Anda di halaman 1dari 24

ARBITRASE

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Alternatif Penyelesaian
Sengketa

Dosen Pengampu: Eneng Nuraeni, M.Ag.

Disusun oleh :

Zahwa Alfitria Nurimanudin


1213010176

MEDIASI-A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS


SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ARBITRASE” ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada Ibu Eneng Nuraeni, M.Ag.,
selaku dosen yang bertanggung jawab atas mata kuliah Hukum Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang memberikan tugas ini. Ini telah membantu meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan kami semua. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua individu
yang telah memberikan bantuan dan berbagi pengetahuan mereka, yang telah membantu kami
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini belum mencapai tingkat kesempurnaan yang
diinginkan karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami
sangat menghargai setiap saran, masukan, atau kritik yang konstruktif dari berbagai pihak.
Kami mohon maaf jika terdapat kekurangan atau kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
karena kami masih berada dalam tahap pembelajaran. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua yang membacanya. Aamiin.

Bandung, 05 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 1

1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................................................... 2

BAB II ........................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
2.1 Definisi Arbitrase ......................................................................................................................... 2

2.2 Dasar Hukum Arbitrase .............................................................................................................. 2

2.3 Prinsip Prinsip Arbitrase ............................................................................................................ 5

2.4 Tujuan dan Manfaat Arbitrase .................................................................................................10

2.5 Kelebihan dan Kelemahan Arbitrase ....................................................................................... 10

2.6 Prosedur Pelaksanaan Arbitrase .............................................................................................. 11

BAB III .................................................................................................................................... 18


PENUTUP ............................................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................... 18
3.2 Saran ......................................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................20


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dunia yang penuh dengan perbedaan pendapat dan konflik, kemampuan untuk
menyelesaikan sengketa dengan cara yang efisien dan adil menjadi semakin penting. Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) telah menjadi pusat perhatian dalam upaya mencapai keadilan
dan rekonsiliasi. Salah satu bentuk APS yang menarik untuk dikaji adalah arbitrase. Arbitrase
adalah sebuah alat yang sangat kuat dalam dunia penyelesaian sengketa. Ini adalah metode di
mana pihak-pihak yang berselisih memilih seorang arbitrase untuk menentukan hasil sengketa
mereka, bukan melalui proses pengadilan formal. Arbitrase menawarkan beragam manfaat,
seperti privasi, fleksibilitas, dan proses yang lebih cepat daripada melalui pengadilan. Dalam
konteks mata kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa, penting untuk memahami betapa
vitalnya arbitrase dalam memfasilitasi solusi damai dalam berbagai konflik, mulai dari
sengketa bisnis hingga sengketa internasional. Arbitrase membuka pintu bagi pihak yang
berselisih untuk mencapai kesepakatan yang dapat memuaskan kedua belah pihak, tanpa harus
melewati proses peradilan yang panjang dan mahal. Namun, penting juga untuk mengingat
bahwa arbitrase bukanlah tanpa tantangan. Masih ada masalah terkait biaya, pemilihan
arbitrase yang tepat, dan penegakan putusan arbitrase. Oleh karena itu, pemahaman yang
mendalam tentang arbitrase dan bagaimana menggunakannya dengan bijaksana adalah suatu
keharusan dalam mata kuliah ini. Dengan menjelajahi konsep dan praktik arbitrase dalam
konteks Alternatif Penyelesaian Sengketa, diharapkan mahasiswa akan dapat menggali
manfaat potensial dari alat ini sambil memahami keterbatasannya. Dalam dunia yang terus
berubah dengan banyak konflik yang muncul, pengetahuan tentang arbitrase adalah alat yang
berharga untuk mencapai perdamaian dan keadilan. Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang mendalam tentang peran arbitrase dalam mencapai penyelesaian sengketa yang
efektif.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Arbitrase?
2. Apa dasar hukum Arbitrase?
3. Apa prinsip prinsip Arbitrase?
4. Apa saja tujuan dan manfaat Arbitrase?
5. Apa saja kelebihan dan kelemahan Arbitrase?
6. Bagaimana prosedur pelaksanaan penyelesaian melalui Arbitrase?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui mengenai definisi Arbitrase
2. Untuk mengetahui mengenai dasar hukum Arbitrase
3. Untuk mengetahui mengenai prinsip prinsip Arbitrase
4. Untuk mengetahui mengenai tujuan dan manfaat Arbitrase
5. Untuk mengetahui mengenai kelebihan dan kelemahan Arbitrase
6. Untuk mengetahui mengenai prosedur pelaksanaan Arbitrase

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Arbitrase


Istilah arbitrase berasal dari kata 'arbitrare' dalam bahasa Latin yang memiliki makna
mendalam, yaitu "kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan".
Saat ini, para ahli hukum telah memberikan berbagai definisi yang berbeda untuk konsep ini,
tetapi pada dasarnya mereka semua mengandung makna yang sama. Saat kita berbicara tentang
arbitrase, ada perasaan bahwa itu adalah cara yang bijak untuk menyelesaikan konflik. Ini
adalah proses di mana sengketa dipecahkan atau diputuskan oleh seorang hakim atau panel
hakim, yang dipilih oleh para pihak berdasarkan persetujuan bersama. Para pihak sepakat untuk
tunduk pada keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. Proses arbitrase ini tidak
hanya tentang hukum, tetapi juga tentang kebijaksanaan dan kesepakatan. Ini menciptakan rasa
keadilan dan keseimbangan, memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menyelesaikan
perselisihan mereka secara adil dan bijaksana. Dalam arbitrase, kita menemukan jalan untuk
menyelesaikan konflik dengan saling menghormati dan mempercayai keputusan yang diambil.
Dengan demikian, arbitrase adalah langkah kebijaksanaan dalam menyelesaikan konflik, yang
didasarkan pada kesepakatan para pihak. Ini adalah cara yang menggugah perasaan keadilan
dan menghormati satu sama lain, sehingga sengketa dapat diakhiri dengan damai dan adil. 1H.
Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu
sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya
akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.2 H. M. N Poerwosujtipto
menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan
perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan meraka tentang hak pribadi yang
dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak 3 Pada
dasarnya, arbitrase merupakan bentuk khusus dari proses hukum, dan hal yang penting untuk
memahami perbedaannya dengan pengadilan adalah dalam hal struktur. Saat kita berbicara
tentang pengadilan, kita berbicara tentang sistem pengadilan permanen atau pengadilan tetap,

1
Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal.1.
2
H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar Pengadilan,
Makalah, September 1996, hal. 1.
3
H. M. N Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
Cetakan III, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal.1.
3
sedangkan dalam arbitrase, kita berbicara tentang forum tribunal yang dibentuk khusus untuk
tujuan itu. Dalam arbitrase, arbitrator berperan sebagaimana seorang hakim dalam pengadilan,
meskipun hanya untuk kasus yang ditangani dalam lingkup arbitrase tersebut. Ini adalah suatu
proses yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang ingin mengakhiri sengketa mereka
melalui juru pisah yang netral, sesuai dengan keinginan mereka. Dari awal, para pihak telah
setuju untuk mengikuti dan menghormati keputusan yang diambil, dan itu menjadi final serta
mengikat. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 juga menggambarkan arbitrase sebagai cara
untuk menyelesaikan sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada
perjanjian tertulis antara pihak-pihak yang bersengketa. Ini menciptakan kerangka yang adil
dan netral untuk menyelesaikan sengketa, yang dapat memberikan kedamaian pikiran dan
keadilan bagi para pihak yang terlibat.4

2.2 Dasar Hukum Arbitrase


Tidak dapat disangkal bahwa lembaga arbitrase memiliki pijakan yang kokoh dalam
sistem hukum nasional Indonesia. M. Yahya Harahap telah mengidentifikasi tiga dasar hukum
yang menguatkan keberadaan lembaga ini Landasan Titik Tolak Arbitrase. Yaitu pasal 377
HIR atau pasal 705 RBg yang berbunyi: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing
menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti
peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa” Landasan Umum Arbitrase.
Yaitu Buku Ketiga Reglemen Hukum Acara Perdata atau Rv, dimulai dari pasal 615 s/d pasal
651 Rv, yang meliputi lima bagian sebagai berikut:

1) Bagian I, pasal 615 sampai dengan Pasal 623 tentang Persetujuan Arbitrase dan
Pengangkatan Arbiter;

2) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang Pemeriksaan Perkara di Depan
Arbitrase;

3) Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 tentang Putusan arbitrase;

4) Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 tentang UpayaUpaya Hukum terhadap
Putusan Arbitrase; dan

5) Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 tentang Berakhirnya Perkara Arbitrase.

Landasan Arbitrase Asing. Ketentuan arbitrase yang diatur dalam Rv sama sekali
tidak menyinggung tentang arbitrase asing. Seolaholah peraturan ini mengucilkan bangsa
Indonesia dari lingkungan kehidupan hubungan antar negara di bidang arbitrase. Untuk

4
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Pasal 1 ayat 1.
4
mengisi kekosongan arbitrase asing ini, pemerintah memotivasi untuk mengaturnya yang
dapat dilihat dari konvensi-konvensi internasional dimana Indonesia telah meratifikasinya
seperti International Center for the Sattelment of Investment Dispute (ICSID) dengan
undang-undang Nomor 5 tahun 1968.

2.3 Prinsip Prinsip Arbitase


1. Prinsip Umum Arbitrase
Prinsip-prinsip arbitrase umum arbitrase telah dinormakan ke dalam UU No.30/1999
antara lain meliputi :
a. Prinsip otonomi para pihak memilih :
• forum arbitrase,
• tempat arbitrase,
• hukum yang berlaku,
• arbitrator,
• bahasa;
b. Prinsip perjanjian arbitrase menentukan wewenang arbitrase;
c. Prinsip larangan campur tangan pengadilan kecuali undang-undang menentukan lain;
d. Prinsip pemeriksaan arbitrase bersifat "private and confidential";
e. Prinsip "audi et alteram Partem";
f. Prinsip perwakilan (kuasa) bersifat fakultatif;
g. Prinsip kebolehan penggabungan pihak ketiga dalam proses arbitrase;
h. Prinsip pemeriksaan arbitrase bersifat tertulis;
i. Prinsip limitasi waktu proses arbitrase;
j. Prinsip putusan arbitrase dan pendapat mengikat (binding opinion) bersifat "final and
binding";
k. Prinsip religiusitas putusan arbitrase;
l. Prinsip putusan arbitrase berdasarkan hukum atau berdasarkan "ex aequo et bono";
m. prinsip "dissenting opinions";

Penerapan prinsip-prinsip dasar arbitrase seharusnya menjadi suatu kewajiban dan


tanggung jawab bagi semua pihak yang terlibat dalam penggunaan arbitrase sebagai alat
alternatif penyelesaian sengketa perdagangan. Walaupun prinsip-prinsip dasar arbitrase tampak
ideal, namun sebenarnya tidak akan memiliki makna dan relevansi yang sebenarbenarnya jika
tidak dijalankan dalam praktik sehari-hari dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, penting untuk
mengembangkan budaya dan etika bisnis di kalangan komunitas bisnis agar senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai seperti kejujuran, kepercayaan, keterbukaan, kepatutan, itikad
baik, dan kesediaan dalam melakukan bisnis. Keberhasilan perkembangan arbitrase sejalan
dengan perkembangan budaya dan etika bisnis yang sehat.

5
Penting juga untuk menyadari peran penting pengadilan terhadap masa depan dan
perkembangan arbitrase sebagai cara alternatif dalam menyelesaikan sengketa dagang di
Indonesia. Arbitrase, sebagai bentuk penyelesaian di luar pengadilan, tidak memiliki
wewenang publik seperti yang dimiliki oleh pengadilan negara. Pengadilan memiliki peran
sebagai lembaga pendukung yang sangat vital dalam memastikan kelancaran proses arbitrase
dan pelaksanaan putusan arbitrase. Meskipun Undang-undang No. 30/1999 mengatur tentang
larangan campur tangan pengadilan dalam arbitrase, ada situasi-situasi tertentu yang tetap
diatur oleh undang-undang yang memungkinkan pengadilan untuk turut berperan dalam proses
arbitrase5. Wewenang Pengadilan melakukan campur tangan dalam hal hal :

a. penunjukan arbitrator dalam hal para pihak tidak mencapai sepakat dalam pemilihan
arbitrator;
b. mengadili gugatan hak ingkar terhadap arbitrator;
c. Mernberikan pengakuan atau penoaakan putusan arbitrase internasional;
d. menjalankan (eksekusi) putusan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional;
e. mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase.

2. Prinsip otonomi para pihak memilih:


a. forum arbitrase, Merupakan implementasi asas kebebasan berkontrak (pacta
sunt servanda) sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pilihan atas forum
arbitrase merupakan kesepakatan dari masing-masing pihak yang bersengketa. Jika para
pihak yang bersengketa adalah warga negara Indonesia maka akan lebih menguntungkan jika
menggunakan forum arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia).Jika salah satu
pihak merupakan orang asing, maka dapat menggunakan forum yang lebih netral dan
dipercaya seperti SIAC (Singapore International Arbitration Centre) yang ada di Singapura.
Jika forum sudah disepakati tetapi kemudian akan diubah, maka hal ini dimungkinkan dimana
kedua belah pihak kemudian membuat addendum perjanjian. Dalam konteks arbitrase juga
dikenal istilah Acta Van Compromis dimana para pihak sepakat menentukan forum arbitrase
setelah perjanjian dibuat dan timbul sengketa. 6
b. tempat arbitrase Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa tempat arbitrase
ditentukan oleh arbiter atau majelis atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para
pihak. Hal ini berarti para pihak berhak sepenuhnya untuk menentukan tempat arbitrase.
c. hukum yang berlaku, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa. Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat di diadakan perdamaian.

5
Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa
6
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama
Menerapkan Lembaga Damai. (Eks. Pasal 130 HIR/154 RBg.)

6
Pada prinsipnya selama perkara yang dihadapi dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka
para pihak dapat menentukan hukum mana yang akan mereka gunakan dalam penyelesaian
sengketa. Misalnya saja terjadi sengketa antara warga negara Indonesia dan warga negara
Kanada, maka para pihak dapat bersepakat apakah akan menggunakan hukum Indonesia,
Hukum Internasional, Konvensi Internasional dan sebagainya. .
d. arbitrator, Para Pihak berhak menentukan arbitrator yaitu pihak ketiga dalam
suatu
perundingan yang mempunyai wewenang dalam memaksakan suatu kesepakatan. Arbitrasi
dapat bersifat sukarela (diminta) atau wajib (dipaksakan pada kedua pihak oleh
undangundang atau kontrak). Otoritas arbitrator beraneka ragam menurut aturan yang
ditentukan oleh para pihak

e. bahasa; Para Pihak berhak menentukan bahasa apa yang digunakan dalam
proses
arbitrase. Bahasa netral yang biasa digunakan adalah bahasa Inggris7

3. Prinsip perjanjian arbitrase menentukan wewenang arbitrase


Pasal 3 dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengatur bahwa ketika para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan
sengketa mereka melalui arbitrase dan mereka telah memberikan wewenang kepada arbiter,
maka arbiter memiliki kewenangan mutlak untuk membuat keputusan tentang hak dan
kewajiban para pihak, asalkan hal ini telah diatur dalam perjanjian mereka.

Kewenangan ini disebut sebagai kewenangan mutlak.

Ketika ada perjanjian arbitrase, maka hak para pihak dalam perjanjian tersebut untuk
membawa sengketa terkait perjanjian tersebut ke Pengadilan Negeri menjadi tidak berlaku. Hal
ini menunjukkan betapa pentingnya perjanjian atau klausul arbitrase sebagai landasan utama
dalam proses arbitrase. Ini mencerminkan prinsip hukum kontrak yang berlaku, yaitu "pacta
sunt servanda," yang mengandung makna bahwa perjanjian harus dipatuhi dengan sungguh-
sungguh. Dalam konteks arbitrase, prinsip ini memiliki arti yang sangat penting karena
perjanjian arbitrase adalah dasar utama bagi proses penyelesaian sengketa.

4. Prinsip larangan campur tangan pengadilan kecuali undang-undang menentukan lain \

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis

7
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
7
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.

Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu
yang ditetapkan dalam Undang-undang Arbitrase.

5. Prinsip pemeriksaan arbitrase bersifat "private and confidential"

Private berarti tidak diketahui oleh publik dan rahasia serta tertutup. Proses arbitrase
yang demikian dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa sebagai satu wujud prinsip partij
autonomy, agar kerahasiaan tentang perusahaan para pihak tetap terjamin, kredibilitas mereka
juga terjaga. Confidential atau rahasia berarti proses arbitrase dilaksanakan secara tertutup
mulai dari pemeriksaan statement of claim, statement of defence, dokumen, saksi dan ahli
maupun oral hearing.8

6. Prinsip "audi et alteram Partem"

Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam proses
arbitrase (pasal 28 UU 30/99). Masing – masing pihak, dalam proses beracara memiliki hak
dan kesempatan yang sama untuk memilih arbiter, mengemukakan pendapat, mengajukan
bukti-bukti, maupun mempertahankan dalil-dalil dan argumentasinya dihadapan sidang
arbitrase.

7. Prinsip perwakilan (kuasa) bersifat fakultatif

Proses arbitrase para pihak dapat diwakili kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus.
Bukanlah suatu keharusan melainkan berlaku secara fakultatif bergantung sepenuhnya
kehendak pihak yang berperkara Berdasarkan pasal 29 (2) UU 30/99 dinyatakan bahwa para
pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.9

8
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Penerbit Prenadamedia
Group.
9
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Penerbit Grasindo.
8
8. Prinsip kebolehan penggabungan pihak ketiga dalam proses arbitrase

Pasal 30 UU 30/99 menyatakan bahwa pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat
turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase,
apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para
pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter majelis arbitrase yang memeriksa sengeka
yang bersangkutan. Pihak ketiga disyaratkan harus terdapat unsur kepentingan dengan
perkara tersebut dan disetujui oleh kedua belah pihak dan arbitrator atau mejelis arbiter

9. Prinsip pemeriksaan arbitrase bersifat tertulis

Pasal 36 UU 30/1999 menyatakan Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus


diajukan secara tertulis. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak
atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.

10. Prinsip limitasi waktu proses arbitrase

Dalam ketentuan Pasal 48 (1) UU 30/1999 dinyatakan bahwa pemeriksaan sengketa


harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari terhitung sejak arbitrator atau mejelis

arbiter terbentuk. Sedangkan Pasal 48 (2) menyatakan bahwa diperbolehkan diperpanjang


asalkan disepakati para pihak dan arbiter, dan berdasarkan alasan-alasan berikut :

• Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu

• Sebagai akibat ditetapkannya putusan sela

• Dianggap perlu oleh arbiter untuk kepentungan arbitrase

11. Prinsip putusan arbitrase dan pendapat mengikat (binding opinion) bersifat "final and
binding"

Akibat atau dampak hukum putusan arbitrase bagi para pihak adalah bersifat final dan
binding. Prinsip ini tercermin di dalam ketentuan Pasal 60 UU Arbitrase yang menyatakan
bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak.

9
12. Prinsip religiusitas putusan arbitrase

Keharusan putusan arbitrase untuk memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan


Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal ini tertuang dalam pasal 54 UU 30/1999.

13. Prinsip putusan arbitrase berdasarkan hukum atau berdasarkan "ex aequo et bono"

Putusan arbitrase dijatuhkan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan


kepatutan dan keadilan (Ex Aequa Et Bono) berdasarkan pasal 56 UU 30/1999 yang berbunyi
arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau
berdasarkan keadilan dan kepatutan.10

14. Prinsip "dissenting opinions"

Putusan arbitrase dapat dijatuhkan oleh majelis arbitrase berdasarkan suara bulat atau
berdasarkan pemungutan suara Dalam putusan arbitrase memuat juga pendapat tiap-tiap
arbitrator dalam hal terdapat perbedaan pendapat (pasal 54 (1) huruf g UU 30/1999) Prinsip
“dissenting opinions” mengandung makna tentang adanya transparansi dalam dinamika
proses penjatuhan putusan arbitrase

2.4 Tujuan dan Manfaat Arbitrase


Tujuan dari arbitrase adalah menciptakan suatu alat yang efisien, adil, dan efektif untuk
menyelesaikan sengketa. Ini adalah tentang memberikan jalan bagi para pihak yang terlibat
dalam konflik untuk menemukan solusi tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang
dan mahal. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersengketa
untuk mendengarkan argumen mereka, menyelesaikan perselisihan, dan mencapai keadilan.

Arbitrase memberikan harapan akan kepastian hukum, kecepatan, dan privasi dalam
menyelesaikan sengketa. Ini juga memberi para pihak kontrol lebih besar atas proses dan
hasilnya. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang mendukung penyelesaian yang adil
dan meminimalkan biaya serta kerumitan yang terkait dengan litigasi. Arbitrase adalah tentang
menjalani proses yang lebih manusiawi dan efisien dalam menyelesaikan sengketa, dengan
harapan mengakhiri perselisihan dengan damai dan keadilan.11

10
Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit Rajawali Pers
11
Soemartono, Gatot. (2006). Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama.
12
Pasal 77 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999.
10
2.5 Kelebihan dan Kelemahan Arbitrase
a. Kelebihan Arbitase, lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan umum12,
1. Sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para pihak
terjamin.

2. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan administratif dapat dihindari.

3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan.

4. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap
yang mengusahakan win-win solution terhadap para pihak yang bersengketa.

5. Pilihan umum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.

6. Putusan arbitrase mengikat para pihak (final and binding) dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.

7. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhir atau
batalnya perjanjian pokok.

8. Didalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan perdamaian
diantara para pihak yang bersengketa.

b. Kelemahan Arbitase, Selain kelebihan-kelebihan tersebut diatas, terdapat juga


kelemahankelemahan dari arbitrase12
1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
keputusan yang memuaskan untuk melakukan rasa keadilan para pihak.
2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan
perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi
hal yang sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-
perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak yang
bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

12
Ibid
11
2.6 Prosedur Pelaksanaan Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase
A. Pengajuan Permohonan Arbitrase

Untuk mengajukan sebuah permasalahan ke dalam proses arbitrase melalui Badan


Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), ada dua cara yang umumnya digunakan. Pertama, kedua
belah pihak harus secara tegas menyetujui untuk menjalani arbitrase, biasanya melalui klausul
dalam perjanjian mereka. Kedua, mereka dapat menggunakan klausul yang direkomendasikan
oleh BANI. Klausul tersebut biasanya menyatakan bahwa segala sengketa yang muncul dari
perjanjian akan diselesaikan oleh BANI sesuai dengan peraturan dan prosedur arbitrase yang
ditetapkan oleh BANI. Keputusan yang dihasilkan dalam arbitrase ini akan mengikat kedua
belah pihak sebagai keputusan akhir dan tidak dapat disengketakan lebih lanjut. Dengan adanya
klausul semacam ini, para pihak sepakat bahwa pengadilan negeri tidak memiliki yurisdiksi
untuk mengadili sengketa yang ada.

Dengan kata lain, mereka telah memilih untuk menyelesaikan perselisihan mereka
melalui arbitrase, dan ini adalah langkah pertama menuju penyelesaian yang lebih cepat dan
efisien, Dengan menunjuk BANI dan/atau memilih peraturan prosedur BANI untuk
penyelesaian sengketa, para pihak dalam perjanjian atau sengketa tersebut dianggap sepakat
untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara melalui pengadilan negeri sehubungan dengan
perjanjian atau sengketa tersebut, dan akan melaksanakan setiap putusan yang diambil oleh
majelis arbitrase berdasarkan peraturan prosedur BANI.13 Untuk memulai prosedur arbitrase,
maka pertama-tama pemohon arbitrase sebagai pihak yang memulai arbitrase ini harus
mendaftarkan dan menyampaikan terlebih dahulun permohonan arbitrase kepada sekretariat
14
BANI . Kemudian setelah majelis arbitrase terbentuk, diteruskan kepada ketua majelis
arbitrase dan setiap anggota majelis arbitrase serta para pihak. Permohonan arbitrase dan setiap
anggota majelis arbitrase serta para pihak.

13
Pasal 2 BANI Rules and Procedures.
14
Pasal 6 ayat (1) BANI Rules and Procedures.

12
Permohonan arbitrase memuat sekurang-kurangnya beberapa hal berikut :

1. Identitas lengkap para pihak (nama, alamat, beserta keterangan penunjukan

2. Uraian singkat mengenai duduk perkara yang menjadi dasar dan alasan pengajuan
permohonan arbitrase (keterangan fakta-fakta yang mendukung permohonan arbitrase
dan butir-butir permasalahannya).

3. Tuntutan (besarnya kompensasi dan lainnya).

4. Bukti-bukti yang digunakan sebagai dasar pembuktian dari pemohon.

Dalam konteks ini, isi permohonan arbitrase sebenarnya sangat mirip dengan isi surat
gugatan dalam kasus perdata yang diajukan di pengadilan negeri. Permohonan arbitrase
mencakup identitas lengkap semua pihak yang terlibat, uraian lengkap masalah (posita) yang
menjadi dasar sengketa, dan apa yang diminta sebagai tuntutan (petitum). Selain itu, para pihak
juga harus membayar biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh BANI. Penting untuk diingat bahwa biaya-biaya ini harus dibayarkan terlebih
dahulu oleh para pihak sebelum proses pemeriksaan arbitrase dimulai. Jika biaya tersebut
belum dibayar, maka proses pemeriksaan sengketa tidak akan dilaksanakan. Dengan demikian,
pembayaran biaya adalah tahap awal yang penting dalam memulai proses arbitrase dan
memastikan bahwa proses tersebut dapat berlanjut. 15 Biaya administrasi meliputi biaya
administrasi sekretariat, biaya pemeriksaan perkara, biaya arbiter, dan biaya sekretariat majelis.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional

Keputusan Arbitrase: Mengikat dan Tak Dapat Digugat Keputusan yang dihasilkan dalam
arbitrase adalah mengikat dan memiliki kekuatan hukum yang tetap. Artinya, para pihak yang
terlibat dalam arbitrase harus tunduk dan mematuhi keputusan tersebut. Yang dimaksud
dengan "mengikat" adalah bahwa keputusan arbitrase tidak dapat dilakukan banding, kasasi,
atau peninjauan kembali. Ini berarti keputusan tersebut bersifat final dan tidak dapat
disengketakan lebih lanjut dalam proses hukum. Dalam hal pelaksanaan putusan, hal ini harus
dilaksanakan dalam tenggang waktu 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan,
dimana lembar asli atau salinan auntentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan

15
Pasal 6 ayat (4) BANI Rules and Procedures.
13
yang merupakan akta pendaftaran. Dalam hal pemberian perintah pelaksanaan, maka ketua
pengadilan negeri harus memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi kriteria-
kriteria berikut :

a. Para pihak menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan secara arbitrase.

b. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase hanya sengketa di bidang


perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan.

c. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Eksekusi putusan arbitrase akan hanya dilaksanakan jika putusan arbitrase tersebut telah sesuai
dengan perjanjian arbitrase dan memenuhi persyaratan yang ada di undang-undang No 30
Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

2. Pengaturan Pelaksanaan Putusan Internasional Dalam UU No 30 Tahun 1999


Pengaturan tentang arbitrase internasional di Indonesia terdapat pada pasal 65 hingga pasal 69
UU No 3 Tahun 1999. Dimana antara lain menyebutkan bahwa putusan arbitrase internasional
tersebut hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia jika
putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis arbitrase Indonesia terkait dengan perjanjian bilateral
dan perjanjian multilateral tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumya bahwa putusan arbitrase internasional ialah putusan
arbitrase yang diputuskan di luar wilayah hukum RI.Putusan ini harus didaftar di Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kewenangan oleh UU No 30


Tahun 1999 untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase
internasional. 16 Dalam hal putusan arbitrase internasional menyangkut Negara RI, maka
pengadilan yang mempunyai wewenang untuk menerbitkan exequatur adalah Mahkamah

Agung17

16
Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999
17
Pasal 66 huruf (e) UU No. 30 Tahun 1999

14
Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
exequatur dari ketua PN Jakarta Pusat, dan terhadap putusan ini tidak dapat diajukan banding
atau kasasi. 1819 Namun jika putusan ketua pengadilan negeri Jakarta pusat adalah menolak
untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, maka terhadap
putusan ini dapat diajukan kasasi.

3. Keppres No 34 Tahun 1981 dan Perma No 1 Tahun 1990: Pentingnya Pelaksanaan


Putusan Arbitrase Asing Keppres No 34 Tahun 1981 adalah pengesahan atas Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, sementara Perma No 1 Tahun
1990 adalah panduan utama tentang bagaimana melaksanakan putusan arbitrase asing,
khususnya yang berasal dari luar negeri. Perma ini memiliki arti penting karena, meskipun
pemerintah telah meloloskan UU No 5 Tahun 1968 yang mengatur penyelesaian sengketa
antara negara dan warga asing mengenai investasi serta bergabung dalam Convention on the
Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States (ICSID),
dalam praktiknya pelaksanaan putusan arbitrase asing masih sering menghadapi kendala dan
hambatan.22 Pengesahan untuk bergabung denga ICSID telah menempatkan Indonesia sebagai
Negara yang terikat mengakui (recognize) dan melaksanakan eksekusi (enforcement) setiap
putusan arbitrase asing. Namun demikian, dalam praktiknya eksekusi putusan arbitrase asing,
banyak yang gagal di depan pengadilan. Alasan pokok pengadilan menolak pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi tersebut misalnya tercantum dalam salah satu putusan Mahkamah Agung
No. 2944 K/Pdt/1983 tanggal 29 november 198423 Pertimbangan penolakan eksekusi yang
dicantumkan dalam putusan tersebut antara lain : meskipun sudah ada KEPPRES No. 34 Tahun
1981. Menurut Mahkamah Agung RI, sesuai dengan praktik hukum yang berlaku, diperlukan
lagi peraturan pelaksanaan tentang tata cara exequatur. Selain itu, pandangan MA masih
berpendapat bahwa tanpa peraturan pelaksanaan, pengadilan Indonesia tidak dapat menilai dan
mempertimbangkan apakah putusan hukum atau ketertiban umum yang berlaku di Indonesia.

2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional (Pengaturan Konvensi New York


Tahun 1958)

A. Arti Putusan Arbitrase Internasional Pengertian putusan arbitrase internasional, dirumuskan


dalam pasal 1 ayat (1) konvensi new york 1958, sebagai berikut : This convention shall apply

18
Pasal 66 huruf (d) UU No. 30 Tahun 1999 jo. Pasal 68 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999.
19
Pasal 68 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. 23
Yahya Harahap, op. cit., hlm. 31.
15
to the recognition and enforcement of arbitral awards made in the territory of a state other
than the state where the regocnition and enforcement of such awards are sought. 20

Dalam pasal ini, dijelaskan bahwa putusan arbitrase internasional adalah keputusan
yang dibuat di wilayah negara lain daripada negara di mana pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi dari keputusan arbitrase tersebut diminta. Jadi, syarat utama untuk sebuah keputusan
arbitrase dianggap sebagai internasional adalah bahwa keputusan itu dibuat di luar negeri yang
meminta pengakuan dan pelaksanaan. Selain itu, syarat lain adalah bahwa keputusan tersebut
harus terkait dengan sengketa yang melibatkan individu atau badan hukum. Hal ini
menekankan bahwa perbedaan dalam kewarganegaraan tidak selalu menjadi faktor penentu
dalam menentukan apakah sebuah keputusan arbitrase dianggap internasional atau tidak.
Disamping hal-hal yang telah diutarakan diatas, yang termasuk pada putusan arbitrase
internasional menurut Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958, bukan hanya putusanputusan
yang dijatuhkan oleh badan arbitrase ad hoc atau arbitrator appointed for each case, melainkan
termasuk setiap putusan yang diambil oleh badan arbitrase permanen atau permanent arbitral
body yang lazimjuga disebut arbitrase institutional.

2. Penolakan Eksekusi Putusan Arbitrase

Dalam hal tata cara penolakan putusan arbitrase, telah diatur dalam Pasal VI Konvensi New
York 1958, yang menyatakan: If an application for the setting aside or suspension of the award
has been made to a competent authority before which the award is sought to be relied upon
may, if it considers it proper, adjourn the decision on the enforcement of the award nad may
also, on the application of the party claiming enforcement of the award, order the other party
to give suitable security. Pada intinya, Pasal VI Konvensi New York 1958 menyatakan bahwa
penolkan atas pelaksanaan putusan arbitrase disampaikan kepada pejabat yang berwenang
(competent authority), di Negara mana permohonan pelaksanaan diajukan. Pasal 60 UU
Arbitrase menyebutkan kalau putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap yang mengikat para pihak 21 Teorinya, setelah ada putusan arbitrase tidak ada upaya
hukum lain yang bias diajukan oleh pihak yang kalah dan pihak yang menang tinggal
menjalankan eksekusi. Kenyataanya, eksekusi putusan arbitrase tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Pasal 61 UU Arbitrase menyatakan bahwa 22 : Dalam hal para pihak tidak
melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah

20
Ibid., hlm. 39.
21
Pasal 60 UU Arbitrase
22
Pasal 61 UU Arbitrase
16
ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Agar suatu
putusan arbitrase benarbenar bermanfaat bagi para pihak, maka putusan tersebut harus dapat
dieksekusi.Eksekusi tersebut dapat dilakukan oleh badan pengadilan yang berwenang. Cara
melakukan eksekusi terhadap suatu putusan arbitrase adalah sebagai berikut:

1. Eksekusi secara sukarela Eksekusi secara sukarela adalah eksekusi yang tidak
memerlukan campur tangan dari pihak ketua pengadilan negeri manapun, tetapi para pihak
melaksanakan sendiri secara sukarela terhadap apa-apa yang telah diputuskan oleh arbitrase
yang bersangkutan.

2. Eksekusi secara paksa Eksekusi putusan arbitrase secara paksa adalah bilamana pihak
yang harus melakukan eksekusi, tetapi secara sukarela tidak mau melaksanakan isi putusan
tersebut.Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya paksa.Dalam hal ini campur tangan pihak
pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak yang kalah untuk melaksanakan
putusan tersebut.Misalnya, dengan melakukan penyitaan-penyitaan.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri


memeriksa terlebih dahulu dokumen, ruang lingkup, dan kompetensi dari arbitrase yang dipilih
sebagaimana dinyatakan berikut ini: Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum. Ketentuan dalam pasal tersebut memberi arti bahwa Pengadilan Negeri
tidak perkenankan untuk memeriksa pokok perkaranya lagi tetapi tugasnya hanya untuk
mengizinkan atau menolak eksekusi. Pengadilan yang berwenang dapat menolak suatu
permohonan pelaksanaan putusan arbitrase jika ada alasan untuk itu.Terhadap penolakan
tersebut tersedia upaya kasasi sedangkan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri yang
mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum apapun.
Sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase, maka
alasanalasan yang dapat digunakan oleh pengadilan (dalam hal ini ketua pengadilan) untuk
penolakan eksekusi putusan arbitrase yang secara limitative ditentukan adalah sebagai berikut:

1. Arbiter memutus melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya.

2. Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan.

17
3. Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum.

4. Keputusan tidak memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :

- Sengketa tersebut bukan mengenai perdagangan

- Sengketa tersebut bukan mengenai hak yang menurut hukum dikuasai


sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

- Sengketa tersebut bukan mengenai hal-hal yang menurut perundangundangan


dapat dilakukan perdamaian.

Kemudian dalam Pasal 62 ayat (3) disebutkan bahwa27: Dalam hal putusan arbitrase tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua pengadilan negeri menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri tersebut
tidak terbuka upaya hukum apa pun.

27

Pasal 62 ayat (3) UU Arbitrase

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Arbitrase adalah suatu proses penyelesaian sengketa di luar peradilan umum, yang
didasarkan pada perjanjian tertulis antara para pihak yang bersengketa. Proses ini dilakukan
oleh seorang hakim atau panel hakim yang netral, yang dipilih oleh para pihak. Para pihak
sepakat untuk tunduk pada keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. Arbitrase
menciptakan rasa keadilan dan keseimbangan dalam menyelesaikan sengketa, dengan saling
menghormati dan mempercayai keputusan yang diambil. Dasar hukum arbitrase di Indonesia
meliputi tiga landasan: Landasan Titik Tolak Arbitrase, Landasan Umum Arbitrase, dan
Landasan Arbitrase Asing. Prinsip-prinsip arbitrase mencakup berbagai aspek, seperti otonomi
para pihak memilih forum, tempat, hukum yang berlaku, arbitrator, dan bahasa. Selain itu,
prinsip-prinsip lainnya termasuk larangan campur tangan pengadilan kecuali undang-undang
menentukan lain, pemeriksaan arbitrase yang bersifat "private and confidential," prinsip "audi
et alteram Partem," perwakilan bersifat fakultatif, kebolehan penggabungan pihak ketiga dalam
proses arbitrase, pemeriksaan arbitrase yang bersifat tertulis, limitasi waktu proses arbitrase,
dan putusan arbitrase bersifat "final and binding."

Prinsip-prinsip ini mencerminkan kebijakan yang mengedepankan keadilan,


transparansi, dan kebebasan para pihak dalam proses arbitrase. Arbitrase memberikan solusi
yang bijak dalam menyelesaikan sengketa dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etika
bisnis dan kepercayaan antarpihak. Kesimpulannya, arbitrase adalah cara yang bijaksana dan
efektif untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, dengan dasar hukum yang kuat dan
prinsip-prinsip yang menjaga keseimbangan dan keadilan.

3.2 Saran
Demikian makalah ini ditulis. Penulis merasa bahwa masih terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
mengenai makalah ini, sehingga penulis bisa memperbaikinya pada kemudian hari. Serta
semoga pembaca lebih banyak membaca rujukan selain yang tercantum dalam makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal.1.

H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar


Pengadilan, Makalah, September 1996, hal. 1.

H. M. N Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan


Pembayaran, Cetakan III, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal.1.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 1.

Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa


Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan
Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. (Eks. Pasal 130 HIR/154 RBg.)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Penerbit
Prenadamedia Group.

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Penerbit Grasindo.

Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit Rajawali Pers

Soemartono, Gatot. (2006). Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama.

Suyud Margono, op. cit., hlm. 132.

Yahya Harahap, op. cit., hlm. 31.

Abdurrasyid, H. Priyatna. Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar


Pengadilan. Makalah, September 1996.

H. M. N Poerwosutjipto. Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan


Penundaan Pembayaran, Cetakan III. Jakarta: Djambatan. 1992.

M. Husseyn dan A. Supriyani Kardono. Kertas Kerja Ekonomi, Hukum dan Lembaga
Arbitrase di Indonesia. 1995. Subekti. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta. 1992.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 1. Usman, Rachmadi.
Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Buku Hukum Penyelesaian Sengketa. Dr. Frans Hendra Winarta, SH., M.H.

20
21

Anda mungkin juga menyukai