Anda di halaman 1dari 55

MASALAH-MASALAH UMUM HUKUM ACARA PERADILAN

AGAMA

.Oleh:

Prof.Dr Zulfa Djoko Basuki, SH,MH 1

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 UU No.7/l989 Tentang Peradilan

Agama, yang tidak diubah oleh Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan

atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Hukum Acara yang

berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama adalah Hukum Acara

Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang

teJah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Seperti yang telah Saudara peJajari sebelumnya, sumber utama dari Hukum

Acara Perdata kita adalah HIR untuk Jawa dan Madura dan RBg untuk luar Jawa dan

Madura. Dengan demikian maka di Pengadilan Agama berlaku tiga Hukum Acara yaitu

HIR, RBg dan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No.711989 Tentang

Peradilan Agama (termasuk ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ULT No.7/1989

yang tidak diubah oleh UU No.3/2006), ditambah dengan ketentuan-ketentuan yang

terdapat di dalam UU No. 111974, PP 911975 dan Kompilasi Hukum Islam.

Bila kita membaca ketentuan pasal 393 HIR disitu dengan tegas disebutkan:

waktu mengadili perkara dihadapan Pengadilan Negeri, maka tidak dapat diperhatikan

acara yang lebih atau lain dari pad a yang ditentukan dalam Reglement ini".

Di dalam praktek ketentuan-ketentuan tersebut tidak lagi dapat dipakai, karen a sudah

usang, tidak sesuai lagi dengan zaman sehingga kebutuhan-kebutuhan dalam praktek

I Guru Sesar FHu!, dibawakan pada Pendidikan Khusus Provesi Advokat (PKPA), diselenggarakan oleh
74 Law Institute Pendidikan Lanjutan lImu Hukum bekerjasama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI), DPC Jakarta Se\atan, bertempat di Graha Toedjoeh Empat, 11 Woltermongonsidi No.IS,
Kebayoran Saru Jakarta Selatan, 12110 , pada tanggal 26 April 20 II, pukul 18.30 sid 21.00 WIB
tidak akan dapat dipenuhi. Karena itu dipakai ketentuan dalam RV seperti acara singkat

(Kort Geding), Voeging (penggabungan), dsb yang tidak dikenal dalam HIR.

Ketentutan-ketentuan yang diatur dalam RV ini berlaku pula di Peradilan Agama.

Dari sejarah lahirnya HIR itu sendiri dapat disimpulkan, bahwa bilamana di dalam

HIR tidak ada pengaturannya, hakim wajib mencari penyelesaian dengan jalan

menciptakan bentuk-bentuk acara yang dibutuhkan dalam praktek yang antara lain dapat

berupa Keputusan-keputusan Hakim. Tidak kurang dari Gubernur lenderal Rochussen

sendiri beranggapan, karena HIR tcrsebut adalah mernpakan "percobaan yang

diperhitungkan benar-benar", maka bilamana dikemudian hari terdapat kesulitan­

kesulitan yang terlalu sukar untuk diatasi atau di mana tenlapat perbedaan pengertian atau

kebutuhan yang terlalu besar, tidak berarti Reglement yang hams diutamakan, tetapi

dalam hal itu Reglement yang harus dikesampingkan. 2

KEKUASAAN PENGADILAN.

Perkara-perkara apa yang menjadi wewenang Pengadilan Agama, a.1. diatur dalam pasal

49 UU No.3 Tahun 2006 dengan mengubah isi pasal 49 Undang-Undang no.7/1989

tentang Peradilan Agama yang lama sehingga berbunyi sbb:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. warisan;

c. wasiat;

2Ny.Zulfa Djoko Basuki, SH ," Masalah-masalah Umum Hukum Acara Perdata:, Makalah, disampaikan
pada Kursus Dasar Bantuan Hukum Angkatan !, Jakarta, 17-26 Juli 1984, PPBHI-PPKPHUI, hal..:2-3 ,
dengan mengutip Supomo, "Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri". Pradnjaparamita, Djakarta, 1967,
hal.7

2
d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah dan

i. ekonomi syari'ah.

Dalam Penjelasan Pasal 49 dinyatakan bahwa sengketa tidak hanya dibatasi di hidang

perbankan syari'ah melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. Yang

dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah terrnasuk orang

atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada

hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai

dengan ketentuan Pasal 49 ini.

Hurufa

Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau

berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan

menurut syari'ah, an tara lain:

1. izin beristri lebih dari seorang;

2. Jzin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21 tahun, dalam

hal orar.g tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3. dispensasi kawin;

4. pencegahan perkawinan;

5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

6. pembatalan perkawinan;

7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri;

8. perceraian karena talak;

9. gugatan perceraian;

10. penyelesaian harta bersama;

11. penguasaan anak-anak;

12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang

seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya;

13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh ~mami kepada bekas isteri

atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;

14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;

15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16. pencabutan kekuasaan wali;

17. penunjukan orang lain sebagai waH oleh pengadilan dalam hal kekuasaan st:orang

wali dicabut;

18. penunjukan seorang waH dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18

tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;

19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta bend a anak yang ada di bawah

kekuasaann ya;

20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak

berdasarkan hukum Islam.

21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

perkawinan campuran;

22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan oijalankan menurut peraturan lain;

Hurufb.

Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris

penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris,

dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, selia penetapan pengadilan

atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,

penentuan bagian masing-masing ahli waris;

Hurufc

Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu

benda atau manfaat kepada orang lain atau lembagalbadan hukum, yang berlaku

setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

Hurufd

Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan

tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau bad an hukum

untuk dimiliki.

Hurufe

Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang

(wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya

untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya gun a keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

syari'ah.

Huruff

Yang dimaksud dengan "zakat" .adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang

muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan

syari'ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.

Hurufg

Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu

kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,

mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menatkahkan sesuatu kepada orang

lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.

Hurufh

Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu

kepada orang lain atau lembagalbadan hukum secara spontan dan sllkarena tanpa

dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu

Wata'ala dan pahala semata.

Hurufi

Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha

yang dilaksanakan menl!rut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:

Bank, lembaga keuangan mikro, asuransi, reasuransi, reksa dana, obligasi dan surat

berharga berjangka menengah, sekuritas, pembiayaan, pegadaian, dana pensiun

lembaga keuangan dan bisnis syari'ah.

Mengenai masalah waris, ketentuan yang terdapat di dalam Penjelasan Undang­

Undang No.711989, yang menyatakan, para pihak dalam perkara mengenai waris,

sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan

6
dipergunakan dalam pembagian warisan, ketentuan ini dalam Penjelasan Undang­

undang No.3 Tahun 2006, dihapus. Dengan demikian masyarakat muslim terikat

harus memakai hukum Islam, dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam.

Mengenai hal-hal tersebut di atas perlu pula diperhatikan ketentuan yang terdapat

di dalam Pasal 50 UU No.3/2006 yang berbunyi sbb :

(I) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut

harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam Iingkungan Peradilan Umum.

(2) Apabila terjadi sengkua hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (I) yang

subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa

tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal49.

Ayat (2) dalam pasal 50 ini merupakan penambahan baru, yang tidak terdapat di

dalam UU No711989 yang lama. Penambahan ayat (2) ini sebagaimana dijelaskan

dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU No.3/2006, dimaksudkan untuk memberi

wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutus sengketa milik atau

keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49

apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini

menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa

karen a alasan adanya sengketa milik alan keperdataan lainnya tersebut sering dibuat

oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama.

Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan

tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pzngadilan agBma, sengketa di

III...­
pengadilan agama ditunda untu~ menunggu putusan gugatan yang diajukan ke

pengadiJan di lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan

jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa

telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sarna

dengan sengketa di pengadilan agama. Dalarn hal objek sengketa lebih dari satu objek

dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan

agarna tidak perlu rnenangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak

terkait dirnaksud.

Ketentuan yang memberikan wewenang pula kepada Pengadilan Agama untuk

mengangkat anak adalah merupakan hal baru yang sebelurnnya belurn ada.

Berbeda dengan hukum perdata barat yang menganut konsep kedudukan hukum anak

angkat (adopsi) sarna dengan anak kandung dan segala akibat hukurnnya, dalam

Hukurn Islam anak angkat tidak rnempunyai kedudukan sarna dengan anak kandung.

Dalam hukum perdata barat hubungan hukurn antara anak angkat dengan orang tua

kandungnya terputus, sedangkan dalarn hukum Islam hubungan hukum antara anak

angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus bahkan anak angkat tetap

dinisbahkan kepada ayah kandungnya dan nama ayah kandungnya tetap ditulis

dibelakang namanya. Pengangkatan anak angkat yang memutuskan hubungan

biologis dengan orang tua kandungnya hukurnnya haram, dengan kata lain

pengangkatan anak yang menjadikan anak itu sebagai anak kandungnya dilarang<

Kedudukan anak angkat dalam hukum Islam dapa! disamakan dengan anak asuh atau

anak yang mernperoleh tunjangan sosial-ekonomi dari orang tua yang

mengangkatnya. Anak angkat tidak berhak mewaris dari ayah angkatnya, ia tetap

~
mewaris dari ayah kandungnya. Namun demikian ia berhak untuk menerima wasiat

wajibah ( yaitu wasiat yang diwajibkan diberikan kepada orang-orang yang tidak

mungkin memperoleh hak kewarisan menurut Hukum Faraidh) yang besamya

maksimal 113 dari harta warisan orang tua angkatnya ( pasal 209 Kompilasi Hukum

Islam). Orang tua angkat juga berhak atas wasiat waj ibah sebesar 113 dad harta anak

angkatnya (pasal209 KHI).3

Mengenai tata cara pengangkatan anak melalui Pengadilan Agama, tidak ada

penjelasannya di dalam Undang-Undang No 312006 ataupun di dalam Kompilasi

Hukum Islam. Di dalam KHI hanya terdapat 2 (dua) pasal yang menyebut peri hal

anak angkat ini yaitu pasal 171 h dan pasal 209 KHl.

Pasal 171 h: Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya

sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang

tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan .

Pasal209 KHI menyatakan sbb :

(I) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan 193,

sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat

wajibah sebanyak-banyaknya 113 dari harta warisan anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 113 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Karena itu menurut penulis untuk pengkangkatan anak angkat melalui Pengadilan

Agama berlaku ketentuan yang sarna dengan yang berlaku bagi pengangkatan anak

angkat melalui Pengadilan Negeri yaitu a.l dapat dibaca dalam Pedoman Pelaksanaan

JDisarikan dari : Tahir Azhary, "Anak Angkat Dalam PerspektifHukum Islam Dan Kewenangan Peradilan
Agama dalam Hal Pengangkatan Anak Bagi Orang Islam", Makalah pada Forum Seminar Nasional
Tentang" Pengangkatan Anak di Indonesia", FHUI, Rabu, 29 Nopember 2006.

9
Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial Rl DitJen Pelayanan

dan Rehabilitasi Sosial Dit. Bina Pelayanan Sosial Anak baik untuk Pengangkatan

Anak Antar sesama WNI maupun Antara WNI dengan WNA. Antara lain dapat

disebut orang tua angkat harus seagama dengan anak angkat, anak berumur kurang

dari 5 (lima) tahun, dan anak berada dalam asuhan Organisasi Sosial atau berada

dalam lingkungan orang tua pengganti.4

Ketentuan lain yang juga tidak diatur dalam UU Peradilan Agama yang lama yaitu

ketentllan tentang penentuan awal bulan pada tahun Hijriah yang diatur dalam pasal

52 A sbb:

Pengadilan Agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal

bulan pada tahun Hijriyah. Dalam Penjelasan Pasal ini dikatakan, Selama ini

pengadilan agama diminta o]eh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (istbat)

terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap

memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka

Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan I (satu)

Ramadhan dan I (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau

nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.

Ketentuan lain yang juga merupakan ketentuan baru adalah ketentuan dalam rasaI :3

A, yaitu pembentukan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama, yaitu

pembentukan Mahkamah Syari'ah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang

-ICntuk jelasnya baca lebih lanjut pedoman pelaksanaan Pengangkatan Anak, Dep.Sos RI, Dit Jen
Pe!ayanan dan Rehabilitasi Sosial Dit.Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta, 2005. Dengan telah
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI No.54 Than 2007, Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tgl 3
OklOber 2007, maka menurut penulis ketentuan ini berlaku pula bagi pengangkatan anak yang diajukan
dan diputus melalui Pengadilan Agama. Antara lain dapat disebut di sini ketentuan dalam pasal 4 yang
dengan tegas menyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya.

10

dibentuk berdasarkan UU No.18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi

Daerah istimewa Aceh sebagai Pr<?vinsi Aceh Darussalam yang oleh UU No.4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa: "Peradilan

Syari'ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadiJan khusus

dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut

kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dilingkungan

peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut PeradiJan Umum ".

I. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA PADA UMUMNYA, KHUSUSNY A


YANG BERLAKU J)I PERADILAN AGAMA

I. Sikap aktif Hakim dari permulaan sidang hingga akhir proses perkara .

Sikap aktif ini bahkan dapat terjadi sebelumnya proses dimulai, yaitu pada waktu

penggugat memajukan gugatannya, hakim telah berhak memberi pertolongan

kepadanya (pasal 119 HIR), sedang setelah proses berakhir, hakim memimpin

eksekusi. Sifat aktif dari hakim tersebut misalnya seperti diatur dalam pasal 132

HIR, memberi kekuasaan kepada hakim untuk memberi penerangan selayaknya

kepada para pihak, misalnya mengenai bentuk gugatan, perobahan-perobahan

dalam isi gugatan, agar "posita' dan "petitum" dapat lebh jelas dan berbunyi

sebagaimana mestinya. 5

2. Sidang terbuka untuk umum, kecuali ditetapkan lain oleh Undang-Undang, atau

menurut pendapat pengadilan yang setingkat lebih tinggi terdapat alasan penting,

misalnya demi ketertiban umum dan kesusilaan baik. Tidak dipenuhinya

5 Supomo, ibid hal. 17-18.

II

ketentuan ini berakibat batalnya keputusan yang dijatuhkan menurut hukum

(pasal59 UU No.711989/UU No.312006);

3. Hakim tidak diperkenankan untuk memberi keputusan dalam sesuatu perkara

tanpa memberi kesempatan kepada pihak-pihak secara sah untuk mengemukakan

pendiriannya (asas audi alteram partem) ;

4. Pihak yang berperkara dapat menghadap sendiri atau dengan perantaraan seorang

kuasa (psI. 123 HIR). Pasal 142 Kompilasi Hk Islam dalam hal gugatan

perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan pad a kuasanya. Namun

dalam hal tertentu hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir

sendiri.

5. Biaya perkara dipikul oleh pihak-pihak berperkara, biasanya dibebankan kepada

pihak yang kalah . (pasal 180 183 HIR) :

6. Sebelum pemeriksaan perkara dimulai, Hakim wajib mendamaikan kedua belah

pihak. Hal ini a.1. tercerrnin dari pas;}1 143 Kompilasi Hukum Islam yang

menyatakan dalam merneriksa gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan

kedua belah pihak, usaha mana dilakukannya pada setiap sidang pemeriksaan

selama perkara belum diputus. Hal yang sarna diatur dalam pasal 130 (I) HIR.

Dengan dicapainya perdarnaian, proses akan berakhir dan Hakim membuat suatu

Akta yang mempunyai kekuatan pembuktian seperti Keputusan Hakim. Terhadap

Akta Perdamaian ini tidak bisa dimintakan banding (pasal 130 ayat (3) HIR).

Selanjutnya dikatakan apabila tercapai perdamaian, maka tidak lagi dapat

diajukan gugatan perceraian baru atas dasar yang sarna. Bila perdamaian tidak

tercapai gugatan dilanjutkan dalam sidang tertutup (pasal 143 dan 144 Kompilasi

12

Hukum Islam). Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.(pasal 146

(I) Kompilasi Hukum Islam) ..

7. Acara Perdata di muka Pengadilan Agama sebagaimana juga di Pengadilan

Negeri berlaku secara lisan atau tertulis (terutama di kota kota besar), yaitu

dengan mengajukan suatu gugatan (surat gugatan atau surat permohonan) pasal.

132 HIR. Untuk permohonan atau gugat secara lisan, Hakim akan mendengar

langsung para pihak sendiri.

8. Pt:radilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

Bismilahirrahmanirrahim diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan

(pasal 57 UU No.7/I 989/UU No.3/2006);

9. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.

Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya

mengatasi segal a hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat dan biaya ringan (pasaJ 58 UU No.7/I989/UU No.3/2006).

10. Putusan Hakim harns menyebutkan alasan-alasan atas mana putusan itu bersandar

(pasal 184 ayat (I) HIR).

II. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan

wajib memeriksa dan memutusnya . Ketenluan ini tidak menutup kemungkinan

usaha penyelesaian perkara secara damai (pasaJ 56 (l) dan (2) UU No.7 /I 989/UU

No.3/2006);

13
II. SIFAT HUKUM ACARA PERDATA

I. Bersifat Ketentuan Hukum Memaksa

2. Bersifat Ketentuan Hukum Mengatur

Ad. I.: Bersifat ketentuan hukum memaksa artinya , harus dipergunakan oleh

Hakim karena jabatan ;

a. Ketentuan mengenai Kekuasaan Mutlak seorang Hakim.

Misalnya : Seorang Hakim tidak berwenang mengadili suatu perkara

berhubung dengan obyek perkaranya. Misalnya tentang perkara

penentuan kepemilikan tanah yang berkaitan dengan warisan dari

pewaris beragama Islam, yang merupakan wewenang Pengadilan

Negeri, yang diajukan ke Pengadilan Agama . Dalam hal ini Hakim

harus menyatakan dirinya tidak berwenang, meskipun para pihak tidak

mengemukakannya. (Ketentuan ini hanya berlaku apabiJa pihak yang

berkeberatan mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah

didaftarkan gugatan ke pengadilan negeri terhadap objek yang sarna

dcngan sengketa di pengadilan agama. lihat Penjelasan pasaJ 50 UU

no.3/2006, di atas).

b. Ketentuan-ketentuan tentang syarat beracara, seperti pemeriksaan di

persidangan, pendengaran saksi-saksi, pembeslahan dan Keputusan

Hakim

c. Ketentuan tentang tenggang waktu yang harus diindahkan. Mis. Untuk

banding, kasasi dU.

1.+

Ad. 2 Bersifat ketentuan hukum mengatur maksudnya, untuk menjamin

kepentingan-kepentingan khusus dari pihak yang bersangkutan

a. Ketentuan mengenai kompetensi atau masalah kekuasaan relatif

seorang Hakim (pasaJ 1] 8 HIR).

b. Ketentuan mengenai penghukuman untuk membayar ongkos perkara.

III. PROSES BERPERKARA DI MUKA PENGADILAN AGAMA

A. MASALAH PENGAJUAN GUGATAN.

Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai setelah diajukannya suatu

permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil

menurut ketentuan yang berlaku.

Sebelum Hakim memulai pemeriksaan suatu perkara, ia wajib

mendamaikan kedua belah pihak (pasal 130 ayat 1 HTR). Hal ini seperti telah

dikemukakan di atas berlaku pula pada Pengadilan Agama.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008, yang

ditetapkan tanggal 31 luli 2008, Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, Pasal

menetakan setiap Hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur

penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Perma ini. Tidak

menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan

pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR atau rasa) 154 Rbg yang

mengakibatkan putusan batal demi hukum. Selanjutnya dalam pasal ini

ditegaskan pula, Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan

bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi

15

dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Hal ini

ditegaskan pula oleh Drs. H. Andi Syamsu Alam, SH,MH, Ketua Muda Uldilag

MARl dalam acara orientasi mediasi bagi hakim tinggi agama se Indonesia di

Bogor, Senin 22 Desember 2008 6

Oi dalam perkara perceraian baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan

Agama hakim biasanya, pada sidang pertama diminta agar menghadapkan baik

penggugat asli maupun tergugat asli. Sedapatnya tidak hanya dihadiri oleh

kuasanya. Pada sidang yang telah ditentukan ini , sesuai dengan ketentuan di atas,

menurut hemat penulis, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

Hakim wajib menunda proses persidangan untuk memberi kesepatan para pihak

menempuh proses mediasi (Pasal 7). Proses mediasi ini berlangsung 40 hari kerja

sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim

(karena kegagalan memilih mediator oleh para pihak), dan jangka waktu ini dapat

diperpanjang paling lama 14 hari kerja sejak berakhirnya mas a 40 hari tsb.(pasal

13). Bila terjadi perdamaian atau proses mediasi berhasil, proses berakhir. Para

pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan

yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Pasal 17).

Terhadap terjadinya perdamaian ini tidak diperkenankan banding (pasal 130 ayat

(3) HIR). Akta perdamaian yang dibuat mempunyai kekuatan sebagai putusan

Dikutip dari situs internet http:://.badilag.net, 27 Feb.2009.


Dalam praktek Mediasi dapat ditiadakan apabiJa para pihak yang akan bercerai itu dalam permohonannya
temyata telah mengatur segala sesuatu mengenai akibat hukum apabila teljadinya percerailln yang
dituangkan dalam Kesepakatan Bersarna biasanya dihadapan Notaris seperti mengenai hak asuh anak,
pembagian harta dsb (Keputusan Mahkamah Agung RI No.3713 KlPdtl1994 ttgL28 Agustus 1997). Untuk
itu kepada Pemohon dengan ditandatangani pula oleh termohon diminta untuk mengajukan Surat kepada
Majlis Hakim yang menyatakan bahwa kedua pihak berpendapat bahwa telah terjadi ketidak cocokan
sedemikian rupa antara keduanya, karen a itu tetap berkeinginan untuk mengakhiri perkawinan.(perkara No
2388/Pdt.G/20091PAJS) ..

16
Hakim (pasal 130 ayat 3 HIR). Apabila proses mediasi gagal mencapal

kesepakatan" maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan

hukum acara yang berlaku (pasal 18). Kepada tergugat diperintahkan oleh hakim

untuk mengajukan Jawaban (tertulis atau lisan).

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kekuasaan Pengadilan Agama

terbatas pada apa yang diatur dalam pasal 49 UU No.3/2006, yaitu pada masalah

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi

syari'ah. Untuk itu a.I. akan dkemukakan mengenai masalah pengajuan gugatan

perceraian di Pengadilan Agama.

Mengenai Tata Cara Perceraian di Pengadilan Agama pada prinsipnya sarna

dengan Tata Cara Perceraian yang diatur dalam PP No.9/1975 Bab V pasaJ 14 sId

36, yang berlaku baik untuk Peradilan Umum maupun Peradilan Agama.

Pasal 55 UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama yang tidak diubah oleh UU

No.3/2006 Tetang Peradilan Agama (sehingga sekarang merupakan pasal 55 UU

No 3/2006), berbunyi sbb:

Pasal 65 UU No.71l989 yang tidak diubah oleh UU No.3/2006 (sehingga

sekarang merupakan pasal 65 UU No.3/2006) menyatakan hahwa perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Di bidang perkawinan, dikenal dua cara untuk megajukan perceraian ke

Pengadilan Agama, yaitu Cerai Talak yang diatur dalam pasal 66 sId 72 UU

No.7/1989 (sekarang pasal 66 sId 72 UU No312006) dan Cerai Gugat yang

17

diatur daJam pasaJ 73 sid 86 UU No.711989 (sekarang pasal 73 sid 86 UU

No.3/2006).

Dalam hal Cerai Talak, proses berperkara di muka Pengadilan Agama

dimulai dengan diajukannya surat permohonan oleh suami /pemohon, atau

kuasanya (baik lisan maupun tertulis) kepada Ketua Pengadilan Agama yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (isteri), kecuali

apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa

izin pemohon, untuk mengadakan sidang menyaksikan ikrar talak.(pasal 66 ayat

(I) dan (2) UU No.711989 / UU No.312006 jo.pasal 129 KHI);

Dalam hal termohon berkediaman di luar negeri, permohonan dilakukan

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

Dalam hal baik pemohon maupun termohon berkediaman di luar negeri,

permohonan diajukan kepengadilan yang daerab hukumnya meliputi tempat

perkawinan mereka atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Selanjutnya

dikatakan permohonan mengenai masalah penguasaan anak, nafkah anak, nafkah

istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai

talak atau seteJah ikrar talak diucapkan (pasal 66 ayat (3) (4) (5) UU

No. 711989/UU No.3/2006).

Dalam hal Cerai Gugat (yang diakukan oleh istri atau kuasanya), gugatan

diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

penggugat, kecuali penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat tinggal

bersama tanpa izin tergugat (pasal 73 (I) UU No.7 /1989/UU No.3/2006 dan pasal

132 (l) KHI); Dalam hal penggugat berkediaman di luar negeri , gugatan

18

perceraJan dilakukan kepada pengadilan tempat perkawinan dilangsungkan

atau ke Pengadilan Agama' Jakarta Pusat (pasal 73 (2) UU No.7/89/UU

No.3/2006).

Kemudian Kompilasi Hukum Islam dalam ayat (2) pasal 132

menambahkan, dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua

Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui

Perwakilan Republik Indonesia setempat. (ayat 2).

Ketentuan-ketentuan tentang masalah pengajuan gugatan ini secara urn urn

diatur oleh PP 9/1 975 pasal 20 dan 21 yang pada pokoknya sarna dengan

ketentuan di atas.

Selanjutnya pasal 67 UU N071l989 IUU No.3/2006. Permohonan sebagai

dimaksud dalam pasal 66 UU No.7/J989/UU no.3/2006 tsb memuat nama, lImur

dan tempat kediaman pemohon (suami) dan termohon (isteri) disertai dengan

alasan-alasan untuk terjadinya cerai talak. Hal ini berlaku pula untuk cerai gugat.

Adapun alasan-Iasan untuk terjadinya perceraian baik cerai talak

maupun cerai gugat tidak diatur oleh UU No.71l9891UU No.3/2006, tetapi diatur

oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 116, yang menambah 2 alasan dari

alas an bercerai berdasarkan pasal 19 PP No.9/1975 yaitu :

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut­

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karen a hal lain di

luar kemampuannya;

19
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. Suami melanggar taklik-talak;

. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga;

Pemeriksaan pennohonan baik cerai talak maupun cerai gugat dilakukan oleh

Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat

pennohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan. Pemeriksaan permohonan

cerai talak rnaupun ceraj gugat dilakukan dalam sidl!Dg tertutup (passl 68 dan

pasal 80 UU No.7/1989/UU No.312006). Baik permohonan cerai talak maupun

gugatan cerai gugat, hapus apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya

putusan Pengadilan. (pasal 69 dan 79 UU No.7; 1989/UU No.3/2006).

Pada pennohonan cerai talak berlaku acara sebagai berikut:

Apabila pengadilan berkesimpulan bahwa kedua pihak tidak mungkin \agi

didamaikan dan telah cukup alasan untuk bercerai, maka Pengadilan menetapkan

akan mengabulkan permohonan pemohon. Terhadap penetapan tersebut isteri

dapat mengajukan banding. Setelah pcnetapan itu mempunyai kekuatan hukum

20

tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan

memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Di

dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta

otentik untuk mengucapkan ikrar talak, yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

Jika isteri setelah dipanggil secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap

sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat

mengucapkan ikrar talak tanpa hadimya isteri atau wakilnya. Akan tetapi apabila

Emami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang untuk

penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim

wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka

gugurlah kekuatan penetapan itu dan perceraian tidak dapat diajukan lagi

berdasarkan alasan yang sarna ( pasal 70 ayat 1 sid 6 UU No,7119891 UU

No.3/2006).

Segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak, dicatat oleh

panitera. Kemudian Hakim membuat Penetapan yang isinya menyatakan bahwa

perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan itu tidak

dapat dimintakan b:mding atau kasas; (pasal 71 UU No.711989/UU

No.3/2006).

Apabila Penetapan Pengadilan (dalam hal cerai talak) maupun Putusan

Pengadilan (dalam hak cerai .gugat) telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

maka Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang dimnjuk berkewajiban

selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai

salinan penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

21
hukum tetap itu tanpa meterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayah

hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon dan termohon (dalam hal cerai

talak) dan tempat kediaman penggugat dan tergugat dalam hal cerai gugat untuk

mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.

Apabila perceraian dilakukan di dalam wilayah yang berbeda dengan wilayah

Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan diJangsungkan, maka satu heJai

salinan putusan yang telah berkekuatan tetap itu tanpa meterai dikirim pula

kepada Pegawai Pencatat Nikah dimana perkawinan dilangsungkan dan oleh

Pegawai Pencatat Nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dicatat pada bagian

pinggir daftar catatan perkawinan. Selanjutnya bila perkawinan dilangsungkan di

luar negeri, maka satu helai salinan putusan itu disampaikan pula kepada Pegawai

Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.

Panitera berkew~iban memberikan Akta Cerai sebagai bukti cerai kepada para

pihak selambat-Iambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak ( pasal 84 UU

No. 7/19891UU No.3/2006).

Kelalaian pengiriman putusan Cerai sebagaiman dimaksud dalam pasal

84 merifadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan atau Pejabat Pengadilan

yang ditunjuk, apabiia hal itu merugikan bagi bekas suami atau bekas istri atau

keduanya. (pasaJ85 UU No.7/1989/UU No.3/2006).

Dalam hal cerai gugat, apabila gugatan dilakukan atas dasar salah satu

pihak mendapat pidana penjara (lima tahun atau lebih), sebagai bukti, penggugat

cukup melampirkan Putusan perkara itu yang sudah mempunyai kekuatan hukum

22
tetap (pasal 74 UU NO.7/1989/UU No.3/2006). Dalam hal alasan perceraian

karena tergugat mendapat cacat badan hingga tidak dapat menjalankan kewajiban

sebagai suami, Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri ke

dokter Pasal 75 UU No.7/1989/UU No.3/2006). Apabila alasan cerai adalah

Shiqaq (pertengkaran terus menerus yang tidak dapat didamaikan) (pasal 116 f

KHI = 19f PP9/75), maka gugatan atau permohonan dapat diterima apabila telah

cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan

pertengkaran itu setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat

dengan suami isteri tersebut.(pasal 134 KHI jo pasal 76 UU No.7 / 1989/UU

No.3/2006).

Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu

pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat

membuktikan telah tcIjadinya zina tersebut karen a termohon atau tergugat

menyangkalnya , hakim karena jabatan dapat menyuruh pemohon atau penggugat

untuk bersumpah. Untuk meneguhkan sanggahannya pihak termohon atau

tergugat diberi kesempatan pula untuk bersumpah (pasal 87 UU No.7/!989/UU

No.3/2006). Apabila sumpah dilakukan oleh pihak suami, maka penyelesaiannya

dapat dilaksanakan secara lisan. Apabila sumpah dilakukan oleh isteri maka

penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku . (Pasal 88 UU

No.7/ 1989/UU No.3/2006).

Apabila tuduhan berbuat zina itu dituduhkan oleh suami, hal ini

disebut Li'an. Pasal 126 KHI menyatakan, Li'an terjadi karena suami menuduh

istrinya berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang

23
sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan pengingkaran

tersebut. Li'an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri itu

selama-Iamanya. Anak yang dikandung dinasabkan kepad ibunya, sedang suami

terbebas dari kewajiban memberi nafkah (pasa\ 125 jo. 162 KHJ). Li'an banya

sah biJa dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama. (pasal 128 KHI).

Tata cara Li'an diatur dalam pasal 127 KHI :

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran

anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata "laknat AHah

atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta";


b
Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat

kali dengan kata-kata "tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar",

diikuti sumpah kelima dengan kata-kata: murka Allah atas dirinya bila

tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar";


c
Tatacara pada a dan b terscbut merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan ;

d Apabila tata cara pada huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka

dianggap tidak terjadi li'an.

Pasal 102 KHI menyatakan:

(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,

mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama dalam waktu 180 hari sesudah

hari lahir si anak atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah

suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat

yang memungkinkan ia mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama;

24
(2)
Pengingkaran yang diajukan setelah lampau waktu tersebut tidak dapat

diterima.

Gugatan soal penguasaan anak, najkah anak, najkah isterl dan harta

bersama suaml isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian

ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika ada

tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta

bersama terse but sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. (pasa! 86

UU No. 71 I 989/UU No.3/2006).

Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permobonan penggugat

atau tergugat (dalam cerai gugat), berdasarkan bahaya yang mungkin ditimbulkan,

Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri terse but untuk tidak tfnggal

dalam satu rumah. Selain itu Pengadilan Agama atas permohonan penggugat atau

tcrgugat dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami dan

menetukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang

menjadi hak suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atal!

barang-barang yang menjadi hak isteri. (pasa! 136 KHI).

Untuk itu dalam gugatan perceraian ini dapat pula disertai dengan permohonan
sita jaminan. Pasal 24 ayat 2) c Pp 9/1975 jo. PsI 136 ayat (2 b) KHI berbunyi :
Selama berlangsungmnya gugatan perceraian, atas permnhonan penggugat atau
tergugat, Pengadilan/Pengadiian Agama dapat menentukan hal-hal yang pedu
untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami
isteri atan barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak isteri. Ketentuan dengan bunyi yang sarna diatur di dalam Pasal 78

25

UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No.3


Tahun 2006.
Sitajaminan terhadap harta bersama di dalam perkawinan ini lebih dikenal
dengan istilah "sita marital" (maritale beslaag). Ketentuan tentang sita marital
ini tidak ditemui di dalam HIR tetapi ditemui di dalam RV Pasal 823, yaitu
tentang tata cara melakukan sita marital, pertama dilakukan dulu pencatatan,
kemudian dilakukan penilaian , baru kemudian diletakkan sita marital..
Dari riwayatnya dapat diketahui bahwa di dalam BW sita marital itu dimohonkan
ke Pengadilan Negeri oleh isteri selama sengketa perceraian diperiksa,
terhadap barang-barang harta bersama. (pasal 190 BW), untuk mencegah pihak
suami tidak mengasingkan barang-barang itu. Di dalam BW yang berhak mcminta
sita marital itu adalah istri, karena menurut BW isteri tidak cakap melakukan
perbuatan hukum/ jadi maksudnya untuk melindungi isteri terhadap kekuasaan
maritaal si suami. Yang dapat disita itu adalah baik barang tetap maupun barang
bergerak dari harta bersama. Di dalam BW Belanda yang baru isteri dinyatakan
cakap melakukan tindakan hukum, karena itu istilahnya diubah menjadi
matrimonial yang mengandung kesetaraan antara suami dan isteri. Sedangkan
sitaan marital, menempatkan isteri di bawah kekuasaan suami dalam perka\vinan
yang dikenal dengan maritaal macht (pasal 105 dan 106 BW).
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), malah dimungkinkan untuk

meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan

gugatan perceraian, apabiJa salah satu pihal;: melakukan perbuatan yang

merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan

sebagainya. Hal ini diatur dalam pasal 95 KHI.

Pasa! 95 KHI menyatakan dengan tidak mer.gurangi ketentuan p!:l.sal 24 ayat (2)
huruf c PP 911975 dan pasal 136 ayat (2b) KHI, suami atau isteri dapat meminta
Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa

Ketentuan dalam pasal 108 BW tentang ketidak cakapan seorang isteri itu harus dianggap sudah dicabut
oleh UUP Pasal 31 (1) yang mengatakan bahwa suami-isteri masing-masing berhak melakukan perbuatan
hukurr:. Baca pula, Subekti, op.cit hal. 30-31.

26
adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu pihak datam perkawinan
melakukan tindakan yang meb~ayakan harta bersama misalnya menjadi penjudi,
pemabok, boros dsb. Dengan izin Pengadilan Agama selama masa sita terse but
demi kepentingan keluarga dapat dilakukan penjualan atas harta bersama itu.
Dari pasal-pasal terse but terlihat bahwa adanya sita marital itu
digantungkan pada adanya gugatanlpermohoan perceraian (bersifat accessoir),
tidak dapat berdiri sendiri, karena itulah keberlakuan pasal 95 KHI ini menjadi
dipertanyakan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam suatu kasus permohonan
sita marital (maritale beslaag). 8
Bila kita membaca ketentuan dalam BW, kita menjumpai Pasal 186 yang
berbunyi sbb :
"Sepanjang perkawinan setiap isteri bcrhak memajukan tuntutan kepada hakim
akan pemisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya dalam hal-hal sebagai berikut:
L jika si suami karena kelakuannya yang nyata tidak baik telah
memboroskan harta kekayaan persatuan dan karen a itu menghadapkan segenap
keluarga rumah kepada bahaya keruntuhan;
2. jika karen a tidak adanya ketertiban dan cara yang baik akan mengurus
harta kekayaan si suami sendiri, jaminan guna harta kawin si isteri dan guna
segala apa yang menurut hukum menj<1di hak si isteri akan menjadi kabur atau,
jika karena sesuatu kelalaian besar dalam mengurus harta kawin si isteri,
kekayaan itu dalam kcadaan bahaya".
Dari bunyi pasal 186 BW tersebut jelas pula mencerminkan ketentuan
yang disebutkan di atas, yaitu hanya istri yang berhak melaklJkan permohonan
pemisahan harta, karen a suami di dalam BW menjadi kepala keluarga yang
berkuasa penuh atas semua harta. Seperti diuraikan di atas, hal tersebut tidak lagi
dianut setelah berlakunya UUP.
Untuk menjamin terlaksanana pemisahan harta itu biasanya dimohonkan pula sita
marital. Tidak ada pengaturannya tentang sita marital ini di dalam HIR, tetapi
menurut pendapat Yahya Harahap, sita marital itu serum pun dengan sita jaminan

8Kasus No.549IPdtl2007/PAJP, antara Halimah AK melawan Bambang T, diputus tgL23 September 2008
dan dinyatakan berkekuatan tetap pada tanggal 8 Oktober 2008.

27
(Conservatoir Beslaag = CB), karena itu berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal
227 ayat 3 HIRjo. Pasal 197, 198 dan 199 HIR. 9 Karena serum pun pada dasarnya
sita marital itu juga asesoir dengan gugatan perceraian. Akan tetapi pasal 95 KHI
ini diatur secara khusus, secara spesifik, dikecualikan tidak secara asessoir tapi
boleh berdiri sendiri, karena tujuan pokoknya "doelmatigheid"-nya untuk
menyelamatkan keutuhan harta bersama tanpa merusak ikatan hubungan keluarga.
Dengan kata lain tujuannya adalah demi menyelamatkan kedua-duanya, yaitu
perkawinan dan harta bersama.1O
Menjadi pertanyaan pula apakah si isteri dapat mengajukan sita jaminan
pada hal ia tidak memegang bukti -bukti kepemilikan harta bersama itu karena
biasan),a dipegang oleh suami ? Si isteri berhak mengajukan sita marital terhadap
semm. harta b~rsama, baik yang ada pada suami, pada tangan isteri, yang penting
dapat dibuktikan harta itu diperoleh selama perkawinan. Pembuktian bila tidak
ada surat-surat, bisa dengan saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah dsb
Ketentuan di dalam pasal 95 KHI ini yang memperkenankan permohonan sita
jaminan dilakukan tanpa adanya permohonan gugatan lebih dahulu, memang tidak
lazim setid3.k-tidaknya ketentuan itu selama ini belum pernah dipakai oleh para
pihak dalam berperkara, karena dianut pendapat bahwa permohonan sita jaminan
digantungkan pada adanya permohonan perceraian. 11
Menmut pengamatan penulis, ketentuan dalam pasal 95 KHI ini untuk
pertamakali dipergunakan oieh Hakim dalam perkara No.549/PDT/2007/PAJP.
Karena itulah dapat dianggap putusan dalam kasus tersebut dianggap sebagai
"landmark decision", yang diharapkan akan diikuti oleh hakim-hakim selanjutya
hingga dapat menjadi yurisprudensi.
Banyak yang meragukan pemakaian pasal 95 KHI tersebut, karen a KHI hanya
merupakan INPRES, sehingga tidak mungkin mengalahkan ketentuan-ketentuan
ualam HlR yang dianggap Jebih tinggi. Pendapat itu dibantah oleh Yahya Harahap

~ Disarikan dari keterangan Yahya Harahap, pada keterangannya sebagai saksi ahli dalam perkara No.
5491PDT12007lPJAP. Baca pula Yahya Harahap: Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika 2007.
10 ibid

11 Penulis, dalam hal ini adalah pula merupakan saksi ahli dalam kasus d atas yang dimintakan pendapatnya
mengenai keberlakua pasal 95 KHI ini di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

28
dengan menjelaskan bahwa dibuatnya KHI itu adalah karena ditemui disparitas
peradilan agama yang sangat tinggi satu dan lainnya tergantung dari Mazhab
yang dianut oleh hakim yang memutus perkara. KHI diciptakan untuk
menyeragamkan dasar yang akan dipakai dalam memutus perkara di pengadilan
Agama di seluruh Indonesia. 12 Dan sebagaimana diketahui, Inpres ini
ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama RI No.154 Tahun 1991,
T entang Pelaksanaan Inpres 1991 dan selanjutnya Keputusan Menteri Agama ini
ditindak lanjuti lagi oleh Dirjen Peradilan Agama yang memerintahkan kepada
seluruh hakim Pengadilan Agama agar mempedomani dan memberlakukan KHI
sebagai landasan hukum bagi masyarakat Islam dalam mengadili sengketa­
sengketa yang timbuL Dengan demikian dipakainya ketentuan-ketentuan dalam
KHI untuk sengketa-sengketa bagi yang beragama Islam bersifat keharusan.
Kemudian, peletakan sita marital jtu dikabulkan kalau salah satu pihak melakukan
perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk,
boros dan sebagainya. Apakah rumusan itu perlu dibuktikan, pada umumnya
cukup apabila ada indikasi, ada petunjuk kearah misalnya tindakan pemborosan.

Bagaimana halnya apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak

mempunyai tempat kediaman tetap. Hal ini diatur dalam pasal 139 KHI. Dalam

hal terse but panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan

pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau

beberapa surat khabar atau mass media lain ya!1g ditctapkan oleh Pengadilan

Agama; pengumuman tersebut dilakukan sebayak 2 (dua) kali dengan tenggang

waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua., tenggang waktu mana

ditetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. Apabila ketentuan pemanggilan

tersebut telah dilakukan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima

12 Bahwa bentuk INPRES waktu itu dianggap tepat karen a kalau dalam bentuk Undang-undang itu akan
memakan waktu yang lama, mengingat pIa UUP untuk dindangk:,m memerlukan waktu 30 tahun.

29
tanpa hadimya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak

beralasan. (hal ini dikenal pula. sebagai gugatan Ghoib).

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN.

Hal ini diatur baik dalam Undang-undang No. 111974, pasal 41 sid 49 maUpun di

dalam Kompilasi Hukum Islam (pasal 149 sid pasal 162).

Pasal 149 KHJ:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang

atau benda kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukkul (belurn terjadi hub.sex);

b. memberi natkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam

iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi taJak bain atau nusyus dan dalam keadaan

tidak hamil.

c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila

qobla al dukkul;

d. memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur

21 tahun.

Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah

satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129

, 130 dan 131 KHI (pasal 117 KHI)

Ada berbagai macam talak :

I. Talak Raj'i adalah talak kesatu atau talak kedua, di mana suami berhak rujuk

selama isteri dalam masa iddah ( pasal 117 KHI).

30

L,

2. Talak ba'in Shugraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah

baru dengan bckas suaminya .meskipun dalam iddah. Talak Bain Shughraa ini

adalah talak yang terjadi qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khuluk dan

talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama (pasal 119 KHI).

3. Talak Ba'in Kubraa, yaitu talak ketiga. Talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak

dapat dinikahkan kembali kecuali bila istri menikah dengan orang lain kemudian

terjadi perceraian. (pasal 120 KHI).

4. Talak Sunny, adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap

isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (pasal 121

KHI);

5. Talak bid'i adalah talak yang dilarang yaitu yang dijatuhkan pad a waktu isteri

dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada

waktu sud tersebut. (pasal 122 KHI);

Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam

iddah (pasal 150 KHI). Bekas isteri selama dalam masa iddah, wajib menjaga dirinya,

tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. (pasal 151 KHI).

Pasal 163 KHI menyatakan:

(1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah, bila dipenuhi

syarat-syarat :

(2) a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak tiga utau talak yang dijatuhkan

qob!a al dukhul (sebelum terjadinya hubungan sex);

b. putusnya perkawinan dengan putusan pengadilan karena alasan-alasan selain

zina (Ii'an) dan khuluk (cerai atas permintaan isteri);

31
Pasal 164 KHI:

Seorang wanita dalam iddah talak raj'i berhak mengajukan keberatan atas

kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan

dua orang saksi.

Rujuk harus dengan persetujuan bekas isteri. Rujuk yang dilakukan tanpa

persetujuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan

Agama (pasal 165 KHI). Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan

Pendaftaran Rujuk (pasal 166 KHI).

Tata Cara Rujuk ini diatur dalam pasal 167 sId 169 KHI .

Pasal 167 KHI :

(1) Suami yang akan merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke PPN atau

P3N yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan

ten tang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan;

(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan PPN atau P3N;

(3) PPN atau P3N memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu

memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang

akan dilakukan masih dalam iddah talak raj' i, apakah perempuan yang akan

dirujuk itu adalah bekas isterinya;

(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan

beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk;

(5) Setelah rujuk dilaksanakan PPN atau P3N menasihati suami isteri tentang hukum­

hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.


Selanjutnya PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan

mengirimkannya ke Pengadilan Agama yang menjatuhkan talak dan kepada kedua

suami isteri itu diberikan Buku Pendaftaran Rujuk. Kemudian suami-isteri dengan

membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama

yang menjatuhkan talak untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah

masing-masing, setelah diberi catatan tentang tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk

diikrarkan, nomor serta tanggal Kutipan Buku Pendartaran Ruj uk dan tanda

tangan Panitera. (pasal 169 ayat (1,2 dan 3 KHI);

Bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suami kecuali bila ia

nu.syus 13 .(pasal 152 KHI). Bagi istri yang putus perkawinallnya dengan perceraian

berlaku waktu tunggu (iddah) Hal ini ditur baik oleh UU No.1I1974 (pasa) 11), PP

9175 (Pasal 39) maupun KHl (pasal 153 sid J 55).

Pasal 39 PP 911975 jo Pasal 153 KHl sbb:

(1) Waktu tunggu bagi seorangjanda ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian,(walaupun qobla al dukhul)

waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga pUluh) hari ;

b. Apabila perkawinan putus karen a perceraian, waktu tunggu bagi yang

masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang­

kurangr.ya 90 (sembi/an puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan

ditetapkan 90 (sembi Ian puluh) hari.

c. Apabila perkawinan putus (baik karena kematian maupun karena

perceraian) sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu

ditetapkan sampai melahirkan.

13 Nusyus tidak taat pada suami

""
.'-'
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinannya karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi

hubungan sex ( qobla al dukhul).

(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktunya dihitung sejak

jatuhnya putusan Pengadilan (Agama) yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

sedang bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu

dihitung sejak kematian suaminya;

(4) Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah

tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali suci;

(5) Dalam hal keadaan seperti ayat (4) bukan karen a menyusui, maka iddahnya

selama satu tahun, akan tetapi bila dalam satu tahun tersebut ia berhaid kembali,

maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154 KHI : Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf b, ayat (4) dan ayat (5), pasal tersebut di atas, ditinggal

mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh had terhitung

saat meninggalnya bekas suaminya;

Kemudian Pasal 155 KHI mengatur, waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya

karena khuluk, fasakh dan li'an berlaku iddah talak.

Dalam hal terjadinya perceraian :

(a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah

hak ibunya;

(b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih

di antam ayah atau ibunya sebagai pemegang h::tk pemeliharaannya;

34
(c) biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya. (pasal 105 KHI).

Mengenai Akibat Perceraian ini KHI dalam Pasal 156 mengatumya lebih rinei :

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapat badbanab dari ibunya, kecuali

bila ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wan ita-wan ita dalam garis lurus dari ibu;

2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menu rut garis samping dari ibu;

6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berbak memilib untuk mendapatkan hadhanah dari

ayah atau ibunya;

c. ApabiJa pemegang hadhanah temyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani

dan rohani anak meskipun biaya natkah dan hadhanah teJah dicukupi, maka atas

permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan

hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. Semua biaya natkah dan hadhanah anak menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat

men gurus diri sendiri (21 tahun) ;

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan natkah anak, Pengadilan

Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf(a),(b), (c) dan (d);

35

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan

jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut

padanya.

Mengenai harta bersama dibagi sebagaimana ditentukan dalam pasal 96 dan 97 KHI

sbb:

Pasal 96 KHI:

(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh dari harta bersama l4 menjadi hak

pasangan yang hidup terlama;

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang istri atau suaminya

hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau

matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal97:

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama

sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

B. MASALAH SURAT KUASA

Bila penggugat dan si tergugat tidak bersedia hadir sendiri dipersidangan, ia dapat

menunjuk seorang kuasa (advokat) untuk mewakilinya menghadap dipersidangan,

dengan Surat Kuasa Khusus (lstimewa), yang tertulis, dan ditandatangani di atas

meterai yang cukup lengkap dan ta!lggalnya. Perlu ditekankan disini bunyi dari surat

14 Dalam Pasal 35 UU No.1I1974, menyatakan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama

perkawinan (1). Harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan hart a bend a yang diperoleh masing­
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.

36

kuasa tersebut harus khusus dan tidak diperkenankan bunyi surat kuasa yang umum

sifatnya (pasal 123 HIR).

Yang dimaksud dengan Surat Kuasa Khusus tersebut ialah :

Surat Kuasa yang secara singkat menyebut dengan konkrit yang menjadi perselisihan

atau persengketaan antara kedua belah pihak yang berpekara. Dimana diinginkan,

dengan penambahan bahwa kuasa tersebut dalam perkara tertentu ini dapat

memajukan permohonan banding dan kasasi.

Contoh : Akan diajukan gugatan perceraian.

Surat Kuasa tersebut tidak cukup hanya menyebutkan: "Memberi Kuasa untuk

Mengurus Segala Sesuatu Tentang Perceraian Pemberi Kuasa". Tapi harns secara

jelas disebntkan Misalnya,

Khusus, untuk menjalankan perkara perceraian pemberi kuasa sebagai penggugat,

melawan si A sebagai tergugat, dihadapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan

tuntutan pemeliharaan anak-anak di bawah umur, nafkah isteri, mut'ah dan

sebagainya.

Dengan demikian syarat yang harns dipenuhi adalah :

I. menyebut denganjelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan

menyebut kompetensi relatif,

3. menyebut identitas dan kedudukan para pihak, dan

4. menyebut secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang

diperkarakan.

37

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif. Tidak dipenuhinya salah satu syarat,

mengakibatkan kuasa menjadi tidak sah. 15

Perlu pula diperhatikan, pencantuman tanggal pada surat Kuasa dan diatas meterai

hams dengan tanggaJ yang sama. Sering kali terjadi pada saat Surat Kuasa disodorkan

kepada pemberi kuasa, pemberi kuasa selain menandatanganinya juga memberi

tanggal pada meterai tapi tanggal dalam Surat Kuasanya tidak diisi, hingga pada saat

pengetikan Surat Kuasa, sikuasa tersebut "1 upa" memperhatikan tanggal yang

dibubuhi meterai dan mencamtumkan tanggal lain, yang bisa berakibat fatal dengan

tidak diterimanya gugatan penggugat.

Sebaiknya Surat Kuasa Khusus tersebut mencantumkan pula mengenai hak

substitusi, dengan maksud bila sikuasa tersebut berhalangan hadir, ia dapat

menguasakan lagi secara substitusi kepada orang lain.

Surat Kuasa bagi mereka yang berada di luar negeri

Apabila penggugat/tergugat berada di luar negeri misalnya untuk gugatan, maka

Surat Kuasanya hams dibuat dihadapan Notary Public dan dilegalisir oleh Perwakilan

Indonesia di luar negeri (bisa KBRJ bisa Konsulat RI). Bila ketentuan terse but tidak

dipenuhi, Surat Kuasa menjadi tidak sah dan gugatan yang diajukan dinyatakan

sebagai tidak dapat diterima.

C. MASALAH lSI DARt SURAT GUGATI PERMOHONAN

HJR tidak menetapkan syarat-syarat tentang isi gugatan.

15 Untuk jelasnya, baca M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet.ke 5, April 2007, hal 12-17.
Berdasarkan SEMA No.Ol Tahun 1971, PN dan PT tidak dibenark.an lagi untuk memberi kesempatan
perbaikan, karena SEMA ini telah mencabut SEMA No.5 Tahun 1962, yang memben kemungkinan bagi
PN dan PT memanggil pemberi kuasa untuk menyempurnakan kekurangan syarat yang terjadi.

38
Menurut Prof. Soepomo, setidak-tidaknya gugatan terse but harus memberi

gambaran tentang kejadian material yang menjadi dasar tuntutan penggugat

terhadap tergugat.

Karena tidak adanya keharusan untuk memformulasikan dengan konkrit apa

yang dituntut itu, biasanya penggugat menentukan sendiri apa yang dimintanya.

Seringkali penggugat ragu, apakah yang dimintanya tersebut dapat dikabulkan atau

tidak, karena itu sesuai dengan yurisprudensi tetap, penggugat dapat meminta

disamping tuntutan primer, tuntutan subsidiair: supaya hakim mengadili seadil­

adilnya dan menyerahkan kepada hakim, jumlah yang layak menurut peradilan yang

baik (ex aequo et bono).

Yang perlu diperhatikan ialah :

Tiap-Nap gugatan harus mempunyai 2 (dua) anasir

I. hal-hal kejadian (feiten) yang diajukan oleh penggugat terutama hal-hal yang

rei evan yang berarti untuk hukum. Karena itu disebut rechtsfeiten.

Rechtsfeiten yang diajukan oleh penggugat merupakan posita. Mis.

Penggugat adalah pemilik sah atau ahli waris.

2. Petitum, tuntutan yang harus didasarkan atas posita tersebut. Bilamana posita

tidak didukung oleh petitum , gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet

onvankelijk verklaar).

Sebagai contoh konkrit dikemukan sebagai berikut :

Penggugat mengajukan sebagai rechtsfeit, suatu perjanjian jual akad tanah

yang menuntut suapaya si pembeli tanah terse but dihukum untuk membayar

uang tebusan.

39
Gugatan akan dinyatakan sebagai tidak dapat diterima, karen a tuntutan

penggugat "onrechtmatige'\ tidak berdasar hukum sebab menurut hukum adat

dalam perjanjian jual akad tanah sipenjual tidak dapat dipaksa untuk menebus

tanahnya.

Sebaliknya bilamana tidak diajukan "rechtsfeiten", yang menyokong atau

membenarkan petitum, gugatan akan ditolak, seandainyapun tergugat tidak

hadir.

Misalnya : di dalam petitum diminta agar perkara diputus dengan perceraian,

tetapi di dalam posita penggugat tidak mengajukan hal-hal yang memberi

gambaran bahwa antara penggugat dan tergugat sebelumnya telah terjadi

perkawinan secara sah.

Contoh lain: penggugat meminta supaya tergugat dihukum membayar harga

yang dibeli akan tetapi penggugat dahim positanya tidak menggambarkan

antara kedua pihak telah terjadi suatu perjanjian jual beli atas barang terse but.

dsb.

Tentang Menambab atau Meruhah Gugatan

HJR tidak mengatur, apakah tuntutan yang tercantum di dalam surat

gugatan dapat dirubah atau ditambah, namun demikian tidak berarti tidak boleh

merubah. Yang penting ialah perubahan atau penambahan tersebut tidak boleh

melewati batas-batas kejadian material yang menjadi pokok perkara.

Raad van Justitie Jakarta (Kamar Ketiga), menyatakan dalam

keputusannya tanggal 20 Januari 1939 (T.150 haL 228), perubahan tuntutan

40

diperbolehkan, asal saja perubahan itu masih mengenai kejadian materiel yang

telah diajukan dan tergugat tidakdirugikan dalam pembelaannya

Perubahan gugatan dilarang, bila berdasar atas kejadian yang sama dimohonkan

pelaksanaan satu hak yang lain atau dikemukakan keadaan yang baru hingga

tuntutan yang diminta menjadi lain dari apa .vang dikemukakan dalam gugatan

semula.

Mis. dalam gugatan perceraian, semula didasarkan atas salah satu pihak

melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,

kemudian akan dirubah menjadi atas dasar zina ;

Penambahan gugatan yang diperkenankan misalnya :

semula hanya 5 (lima) orang ahli waris yang menggugat, lalu ditambah

menjadi selumh ahli waris.

penambahan petitum agar keputusan dapat dijalankan terlebih dahulu.

Namun demikian dalam praktek, perubahan suatu gugatan dimungkinkan, bila

pihsk tergugsl belum memberikan jawaban atau bila tergugat setuju. Biasanya

bila tergugat telah mengajukan Jawaban, dan dalam jawaban telah diajukan

eksepsi, tergugat umumnya tidak akan setuju diadakan perubahan terhadap

gugatan.

Karena itu Hakim harus mempertimbangka'1 secara kasuistis peru bah an

mana yang diperkenankan dan mana yang dilarang. Sebaliknya pengurangan

gugatan selalu diperkenankan. Mis. semula dituntut membayar uang nafkah isteri

Rp. 10.000.000.000.- (sepuluh milyar rupiah), kemudian dikurangi hanya sebesar

Rp.lOO.OOO.OOO.- (seratus juta rupiah) saja.

41
Mengenai pencabutan gugatan, dalam praktek, hanya diperkenankan sebelum

Jawaban diberikan oleh tergilgat, kecuali tentunya bila tergugat setuju. Hal ini

guna mencegah kerugian yang akan diderita oleh tergugatJtermohon, yang telah

datang berkali-kali ke persidangan, dan bila perkara dicabut (mis. setelah

pendengaran saksi-saksi), berarti perkara dimulai lagi, sedangkan bila diteruskan

sudah hampir diputus. Kekecualian, bila perkara dicabut karena adanya

perdamaian antara kedua pihak .

Semua ketentuan-ketentuan ini berlaku pula di Pengadilan Agama.

D. Masalah Pemanggilanl Pemberitahuan Putusan

Setelah hakim menetapkan hari persidangan, maka penggugatJpemohon dan

tergugatJtermohon dipanggil secara resmi untuk menghadap di persidangan.

Pemanggilan tersebut biasanya dilakukan oleh seorang juru sitaipanitera pengganti.

Mengenai hal pemanggilan ini sangat penting artinya, karena dapat berakibat gugat

menjadi gugur bila penggugat tidak hadir, atau bila tergugat tidak hadir, dijatuhi

putusan vestek.

Vestek berarti, pemyataan bahwa tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil

secara sah. Verstek ini hanya dapat dijatuhkan bila tergugat tidak datang pada hari

pertama. Bila pada hari selanjutnya tidak datang lagi tetapi diselingi dengan pemah

datang) tidak dapat dijatuhkan putusan vestek tetapi putusan biasa. Hal mana berlaku

pula untuk gugumya suatu gugatan.

Apabila ada lebih dari seorang tergugat, misalnya dalam hal gugatan ahli waris di

pengadilan Agama, dan pada sidang pertama itu ada yang tidak hadir, maka sidang

-+2

diundur. Pada persidangan berikutnya (pasal 127 HIR), sidang dilanjutkan,dan kepada

tergugat yang tidak hadir tersebut dipanggil lagi.

Bila tergugat tidak datang (hadir) dan tidak mengirim kuasa tetapi mengirim surat

tentang tidak berwenangnya pengadilan, hakim setelah mendengar penggugat akan

memutuskan apakah ia berwenang atau tidak (lihat pasal 125 ayat (2) HIR).

Terhadap putusan verstek dapat diajukan perlawanan (verzet) dalam waktu 14

(empat bel as) hari setelah tanggal pemberitahuan. Kalau tergugat pada sidang

pertama meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan pada ahli warisnya, tetapi kaJau

yang meninggal penggugat, maka gugatan gugur.

Di dalam praktek, meskipun menurut hukum bila pada sidang pertama penggugat

tidak hadir, gugatan dapat digugurkan, tetapi sesuai dengan maksud pasal 126 HIR,

Hakim biasanya tidak tergesa-gesa untuk menjatuhkan gugumya gugatan, tetapi

memerintahkan untuk pemanggilan sekaH lagi. Hal ini mungkin disebabkan panggilan

belum sampai kepada penggugat atau tergugat secara sah, karena eara pemanggilan

yang tidak benar.

Pasal 390 HIR mengatur kepada siapa panggilan barus dilakukan, yaitu hal'us

disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri ditempat tinggalnya

(domisi/inya) alau tempat tinggal sebenarnya. Bila mana tidak bcrtemu, atau tergugat

tidak mau menerimanya, maka akan disampaikan kepada Kepala Desanya (Lurah

setempat), yang wajib memberitahukannya dengan segera kepada yang bersangkutan.

Orang yang menerima surat panggilan tersebut, harus membubuhi tanda tangannya di

atas relas panggilan tersebut. Hal ini berlaku pula pada acara peradilan agama.

43

Demikian pula halnya daiam hal penyampaian isi dari suatu keputusan, baik

Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama. Pengadilan

TUN), maupun Pengadilan Tinggi di mana salah satu pihak atau keduanya tidak hadir

pada saat putusan diucapkan. Hal ini san gat penting sekali artinya, karena

menyangkut soal tenggang waktu yang harus diindahkan, karena keputusan akan

menjadi berkekuatan pasti dan dapat segera dilaksanakan.

Misalnya: untuk naik banding, berlaku 14 (empat belas hari) sejak tanggal

pemberitahuan, bila dalam jangka waktu itu tidak menyatakan banding, maka putusan

akan berkekuatan pasti dan dapat dilaksanakan. Begitu pula, misalnya. Pemberitahuan

Keputusan Pengadilan Tinggi, di mana tergugat dikalahkan dan diwajibkan dalam

waktu satu minggu mengosongkan rumahnya. Untuk naik kasasi, untuk Jawa dan

Madura diberi waktu 3 (tiga) minggu sejak saat putusan diberitahuan dan dalam

waktu 14 (empat belas hari) sejak pemberitahuan bahwa tergugat akan kasasi, harus

telah dikirim memori kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang

mengadili.

Bila seandainya tergugat tidak menerima sendiri pemberitahuan putusan tersebut,

tetapi disampaikan kepada Kalurahan dan pegawai Kalurahan setelah menerimanya,

karena sibuk atau lupa menyampaikan pada waktunya, maka dapat berakibat tergugat

kehilangan haknya, yang belum tentu demikian halnya bila ia naik kasasi. Yang

penting di sini tang gal penerimaan oleh Kalurahan yang ditandai dengan tanda tangan

dan Cap.

44

E. Masalah Dalam Hal Jawaban Tergugat

Jawaban tergugat tersebut dapat terdiri dari 2 (dua) macam

1. Tidak langsung mengenai pokok perkara, yang disebut Eksepsi (Tangkisan).

2. lawaban mengenai Pokok Perkara.

HIR hanya mengenal satu macam Eksepsi yaitu Eksepsi Tentang Tidak Berkuasanya

Hakim (Pengadilan NegerlAgamai) Untuk Mengadili Suatu Gugatan. Eksepsi ini

hams diputus terlebih dahulu. Bila hakim menyatakan dirinya tidak berwenang, maka

perkara tersebut selesai di tingkat pertama. Bila penggugat tidak puas ia bisa naik

banding. BHa eksepsi ditoiak, dijatuhkan Putusan Sela, dalam keputusan mana para

pihak diperintahkan untuk melanjutkan pokok perkara.

Eksepsi tentang tidak berkuasanya Hakim ini terbagi dalam :

a. Eksepsi Mengenai Kekuasaan Absolut

Eksepsi ini diatur dalam pasal 134 HIR, ialah eksepsi yang menyatakan bahwa

Pengadilan (Negeri/Agama/TUN dsb) tidak berwenang untuk mengadili perkara

tertentu karena persoalan yang menjadi dasar gugatan tidak termasuk wewenang

Pengadilan Agama. Misalnya, sesorang mengajukan gugatan waris ke Pengadilan

agama terhadap tanah-tanah yang masih belum jelas kepemilikannya. Masalah ini

tidak termasuk wewenang Pengadilan Agama, tetapi termasuk wewenang

Pengadilan Negeri.

Eksepsi ini dapat diajukan setiap waktu, bahkan hakim karena jabatan wajib untuk

memeriksanya, tanpa perlu diminta oleh tergugat

b. Eksepsi Mengenai Kekuasaan Relatif

45

Hal ini diatur oleh pasal 125 HIR ayat 2, 133 dan 136 HIR : eksepsi yang

menyatakan bahwa Pengadilary Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili

perkara terse but, karena misalnya perkara terse but adalah wewenang Pengadilan

Agama Jakarta Selatan , bukan Jakarta Pusat, di mana perkara diajukan.

Eksepsi ini, harus diajukan pada permulaan sidang, sebelum tergugat menjawab

pokok perkara. Jadi pada tingkat Jawaban. Bila diajukan setelah Replik yaitu

dalam Duplik, maka tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.

Eksepsi lainnya. Mis. tentang ne bis in idem, atau perkara yang sarna sedang

diperiksa di Pengadilan Agama yang lain; eksepsi tentang penggugat tidak punya

kwalitas, dsb. Eksepsi-t:ksepsi ini menurut pasal 136 HIR, harus diputus bersama­

sarna dengan pokok perkara, untuk menghindari kelambatan yang tidak perIu,

karena eksepsi yang dibuat-buat.

Kapan suatu perkara dikatakan ne bis in idem bersama ini dikemukakan beberapa

yurisprudensi :

l. Putusan Mahkamah Agung RI No.6547/Sip1l973 ttgl. 13 April 1976 yang

memberi fatwa hukum sbb:

" Ada atau tidaknya ne bis in idem tidak semata-mata ditentukan oleh para

pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek sengketa tersebut sudah ada

putusan pengadilan terdahulu ... dst "

2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 588 KlSip/1973, tgl. 3 Oktober 1973 yang

memberi fatwa hukum :

46

Hal ini diatur oleh pasal 125 HIR ayat 2, 133 dan 136 HIR : eksepsi yang

menyatakan bahwa PengadilaI} Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili

perkara tersebut, karena misalnya perkara tersebut adalah wewenang Pengadilan

Agama Jakarta Selatan, bukan Jakarta Pusat, di mana perkara diajukan.

Eksepsi ini, harus diajukan pada permulaan sidang, sebelum tergugat menjawab

pokok perkara. Jadi pada tingkat Jawaban. Bila diajukan setelah Replik yaitu

dalam Duplik, maka tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.

Eksepsi lainnya. Mis. tentang ne bis in idem, atau perkara yang sarna sedang

diperiksa di Pengadilan Agama yang lain; eksepsi tentang penggugat tidak punya

kwalitas, dsb. Eksepsi-eksepsi ini menurut pasal 136 HIR, harus diputus bersama­

sarna dengan pokok perkara, untuk menghindari kelambatan yang tidak perlu,

karena eksepsi yang dibuat-buat.

Kapan suatu perkara dikatakan ne bis in idem bersama ini dikemukakan beberapa

yurisprudensi :

1. Putusan Mahkamah Agung RI No.6547/Sip1l973 ttg1. 13 April 1976 yang

memberi fatwa hukum sbb :

" Ada atau tidaknya ne bis in idem tidak semata-mata ditentukan oleh para

pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek sengketa tersebut sudah ada

putusan pengadilan terdahulu ... dst"

2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 588 KlSip11973, tgl. 3 Oktober 1973 yang

memberi fatwa hukum :

46

" Karena perkara ini sama dengan perkara terdahulu, baik mengenai dalil

gugatannya, maupun oby~k perkara dan pihak penggugatnya adalah sama,

maka seharusnya gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima ... dst ".

Pada tingkat Banding tergugat asli tidak diperkenankan lagi mengajukan

eksepsi yang tidak langsung menyinggung pokok perkara, misalnya tentang

tidak berkuasanya penggugat mengajukan perkara (tidak berkwalitas), telah

ada keputusan yang berkekuatan pasti tentang perkara tersebut, gugatan

lampau waktlJ.

Hanya soal "absolute competentie" yang boleh diajukan. Hal ini wajib

diputm, oleh hakim meskipun tidak ada pihak-pihak yang menggugat soal

tersebut.

lawaban tergugat dapat pula disertai dengan Gugat Balasan (rekonpensi)

yang berdasarkan pasal 132 b H1R, prudensi dan yurisprudensi terbanyak,

hanya diperkenankan untuk diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban,

untuk mencegah proses berlarut-larut secara tidak menentu.

Gugatan Rekonpensi, tidak diperkenankan dalam hal-hal:

1. lika penggugat dalam gugatan asal bertindak dalam suatu kwalitas,

sedangkan gugatan balasan (Rekonpensi), mengenai dirinya sendiri dan

sebaliknya

Contoh: karena kenakalan anak tergugat, mengakibatkan pagar tembok

penggugat roboh. Maka tergugat digugat dalam kwalitasnya sebagai "orang

tua" anak tersebut yang harus bertanggung jawab terhadap perbuatan anaknya.

Dalam hal ini orang tua tersebut tidak dapat mengajukan gugatan rekonpensi

47
yang isinya tentang hutang piutang antara penggugat rekonpensi dan tergugat

asal.

2. Jika Pengadilan Agama yang memeriksa gugat penggugat (asal) tidak

berwenang untuk memeriksa gugatan rekonpensi terse but berhubung dengan

pokok perselisihan yang diajukan dalam gugatan Rekonpensi bukan

merupakan wewenang Pengadilan Agama tersebut.

Mis. Gugatan Konpensi : perkara pembagian gono gini (wewenang

Pengadilan Agama), gugatan rekonpensi :menyangkut harta yang

dimohonkan pembagian gono gini tetapi masalah kepemilikannya belum jelas

.(wewenang Pengadilan Negeri).

3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.

Karena perkara sudah seJesai, tentu tidak pada tempatnya untuk mengajukan

gugatan rekonpensi;

4. Jika dalam pemeriksaaan tingkat pertama tidak dmasukkan gugatan

rekonpensi, maka di dalam tingkat Banding tidak boleh diajukan gugatan

balasan (rekonpensi).

Manfaat dari gugatan Rekonpensi ini adalah

1. Menghemat ongkos perkara

2. Mempermudah pemeriksaan

3. Mempercepat penyelesaian sengketa

4. menghindarkan putusan yang saling bertentangan

48

F. Masalah Pembuktian

Bila jawab menjawab sudah st?lesai (Jawaban, Replik, DupIik) tibalah waktunya

untuk Pembuktian :

Menurut pasal 164 HIR alat-alat bukti tersebut adalah

1. Bukti Tulisan

II. Saksi-saksi

III. Persangkaan

IV. Pengakuan

V. Sumpah

Ad. I. Alat Bukti Tulisan (pasal 165 -167 HIR)

a. Akta otentik

b. Akta di bawah tangan

c. Surat-surat lain.

Ad.a. Akta otentik yaitu

Surat yang dibuat oleh atau dimuka seorang pejabat yang berwenang untuk surat

tersebut dengan maksud menjadikan surat sebagai bukti mis. Surat-surat yang

dibuat oleh Notaris, pegawai Catatan Sipil, Panitera Pengadilan dsb. Kekuatan

hukunmya : sebagai bukti yang sempuma bagi kedua belah pihak, ahli wansnya

serta orang yang mendapat hak dari padanya. Terhadap pihak ketiga, merupakan

a1at bukti bebas.

Ad. b. Akta di bawah tangan.

Yaitu suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan

bukti dari suatu perbuatan hukum.

49

Bedanya dangan Akta otentik ialah :

1. Tidak dibuat dihadapan pejabat yang benvenang

2. Hanya dapat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempuma apabila diakui oleh

orang yang bersangkutan. Sedangkan Akta Otentik tidak memerlukan pengakuan

dari pihak yang bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempuma. Kekuatan yang sempuma berarti : Akte tersebut di Pengadilan dianggap

benar, kecuali ada pembuktian sebaliknya dari lawan yang dapat melumpuhkannya.

Misalnya , Adanya Akta Otentik atau adanya akta di bawah tangan tersebut diakui,

tetapi hutang tersebut telah dibayar lunas. Akta di bawah tangan ini merupakan alat

bukti bebas.

3. Bagi akta otentik, penandatangan dan tanggal pebuatan Akta, telah cukup terbukti

dengan dikemukakannya Akta tersebut, sedangkan terhadap akta di bawah tangan,

tulisan dan penandatanganan dapat dipungkiri dengan a.1. menyatakan tanda tangan

tidak dikenal dsb.

Ad II. Saksj - Saksj

Bilamana tidak ada bukti-bukti tulisan atau bilamana bukti-bukti tertulis dianggap

belum cukup untuk membuktikan dalil-daiil yang dikemukakan, maka untuk memperkuat

daiil-dalil tersebut dapat diajukan / dipakai saksi-saksi

Kesaksian harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialaminya sendiri, sedangkan

pendapat-pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir bukan merupakan

kesaksian (pasal 171 HIR).

50

Menurut pasal 169 HIR, keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada sesuatu

alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sebagai bukti yang cUkup. Adagiumnya "satu

saksi bukan saksi" ("Unus testis, nullus testis).

Ad Hl. Persangkaan.

HIR tidak menerangkan apa yang dapat dianggap sebagai Persangkaan. Untuk itu kita

dapat melihat definisi yang dimuat dalam pasal 1915 B W sebagai berikut :

Persangkaan yaitu kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditarik dari

suatu peristiwa yang terang kenyataannya.

Persangkaan hakim merupakan alat bukti bebas, sedangkaan persangkaan menurut

undang-undang (pasal 1916 BW), mempunyai kekuatan bukti paksaan. Persangkaan

dalam HIR diatur dalam pasal 173 yang berbunyi sebaga berikut :

Persangkaan saja yang tidak berdasarkan suatu peraturan undang-undang yang tertentu,

hanya diperhatikan oleh Hakim waktu menjatuhkan keputusan, jika persangkaan itu

penting, seksama, tertentu dan satu sarna lain bersetujuan.

Ad. IV. Sumpah

Dalam HIR diatur dalam pasat 177, 155 dan 156

b. Sumpah tambahan (suppletoir eed) (pasal 155 HIR), yaitu :

Sumpah yang diperhatikan oleh Hakim untuk melengkapi pembuktian yang telah ada

yang dianggap belum cukup menyakinkannya dalam mengambil keputusan. Kepada

siapa dibebankannya, terserah kepada kebijaksanaan Hakim.

c. Sumpah yang menentukan (decisoire eed), disebut pula sumpah pemutus, yang tidak

diperintahkan oleh Hakim tetapi oleh salah satu pihak kepada lawannya. Sumpah ini

dapat dibebankan meskipun tidak ada bukti samasekali. Bila pihak yang disuruh

51

mengangkat supah berani bersumpah, maka ia dimenangkan dsb. Mis. Sumpah

Pocong.

G. Keputusan Hakim

Setelah seluruh proses perkara dijalankan, yaitu terakhir setelah pihak-pihak mengajukan

Kesimpulan dan mohon Keputusan, Hakim akan menjatuhkan Keputusannya.

Menurut Sifatnya, "amar" atau "dictum" keputusan dapat dibedakan antara :

I. Keputusan Condemnatoir : yaitu keputusan yang bersifat "menghukum" Supaya

tergugat berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu misalnya melarang tergugat

memindah tangankan rumah yang menjadi sengketa atau memberikan sesuatu

misalnya, membayar uang iddah, mut'ah dsb.

Ciri-cirinya pada

menyerahkan sesuatu

membayar sejumlah uang

menghentikan suatu tindakan

Keputusan ini mempunyai sifat "executorial" hingga bisa dirnohonkan

pelaksanaannya

2. Keputusan Declaratoir, yaitu keputusan yang menyatakan sesuatu sebagai hukum

tanpa suatu penghukuman untuk memberikan suatu prestasi. Dalam keputusan ini

dinyatakan bahwa keadaan hukum tertentu itu betul-betul ada tanpa pengakuan hak

atas suatu pre stasi tertentu atau keadaan hukum itu tidak ada. Umumnya diberikan

berhubungan dengan hukum pribadi dan hukum kekaluargaan. Misalnya, keputusan

tentang sah tidaknya seorang anak dan tuntutan supaya dinyatakan batal suatu

perkawinan.

52

3. Keputusan Konstitutif : di mana amamya menciptakan suatu keadaan hukum baru.

Atau suatu keputusan yang me.mbentuk sesuatu dengan mana dihapuskan suatu

keadaan hukum yang sedang berjalan atau diciptakan suatu keadaan hukum yang

baru. Misalnya putusan yang membatalkan suatu perkawinan, atau keputusan tentang

sah tidaknya seorang anak.

Putusan-putusan 2 dan 3 tidak bersifat eksekutorial, jadi tidak bisa dimohon pelaksanaan

atasnya, sedangkan putusan ad. 1, bersifat eksekutorial, hingga bisa dimohonkan

pelaksanaannya.

Jenis-jenis Keputusan

1. Keputusan Antara

a. keputusan interlocutoir: putusan dan surat per:ntah dengan mana hakim

sebelum mengadili suatu perkara memerintahkan suatu pembuktian atau suatu

instruksi dan putusan perkara ini mungkin tergantung dari padanya ;

a.l. keputusan dengan mana salah satu I kedua belah pihak dperintahkan

membuktikan dalil-dalilnya

a.2. keputusan dengan mana salah satu I kedua pihak diperintahkan mengangkat

sumpah/membuka pembukuan

a.3. keputusan untuk mengadakan pemeriksaan setempat.

b. Keputusan preparatoir : keputusan dengan surat perintah yang

diberikan yang berguna untuk membawa perkara dalam keadaan

untuk diputus tanpa sedikitpun mempengaruhi pokok perkara.

Mis. Keputusan mengenai pertanyaan apakah suatu pihak boleh

membuat Kesimpulan, ketetapan tentang hari untuk

53
mengangkat sumpah, dan keputusan tentang pennohonan

penggabungan dua per~ara yang erat hUbungannya satu sarna

lain.

Kedua putusan ini tidak diatur oleh HIR, tetapi diatur dalam RV, pasal 48.

Tujuannya adalah untuk menyiapkan Putusan akhir. Keputusan antara ini, baik

preparatoir maupun interlocutoir tidak pakai "Atas Nama Keadilan", karena kata­

kata itu hanya untuk Putusan Akhir.

-0

54

Anda mungkin juga menyukai