Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ARBITRASE ISLAM DALAM SYARIAT ISLAM

Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat pemenuhan tugas terstruktur pada
mata kuliah Hukum Penyelesaian Persengketaan
Dosen pengampu: Ai Wati, S.Sy., M.H.

Tim Penyusun:
Dimas Agung Permana
Aji Nurjanah
Lisna Nuraida
Rano Nurhuda

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

STAI AL-MUSADDADIYAH GARUT

1445 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Segala puji bagi Allah maha pengatur sekalian alam, Ialah sang maha kuasa
yang menciptakan segalanya, dan Ialah tuhan yang maha pemurah yang senantiasa
memberikan nikmat kepada hambanya secara melimpah.. Atas berkat dan
rahmatnya alhamdulillah kita semua bisa menikmati kenikmatan yang tak terhingga
berupa iman dan islam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan
kepada baginda alam yakni nabiyyuna Muhammad SAW.

Alhamdulillahirabbil’alamin, penyusunan makalah berjudul “Arbitrase


Islam Dalam Syariat Islam ” ini telah selesai di susun. Kami berharap penyusunan
makalah ini bisa menjadi jembatan pemahaman dan menjadi rujukan untuk
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.

Kami selaku tim penyaji menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih terdapat banyak kecacatan, baik dari segi tekstual maupun kontekstual. Oleh
karena itu, kami selaku tim penyaji mohon maaf yang sebesar-besarnya atas
kekeliruan kami tersebut, kiranya para pembaca sekalian sudi untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun untuk bahan intropeksi kami kedepannya.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca atas perhatiannya.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Garut, 20 Desember 2023

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
2.1 Pengertian Arbitrase Syariah......................................................................... 2
2.2 Badan Arbitrase Syariah Nasional................................................................. 4
2.3 Lingkup Kewenanganya BASYARNAS....................................................... 4
2.4 Kedudukan Hukum Arbitrase Syariah Di Indonesia ..................................... 4
2.5 Penyelesaian Senketa Litigasi Dan Non Litigasi........................................... 4
2.6 Contoh Perkara Yang Dapat Diselesaikan Oleh BASYARNAS .................. 4
BAB III PENUTUP................................................................................................. 5
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 5
3.2 Saran .............................................................................................................. 5
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 5

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Setiap individu atau kelompok menghendaki hidup damai dan tenteram


serta selalu berusaha menghindari munculnya sengketa, walaupun demikian
dalam kenyataan kesalah fahaman sebagai penyebab sengketa tersebut
terkadang sulit dihindari. Kesalah fahaman dimaksud ada yang dapat
diselesaikan oleh mereka sendiri dan ada pula yang memerlukan campur tangan
pihak lain serta memerlukan penyelesaian secara serius, bahkan ada pula yang
menjadi hangat dan sengit jika kemudian tidak kunjung ditemukan cara yang
tepat untuk menyelesaikannya.
Sengketa ini merupakan problema sosial yang langsung bersentuhan
dengan hukum dan memerlukan pemecahan secara integral. Terlebih lagi
karena manusia sebagai mahluk sosial maka sangat diperlukan cara
penyelesaian yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Hal demikian untuk
melengkapi fakta dan teori dalam menghadapi sengketa agar kita tidak terjebak
dalam empirisme dan masuk pada batasan teoritikal yang tanpa nilai (makna)
sehingga kehilangan idealisme. Padahal sesungguhnya makna itulah yang akan
dicari yakni nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Setiap tatanan masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk
memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaian
sengketa di kalangan mereka. Masyarakat mulai meninggalkan cara cara
kebiasaan beralih ke cara cara formal menurut hukum yang berlaku yang diakui
oleh negara. Dalam memahami hukum masyarakat kerap kali memandang
pandang sebagai hal yang skeptis, yakni dipandang sebatas mengenai ilmu
tentang peradilan, atau bahkan hukum diidentikkan dengan peradilan.
Pandangan yang demikian terkadang mengakibatkan hukum bermakna
sangat sempit. Padahal jauh lebih luas, termasuk di dalamnya pemecahan
sengketa tanpa melalui jalur peradilan dapat diartikan sebagai hukum itu
sendiri. Cara penyelesaiannya seringkali diawali dengan nasehat keagamaan.
tentang arti pentingnya persaudaraan sedemikian rupa, sehingga perselisihan
dapat diselesaikan secara damai dan orang yang bersengketa saling memafkan.

1
Apabila salah satu pihak yang dirugikan, pihak lainnya secara rela
mengembalikan hak saudaranya itu, atau sebaliknya pihak yang merasa
dirugikan secara suka rela demi kepentingan perdamaian menggugurkan
haknya dan bisa jadi disatu kali kedua belah pihak sama-sama mengalah yakni
saling mengalah demi perdamaian.
Praktik inilah yang disebut dengan bertahkim kepada seorang yang ahli
untuk meminta diselesaikan atau diputus-kan perkara diantara mereka. Hanya
saja masyarakat belum mengenal dengan istilah arbitrase (hakam). Dengan
demikian dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Arbitase syariah
di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian arbitrase syariah?
2. Bagaimana ruang lingkup arbitrase syariah?
3. Bagaimana kedudukan hukum arbitrase syariah dalam hukum nasional di
Indonesia?
4. Bagaimana perbandingkan penyelesaian sengketa litigasi dan non litigasi?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas maka tujuan dari makalah ini
adalah:
1. Mengetahui pengertian dari arbitrase
2. Mengetahui ruang lingkup dari arbitrase syariah
3. Mengetahui kedudukan hukum arbitrase syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Arbitrase Syariah


Secara etimologis, kata arbitrase dapat dipedanakan dengan istilah
tahkim. Tahkim berarti, Pertama, menyerahkan penyelesaian suatu masalah
hukum kepada seseorang. Kedua, Mencegah kerusakan atau mendamaikan.
Ketiga, mengangkat seorang hakam. Menurut Sallam Madkur kedudukan
Tafkim lebih rendah dari peradilan atau biasa disebut uasi peradilan.
Menurutnya tahim adalah menunjuk dan mengangkat seorang hakim untuk
memutus perkara bagi para pihak berdsarkan hukum Islm (syariat).
Secara terminology, Abdul Karin Zaidan mendefenisikan tahkim sebagai
pengangkatan atau penunjukan (secara suka rela) dari dua orang yang
bersengketa terhadap seseorang yang dapat menyelesaikan persoalan hukum di
antara keduanya dan hasilnya menjadi putusan hukum seperti layaknya putusan
adhi atau hukum.
Secara oprasional, arbitrase syariah dapat didefenisikan sebagai
penyelesaian sengketa oleh kedua pihak atau lebih di luar pengadilan yang
mengutamakan prindip perdamaian atau sukarela, terhadap suatu persoala
hukum sesuai dengan kewenangan yang diatur menurut ajaran Islam dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan defenisi diatas terdapat lima unsur dalam arbitrase syariah
(tahkim), yaitu:
a. para pihak yang mengadakan perjanjian (mencamtumkan klausul).
b. objek atau persoalan yang disengketakan.
c. arbiter yang situnjuk.
d. syariah (hukum Islam) sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa,
e. perdamaian (ishlah) sebagai tujuan penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui jalur tahkim merupakan bagian dari sistem
pengadilan swasta yang dapat dijadikan sebagai system non litigasi yang
prosedur beracaranya mirip dengan system peradilan. Karena itu, untuk
menjadikannya sebagai system peradilan yang implikasi amar putusannya

3
dapat memiliki kekuatan hukum mengikat dan memaksa harus ditunjuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Takim atau arbitrase syariah tidak
hanya ditetapkan berdasarkan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang
sifar amar putusannya tidak mengikat dan memaksa, namun harus ditunjuk
langsung berdasarkan peraturan pemerintah atau perundang-undangan.
Badan arbitrase syariah BASYARNAS bagian dari struktur penegakan
hukum (law enforchment). Friedman menganalisis bahwa efektifitas hukum
dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh unsur-unsur, yaitu
a) Subtansi hukum atau mentri hukum berupa aturan perundang-undangan
b) Penegakan dan penata hukum berupa penegak hukum
c) Culture hukum (budaya hukum).
Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditentukan, “badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-
undang”. Yang dimaksud badan-badan lain, yaitu badan-badan yang tidak
tersurat langsung dan diatur dalam konstitusi Negara. Selain itu, terdapat
sejumlah lembaga yang negara yang kewenangannya langsung diberikan oleh
undang-undang dasar yang memiliki fungsi, yaitu:
a) Hanya bersifat supporting atau penunjang terhadap kekuasaan kehakiman
b) Pemberian kewenangan konstituonal yang eksplisit hanya bertujuan
penegasan kedudukan konstituonalnya yang independen.
c) Penentuan kewenangan pokoknya hanya bersifat by implication bukan
dirumuskan secara tegas.
d) Keberadaan kelembagaanya atau kewenangannya tidak tegas ditentukan
dalam undang-undang dasar melaikan hanya ditentukan berdasarkan
Undang-undang.
Kedudukan BASYARNAS dalam struktur peradilan non litigasi secara
yuridis formal tegas ditunjuk oleh perundang-undangan di Indonesia. Undang-
undang NO. 30/1999 Tentang Arbitrqase dan Alternatif penyelesaian Sengketa
mengatur tentang pilihan forum sengketa yang didasarkan atas perjanjian par
pihak. Undang-undang tersebut secara umum mengatur penyelesaian sengketa
non litigasi baik melalui lembaga arbitrase konvensional maupun syariah.
Karena itu, sifat kedudukan dan amar putusannya mendapatkan ligitimidasi

4
undang-undang sehingga putusannya bersifat final dan mengikat, serta
pengadilan tidak berhak mengadili sengketa yang menjadi kewenangan
arbitrase dan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Hal yang sama ditegaskan dalam undang-undang No 48/2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 58, yaitu:
“Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat silakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
Pasal 58. Yaitu: “1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa
perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2) Putusan arbirase
bersifat finansial dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. 3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua
pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Penjelasan pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa “ yang dimaksud dengan
arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah”. Secara redaksional
ketentuan perundang-undangan di atas menegaskan kedudukan BASYARNAS
sebagai lembaga non litigasi dalam penyelesaian sengketa para pihak. Secara
sistematis undang-undang No. 30/1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dikuatkan dengan Undang-undang No. 48/2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Karena itu secara yuridis formal kedudukan BASYARNAS
menjadi legitimed dan putusannya berlaku mengikat dan memaksa.1

1 Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing,2017), h.118

4
2.2 Badan Arbitrase Syariah Nasional
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai salah satu
lembaga yang menawarkan jasa arbitrase untuk sektor bisnis ekonomi Islam
atau bisnis berbasis syariah. Lembaga arbitrase yang mengklaim berdasarkan
hukum Islam. Sebagai suatu Badan Arbitrase, BASYARNAS bertujuan
menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip
mengutamakan perdamaian atau ishlah.
Sejarah mencatat bahwa ide untuk melahirkan Badan Arbitrase Syariah
Nasional muncul pada waktu Rakernas Majelis Ulama Indonesia tahun 1992,
diwacanakan pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang
pendiriannya diawali dengan diskusi yang dihadiri pada pakar dari kalangan
akademis, praktis hukum, ulama, dan praktis perbankan syariah. Pada rakermas
majelis ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan untuk membentuk
lembaga arbitrase Muamalat (BAMUI) dan mendesak agar MUI segera
merealisasikanya dalam waktu secepatnya. Karenqa itu, pada tanggal $ mei
1992 MUI menerbitkan SK. No. Kep.392/MUI/V/1992 yang berisikan
penunjukan kelompok kerja pembentukan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI).
Pada tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H/21 Oktober 1993 dihadapan notaris
Ny. Lely Roostiati Yudo Paripurno ditandatangani akte pendirian yayasan
Badan Arbitrase Mu’amalat Indonesia yang dilakukan oleh KH. Hasan Basri
dan HS Prodj okusmo dari unsur MUI pusat dan disaksikan oleh HM. Soedjono
dan H. Zainulbahar Noor, SE sebagai dirut Bank Muamalat Indonesia. BAMUI
merupakan badan otonom yang bersifat independen yang benaung dalam status
hukum yayasan.
Secara sosiologis, eksistensi perbankan syariah semakin mendapat tempat
di masyarakat Indonesia. karena itu, regulasi yang memanyungi perbankan
syariah terus dikembangkan sebagai sarana adaftif untuk mengantisipasi laju
pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Untuk mengantisipasi laju
pertumbuhan perbankan syariah dan mengantisipasi potensi sengketa yang
diakibatkan wanprestasi atas ikatan perjanjian yang telah dibangun, maka pada
tahun 2003 Majelis Ulama Indonesia melalui SK No.

4
Kep09/MUI/XII/2003 tanggal 3O Syawal H/24 Desember 2003 M yang
ditanda tangani oleh Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh selaku ketua umum Majelis
Ulama Indonesia (MUD dan Prof. Dr. H. M. Dien Syamsuddin selaku sekretaris
MUI menetapkan:
1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
2. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan yang
berada dibawah MUI dan mempakan perangkat organisasi MUI
3. Tugas dan fungsi BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
Tujuan pendirian BASYARNAS adalah untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa mengutamakan usaha-usaha perdamaian dan mediasi. Kehadiran lembaga
arbitrase syariah ini juga mempertegas eksistensi dan keberlakuan hukum Islam di
Indonesia. Karena salah satu hukum beracara yang digunakan dalam proses
penyelesaian sengketa adalah hukum Islam dan hukum perikatan Islam atau fiqih
muamalah.2

2.3 Lingkup Kewenangannya BASYARNAS


Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) berwenang:
a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara
tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai
dengan prosedur BASYARNAS.
b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa
adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu
perjanjian.
Adanya BASYARNAS sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk
menyelesaikan kemungkianan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank
syari‟ah dengan para nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada khususunya

2 Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing,2017), h.101

4
dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan
yang menjadikan syari‟ah Islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah
merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata.

2.4 Kedudukan Hukum Arbitrase Syariah Di Indonesia


Secara yuridis formal, dasar hukum penanganan perselisihan dengan
arbitrase dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 3 ayat 1,
yang berbunyi: “Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
eksekusi (executoir) dari pengadilan.”
Dalam perkembangannya, landasan dibolehkannya arbitrase ini pun
didukung oleh hadirnya UU No. 30 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa setiap
Iembaga arbitrase akan sah secara hukum apabila telah memenuhi syarat/ketentuan
yang diatur undang- undang.
Kedudukan hukum arbitrase syariah sendiri, dari segi kelembagaan
berstatus yayasan yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris Nomor 175 tanggal 21
Oktober 1993, dan berdasarkan surat dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor C-190.H.T.03.07.TH.1992 tertanggal 7 Agustus 1992. Sementara jika
dilihat dari tata hukum di Indonesia, lembaga arbitrase syariah ini juga memiliki
kekuatan hukum. Hal ini mengingat, dalam hukum positif Indonesia, lembaga lain
di luar lembaga peradilan diperbolehkan untuk menjadi penengah/wasit/hakim
dalam penyelesaian sengketa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) memiliki kewenangan untuk terlibat dan
menyelesaikan sengketa bisnis.3

2.5 Penyelesaian Senketa Litigasi Dan Non Litigasi


Penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi dapat ditempuh
melalui jalur konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilian ahli, dan arbitrase.
Penyelesaian arbitarase didasarkan pada perjanjian para pihak, baik perjanjian

3 Bp Lawyers “mengenal Lebih Jauh Tentang Arbitrase Syariah”


https://blog.bplowers.co.id. Nov.2018

4
sebelum terjadi sengketa (pactum de compromettendo) atau perjanjian setelah
sengketa (akta kompromis). Penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian
merupakan kewenangan arbitase dan pengadilan berhak menolak dan tidak dapat
mengintervensi sengketa yang telah dilimpahkan melalui arbitrase. Perjanjian yang
dibuat secara tertulis dihadapkan pejabat yang berwenang merupakan undang-
undang bagi yang membuatnya.
Penyelesaian sengketa secara litigasi dasar hukumnya telah jelas, yaitu
merupakan kewenangan absolute pengadilan agama. Sedangkan penyelesaian
sengketa ekonomi syaariah non litigasi didasarkan pada perjanjian para pihak, baik
melalui pactum de compromettendo atau acte comporomise, biasa disebut dengan
istilah submission agreement, yaitu sutu perjanjian berkenaan dengan sengketa yang
telah terjadi. Sedangkan eksekusi putusan BASYARNAS dilimpahkan kepada
pengadilan negri berdasarkan UU No. 30/1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
penyelesaian Sengketa Pasal 61 “dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negri atas permohonan satu pihak yang bersengketa.
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Menurut Suyud Margono berpendapat bahwa:
“Litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk
menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada
seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan”. Litigasi
merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang
bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya
di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi
adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.
Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal (very formalistic) dan
sangat teknis (very technical). Seperti yang dikatakan J. David Reitzel “there is a
long wait for litigants to get trial”, jangankan untuk mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap, untuk menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja,
harus antri menunggu. Prosedur penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di
pengadilan (litigasi), lazimnya dikenal juga dengan proses persidangan perkara
perdata sebagaimana ditentukan berdasarkan hukum acara perdata.

4
Tahap akhir dari penyelesaian sengketa secara litigasi adalah berupa putusan
hakim. Putusan pengadilan pun dirasakan tidak menyelesaikan masalah, cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, kondisi ini
menyebabkan para pihak mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar
proses peradilan formal.
2. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Nonlitigasi)
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya
penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolutin (ADR), yang
dijelaskan dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan ADR, yang berbunyi sebagai berikut:
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.”
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa
semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi
kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung.4

2.6 Contoh Perkara Yang Dapat Diselesaikan Oleh BASYARNAS


BASYARNAS sejak berdirinya pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2006
baru menyelesaikan perkara sebanyak 14 perkara dari berbagai perkara yang telah
diajukan. Adapun banyaknya perkara yang ditolak, dikarenakan perkara yang
diajukan kurang memenuhi persyaratan, dari 14 perkara tersebut yang paling banyak
terjadi adalah pada akad mudharabah dan murabahah dengan sistem profit and loss
sharing.
Persengketaan yang terjadi seperti:
1. Tidak memenuhi kewajiban, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang
seperti tidak membayar pada saat jatuh tempo.
2. Kewajiban-kewajiban nasabah kepada bank, terutama nasabah-nasabah
besar.

4 Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing,2017), h.119

4
Dan apabila keputusan Basyarnas belum final bagi para pihak yang
bersengketa, mereka biasanya melakukan banding ke pengadilan agama. Arbiter
(penyelesai masalah sengketa) di Basyarnas ada 5 orang yaitu: H. Yudo Paripurno,
SH, H. Hidayat Achyar, SH, Achmad Djauhari, SH, Drs. H. Mochtar Luthfi, SH,
dan Fatih. Untuk memenuhi keinginan market, Basyarnas membuka perwakilan di
Riau, Yogyakarta, Surabaya, Lampung dengan kepengurusan yang sama. Dan akan
dibuka di Padang, Kalimantan Timur, Aceh dan Jawa Tengah. Adapun kantor pusat
Basyarnas berada di Jl. Cikini Raya No. 60, Jakarta Pusat, Tel. 3144794, Fax.
3915479.5

5 Yunsah zaidah, “Lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia” Tempo, 5 november 2018,


hlm.129

4
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara etimologias , kata arbitrase dapat dipedanakan dengan istilah tahkim.
Tahkim berarti, Pertama, menyerahkan penyelesaian suatu masalah hukum kepada
seseorang. Kedua , Mencegah kerusakan atau mendamaikan. Ketiga, mengangkat
seorang hakam.
Secara terminology, Abdul Karin Zaidan mendefenisikan tahkim sebagai
pengangkatan atau penunjukan (secara suka rela) dari dua orang yang bersengketa
terhadap seseorang yang dapat menyelesaikan persoalan hukum di antara keduanya
dan hasilnya menjadi putusan hukum seperti layaknya putusan adhi atau hukum.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi dapat ditempuh
melalui jalur konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilian ahli, dan arbitrase.
Penyelesaian arbitarase didasarkan pada perjanjian para pihak, baik perjanjian
sebelum terjadi sengketa (pactum de compromettendo) atau perjanjian setelah
sengketa (akta kompromis).
Penyelesaian sengketa secara litigasi dasar hukumnya telah jelas, yaitu
merupakan kewenangan absolute pengadilan agama. Sedangkan eksekusi putusan
BASYARNAS dilimpahkan kepada pengadilan negri berdasarkan UU No. 30/1999
Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 61 “dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negri atas permohonan satu pihak yang
bersengketa.

3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dibahas maka penulis menyarankan
bahwa, dengan danya BASYARNAS sebagai suatu lembaga permanen, penulis
menyarankan ini dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa perdata di antara
bank-bank syari‟ah dengan para nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada
khususunya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan
keperdataan yang menjadikan syari‟ah Islam sebagai dasarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ambo Masse Rahman. 2017. Arbitrase Syariah Formalisasi Hukum Islam Dalam
Rana Sengketa Ekonomi Syariah Secara Non Litigasi”. Yogyakarta:
TrushMedia Publishing.

Arifin Muhammad. 2016. “Arbitrase Syariah Sebagai Pilihan Forum Penyelesaian


Sengketa Perbankan Syariah” Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Yunsah zaidah, “Lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia” Http://media.neliti.com


Diakses Pada , 5 november 2018, hlm.129

BpLawyers. 2017. “mengenal Lebih Jauh Tentang Arbitrase Syariah”


ht t ps:/ / bl og.bpl owe rs.c o.i d . Diakses Pada 5 november .2018

Anda mungkin juga menyukai