Anda di halaman 1dari 3

1.

Dalam Hukum Islam hubungan perdata (mu’amalah) sangat dianjurkan untuk dilakukan
secara tertulis dihadapan saksi-saksi. Mengapa hal itu sangat dianjurkan ? Kemudian
bagaimana dengan perkawinan di bawah tangan (tanpa akta resmi) atau sinri , sahkah
menurut Hukum Islam dan sahkah menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ?, jelaskan!

Dalam Hukum Islam, hubungan perdata (mu’amalah) sangat dianjurkan untuk dilakukan secara
tertulis di hadapan saksi-saksi. Hal ini sangat dianjurkan karena adanya kepentingan untuk
melindungi hak-hak individu dan mencegah perselisihan di masa depan. Pencatatan perkawinan
dan perdata secara tertulis di hadapan saksi-saksi juga merupakan bagian dari maslahah
(kemaslahatan) dalam hukum Islam, yang menekankan pentingnya kepentingan umum dan
mencegah kerusakan. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan secara tertulis di hadapan
saksi-saksi sangat dianjurkan dalam hukum Islam.Perkawinan di bawah tangan (tanpa akta
resmi)atau siri tidak sah menurut Hukum Islam, karena tidak memenuhi syarat-syarat sahnya
perkawinan, seperti persetujuan wali, kesaksian saksi, dan pemberkatan. Selain itu, perkawinan
tersebut juga tidak sah menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
mengatur bahwa perkawinan harus didaftarkan dan memenuhi syarat-syarat sahnya sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.

2. “Untuk selama-lamanya” dan “monogami terbuka” adalah dua asas dalam Hukum
Perkawinan Islam. “Untuk selama-lamanya” berarti bahwa perkawinan harus bertahan
selamanya, tidak ada batasan waktu atau jangka waktu tertentu atau seumur hidup.
Sedangkan “monogami terbuka” berarti bahwa meskipun asas monogami (perkawinan
dengan satu pasangan) diutamakan, namun dalam keadaan tertentu,Qs An Nisa 3 dinyatakan
bahwa seorang muslim boleh menikah lebih dari seorang asal memenuhi syarat tertentu
yaitu berlaku adil pada semua wanita .
3. A. Menurut pendapat saya jual beli tebasan diperbolehkan didalam Hukum Islam, Tetapi
harus menjual tebasan yang sudah konkrit wujudnya karena ang sifatnya ada beresiko riskan
terhadap jual beli ini.
B. Jual beli ngijon, atau dalam bahasa Arab disebut mukhadlarah, merujuk pada praktik
memperjualbelikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih belum matang. Dalam konteks
hukum Islam, jual beli ngijon atau ijon dilarang karena melibatkan unsur ketidakjelasan
(gharar) dan spekulasi, yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum
dalam Islam. Transaksi semacam ini diharamkan karena berpotensi merugikan salah satu
pihak yang terlibat. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip-prinsip ini, jual beli ngijon tidak
sesuai dengan ajaran hukum Islam[5].
C.Dalam hukum Islam, transaksi jual beli kredit bisa diterima asalkan tidak melibatkan riba
(bunga) dan syarat-syarat tertentu terpenuhi. Penting untuk memastikan bahwa transaksi
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti ketentuan tentang keadilan dan
kejelasan dalam kontrak. Sebaiknya konsultasikan dengan seorang ahli fiqih atau mufti untuk
mendapatkan pandangan yang lebih spesifik sesuai konteks dan detail transaksinya.

4. 4. Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat, ada 3 teori:

a. Teori Receptio in complexu, tokohnya Van den Berg, bahwa orang Islam Indonesia telah menerima
(meresepsi) hukum Islam secara menyeluruh.

b. Teori Receptie, tokohnya Christian Snouck Hurgronje, hukum Islam baru menjadi hukum kalau
diterima oleh hukum adat.
c. Teori Receptio a contrario, tokohnya Hazairin, hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku
dalam masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

5. 5. Dalam hukum pidana Islam, terdapat istilah "Sankai" yang mencakup Hudud dan Ta'zir.
Persamaan dan perbedaan antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut:

### Persamaan:

1. **Tujuan Hukuman:** Baik dalam Hudud maupun Ta'zir, tujuan hukuman adalah untuk
menegakkan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat[1].

### Perbedaan:

1. **Sifat Hukuman:**

- **Hudud:** Hukuman Hudud memiliki sifat yang tetap dan telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan
as-Sunnah. Hukuman ini berlaku untuk tindakan kriminal yang dianggap sebagai pelanggaran
terhadap hak Allah[1].

- **Ta'zir:** Sanksi Ta'zir bersifat lebih fleksibel dan dapat ditentukan oleh otoritas berwenang
sesuai dengan kebijaksanaan dan kepentingan masyarakat[1].

2. **Sumber Hukum:**

- **Hudud:** Sumber hukuman Hudud berasal dari al-Qur'an dan as-Sunnah[1].

- **Ta'zir:** Sumber hukuman Ta'zir berasal dari ijtihad (analogi) yang dilakukan oleh otoritas
hukum Islam[1].

3. **Jenis Kejahatan:**

- **Hudud:** Hukuman Hudud dikenakan untuk kejahatan-kejahatan tertentu seperti zina,


pencurian, dan sebagainya[1].

- **Ta'zir:** Sanksi Ta'zir dikenakan untuk kejahatan-kejahatan yang tidak spesifik dijelaskan dalam
al-Qur'an dan as-Sunnah[1].

Dengan demikian, Hudud dan Ta'zir memiliki persamaan dalam tujuan hukuman, namun berbeda
dalam sifat hukuman, sumber hukum, dan jenis kejahatan yang dikenai hukuman[1].

HUKUM: Dalam hukum pidana Islam, Hudud dan Ta'zir memiliki perbedaan dalam konsep dan sanksi
yang diberlakukan.

Hudud merujuk pada hukuman yang diatur secara tegas dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti
hukuman potong tangan untuk pencuri atau cambuk bagi pelaku zina yang sudah menikah. Sanksi
Hudud bersifat tetap dan tidak dapat diubah.
Sementara itu, Ta'zir adalah sanksi yang diberikan oleh otoritas berdasarkan kebijaksanaan atau
pertimbangan sosial tanpa pedoman hukuman yang spesifik dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Ini
memungkinkan otoritas untuk menetapkan hukuman sesuai dengan situasi dan kepentingan
masyarakat.

Perbedaan utama antara keduanya adalah sifat ketegasan dan dasar hukuman. Hudud memiliki dasar
hukum yang jelas dalam teks agama, sedangkan Ta'zir bersifat lebih fleksibel dan dapat disesuaikan
dengan kondisi kontekstual.

Anda mungkin juga menyukai