui jalur
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilian ahli, dan arbitrase. Penyelesaian arbitarase
didasarkan pada perjanjian para pihak, baik perjanjian sebelum terjadi sengketa (pactum de
compromettendo) atau perjanjian setelah sengketa (akta kompromis).
Penyelesaian sengketa secara litigasi dasar hukumnya telah jelas, yaitu merupakan
kewenangan absolute pengadilan agama. Sedangkan eksekusi putusan BASYARNAS
dilimpahkan kepada pengadilan negri berdasarkan UU No. 30/1999 Tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 61 “dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negri
atas permohonan satu pihak yang bersengketa.

22
DAFTAR PUSTAKA
Ambo Masse Rahman. 2017. Arbitrase Syariah Formalisasi Hukum Islam Dalam Rana Sengketa
Ekonomi Syariah Secara Non Litigasi”. Yogyakarta: TrushMedia Publishing.

Arifin Muhammad. 2016. “Arbitrase Syariah Sebagai Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah” Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Djauhari, Ahmad. Arbitrase Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Basyarnas, 2006.

Gautama, Sudargo. Aneka Hukum Abitrase (Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru).
Cet. 1. Bandung: Penerbit PT. Citra Abadi. 1996

Yunsah zaidah, “Lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia” Http://media.neliti.com Diakses Pada ,


2 September 2023 hlm.129

BpLawyers. 2017. “mengenal Lebih Jauh Tentang Arbitrase Syariah”


https://blog.bplowers.co.id. Diakses Pada 2 September .2023

23

Anda mungkin juga menyukai