Anda di halaman 1dari 6

1.

Peradilan agama merupakan salah satu jenis badan peradilan dalam struktur
dan sistem peradilan di Indonesia. Uraikan secara singkat tentang pengaturan
kompetensi absolut badan peradilan agama menurut ketentuan
undang-undang!
Badan Peradilan Agama (PA) di Indonesia memiliki kompetensi absolut yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi
absolut PA mencakup:

● Perkara Perkawinan dan Perceraian: PA berwenang mengadili perkara


perkawinan, perceraian, dan peristiwa hukum lain yang berkaitan dengan
status perkawinan.
● Perkara Wakaf: PA memiliki kompetensi dalam mengadili perkara wakaf
(penggunaan harta untuk kepentingan umum) dan mengesahkan pembagian
harta wakaf.
● Perkara Nafkah: PA dapat mengadili perkara nafkah, termasuk penetapan
dan penyesuaian besaran nafkah.
● Perkara Waris: PA memiliki kewenangan dalam mengadili perkara perdata
yang berkaitan dengan warisan (pembagian harta peninggalan).
● Perkara Hibah dan wasiat: PA juga dapat mengadili perkara hibah (pemberian
harta secara sukarela) dan wasiat (kehendak tertulis mengenai pembagian
harta setelah seseorang meninggal).

Kompetensi absolut PA diatur dengan jelas dalam undang-undang, dan PA


merupakan bagian penting dari sistem peradilan di Indonesia, khususnya dalam
menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum keluarga dan agama.

2. Ketentuan hukum acara perdata berlaku dalam proses pemeriksaan perkara di


lembaga peradilan agama. Sebutkan dasar hukum keberlakuan ketentuan hukum
acara perdata itu!

Dasar hukum keberlakuan ketentuan hukum acara perdata dalam proses


pemeriksaan perkara di lembaga peradilan agama Indonesia adalah tercantum
dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang menyatakan bahwa "Dalam hal Peradilan Agama yang
diselenggarakan oleh hakim agama tidak diatur khusus dalam undang-undang ini,
maka ketentuan hukum acara perdata berlaku."

Dengan kata lain, ketika Undang-Undang Peradilan Agama tidak mengatur khusus
mengenai suatu aspek tertentu dalam proses pemeriksaan perkara, maka ketentuan
hukum acara perdata berlaku sebagai panduan dalam menjalankan proses peradilan
di lembaga peradilan agama. Ini memungkinkan konsistensi dan kejelasan dalam
proses hukum di berbagai lembaga peradilan di Indonesia, meskipun lembaga
peradilan agama memiliki ciri khas dan yurisdiksi tersendiri terkait dengan
perkara-perkara hukum keluarga dan agama.

3. Uraikan secara singkat alur pemeriksaan perkara di lembaga peradilan agama


dan sertakan dasar hukumnya !

Alur pemeriksaan perkara di lembaga peradilan agama Indonesia mengikuti tahapan


sebagai berikut:

● . **Pendaftaran Perkara**: Perkara diajukan oleh pihak yang berkepentingan


(penggugat atau termohon) ke lembaga peradilan agama sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
● **Pemeriksaan Persidangan**: Pihak-pihak yang terlibat dalam perkara akan
menghadiri persidangan di hadapan hakim agama. Di sini, hakim akan
mendengarkan argumen dari kedua belah pihak, mengumpulkan bukti, dan
mengambil kesaksian jika diperlukan.
● *Mediasi**: Terdapat upaya mediasi untuk mencari penyelesaian damai dalam
beberapa perkara, terutama perkara perceraian, berdasarkan ketentuan
Pasal 24 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989.
● Putusan**: Setelah pemeriksaan, hakim agama akan mengeluarkan putusan
yang akan mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perkara.

Dasar hukumnya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


Agama. Selain itu, dalam pemeriksaan perkara juga dapat diterapkan ketentuan
hukum acara perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
tersebut, jika tidak ada ketentuan yang spesifik mengenai prosedur dalam
undang-undang peradilan agama. Penting untuk dicatat bahwa lembaga peradilan
agama memiliki yurisdiksi terutama dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan
hukum keluarga dan agama, seperti perkara perceraian, nafkah, waris, dan
perkawinan.

4. Andaikata FAHMI-SARAH beragama Islam. Bagaimanakah ketentuan hukum


yang berlaku terhadap keabsahan perkawinan mereka!
prosedur pernikahan agama islam yaitu, pertama mendaftarkan diri ke KUA, AKAD,
lalu nikah, sesuai dengan syariat islam dan Dalam Islam, ketentuan hukum yang
berlaku terhadap keabsahan perkawinan antara dua individu yang beragama Islam
adalah sebagai berikut:

● Ijab Qabul: Keabsahan perkawinan dimulai dengan ijab (tawaran) dan qabul
(penerimaan) antara calon suami dan istri. Calon suami memberikan ijab,
yang merupakan tawaran untuk menikahi calon istri, dan calon istri menerima
dengan qabul. Ini adalah dasar dari sahnya perkawinan dalam Islam.
● Ketentuan Agama: Perkawinan antara dua individu harus memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum agama Islam, termasuk
kesepakatan kedua belah pihak, adanya wali (wakil perempuan, biasanya
ayah atau saudara laki-laki) untuk calon pengantin perempuan, serta
pembayaran mahar atau mas kawin.
● Tidak Ada Halangan: Tidak boleh ada halangan yang melanggar hukum
agama Islam yang menghalangi perkawinan. Halangan ini termasuk masalah
darah (hubungan darah dekat), status pernikahan saat ini (tidak boleh
menikah jika sudah memiliki pasangan lain), serta halangan-halangan lain
yang diakui oleh hukum agama.
● Saksi: Biasanya, perkawinan Islam harus disaksikan oleh dua saksi yang adil
dan Muslim yang menyaksikan tindakan ijab qabul.

Jika semua ketentuan ini dipenuhi, maka perkawinan antara dua individu yang
beragama Islam dianggap sah menurut hukum Islam. Penting untuk diingat bahwa
ketentuan hukum perkawinan dapat bervariasi berdasarkan tradisi dan interpretasi
hukum dalam berbagai negara atau mazhab Islam.

5. Apabila FAHMI-SARAH hendak mencatatkan perkawinan, lembaga apa yang


memiliki kewenangan untuk mencatat perkawinan mereka?Uraikan jawaban
Saudara serta landasan yuridisnya!

Di Indonesia, kewenangan untuk mencatat perkawinan berada di tangan Kantor


Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil, tergantung pada agama yang
dianut oleh pasangan yang akan menikah. Berikut adalah dasar hukumnya:

● Untuk perkawinan berdasarkan agama Islam: KUA memiliki kewenangan


untuk mencatat perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
● Untuk perkawinan berdasarkan agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
agama lainnya: Kantor Catatan Sipil memiliki kewenangan untuk mencatat
perkawinan ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Proses pencatatan perkawinan ini berbeda-beda tergantung pada agama pasangan
yang akan menikah. Pastikan untuk menghubungi KUA atau Kantor Catatan Sipil
terdekat dan mengikuti prosedur yang berlaku sesuai dengan agama dan keyakinan
Anda.

6. Sedasar dengan pertanyaan angka satu (1) di atas. Apakah badan peradilan
umum berwenang memeriksa perkara waris ummat
Islam? Uraikan pendapat Saudara
beserta argumentasi yuridis yang tepat!
(Disclaimer ini sebenarnya ngasih dua pandangan jawaban dr segi peradilan
agama dan peradilan umum) nanti bisa tinggal menyesuaikan kalau
pertanyaannya yang ditanyakan apakah peradilan islam berwenang apa ga
*notes dewe)

Istilah "sengketa waris bersegi hak milik" adalah sengketa hak milk sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama. Dengan
dianutnya asas personalitas keislaman dalam pasal ini, sengketa jenis ini hanya
melibatkan ahli waris (yang beragama Islam) semata. Dengan demikian, "sengketa
waris bersegi hak milik" merupakan kewenangan Peradilan Agama.
Istilah "sengketa hak milik bersegi waris" adalah sengketa hak milik yang
memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan MA RI. Nomor 287
K/AG/2012 Tanggal 12 Juli 2012 dan Putusan MA RI Nomor 177 K/AG/2014 tanggal
26 Mei 2014, yaitu sengketa terhadap harta waris orang islam yang seluruhnya telah
dipindahtangankan dan terdapat subjek hukum lain selain ahli waris yang ditarik
sebagai salah satu pihak. Dengan demikian, sengketa jenis ini masuk ke dalam
yurisdiksi absolut Peradilan Umum. Oleh karena itu, gugatan mengenai "sengketa
hak milik bersegi waris" diajukan ke Pengadilan Negeri.
Mengingat Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menganut
asas personifikasi islam terhadap Peradilan Agama, maka segala kompetensi
absolut yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri harus dikesampingkan
apabila disebutkan sebagai kompetensi absolut Pengadilan Agama. Hal ini
dikarenakan adanya asas lex specialis derogate legi generali. Oleh karena itu,
haruslah ditentukan terlebih dahulu kompetensi absolut dari Pengadilan Agama
untuk selanjutnya sisa dari pereduksian tersebut menjadi kompetensi absolut
Pengadilan Negeri.
Kompetensi absolut dari Pengadilan Agama di bidang waris dapat dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu penentuan mengenai siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian
yang diperoleh (subjek), penelitian mengenai harta peninggalan (objek), dan
penentuan terhadap pelaksanaan pembagian harta peninggalan (pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan).
Berkaitan dengan subjek waris, Pengadilan Agama menentukan siapa yang
menjadi ahli waris beserta dengan bagian waris yang diperolehnya. Berkaitan
dengan objek waris, Pengadilan Agama menentukan harta peninggalan pewaris.
Harta peninggalan dalam hal ini termasuk juga di dalamnya perhitungan harta
setelah dikurangi hutang dan kewajiban agama yang harus dilakukan. Berkaitan
dengan pelaksanaan pembagian harta peninggalan, Putusan Pengadilan Agama
dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemindahan atas kepemilikan
harta

7. Andaikata lima tahun setelah melangsungkan perkawinan, FAHMI bermaksud


menceraikan FARAH. Uraikan secara singkat prosedur pengajuan perceraian yang
dimohonkan FAHMI berdasarkan ketentuan hukum acara peradilan agama!
● Konsultasi: Pihak yang ingin menceraikan harus berkonsultasi dengan
seorang pemuka agama atau pengacara untuk memahami persyaratan dan
prosedur yang berlaku.
● Pengajuan Permohonan: Pihak yang ingin bercerai mengajukan permohonan
perceraian ke pengadilan agama setempat sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Permohonan ini biasanya berisi alasan dan bukti-bukti
perceraian.
● Mediasi : Beberapa yurisdiksi mungkin mewajibkan mediasi sebagai langkah
awal untuk mencoba menyelesaikan konflik secara damai sebelum
persidangan.
● Persidangan: Jika mediasi gagal, kasus akan diajukan ke pengadilan agama.
Pihak-pihak yang terlibat akan hadir di persidangan dan mempresentasikan
argumen serta bukti mereka.
● Putusan Pengadilan: Pengadilan agama akan memberikan putusan
berdasarkan hukum agama yang berlaku. Putusan ini mencakup aspek-aspek
seperti hak asuh anak, nafkah, dan pembagian harta bersama.
● Pelaksanaan Putusan: Pihak-pihak yang terlibat harus melaksanakan putusan
pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum agama yang berlaku

8. Apabila SARAH yang mengajukan perceraian. Menurut Undang-Undang


Peradilan Agama, lembaga pengadilan agama manakah yang berwenang
memeriksa perkara itu? Sebutkan juga istilah jenis permohonan perceraian yang
diajukan SARAH!

9. Saudara adalah Ketua Majelis Hakim dalam perkara perceraian FAHMI-SARAH.


Bagaimanakah sikap dan tindakan hukum Saudara dalam pemeriksaan perkara
pada sidang pertama?

Ketika menghadiri sidang pertama di lembaga peradilan agama sebagai pihak yang
terlibat dalam perkara, berikut adalah sikap dan tindakan hukum yang sebaiknya
diterapkan pada hakim, sesuai dengan dasar hukum di Indonesia:
● **Sikap Hormat dan Sopan**: Menunjukkan sikap hormat dan sopan kepada
hakim adalah prinsip dasar. Ini mencakup penggunaan bahasa yang sopan
dan sikap yang menghormati hakim.
● **Kepatuhan pada Aturan Sidang**: Pihak yang terlibat dalam perkara harus
patuh terhadap aturan sidang yang berlaku di lembaga peradilan agama,
seperti ketentuan waktu dan tata tertib pengadilan.
● **Penyampaian Permohonan atau Jawaban**: Saat diminta oleh hakim,
penggugat harus menyampaikan permohonan atau gugatan secara jelas dan
ringkas. Sementara itu, pihak termohon harus memberikan jawaban yang
sesuai dengan tuntutan hukum.
● **Ketentuan Mediasi**: Jika hakim mengusulkan mediasi, pihak harus
bersedia mengikuti proses mediasi dengan itikad baik, sebagaimana diatur
dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
● **Penyediaan Bukti dan Kesaksian**: Jika ada bukti atau kesaksian yang
relevan dengan perkara, pihak harus siap untuk menyediakan bukti atau
menghadirkan saksi sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Dasar hukum untuk sikap dan tindakan ini adalah Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang ini mengatur tata cara persidangan
dan perilaku yang diharapkan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkara di
lembaga peradilan agama di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai