Peradilan agama merupakan salah satu jenis badan peradilan dalam struktur
dan sistem peradilan di Indonesia. Uraikan secara singkat tentang pengaturan
kompetensi absolut badan peradilan agama menurut ketentuan
undang-undang!
Badan Peradilan Agama (PA) di Indonesia memiliki kompetensi absolut yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi
absolut PA mencakup:
Dengan kata lain, ketika Undang-Undang Peradilan Agama tidak mengatur khusus
mengenai suatu aspek tertentu dalam proses pemeriksaan perkara, maka ketentuan
hukum acara perdata berlaku sebagai panduan dalam menjalankan proses peradilan
di lembaga peradilan agama. Ini memungkinkan konsistensi dan kejelasan dalam
proses hukum di berbagai lembaga peradilan di Indonesia, meskipun lembaga
peradilan agama memiliki ciri khas dan yurisdiksi tersendiri terkait dengan
perkara-perkara hukum keluarga dan agama.
● Ijab Qabul: Keabsahan perkawinan dimulai dengan ijab (tawaran) dan qabul
(penerimaan) antara calon suami dan istri. Calon suami memberikan ijab,
yang merupakan tawaran untuk menikahi calon istri, dan calon istri menerima
dengan qabul. Ini adalah dasar dari sahnya perkawinan dalam Islam.
● Ketentuan Agama: Perkawinan antara dua individu harus memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum agama Islam, termasuk
kesepakatan kedua belah pihak, adanya wali (wakil perempuan, biasanya
ayah atau saudara laki-laki) untuk calon pengantin perempuan, serta
pembayaran mahar atau mas kawin.
● Tidak Ada Halangan: Tidak boleh ada halangan yang melanggar hukum
agama Islam yang menghalangi perkawinan. Halangan ini termasuk masalah
darah (hubungan darah dekat), status pernikahan saat ini (tidak boleh
menikah jika sudah memiliki pasangan lain), serta halangan-halangan lain
yang diakui oleh hukum agama.
● Saksi: Biasanya, perkawinan Islam harus disaksikan oleh dua saksi yang adil
dan Muslim yang menyaksikan tindakan ijab qabul.
Jika semua ketentuan ini dipenuhi, maka perkawinan antara dua individu yang
beragama Islam dianggap sah menurut hukum Islam. Penting untuk diingat bahwa
ketentuan hukum perkawinan dapat bervariasi berdasarkan tradisi dan interpretasi
hukum dalam berbagai negara atau mazhab Islam.
6. Sedasar dengan pertanyaan angka satu (1) di atas. Apakah badan peradilan
umum berwenang memeriksa perkara waris ummat
Islam? Uraikan pendapat Saudara
beserta argumentasi yuridis yang tepat!
(Disclaimer ini sebenarnya ngasih dua pandangan jawaban dr segi peradilan
agama dan peradilan umum) nanti bisa tinggal menyesuaikan kalau
pertanyaannya yang ditanyakan apakah peradilan islam berwenang apa ga
*notes dewe)
Istilah "sengketa waris bersegi hak milik" adalah sengketa hak milk sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama. Dengan
dianutnya asas personalitas keislaman dalam pasal ini, sengketa jenis ini hanya
melibatkan ahli waris (yang beragama Islam) semata. Dengan demikian, "sengketa
waris bersegi hak milik" merupakan kewenangan Peradilan Agama.
Istilah "sengketa hak milik bersegi waris" adalah sengketa hak milik yang
memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan MA RI. Nomor 287
K/AG/2012 Tanggal 12 Juli 2012 dan Putusan MA RI Nomor 177 K/AG/2014 tanggal
26 Mei 2014, yaitu sengketa terhadap harta waris orang islam yang seluruhnya telah
dipindahtangankan dan terdapat subjek hukum lain selain ahli waris yang ditarik
sebagai salah satu pihak. Dengan demikian, sengketa jenis ini masuk ke dalam
yurisdiksi absolut Peradilan Umum. Oleh karena itu, gugatan mengenai "sengketa
hak milik bersegi waris" diajukan ke Pengadilan Negeri.
Mengingat Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menganut
asas personifikasi islam terhadap Peradilan Agama, maka segala kompetensi
absolut yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri harus dikesampingkan
apabila disebutkan sebagai kompetensi absolut Pengadilan Agama. Hal ini
dikarenakan adanya asas lex specialis derogate legi generali. Oleh karena itu,
haruslah ditentukan terlebih dahulu kompetensi absolut dari Pengadilan Agama
untuk selanjutnya sisa dari pereduksian tersebut menjadi kompetensi absolut
Pengadilan Negeri.
Kompetensi absolut dari Pengadilan Agama di bidang waris dapat dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu penentuan mengenai siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian
yang diperoleh (subjek), penelitian mengenai harta peninggalan (objek), dan
penentuan terhadap pelaksanaan pembagian harta peninggalan (pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan).
Berkaitan dengan subjek waris, Pengadilan Agama menentukan siapa yang
menjadi ahli waris beserta dengan bagian waris yang diperolehnya. Berkaitan
dengan objek waris, Pengadilan Agama menentukan harta peninggalan pewaris.
Harta peninggalan dalam hal ini termasuk juga di dalamnya perhitungan harta
setelah dikurangi hutang dan kewajiban agama yang harus dilakukan. Berkaitan
dengan pelaksanaan pembagian harta peninggalan, Putusan Pengadilan Agama
dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemindahan atas kepemilikan
harta
Ketika menghadiri sidang pertama di lembaga peradilan agama sebagai pihak yang
terlibat dalam perkara, berikut adalah sikap dan tindakan hukum yang sebaiknya
diterapkan pada hakim, sesuai dengan dasar hukum di Indonesia:
● **Sikap Hormat dan Sopan**: Menunjukkan sikap hormat dan sopan kepada
hakim adalah prinsip dasar. Ini mencakup penggunaan bahasa yang sopan
dan sikap yang menghormati hakim.
● **Kepatuhan pada Aturan Sidang**: Pihak yang terlibat dalam perkara harus
patuh terhadap aturan sidang yang berlaku di lembaga peradilan agama,
seperti ketentuan waktu dan tata tertib pengadilan.
● **Penyampaian Permohonan atau Jawaban**: Saat diminta oleh hakim,
penggugat harus menyampaikan permohonan atau gugatan secara jelas dan
ringkas. Sementara itu, pihak termohon harus memberikan jawaban yang
sesuai dengan tuntutan hukum.
● **Ketentuan Mediasi**: Jika hakim mengusulkan mediasi, pihak harus
bersedia mengikuti proses mediasi dengan itikad baik, sebagaimana diatur
dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
● **Penyediaan Bukti dan Kesaksian**: Jika ada bukti atau kesaksian yang
relevan dengan perkara, pihak harus siap untuk menyediakan bukti atau
menghadirkan saksi sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Dasar hukum untuk sikap dan tindakan ini adalah Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang ini mengatur tata cara persidangan
dan perilaku yang diharapkan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkara di
lembaga peradilan agama di Indonesia.