Oleh :
Berdasar politik konstitusi, sistem dan lembaga peradilan adalah bagian distribusi kekuasaan
negara. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi
(MK) pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU
Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu :
1. Peradilan umum;
2. Peradilan agama;
3. Peradilan militer;
4. Peradilan tata usaha negara (TUN).
Pasal 24 A (5) UUD 1945 menempatkan rincian pembentukan lembaga peradilan di ranah
kebijakan kehakiman, terutama Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Jo.
No. 4 Tahun 2004. Hasilnya, kemajemukan sistem peradilan berdasar pengkhususan yurisdiksi
atau kompetensi. Pasal 10 (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Jo.
No. 4 Tahun 2004 menyebut dua pengkhususan :
1. pengkhususan yurisdiksi;
2. pengkhususan lebih lanjut dalam tiap yurisdiksi.
adl.1. pengkhususan yurisdiksi peradilan berdasar status (agama, militer) dan jenis perkara
tertentu (sengketa TUN). Peradilan umum adalah peradilan bagi "rakyat umum" untuk
semua jenis perkara (general jurisdiction), sedangkan peradilan agama, militer, dan TUN
merupakan peradilan dengan yurisdiksi khusus (special jurisdiction). Peradilan konstitusi
merupakan yurisdiksi khusus, lebih-lebih jika merupakan salah satu "kamar" di
Mahkamah Agung.
Adl.2. tiap yurisdiksi mengalami pengkhususan berdasar status, jenis perkara, bahkan faktor
kewilayahan. Ukuran dan cara pengkhususan peradilan tetap di ranah kebijakan
kehakiman, bukan di pengadilan (bukan politics of the judiciary).
Betapapun mampunya seseorang untuk menyelidiki terjadinya tindak pidana, tetap hanya
polisi dan/atau badan yang ditunjuk khusus-lah yang memiliki kewenangan melakukannya.
Begitu pula dengan proses pemeriksaan di pengadilan, hanya hakimlah yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pidana.
Perselisihan atau pertengkaran atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak
dikehendaki oleh setiap orang sehat akal dan fikiran. Artinya jika ada orang yang senang
berselesih/bersengketa, dapat dipastikan bahwa orang itu tidak waras. Akan tetapi dalam
pergaulan di masyarakat, dimana kita hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan
kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan.
Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum
apapun, seperti perbedaan pendapat dengan isteri/suami tentang penentuan waktu
keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat
hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang
telah dibuat sebelumnya.
Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing
merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari
yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan,
perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya
disadari.
Jika hendak memasukkan gugatan ke pengadilan dalam lingkup perdata, kita harus
meninjau dan memahami tentang beberapa hal yaitu:
1. Elemen gugatan :
a. apakah ada hukum yang memberi hak, kekuasaan/kewenangan atau kekebalan seperti
yang kita akui.
Upaya Hukum:
Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda tergantung apakah merupakan upaya
hukum biasa atau upaya hukum luar biasa.
a. Perlawanan;
b. Banding;
c. Prorogasi;
d. Kasasi;
Peninjauan Kembali;
Derdenverzet atau Perlawanan Pihak Ketiga;
B. PERADILAN AGAMA
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
perkawinan
warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
wakaf dan shadaqah
ekonomi syari'ah
Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan (pasal
23 UU No. 1 tahun 1974)
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
b. suami atau isteri
c. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 67
a. Anda atau Kuasa Hukum anda mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam
dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73);
b. Kemudian anda mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua
Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang
muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus;
c. Anda sebagai Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus
datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau
dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat
(2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125);
d. Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan
kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka
Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan
salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg
pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut;
e. Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum
tetap;
f. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan;
g. Setelah anda menerima akta pembatalan, sebagai Pemohon anda segera meminta
penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau
Kantor Catatan Sipil (KCS).
C. PERADILAN TATA USAHA NEGARA (TUN)
Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara bersama-
sama diatur dengan hukum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986.
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
1. Banding Administratif,
2. Keberatan,
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak,
yaitu:
Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya
D. PERADILAN MILITER
Badan yang termasuk ke dalam ruang lingkup peradilan militer adalah adalah badan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Oditurat merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan
dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima,yang
hampir sama tugas dan fungsinya dengan lembaga kejaksaan dengan memperhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Peradilan Militer memiliki yurisdiksi mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh
prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer. Tindak pidana tersebut, baik tindak pidana umum sebagaimana terdapat dalam
KUHP maupun undang-undang di luar KUHP yang memiliki ancaman pidana, seperti Undang-
undang Psikotropika, Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Keimigrasian, dan
lain-lain, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM. Namun dengan
ditetapkannya Ketetapan MPR RI Nomor: VII/MPR/2000, khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a,
maka prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di Peradilan Umum.
Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia
yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Nama, tempat
kedudukan, dan daerah hukum pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima.
Koneksitas.
Prajurit TNI dapat diadili di peradilan umum apabila melakukan tindak pidana bersama-sama
dengan orang sipil, dan kerugian lebih banyak pada kepentingan sipil. Hal ini diatur dalam Pasal
22 UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diamandemen dengan UU No. 35 Tahun 1999. Tindak
pidana ini lebih banyak tindak pidana umum, berupa pencurian dengan kekerasan/perampokan,
pemalsuan, penadahan, penipuan, dan lain-lain.
E. PERADILAN KHUSUS
“Yang dimaksud dengan Pengadilan adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan
pengadilan dibidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum…..”
Sebelum pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain, maka Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat berwenang untuk menerima permohonan pailit atas debitur di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan dibentuknya empat Pengadilan Niaga Tersebut, maka pembagian wilayah yurisdiksi
relatif bagi perkara yang diajukan kepada Pengadilan Niaga menjadi sebagai berikut:
1. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung pandang meliputi
wilayah propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
Maluku, dan Irian Jaya.
2. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi propinsi
Sumatera Utara, Riau, Sumatera barat, Jambi, Bengkulu dan Daerah Istimewa Aceh.
3. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi propinsi
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
4. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi propinsi
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pembagian ini sekaligus mereduksi kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, sehingga hanya daerah hukumnya hanya meliputi propinsi Daerah Khusus
ibukota Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
PENGANGKATAN HAKIM NIAGA
Hakim Niaga terdiri dari Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya berdasarkan Keputusan
Presiden dan Hakim Karir yang pengangkatanya melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung. Pada penelitian ini hanya akan membahas hakim Karir saja.
Pasal 283 UU Kepailitan menentukan persyaratan hakim niaga, yaitu antara lain sebagai
berikut:
Pertama, harus dibedakan antara peradilan anak dengan pengadilan anak. Peradilan anak
adalah sebuah sistem peradilan untuk anak yang terintegrasi mulai dari kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, bantuan hukum dan pelayanan lainnya, hingga pemasyarakatan. Tetapi pengadilan
anak adalah proses yang lebih terfokus pada jalannya sidang anak atau pada tahap pengadilan.
Indonesia hanya memiliki aturan mengenai pengadilan anak, yaitu di dalam Undang-undang no
3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Meskipun di dalamnya juga
mengatur mengenai proses pra-pengadilan khusus untuk anak, tetapi hanya menyentuh
persoalan acaranya saja, seperti batas masa tahanan, tata cara sidang anak, jenis-jenis
hukuman dll.
Pengertian:
a. Yang dimaksud dengan anak dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin. (pasal 1 butir 1 UU No 3 tahun 1997)
- anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam hal pemeriksaan:
- Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang telah ditentukan dalam
batas umur Anak Nakal, dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang
bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu)tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. (pasal 4 UU No. 3 tahun 1997);
- Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan
oleh penyidik. (pasal 4 ayat 1 UU No. 3 tahun 1997);
- Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak yang dimaksud
dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.
(pasal 4 ayat 2 UU No. 3 tahun 1997);
- Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke
Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa. (pasal 7
ayat 1 UU No. 3 tahun 1997);
- Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam
Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. (pasal 6 UU No. 3 tahun 1997);
- Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. (pasal 8 ayat 1 UU No. 3
tahun 1997);
- Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.(pasal 8 ayat 2 UU No.
3 tahun 1997);
- Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir dalam
persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum,
dan Pembimbing Kemasyarakatan. (pasal 8 ayat 3 UU No. 3 Tahun 1997);
- Namun selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau
majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup. (pasal 8 ayat 4 UU No. 3
Tahun 1997);
- Apabila ketentuan dalam pasal 8 dan pasal 6 UU No. 3 Tahun 1997 ridak dilaksanakan,
maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum. (pasal 153 ayat 4 KUHAP).
Hak asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka
1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) antara
lain mengatur tentang hak, kewajiban dasar, tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam
penegakan HAM, pembentukan Kornisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan
partisipasi masyarakat. Adapun pemahaman tentang HAM yang paling mendasar antara lain
meliputi:
d. Partisipasi Masyarakat.
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
meliputi :
1. kejahatan genosida;
1) penyelidikan
2) Penyidikan
3) Penuntutan
4) Pengadilan
b. Wajib pajak menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak dan disertai alasan-alasan
yang jelas.
c. Satu keberatan diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak/satu masa pajak.
Wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat
keputusan keberatan diterbitkan. Apabila wajib pajak tidak atau belum puas atas keputusan
yang diberikan maka dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak dengan syarat:
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak. Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha
Negara.
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada badan peradilan pajak
terhadap:
4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak.
Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang. Gugatan terhadap angka 2
diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
Jika pihak yang bersangkutan tidak atau belum puas atas putusan Pengadilan Pajak,
maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung
melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.
3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
Permohonan peninjauan kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2
diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan
bukti tertulis baru. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam angka 3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan
Pajak.
Penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik berwenang melakukan hal-hal sebagai berikut :
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di
bidang perikanan;
Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya;
Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau
menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau
orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
Memotret tersangka dan/ atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di
bidang perikanan;
Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak
pidana;
Melakukan pengentian penyidikan;
Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggungjawab.
Selain itu untuk kepentingan penyidikan, penyidik juga dapat menahan tersangka paling lama
20 (dua puluh) hari.
Pengadilan Tipikor bertugas memutus perkara yang diajukan KPK. Dalam pemberantasan
korupsi, koordinasi dan supervisi KPK atas kepolisian dan kejaksaan merupakan kebijakan
pidana dalam manajemen penyidikan dan penuntutan perkara (Bab II dan VI UU.KPK 2002),
bukan dalam manajemen pemeriksaan di pengadilan (Bab VII UU KPK 2002).
Pengadilan Tipikor ditempatkan dalam peradilan umum dan untuk pertama kali dibentuk di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 53-54 UU KPK 2002), bersama peradilan pidana umum
yang juga menangani tipikor. Sesuai Pasal 24A (5) UUD 1945, seharusnya MK membatalkan
frase "dengan Keputusan Presiden" pada Pasal 54 (3) UU.KPK 2002. Namun, Putusan MK No
012-016-019/PUU-IV/2006 menilai Pasal 53 inkonstitusional karena melahirkan ketidakpastian
hukum yang dijamin Pasal 28D (1) UUD 1945. MK menyamakan ketakseragaman dengan
ketakpastian hukum, tetapi putusannya menyatakan, Pasal 53 UU.KPK 2002 "tetap mempunyai
kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak
putusan ini diucapkan".
Dengan demikian agar landasan berlakunya kaidah hukum berupa peraturan perundang-
undangan tersebut diakui dan dapat diterima masyarakat serta menjadi baik, maka kaidah
hukum tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. YURIDIS
2. FILOSOFIS
3. SOSIOLOGIS
1. Kejelasan Tujuan
4. Dapat Dilaksanakan
6. Kejelasan Rumusan
7. Keterbukaan.
1. Pengayoman
2. Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kekeluargaan
5. Kenusantaraan
6. Bhineka Tunggal Ika
7. Keadilan
Dalam rangka sinkronisasi ini perlu juga diperhatikan pernyataan Fuller tentang “Principles
of Legality” yaitu hukum sebagai suatu sistem dapat diukur dengan 8 azas, yaitu :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung pengaturan (bukan hanya keputusan);
2. Peraturan yang sudah dibuat harus diumumkan;
3. Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut;
4. Peraturan harus dirumuskan dengan susunan kata-kata yang dapat dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Materi muatan peraturan disesuaikan dengan hirarki peraturan perundang-undangan;
7. Tidak boleh sering merubah peraturan sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya.
III. METODE PENEMUAN HUKUM
Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari Hakim dalam melaksanakan Undang-
undang apabila terjadi peristiwa konkrit.
Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan
kepada peristiwanya.