Anda di halaman 1dari 4

Nama : Lestari Sidabariba

NIM : 210710101128
Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama

1. Kondisi dan kedudukan peradilan agama setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1989 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang dikenal sebagai
Undang-Undang Peradilan Agama, merupakan undang-undang yang mengatur tentang
peradilan agama di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur mengenai perkara-
perkara yang bersifat perdata dan pidana di bidang perkawinan, waris, wakaf, hibah,
wasiat, dan perkara lain yang berkaitan dengan hukum keluarga, serta perkara-perkara
pidana yang berkaitan dengan hukum keluarga. Setelah lahirnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, peradilan agama di Indonesia mengalami beberapa perubahan
dan pembaruan. Berikut adalah beberapa kondisi dan kedudukan peradilan agama
setelah lahirnya undang-undang tersebut:
 Pembentukan Pengadilan Agama: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
membentuk Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan khusus yang
berwenang menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga dan
perkawinan.
 Yurisdiksi: Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi khusus dalam menangani
perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum Islam, terutama di bidang
perkawinan, waris, wakaf, hibah, wasiat, dan perkara pidana yang berkaitan
dengan hukum keluarga.
 Kewenangan Hakim: Hakim-hakim di Pengadilan Agama harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang hukum Islam. Mereka
bertugas untuk memutuskan perkara-perkara dengan mengacu pada hukum Islam.
 Penyelesaian Sengketa Keluarga: Pengadilan Agama berperan dalam penyelesaian
sengketa keluarga dan perkawinan, termasuk perceraian, nafkah, hak asuh anak,
dan sebagainya.
 Kedudukan Majelis Hakim: Majelis Hakim di Pengadilan Agama terdiri dari satu
orang hakim agama atau lebih. Selain itu, terdapat Majelis Penyusun yang
beranggotakan satu orang ketua dan dua orang anggota.
 Upaya Hukum: Seperti peradilan pada umumnya, keputusan Pengadilan Agama
dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama, dan seterusnya.
 Pelaksanaan Hukum: Keputusan Pengadilan Agama memiliki kekuatan hukum
yang mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat.
 Hubungan dengan Hukum Nasional: Pengadilan Agama beroperasi di bawah
hukum nasional Indonesia, dan keputusannya harus sejalan dengan konstitusi dan
perundang-undangan yang berlaku.
 Kerjasama dengan Lembaga Lain: Pengadilan Agama dapat bekerja sama dengan
lembaga-lembaga lain, termasuk lembaga sosial dan pemerintah daerah, untuk
meningkatkan pelayanan dan penegakan hukum di bidang hukum keluarga.

2. Pasal-pasal dalam UU No 7 Tahun 1989 yang mengalami perubahan signifikan:


UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama

Pasal 1 ayat (3)

Pasal 1 ayat (4)


Pasal 7
Pasal 9
Pasal 19
UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 1 ayat (2)
Pasal 21
Pasal 24
Pasal-pasal pada:
UU Nomor 3 Tahun 2006
Pasal 1 ayat (3)
Ketentuan Pasal 4 diubah
Pasal 1 ayat (4)
Ketentuan Pasal 5 diubah
Pasal 7
Ketentuan Pasal 7 diubah
Pasal 9
Ketentuan Pasal 9 diubah
Pasal 19
Ketentuan Pasal 9 diubah
Pasal 19
Ketentuan Pasal 19 diubah
UU Nomor 50 Tahun 2009
Pasal 1 ayat (2)
Ketentuan Pasal 3A diubah
Pasal 21
Disisipkan 1 ayat diantara ayat (1) dan ayat (2)
Pasal 24
Ketentuan Pasal 24 diubah

3. Tergantung pada perspektif individu, terutama para ahli hukum, akademisi, dan
praktisi hukum di Indonesia, pertanyaan apakah perubahan dalam pasal-pasal undang-
undang dianggap sebagai perbaikan atau penurunan sistem Pengadilan Agama di
Indonesia adalah subjektif. Perubahan undang-undang dapat dianggap sebagai
perbaikan jika mereka meningkatkan keadilan, kejelasan, atau efisiensi sistem
peradilan agama. Perubahan yang memperjelas hak dan tanggung jawab para pihak,
atau meningkatkan akses ke keadilan dapat dianggap sebagai perbaikan. Sebaliknya,
jika perubahan mengurangi hak-hak individu, transparansi, atau standar keadilan,
perubahan tersebut dapat dianggap sebagai penurunan dalam pengaturan sistem
peradilan agama. Misalnya, jika perubahan menghalangi hak hakim untuk membuat
keputusan independen atau mengurangi akses masyarakat ke peradilan, perubahan
tersebut dapat dianggap sebagai penurunan dalam pengaturan sistem peradilan agama.
Oleh karena itu, teks undang-undang tersebut serta konsekuensi praktisnya terhadap
sistem peradilan agama harus diperiksa secara menyeluruh untuk menentukan apakah
perubahan dalam pasal-pasal undang-undang tersebut dianggap sebagai peningkatan
atau penurunan dalam struktur Pengadilan Agama di Indonesia. Selain itu, perspektif
praktisi hukum dan ahli hukum dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam
tentang masalah ini.Pengadilan Agama hanya berwenang menangani perkara
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Undang-Undang No.
3/2006 yang merubah Undang-Undang No. 7/1989 kemudian memperluas
kewenangan Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 kewenangan tersebut ditambah
dengan penangan perkara zakat, infaq dan ekonomi syari’ah. Sementara itu Undang-
Undang tentang Peradilan Agama yang baru, No. 50/2009 memuat
perubahan/tambahan baru diantaranya sebagai berikut: Pengadilan khusus di
lingkungan Peradilan Agama, Hakim Adhoc di Peradilan Agama, Pengawasan
Internal oleh MA dan eksternal oleh KY, Putusan bisa dijadikan dasar mutasi, Seleksi
pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY, Pemberhentian hakim atas usulan
MA dan atau KY via KMA, Tunjangan hakim sebagai pejabat Negara. Kewenangan
baru lainnya dari UU No. 3 tahun 2006 ini adalah dalam hal penyelesaian sengketa
hak milik antara sesama orang Islam dan pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal
dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah, serta pemberian keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat danpenentuan waktu sholat,
Sedangkan Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang baru, No. 50 tahun 2009
memuat perubahan/tambahan baru diantaranya sebagai berikut:
 Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama
 Hakim Adhoc di Peradilan Agama
 Putusan bisa dijadikan dasar mutase
 Seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY
 Pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau KY via KMA
 Tunjangan hakim sebagai pejabat Negara
 Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA. Panitera/PP, 60 PA dan 62PTA
 Pos Bantuan Hukum di setiap Pengadilan Agama
 Jaminan akses masyarakat akan informasi pengadilan, dan
 Ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penarik pungli

Anda mungkin juga menyukai