Anda di halaman 1dari 19

SISTEM PERADILAN INDONESIA

Oleh :

H. DJONI WIDJAJA ALUWI, S.H.

Disampaikan pada Pendididkan Khusus Profesi Advokat


kerjasama antara :
DPC-Asosiasi Advokat Indonesia Bandung
Dengan
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Bandung 2007
I. LINGKUP PERADILAN INDONESIA

Berdasar politik konstitusi, sistem dan lembaga peradilan adalah bagian distribusi kekuasaan
negara. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi
(MK) pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU
Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu :
1. Peradilan umum;
2. Peradilan agama;
3. Peradilan militer;
4. Peradilan tata usaha negara (TUN).

Pasal 24 A (5) UUD 1945 menempatkan rincian pembentukan lembaga peradilan di ranah
kebijakan kehakiman, terutama Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Jo.
No. 4 Tahun 2004. Hasilnya, kemajemukan sistem peradilan berdasar pengkhususan yurisdiksi
atau kompetensi. Pasal 10 (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Jo.
No. 4 Tahun 2004 menyebut dua pengkhususan :

1. pengkhususan yurisdiksi;
2. pengkhususan lebih lanjut dalam tiap yurisdiksi.

adl.1. pengkhususan yurisdiksi peradilan berdasar status (agama, militer) dan jenis perkara
tertentu (sengketa TUN). Peradilan umum adalah peradilan bagi "rakyat umum" untuk
semua jenis perkara (general jurisdiction), sedangkan peradilan agama, militer, dan TUN
merupakan peradilan dengan yurisdiksi khusus (special jurisdiction). Peradilan konstitusi
merupakan yurisdiksi khusus, lebih-lebih jika merupakan salah satu "kamar" di
Mahkamah Agung.

Adl.2. tiap yurisdiksi mengalami pengkhususan berdasar status, jenis perkara, bahkan faktor
kewilayahan. Ukuran dan cara pengkhususan peradilan tetap di ranah kebijakan
kehakiman, bukan di pengadilan (bukan politics of the judiciary).

Berbagai peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum, yaitu :


1. Pengadilan Anak;
2. Pengadilan Niaga;
3. Pengadilan Hubungan Industrial;
4. Pengadilan Perikanan;
5. Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Bahkan, pengadilan Hak-hak Asasi Manusia terdiri atas peradilan HAM ad hoc untuk
pelanggaran berat HAM sebelum UU No 26 Tahun 2000, dan peradilan HAM bukan ad hoc untuk
pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak tahun 2000.
A. PERADILAN UMUM

A.1. PERADILAN PIDANA

Peradilan pidana dalam kenyataannya cenderung ‘eksklusif’ dan memerlukan pemahaman


khusus dan mendalam untuk bisa terlibat (langsung maupun tidak langsung melalui jalur ekstra
yudisial). Siapapun yang menjadi korban dari tindak pidana tidak bisa menuntut sendiri dan
beracara sendiri di pengadilan. Jaksa-lah yang dominis litis memiliki otoritas untuk melakukan
penuntutan.

Betapapun mampunya seseorang untuk menyelidiki terjadinya tindak pidana, tetap hanya
polisi dan/atau badan yang ditunjuk khusus-lah yang memiliki kewenangan melakukannya.
Begitu pula dengan proses pemeriksaan di pengadilan, hanya hakimlah yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pidana.

Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia dalam pelaksanaannya masih memunculkan


kerancuan dalam hal sistem atau tradisi hukum yang dianut, yaitu antara tradisi hukum civil law
dan tradisi hukum common law. Dimana para akademisi dan praktisi hukum yang dalam proses
pembelajaran hukum diperkenalkan dua tradisi tersebut, sementara dalam prakteknya selalu
berhadapan dengan model dan sistem peradilan pidana yang mewarisi tradisi civil law.
Sehingga, banyak sarjana hukum (praktisi hukum pemula) yang masih canggung dan salah
paham tentang bagaimana praktek peradilan pidana. Belum lagi jika berhadapan dengan kasus-
kasus yang spesifik, seperti kasus korupsi, money laundering, kejahatan korporasi, dan kasus-
kasus pidana ekonomi lainnya yang sudah mulai beradaptasi dengan tradisi common law. Untuk
itu, maka pendidikan kemahiran hukum (baik kemahiran dalam proses penyidikan, penuntutan,
persidangan dan pembelaan perkara pidana serta upaya hukum) di perguruan tinggi dan
masyarakat umum perlu ditingkatkan guna mendorong terwujudnya integrated criminal justice
system yang baik dan berwibawa.
A.2. PERADILAN PERDATA

Perselisihan atau pertengkaran atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak
dikehendaki oleh setiap orang sehat akal dan fikiran. Artinya jika ada orang yang senang
berselesih/bersengketa, dapat dipastikan bahwa orang itu tidak waras. Akan tetapi dalam
pergaulan di masyarakat, dimana kita hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan
kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan.
Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum
apapun, seperti perbedaan pendapat dengan isteri/suami tentang penentuan waktu
keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat
hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang
telah dibuat sebelumnya.

Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing
merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari
yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan,
perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya
disadari.

Jika hendak memasukkan gugatan ke pengadilan dalam lingkup perdata, kita harus
meninjau dan memahami tentang beberapa hal yaitu:

1. Elemen gugatan :

a. apakah ada hukum yang memberi hak, kekuasaan/kewenangan atau kekebalan seperti
yang kita akui.

b. apakah kita masuk dalam kategori tersebut.

c. apakah lawan telah melakukan pelanggaran terhadap hak, kekuasaan/kewenangan atau


kekebalan yang dimiliki oleh kita.

d. adakah kompensasi yang diatur dalam undang-undang atas pelanggaran tersebut.

2. Kita juga harus dapat menentukan :

a. siapa yang harus digugat.

b. ke pengadilan mana gugatan harus diajukan.

c. kapan harus mengajukan gugatan.

d. kompensasi/tuntutan apa yang harus diminta.

e. bagaimana meminta penggugat untuk hadir di pengadilan.


f. meminta pengadilan untuk membuat keputusan yang bersifat segera.

Upaya Hukum:

Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda tergantung apakah merupakan upaya
hukum biasa atau upaya hukum luar biasa.

1. Upaya Hukum Biasa:

a. Perlawanan;

b. Banding;

c. Prorogasi;

d. Kasasi;

Alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi adalah:

1). Tidak berwenang atau emlampaui batas wewenang,

2).  Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,

3).  Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-


undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.

2. Upaya Hukum Luar Biasa

 Peninjauan Kembali;
 Derdenverzet atau Perlawanan Pihak Ketiga;
B. PERADILAN AGAMA

Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:

 perkawinan
 warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
 wakaf dan shadaqah
 ekonomi syari'ah
Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan (pasal
23 UU No. 1 tahun 1974)

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;

Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
b. suami atau isteri
c. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 67

Alasan Pembatalan Perkawinan

o perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No.


1/1974);
o salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu
misalnya tentang status, usia atau agama;
o suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa
seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974);
o Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU
Perkawinan).

Sementara menurut Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;


b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain
yang mafqud (hilang);
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
BAGAIMANA CARA MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN ?

a. Anda atau Kuasa Hukum anda mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam
dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73);
b. Kemudian anda mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua
Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang
muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus;
c. Anda sebagai Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus
datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau
dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat
(2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125);
d. Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan
kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka
Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan
salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg
pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut;
e. Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum
tetap;
f. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan;
g. Setelah anda menerima akta pembatalan, sebagai Pemohon anda segera meminta
penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau
Kantor Catatan Sipil (KCS).
C. PERADILAN TATA USAHA NEGARA (TUN)

Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara bersama-
sama diatur dengan hukum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986.

Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

I.   Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)

Bentuk upaya administrasi:

1. Banding Administratif,

2.  Keberatan,

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
 
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak,
yaitu:

 Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.

 Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya
D. PERADILAN MILITER

Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan


bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Badan yang termasuk ke dalam ruang lingkup peradilan militer adalah adalah badan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Oditurat merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan
dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima,yang
hampir sama tugas dan fungsinya dengan lembaga kejaksaan dengan memperhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Peradilan Militer memiliki yurisdiksi mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh
prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer. Tindak pidana tersebut, baik tindak pidana umum sebagaimana terdapat dalam
KUHP maupun undang-undang di luar KUHP yang memiliki ancaman pidana, seperti Undang-
undang Psikotropika, Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Keimigrasian, dan
lain-lain, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM. Namun dengan
ditetapkannya Ketetapan MPR RI Nomor: VII/MPR/2000, khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a,
maka prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di Peradilan Umum.
Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia
yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Nama, tempat
kedudukan, dan daerah hukum pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima.
Koneksitas.
Prajurit TNI dapat diadili di peradilan umum apabila melakukan tindak pidana bersama-sama
dengan orang sipil, dan kerugian lebih banyak pada kepentingan sipil. Hal ini diatur dalam Pasal
22 UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diamandemen dengan UU No. 35 Tahun 1999. Tindak
pidana ini lebih banyak tindak pidana umum, berupa pencurian dengan kekerasan/perampokan,
pemalsuan, penadahan, penipuan, dan lain-lain.
E. PERADILAN KHUSUS

E.1. PERADILAN NIAGA

Sejarah Pembentukan Pengadilan Niaga

Diundangkannya UU Kepailitan sebagai perbaikan terhadap Perpu Kepailitan membawa


beberapa perubahan penting. Diantaranya adalah pembentukan pengadilan niaga sebagai
wadah untuk menyelesaikan perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). Pembentukan pengadilan niaga merupakan terobosan fenomenal diantara berbagai
upaya lainnya. Pembentukan pengadilan niaga merupakan suatu langkah awal bagi reformasi
peradilan untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang perekonomian.

“Yang dimaksud dengan Pengadilan adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan
pengadilan dibidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum…..”

 Pembentukan Pengadilan Niaga adalah dipisahkannya yurisdiksi untuk memeriksa


permohonan pailit dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Niaga. Undang-undang mengatur
bahwa dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, maka permohonan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang hanya dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga.

Sebelum pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain, maka Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat berwenang untuk menerima permohonan pailit atas debitur di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan dibentuknya empat Pengadilan Niaga Tersebut, maka pembagian wilayah yurisdiksi
relatif bagi perkara yang diajukan kepada Pengadilan Niaga menjadi sebagai berikut:

1. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung pandang meliputi
wilayah propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
Maluku, dan Irian Jaya.
2. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi propinsi
Sumatera Utara, Riau, Sumatera barat, Jambi, Bengkulu dan Daerah Istimewa Aceh.
3. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi propinsi
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
4. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi propinsi
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pembagian ini sekaligus mereduksi kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, sehingga hanya daerah hukumnya hanya meliputi propinsi Daerah Khusus
ibukota Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.  
PENGANGKATAN HAKIM NIAGA

Hakim Niaga terdiri dari Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya berdasarkan Keputusan
Presiden dan Hakim Karir yang pengangkatanya melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung.  Pada penelitian ini hanya akan membahas hakim Karir saja.

Pasal 283 UU Kepailitan menentukan persyaratan hakim niaga, yaitu antara lain sebagai
berikut:

1. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum.


2. memiliki dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi
lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.
3. berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; dan
4. telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan
Niaga.

E.2. PERADILAN ANAK

Pertama, harus dibedakan antara peradilan anak dengan pengadilan anak. Peradilan anak
adalah sebuah sistem peradilan untuk anak yang terintegrasi mulai dari kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, bantuan hukum dan pelayanan lainnya, hingga pemasyarakatan. Tetapi pengadilan
anak adalah proses yang lebih terfokus pada jalannya sidang anak atau pada tahap pengadilan.
Indonesia hanya memiliki aturan mengenai pengadilan anak, yaitu di dalam Undang-undang no
3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Meskipun di dalamnya juga
mengatur mengenai proses pra-pengadilan khusus untuk anak, tetapi hanya menyentuh
persoalan acaranya saja, seperti batas masa tahanan, tata cara sidang anak, jenis-jenis
hukuman dll.

Pengertian:

a. Yang dimaksud dengan anak dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin. (pasal 1 butir 1 UU No  3 tahun 1997)

b. Anak Nakal adalah:

- anak yang melakukan tindak pidana; atau

- anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam hal pemeriksaan:

- Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang telah ditentukan dalam
batas umur Anak Nakal, dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang
bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu)tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. (pasal 4 UU No. 3 tahun 1997);

- Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan
oleh penyidik. (pasal 4 ayat 1 UU No. 3 tahun 1997);

- Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak yang dimaksud
dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.
(pasal 4 ayat 2 UU No. 3 tahun 1997);

- Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana


dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat lagi dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua
asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah
mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. (pasal 4 ayat 3 UU No.
3 tahun 1997).

Dalam hal pemeriksaan di persidangan:

- Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke
Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa. (pasal 7
ayat 1 UU No. 3 tahun 1997);

- Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan


Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. (pasal 7 ayat 2 UU No.
3 tahun 1997);

- Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam
Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. (pasal 6 UU No. 3 tahun 1997);

- Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. (pasal 8 ayat 1 UU No. 3
tahun 1997);

- Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.(pasal 8 ayat 2 UU No.
3 tahun 1997);
- Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir dalam
persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum,
dan Pembimbing Kemasyarakatan. (pasal 8 ayat 3 UU No. 3 Tahun 1997);

- Namun selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau
majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup. (pasal 8 ayat 4 UU No. 3
Tahun 1997);

- Putusan pengadilan atas perkara anak yang dilakukan dalam persidangan tertutup,


diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. (pasal 8 ayat 6 UU No. 3
Tahun 1997);

- Apabila ketentuan dalam pasal 8 dan pasal 6 UU No. 3 Tahun 1997 ridak dilaksanakan,
maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum. (pasal 153 ayat 4 KUHAP).

E.3. PERADILAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Hak asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka
1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) antara
lain mengatur tentang hak, kewajiban dasar, tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam
penegakan HAM, pembentukan Kornisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan
partisipasi masyarakat. Adapun pemahaman tentang HAM yang paling mendasar antara lain
meliputi:

a. Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kebebasan Dasar Manusia, yakni:

b. Kewajiban Dasar Manusia

c. Kewajiban dan Tanggung Jawan Pemerintah

d. Partisipasi Masyarakat.

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga


swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak:

1) Berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM;

2) Menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM


atau lembaga lain yang berwenang dalam rangk& perlindungan, penegakan
dan pemajuan HAM;

3) Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan


dengan HAM kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM).

Pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh 4 (empat) hal:

1)    Kesewenangan (abuse of power);

2)    Pembiaran pelanggaran HAM (violation by ommission);

3)    Sengaja melakukan pelanggaran HAM (violation by commission);

4)    Pertentangan antar kelompok masyarakat.

Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
meliputi :

1. kejahatan genosida;

2 Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Prosedur penyelesaian pelanggaran HAM berat.

1) penyelidikan

2) Penyidikan

3) Penuntutan

4) Pengadilan

E.4. PERADILAN PAJAK

Hal-hal yang Dapat Diajukan sebagai Keberatan 

Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

e. Pemotongan atau Pemungutan Pajak oleh pihak ketiga.


Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat wajib pajak
terdaftar dengan syarat:

a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

b. Wajib pajak menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak dan disertai alasan-alasan
yang jelas.

c. Satu keberatan diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak/satu masa pajak.

Wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat
keputusan keberatan diterbitkan. Apabila wajib pajak tidak atau belum puas atas keputusan
yang diberikan maka dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak dengan syarat:

a. Diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia.

b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.

c. Alasan yang jelas.

d. Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.

Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak. Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha
Negara.

Gugatan

Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada badan peradilan pajak
terhadap:

1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman


Lelang.

2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang


ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26 UU Ketentuan Umum Perpajakan.

3. Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU Ketentuan Umum


Perpajakan yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.

4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak.
Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang. Gugatan terhadap angka 2
diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.

Jika pihak yang bersangkutan tidak atau belum puas atas putusan Pengadilan Pajak,
maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung
melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Alasan Peninjauan Kembali adalah:

1. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat.

2. Terdapat bukti tertulis baru dan penting dan bersifat menentukan.

3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.

4. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.

5. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Permohonan peninjauan kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2
diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan
bukti tertulis baru. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam angka 3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan
Pajak.

E.5. PERADILAN PERIKANAN

Sesuai Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 di Indonesia dibentuk pengadilan perikanan


yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
Pengadilan perikanan yang dibentuk berada di lingkungan peradilan umum dan memiliki daerah
hukum sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

Penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik berwenang melakukan hal-hal sebagai berikut :

 Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di
bidang perikanan;
 Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
 Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya;
 Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau
menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
 Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau
orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
 Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
 Memotret tersangka dan/ atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
 Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di
bidang perikanan;
 Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
 Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak
pidana;
 Melakukan pengentian penyidikan;
 Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggungjawab.

Selain itu untuk kepentingan penyidikan, penyidik juga dapat menahan tersangka paling lama
20 (dua puluh) hari.

E.6. Peradilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)

Pasal 1 butir 3 UU.KPK menyatakan ” Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah


serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Tindakan ”pemeriksaan di sidang pengadilan” adalah bagian atau suatu unsur dari
kegiatan penyelenggaraan peradilan yang menjadi tugas utama pengadilan. Untuk menjamin
dihasilkannya penyelesaian sengketa secara adil-manusiawi, maka semua pihak terkait harus
memperoleh kesempatan yang sama untuk didengar dalam persidangan pengadilan oleh
pengambil putusan akhir (hakim atau majelis hakim). Ini disebut asas audi et alteram partem.
Hanya jika peradilan dijalankan secara imparsial dan obyektif melalui aturan prosedural yang
dirumuskan dalam hukum acara yang baik dan dilaksanakan secara ketat dan putusan diambil
secara profesional (dengan keahlian/kemahiran hukum berkeilmuan), maka dapat diharapkan
akan dihasilkannya putusan hukum oleh hakim (vonis) yang adil-manusiawai.

Keberadaan Pengadilan Tipikor itu diletakkan di dalam wilayah berkiprahnya kewibawaan


dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun dalam pasal 54 ayat (1) UU.KPK dinyatakan
bahwa: ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. ”

Pengadilan Tipikor bertugas memutus perkara yang diajukan KPK. Dalam pemberantasan
korupsi, koordinasi dan supervisi KPK atas kepolisian dan kejaksaan merupakan kebijakan
pidana dalam manajemen penyidikan dan penuntutan perkara (Bab II dan VI UU.KPK 2002),
bukan dalam manajemen pemeriksaan di pengadilan (Bab VII UU KPK 2002).
Pengadilan Tipikor ditempatkan dalam peradilan umum dan untuk pertama kali dibentuk di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 53-54 UU KPK 2002), bersama peradilan pidana umum
yang juga menangani tipikor. Sesuai Pasal 24A (5) UUD 1945, seharusnya MK membatalkan
frase "dengan Keputusan Presiden" pada Pasal 54 (3) UU.KPK 2002. Namun, Putusan MK No
012-016-019/PUU-IV/2006 menilai Pasal 53 inkonstitusional karena melahirkan ketidakpastian
hukum yang dijamin Pasal 28D (1) UUD 1945. MK menyamakan ketakseragaman dengan
ketakpastian hukum, tetapi putusannya menyatakan, Pasal 53 UU.KPK 2002 "tetap mempunyai
kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak
putusan ini diucapkan".

II. ASAS-ASAS DAN KAIDAH-KAIDAH HUKUM

Dengan demikian agar landasan berlakunya kaidah hukum berupa peraturan perundang-
undangan tersebut diakui dan dapat diterima masyarakat serta menjadi baik, maka kaidah
hukum tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. YURIDIS
2. FILOSOFIS
3. SOSIOLOGIS

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada azas


pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi:

1. Kejelasan Tujuan

2. Kelembagaan atau Organ Pembentuk Yang Tepat

3. Kesesuaian Antara Jenis dan Materi Muatan

4. Dapat Dilaksanakan

5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

6. Kejelasan Rumusan

7. Keterbukaan.

Materi Muatan Peraturan perundang-Undangan mengandung azas:

1. Pengayoman

2. Kemanusiaan

3. Kebangsaan

4. Kekeluargaan

5. Kenusantaraan
6. Bhineka Tunggal Ika

7. Keadilan

8. Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan

9. Ketertiban dan Kepastian Hukum.

10. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan.

Disamping asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana


diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, harus diperhatikan pula asas-asas hukum lainnya yaitu:

1. Undang-undang tidak berlaku surut;


2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula;
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat
umum (Lex specialis derogat lex generalis);
4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku
terdahulu (Lex posteriori serogat lex priori);
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat;
6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (asa Welvaarstaat). (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto, 1979).

Ada beberapa asas perturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku apabila:

1. Jangka waktu berlakunya sudah habis;


2. Hal-hal yang menjadi obyek yang diatur dalam peraturan itu sudah tidak ada;
3. Peraturan itu dicabut oleh pembentuknya atau instansi yang lebih tinggi;
4. Telah dikeluarkan peraturan baru yang isinya bertentangan dengan isi perundangan
terdahulu.

Dalam rangka sinkronisasi ini perlu juga diperhatikan pernyataan Fuller tentang “Principles
of Legality” yaitu hukum sebagai suatu sistem dapat diukur dengan 8 azas, yaitu :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung pengaturan (bukan hanya keputusan);
2. Peraturan yang sudah dibuat harus diumumkan;
3. Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut;
4. Peraturan harus dirumuskan dengan susunan kata-kata yang dapat dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Materi muatan peraturan disesuaikan dengan hirarki peraturan perundang-undangan;
7. Tidak boleh sering merubah peraturan sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya.
III. METODE PENEMUAN HUKUM

Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari Hakim dalam melaksanakan Undang-
undang apabila terjadi peristiwa konkrit.

Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan
kepada peristiwanya.

Mayor Polak mengemukakan bahwa cara penafsiran ditentukan oleh :


1. Materi peraturan per Undang-undangan yang bersangkutan misalnya : per -Undang-
undangan jual beli.
2. Tempat dimana perkara tersebut timbul yaitu memperhatikan kebiasaan setempat.
3. Waktu yaitu berlaku tidaknya peraturan hukum tersebut.

III.1. Beberapa metode penafsiran antara lain :

1. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal)

2. Metode Interprestasi secara historis

3. Metode interpretasi secara sistematis

4. Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis

5. Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi)

6. Metode interpretasi secara ekstentif

7. Metode Interpretasi Restriktif

8. Metode interpretasi Analogi

9. Metode interpretasi argumentus a contrario

Anda mungkin juga menyukai