Anda di halaman 1dari 14

PERADILAN AGAMA

(UU No. 7 Thn 1989 jo UU No. 3 Thn 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009 )

A. Peradilan dan Pengadilan

Dalam kajian peradilan, terdapat dua istilah yang dianggap sinonim, yaitu; Peradilan
dan Pengadilan. Keduanya berasal dari kata dasar adil, namun secara konsepsional berbeda
makna.

Peradilan adalah salah satu pranata (institusi) dalam memenuhi hajat hidup anggota
masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedang pengadilan merupakan satuan
organisasi (institute) yang menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut.

Dengan kata lain peradilan adalah fungsi mengadili, atau proses yang ditempuh
dalam mencari dan menemukan keadilan sedangkan istilah pengadilan konotasinya adalah
instansi resmi yang merupakan salah satu pelaksana fungsi mengadili tadi, yang dilengkapi
oleh aparat resmi yang berprofesi hakim.

Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum Islam (fiqh) menggunakan istilah


al-qadla untuk peradilan dan mahkamah al-qadla bagi pengadilan sedangkan qadli adalah
hakim. Al-qadla secara etimologis mengandung arti mustarak (banyak arti bukan tunggal).
Muhammad Salam Madkur memberi arti kata al-qadla; yaitu, pertama, al-faraagh berarti
putus atau selesai, kedua, al-adaa’ berarti menunaikan atau membayar dan ketiga, al-
hukmu berarti mencegah atau menghalang-halangi.

Berdasarkan makna etimologis ini dapat menggambarkan seputar fungsi yang


diemban seorang hakim; untuk memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang muncul
dari masyarakat Muslim (al-faraagh), menunaikan dan membayar, bermakna tugas mulia
yang diemban seoramg hakim adalah untuk melaksanakan dan menunaikan suatu hukum
Allah, yaitu memberikan sesuatu yang hak kepada yang patut secara syar’i untuk
diterimanya (al-qadla), dan mencegah (al-hukmu) dalam konteks ini adalah seorang hakim
melalui pengadilan berkewajiban mencegah dan memberi perlindungan hukum bagi
masyarakat sehingga rule of law dapat terjalankan, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Dengan demikian hakim bertugas menghalangi orang untuk berbuat kesewenang-wenangan
atau kedzaliman pihak-pihak tertentu kepada orang lain.

B. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia

Setelah kemerdekaan, undang-undang yang mengatur mengenai Peradilan Agama


baru ada dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (selanjutnya disingkat UU No. 7 Tahun 1989). UU No. 7 Tahun 1989 disahkan dan
diundangkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3400. Isi UU No. 7 Tahun 1989 terdiri atas tujuh Bab, meliputi 108 pasal.
Ketujuh Bab itu adalah Ketentuan Umum, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan,
Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan Lain, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Di
samping itu dimuat Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal Demi Pasal.

Secara umum isi UU itu memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan


Peradilan Agama di Indonesia, yaitu:

1. Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia


2. Perubahan tentang kedudukan peradilan agama di Indonesia dalam tata
peradilan nasional.
3. Perubahan tentang kedudukan hakim peradilan gama
4. Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama di
Indonesia
5. Perubahan tentang hukum acara peradilan agama
6. Perubahan tentang administrasi peradilan agama
7. Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Peradilan Agama merupakan peradilan khusus, yang berwenang mengadili perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Secara garis besar kekhususan
Peradilan Agama itu tercermin dalam beberapa ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 1989,
sebagai berikut:

1. dalam Pasal 1 butir 1 dinyatakan, “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-
orang yang beragama Islam”.
2. Dalam Pasal 2 dinyatakan, “ Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.
3. Dalam Penjelasan Umum butir kedua alinea ketiga dikemukakan, “ Pengadilan
Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk mmeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan
hukum Islam”.
4. Dalam Pasal 49 ayat (1), rumusannya sama dengan yang dirumuskan dalam
Penjelasan Umum, yaitu “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. perkawinan; b.
kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf
dan shadaqah”.
5. Dalam Pasal 66 ayat (1) dinyatakan, “seorang suami yang beragama Islam yang
akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.
Berkenaan dengan kekhususan itu, maka asas-asas peradilan yang diterapkan di
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama secara umum mengacu kepada asas-asas
peradilan yang berlaku pada semua lingkungan peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu
memiliki spesifikasi, sesuai dengan ruang lingkup kekuasaan badan peradilan tersebut,
meliputi: asas personalitas keislaman, asas kebebasan, asas wajib mendamaikan, asas
sederhana, cepat dan biaya ringan, asas persidangan terbuka untuk umum, asas legalitas
dan asas aktif memberi bantuan.
Setelah berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006, yang mulai berlaku pada tanggal
diundangkan pada tanggal 30 Maret 2006, maka perkara-perkara yang dapat diterima,
diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh Pengadilan Agama adalah perkara-perkara di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi Islam. Dalam
Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006, dijelaskan bahwa:

Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur berdasarkan Undang-
undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah, antara lain:

1. Izin beristri lebih dari seorang


2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal
orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6. Pembatalan perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan perceraian
10. Penyelesaian harta bersama
11. Penguasaan anak-anak
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
16. Pencabutan kekuasaan wali
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasan seorang wali
dicabut
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orangtuanya
19. Pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain (vide, Penjelasan UU
Nomor 3 Tahun 2006 angka 37 Pasal 49 huruf a)
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris (vide, Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006 angka 37 Pasal
49 huruf b).

Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu


benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah
yang memberi tersebut meninggal dunia (vide, Penjelasan UU Nomor 3 tahun 2006 angka
37 Pasal 49 huruf c)

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki (vide,
Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006 angka 37 Pasal 49 huruf d)
Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah (vide, Penjelasan UU Nomor 3
Tahun 2006 angka 37 Pasal 49 huruf e)

Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum
yang dimiliki oleh orang muslim sesuai ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya (vide, Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006 angka 37 Pasal 49 huruf f)

Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu


kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala. (vide, Penjelasan UU Nomor
angka 37 Pasal 49 huruf g)

Sedang yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi:

a. Bank syariah
b. Asuransi syariah
c. Reasuransi syariah
d. Reksadana syariah
e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
f. Sekuritas syariah
g. Pembiayaan syariah
h. Pegadaian syariah
i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah
j. Bisnis syariah; dan
k. Lembaga keuangan mikro syariah. (vide, Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006
angka 37 Pasal 49 huruf i)
Perbankan syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syari’ah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya. Sedangkan yang dimaksud dengan bank syari’ah adalah Bank Umum
Syari’ah dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah, yang melaksanakan kegiatannya berdasarkan
prinsip syari’ah.

Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalambentuk aset dan/atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai
dengan syari’ah.

Reasuransi syariah menyangkut perusahaan asuransi yang berlandaskan prinsip


syari’ah

Reksadana syari’ah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam fortopolio efek oleh manajer
investasi yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah, baik dalam bentuk akad
antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi
sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi

Obligasi syariah adalah suatu surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip
syari’ah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syari’ah yang mewajibkan
emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi
hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Pembiayaan syari’ah terdiri dari pembiayaan mudharabah (Qiradh), pembiayaan


musyarakah dan pembiayaan ijarah.
Pegadaian syariah adalah pemberian pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai hutang dalam bentuk Rahin.

Bisnis syariah adalah kegiatan bisnis yang dilakukan berdasarkan prinsip syari’ah.

C. Hukum Acara Peradilan Agama

Menurut ketentuan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989, “Hukum Acara yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa
terdapat hukum acara yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama.

Menurut Abdul Manan, Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang mengatur
tentang tata cara mengajukan gugatan ke pengadilan, bagaimana pihak tergugat
mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik
sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus
perkara yang diajukan oleh Penggugat tersebut dan bagaimana cara melaksanakan putusan
tersebut sebagaiamana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan
kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata dapat berjalan
sebagaimaan mestinya.

Jadi, hokum acara perdata adalah hokum yang mengatur bagaimana cara
mengajukan tuntutan hak , memeriksa dan memutusnya serta pelaksanaan putusannya.

Adapun sumber-sumber hukum acara perdata antara lain:

1. Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, disingkat BW


2. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, disingkat B.Rv
3. Het Herziene Indonesie Reglement, disingkat HIR atau RIB
4. Rechtsreglement voor de Buitengewesten, disingkat R.Bg
5. Wetboek van Koophandel, disingkat Wv.K
6. Peraturan Perundang-undangan lainnya seperti UU Kekuasaan Kehakiman,
UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, UU Perkawinan, UU Peradilan
Agama.
7. Yurisprudensi
8. Doktrin
Dengan sumber-sumber hukum acara tersebut diharapkan menjadi pedoman bagi
hakim dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya di lingkungan
Peradilan Agama.

Dalam hokum acara perdata kita mengenal adanya 2 bentuk tuntutan hak, yaitu permohonan
dan gugatan;

- Permohonan, pihak yang mengajukan tuntutan haknya


adalah pemohon, dimana tuntutan haknya tidak mengandung sengketa.
Putusan yang dibuat oleh hakim bersifat penetapan → voluntaire jurisdictie
- Gugatan, melibatkan minimal dua pihak karena
mengandung persengketaan serta hasil akhirnya berwujud putusan. →
contentieuse jurisdictie

Adapaun cara mengajukan tuntutan hak ke pengadilan, maka baik permohonan maupun
gugatan dapat langsung diajukan oleh orang atau badan hokum yang berkepentingan ke
pengadilan dengan mendaftarkannya ke panitera. Pengajuan gugatan/permohonan ini dapat
berupa tulisan ataupun lisan.

Pada pokoknya hokum acara perdata mencakup:

1. Tahap pendahuluan, mencakup cara-cara


mengajukan gugatan;
Kompetensi
Absolute panitera
Perkara→ pendaftaran → gugatan/ - - - > ! → → membayar panjar
perkara permohonan kompetensi ketua pengadilan perkara
relatif
!
Ditentukan:
- Majelis hakim
- Hari sidang

Pemanggilan

2. Tahap penentuan, mencakup pemeriksaan di muka persidangan,


antara lain:

- Tanya jawab

Jika pemanggilan telah dilakukan secara patut, maka pada hari persidangan
yang telah ditentukan maka:

i. Sidang pertama

- Sidang dibuka dan terbuka untuk umum

- Hakim mengadakan upaya perdamaian

ii. Sidang ke dua:

- Jika terjadi perdamaian maka hakim membuat akte perdamaian


- Jika tidak terjadi perdamaian, maka dilanjutkan dengan:

iii. Sidang ke tiga dan selanjutnya

Pada persidangan selanjutnya ini kemudian dibacakan surat gugatan,


kemudian dijawab oleh tergugat, yang dalam jawaban ini tergugat dapat
mengajukan gugatan balik (rekonvensi),, setelah itu di replik dan di duplik
selanjutnya sampai persidangan selesai.

- Pembuktian:

Alat bukti yang digunakan dalan hokum acara perdata:

a. Surat

b. Saksi

c. Persangkaan

d. Pengakuan

e. sumpah

- Putusan

3. Tahap pelaksanaan putusan atau eksekusi

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah
dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaaan perkara .
Oleh karena itu, eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari
pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau RBg. Setiap orang yang ingin
mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan dalam
HIR atau RBg.

Dalam menjalankan eksekusi dikenal beberapa asas, yaitu:

a. putusan pengadilan harus sudah berkuatan hukum tetap


Putusan yang telah b erkekuatan hukum tetap mempunyai kekuatan mengikat para
pihak yang berperkara dan ahli waris serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau
mendapat hak dari mereka. Putusan yang telah berkekuatan tetap dapat dipaksa
pemenuhannya melalui pengadilan jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya
secara sukarela.

Pengecualian terhadap asas ini adalah :

(1) pelaksaan putusan yang dapat dijalankan lebih dulu (vide, Pasal 180 ayat (1) HIR,
Pasal 191 ayat (1) RBg);
(2) pelaksanaan putusan provisi (vide, Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg, Pasal 54-55 Rv);
(3) pelaksanaan putusan perdamaian (vide, Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg); dan
(4) eksekusi berdasarkan Grose akte (vide, Pasal 224 HIR, Pasal 258 RBg).
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan cara sukarela dan
dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh pengadilan (vide, Pasal 196 HIR, Pasal
207 RBg). Pelaksanaan putusan pengadilan sec.ara paksa dilaksanakan dengan bantuan
pihak kepolisian (vide, Pasal 200 HIR).

c. Putusan mengandung amar comdemnatoir


Ciri putusan yang bersifat comdemnatoir mengandung salah satu amar yang
menyatakan:

(1) Menghukum atau memerintahkan untuk “menyerahkan”


(2) Menghukum atau memerintahkan untuk “pngosongan”
(3) Menghukum atau memerintahkan untuk “membagi”
(4) Menghukum atau memerintahkan untuk “melakukan sesuatu”
(5) Menghukum atau memerintahkan untuk “menghentikan”
(6) Menghukum atau memerintahkan untuk “membayar”
(7) Menghukum atau memerintahkan untuk “membongkar”
(8) Menghukum atau memerintahkan untuk “tidak melakukan sesuatu”
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Yang berwenang menjalankan eksekusi adalah pengadilan yang memutus perkara yang
diminta eksekusi sesuai dengan kompetensi relatif (vide, Pasal 195 ayat (1) HIR, Pasal
206 ayat (1) RBg).

Sebelum melaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Agama terlebih dahulu


mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada Panitera/Juru sita untuk melaksanakan
eksekusi dan eksekusi dijalankan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.

Anda mungkin juga menyukai