Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di
dalam Al-Quran dan As-Sunnah atau Al-Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya
disebut dalam Al-Quran dan Sunnah rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits)
karena persamaan illat (penyebab atau alasannya). Qiyas adalah ukuran, yang
dipergunakan oleh akal budi untuk membanding suatu hal dengan hal lain (H.M.
Rasjidi, 1980:457). Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum khmar
(sejenis minuman yang memabukkan yang terbuat dari buah-buahan) yang terdapat
dalam Al-Quran surat Al-Maidah (5) ayat 90. Allah Swt. berfirman dalam surat AlMaidah ayat 90 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.. Yang menyebabkan minuman itu dilarang
adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apa pun
ia dibuat, hukumnya sama dengan khamar yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk
menghindari akibat butuk meminum minuman yang memabukkan itu, maka dengan
qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan (mibuk), apa pun namanya,
dilarang untuk diminum dan diperjualbelikan untuk umum. Contoh penerapan hukum
Islam di Indonesia dengan menggunakan metoda Qiyas ini adalah dibentuknya
berbagai perda yang mengatur mengenai minuman beralkohol. Berbagai perda yang
mengatur mengenai minuman keras ini antara lain adalah: Perda Kota Balikpapan
Nomor 16 Tahun 2000 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban Peredaran dan
Penjualan Minuman Beralkohol, Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 4 Tahun
2013 Tentang Pelarangan Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, dan
Peraturan Daerah Kabupaten Mimika Nomor 5 Tahun 2007 tentang Larangan
Pemasukan, Penyimpanan, Pengedaran Dan Penjualan Serta Memproduksi Minuman
Beralkohol.
3. Istidal
Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik
kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.
Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Hukum Islam
(gono-gini atau harta bersama) dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam
tetapi tidak dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk
dijadikan hukum Islam (A. Siddik, 1982:225). Contoh penerapan hukum Islam di
Indonesia dengan menggunakan metoda Istidal ini adalah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab VII yang menagtur mengenai harta benda dalam
perkawinan. Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan ini, diatur mengenai harta bersama dengan ketentuan harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Mengenai harta bersama,
suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
4. Masalih al-mursalah
Masalih al-mursalah atau disebut juga sebagai maslahat mursalah adalah cara
menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam AlQuran maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan pembenaran
pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan atau kepentingan masyarakat
dalam rangka pemerataan pendapatan atau pengumpulan dana yang diperlukan untuk
memelihara kepentingan umum, yang sama sekali tidak disinggung di dalam AlQuran dan Sunnah rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis). Pasal 23A UndangUndang Dasar 1945 amandemen ketiga berbunyi Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pajak
penghasilan di Indonesia ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan. Selain contoh tersebut, menurut Dr. H. A. Malthuf Siroj, M.Ag,
ketentuan-ketentuan administratif perwakafan yang ditetapkan dalam Kompilasi
Hukum Islam ini adalah berdasarkan mashlahah-mursalah.
5. Istihsan
Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan
yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan merupakan metode
unik dalam mempergunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi yang
ketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dengan keadilan. Di dalam
prakti seorang ahli hukum seringkali terpaksa melepaskan diri dari aturan yang
mengikat karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang lebih berat dan perlu
diperhatikan. Istihsan adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat
menurut suatu keadaan (Ahmad Hasan, 1984:136). Misalnya hukum Islam
melindungi dan menjamin hak milik seseorang. Hak milik seseorang hanya dapat
dicabut kalau disetujui pemiliknya. Namun dalam keadaan tertentu, untuk
kepentingan umum yang mendesak, penguasa dapat mencabut hak milik seseorang
dengan paksa, dengan ganti-kerugian tertentu kecuali kalau ganti kerugian itu tidak
dimungkinkan. Contohnya adalah pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk
pelebaran jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan sosial. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atau Benda-benda yang ada di atasnya,
Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah
dan/atau benda-benda yang ada diatasnya. Pencabutan hak-hak atas tanah dan bendabenda yang berada diatasnya dapat dilakukan apabila tanah dan/atau benda-benda
yang berada diatasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk
kepentingan pembangunan.
6. Istisab
Istisab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat
dikatakan istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena
belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Contoh dari istisab adalah jika ada
dua orang melakukan perjanjian utang-piutang, yakni misal A dan B. Menurut A
utangnya telah dibayar kembali, tanpa menunjukkan suatu bukti atau saksi. Dalam
kasus seperti ini berdasarkan istisab dapat ditetapkan bahwa A masih belum
membayar utangnya dan perjanjian itu masih tetap berlaku selama belum ada bukti
yang menyatakan bahwa perjanjian utang piutang tersebut telah berakhir (Mukhtar
Yahya, 1979:121, A. Azhar Basyir, 1983:4).
7. Adat-istiadat atau urf
Adat-istiadat atau urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat
dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Adat-istiadat
yang diperbolehkan ini tentu saja yang berkenaan dengan soal muamalah. Contoh
penerapan hukum Islam di Indonesia dengan menggunakan metoda urf ini adalah
pembayaran mahar secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak
mempelai. Selain itu, dalam Pasal 170 Kompilasi Hukum Islam, diatur mengenai
kewajiban iteri yang ditinggal mati oleh suaminya untuk berkabung selama iddah dan
suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut
kepatutan.. Pasal ini mengandung pembaruan hukum, karena berkabungnya suami
tidak diatur dalam hukum fiqh. Kompilasi Hukum Islam mengatur hal ini berdasarkan
pertimbangan urf. Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam tentang kesepakatan
pembagian harta warisan setelah para ahli waris menyadari bagian masing-masing
juga mengandung pembaruan hukum dengan metode urf, apabila kesepakatan
perdamaian yang terjadi tersebut karena alasan adat-istiadat.
DAFTAR PUSTAKA:
I.
Buku
Ali, Muhammad Daud, 2013, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Siroj, Maltruf, 2012, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Kompilasi
Hukum Islam. Pustaka Ilmu, Yogyakarta.