Anda di halaman 1dari 19

PEMERIKSAAN PERKARA DALAM

HUKUM ACARA PERDATA

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas UAS


Mata Kuliah Hukum Perdata

oleh

Aishya Dwi Nurlaely


21107710025

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM BALITAR

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema
dari makalah ini adalah “Pemeriksaan Perkara dalam Hukum Acara Perdata”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen mata kuliah Hukum Perdata yang telah memberikan tugas terhadap kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
makalah ini.
Kami jauh dari sempurna, dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami. Maka kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna
bagi saya pada khususnya dan pihak yang berkepentingan pada umumnya.

Blitar, 06 July 2022


Tertanda,

Aishya Dwi N.

2
Contents

KATA PENGANTAR..............................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................6
2.1 PENGERTIAN PERKARA PERDATA.............................................................6

2.2 ASAS-ASAS PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA...................................6

2.3 PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA..........................................7

1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan.................................................................8

2. Perdamaian........................................................................................................9

3. Pembacaan Gugatan........................................................................................10

4. Jawaban Gugatan.............................................................................................11

5. Tahapan Replik-Duplik..................................................................................13

6. Gugatan Balik (Gugat Rekovensi)..................................................................14

7. Tahap Konklusi...............................................................................................16

BAB III KESIMPULAN........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum yang terjadi di antara


masyarakat adalah dengan perantara kekuasaan kehakiman. Orang yang merasa
dirugikan hak atau kepentingannya dapat menggugat orang yang dianggap
merugikannya di muka pengadilan yang berwenang.

Tujuan para pencari keadilan mengajukan perkara di muka pengadilan


adalah untuk mendapatkan keputusan yang adil guna menyelesaikan perkaranya,
sehingga hak-hak maupun kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum
materiil, baik berupa hukum tertulis maupun tidak tertulis, dapat diwujudkan lewat
pengadilan. Tentu saja para pencari keadilan tersebut, terutama pihak yang
mengajukan gugatan (Penggugat), mempunyai keinginan agar perkaranya dapat
cepat selesai.

Keperluan ini, mereka harus menaati ketentuan peraturan perundangan yang


mengatur cara-cara penyelesaian perkara melalui pengadilan yang berlaku. Peradilan
yang bersifat cepat, sederhana, biaya murah, dan dengan kata-kata sederhana
seringkali mengalami realita yang justru sebaliknya. Kalau kita perhatikan, suatu
perkara perdata yang diajukan ke muka pengadilan diselesaikan dalam waktu yang
relatif lama. Ini bisa dikarenakan oleh para pihak yang berperkara sendiri, hakim
yang memeriksa perkaranya, saksi-saksi, atau mungkin juga hukum acara yang
dipakai tidak memadai.

Penyelesaian suatu perkara, para pihak dapat menggunakan upaya yang


diberikan oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan (upaya hukum). Salah satu
upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh tergugat dalam sidang pemeriksaan
perkara adalah upaya melawan gugatan yang berupa eksepsi dan rekonveksi, di
samping jawaban atas pokok perkaranya (verweer ten prinsipaal). Faktor lain yang
menyebabkan persidangan menjadi lama adalah adanya interfensi dari pihak lain
yang biasa disebut sebagai pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa saja mendukung

4
penggugat untuk memenangkan tuntutannya atau berpihak kepada tergugat agar
lepas dari segala tuntutan. Bahkan, pihak ketiga boleh mengajukan dirinya sendiri
untuk masuk dalam proses acara persidangan tanpa membela siapapun.

Dari gambaran di atas, makalah ini akan membahas bagaimana pemeriksaan


perkara dalam hukum acara persidangan perdata. Juga akan mencoba membahas
beberapa hal yang berhubungan dengan tema tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Masalah yang dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan perkara perdata?
2. Bagaimana asas-asas pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata?
3. Bagaimana tahap pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata?

5
BAB II
PEMBAHASA
N

2.1 PENGERTIAN PERKARA PERDATA

Perkara perdata adalah suatu perkara yang terjadi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan. Hubungan antara pihak
yang satu dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan melalui
pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil- adilnya. Perkara perdata yang
di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak hanya terhadap perkara-perkara perdata
yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh para pihak, tetapi dalam hal-hal
tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu permohonan penetapan ke pengadilan
untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang
berkepentingan agar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan. Umumnya
dalam permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajukan oleh
pihak yang berkepentingan tidak mengandung sengketa karena permohonannya
dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib1.

Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata


baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa,
sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-
perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.

2.2 ASAS-ASAS PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA

Bagi semua pengadilan, tidak hanya dalam pemeriksaan perkara perdata,


Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 13 menyebutkan
bahwa:

1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali


undang-undang menentukan lain.

2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila


diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

1
Sarwono, Hukum Acara Perdata, Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),36-37.

6
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan ini dijamin
kemungkinan adanya social controle atas pekerjaan para hakim.

Peraturan di atas pada umumnya dapat dianggap sebagai pokok asas bagi
pemeriksaan perkara perdata, bahwa hakim, untuk dapat mengambil putusan yang
tepat, sebaiknya mendengarkan kedua belah pihak. Akan tetapi tidak mungkin
ditentukan, bahwa pendengaran kedua belah pihak ini harus dilakukan, sebab adalah
sukar memaksa para pihak untuk datang menghadap di muka hakim. Ini juga sesuai
dengan sifat hukum perdata, yang pelaksanaannya pada umumnya diserahkan
kepada kemauan yang berkepentingan sendiri, maka cukuplah apabila dalam
peraturan hukum acara perdata kepada kedua belah pihak diberi kesempatan penuh
untuk untuk menjelaskan sendiri kepada hakim segala sesuatu yang mereka anggap
perlu supaya diketahui oleh hakim, sebelum suatu putusan dijatuhkan. Pemberian
kesempatan ini berwujud memanggil kedua belah pihak supaya datang menghadap
di muka hakim pada waktu yang ditentukan oleh hakim2.

2.3 PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA

Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui tahap-tahap dalam


hukum, Adapun tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah:
1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan.
2) Tahap Perdamaian.
3) Pembacaan Gugatan.
4) Jawaban gugatan.
5) Replik dan Duplik
6) Gugatan Rekovensi
7) Konklusi

Pada sidang upaya perdamaian, maka inisiatif perdamaian dapat timbul dari
hakim, penggugat, ataupun tergugat. Hakim harus secara aktif dan sungguh-sungguh
untuk mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya damai tidak berhasil, maka
sidang dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan.

2
Astin Fajar Setiani, Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara Prodeo dalam
Praktik (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2011), 14-15.

7
1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh


penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal yang ditentukan
para pihak datang ke pengadilan. Di ruang pengadilan, maka salah satu
pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap pihak penggugat adalah,
apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak ada perubahan lagi? Jika
penggugat menjawab bahwa gugatan sudah tidak ada perubahan, maka
tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban terhadap gugatan
tersebut3.

Masalahnya adalah jika penggugat menyatakan bahwa gugatan tersebut


terdapat perubahan. Apakah diperkenankan perubahan tersebut? Hal-hal apa saja
yang diperkenankan dalam masalah perubahan gugatan tersebut

a. Perubahan Gugatan
HIR/RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan. Yang
mengatur adalah RV. Pasal 127 RV ditentukan bahwa perubahan gugatan
sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak mengubah dan
menambah petitum – tuntutan pokok (onderwerp van den eis) akan tetapi
di dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga dasar
dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
tuntutan. Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa batasan perubahan
gugutan yang bersumber dari praktik peradilan:

1. Tidak boleh mengubah materi pokok acara


2. Perubahan gugatan yang tidak prinsipil dapat dibenarkan.
3. Perubahan nomor surat keputusan
4. Tidak mengubah posita gugatan.
5. Pengurangan gugatan tidak boleh merugikan tergugat.

b. Penambahan Gugatan

Penambahan gugatan misalnya, oleh karena semula tidak semua ahli


waris diikutsertakan, lalu ditambah agar mereka yang belum
diikutsertakan ditarik pula sebagai tergugat atau turut tergugat atau
3
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), 60.

8
misalnya dalam halk lupa dimohonkan/dicantumkan dalam petitum
(tuntutan pokok) menyatakansah dan berharga suatu sita jaminan
kemudian dimohonkan agar petitum itu ditambahakan, diperkenankan.
Juga apabila mohon agar gugatan ditambah dengan petitum agar putusan
dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad), dapat
diluluskan4.

c. Pengurangan Gugatan
Pengurangan gugatan senantiasa akan diperkenankan oleh hakim.
Misalnya semula digugat untuk menyerahkan 4 bidang sawah, kemudian
penggugat merasa keliru bahwa sesungguhnya sawah yang dikuasai oleh
tergugat itu bukan 4 bidang, akan tetapi hanya 2 bidang saja, maka ia
diperkenankan untuk mengurangi gugat dan hanya hanya menggugat
sawah yang 2 bidang yang dikuasai tergugat itu.

d. Pencabutan Gugatan
Menyangkut pencabutan gugatan dalam HIR/RBg juga tidak diatur.
Yang mengatur hal ini adalah Pasal 271 RV yang menetukan bahwa
gugatan boleh dicabut oleh penggugat sebelum tergfugat memberikan
jawaban5. Bilamana tyergugat sudah memberikan jawaban, maka gugatan
tidak boleh dicabut atau ditarik kembali kecuali disetujui oleh tergugat.

2. Perdamaian

Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara


penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien. Pasal 130 HIR maupun
pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara
damai. Maka hakim mempunyai peranan aktif mengusahakan penyelesaian
dengan cara perdamaian terhadap peristiwa perdata yang diperiksanya.

Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian,


menanamkan kesadaran terhadap pihak-pihak yang beroperkara, bahwa
penyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan cara penyelesaian yang
terbaik daripada harus diselesaikan dengan putusan pengadilan. Apabila tercapai
4
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), 25.
5
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 81.

9
perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, maka hasil tersebut kemudian
disampaikan kepada hakim di persidangan yang biasanya dituangkan dalam
bentuk perjanjian di bawah tangan. Selanjutnya hakim menjatuhka putusan (acte
van vergelijk). Yang isinya menghukum pihak-pihak yang berperkara untuk
melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut.

Putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai


hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim.
Karenanya sudah sepantasnya apabila perjanjian perdamaian tersebut
dipertanggungjawabkan sendiri oleh pihak-pihak yang berperkara. Dengan
demikian hasil putusan dari kedua belah pihak tidak dapat dimintakan
pemeriksaan banding (Pasal 130 ayat 3 HIR/ Pasal 154 ayat 3 RBg).

3. Pembacaan Gugatan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh


penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal yang ditentukan
para pihak datang ke pengadilan. Di ruang pengadilan, maka salah satu
pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap pihak penggugat adalah,
apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak ada perubahan lagi? Jika
penggugat menjawab bahwa gugatan sudah tidak ada perubahan, maka
tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban terhadap gugatan
tersebut6.

Mengenai pembacaan surat gugatan ini diatur dalam pasal 131 HIR / 155
RBg pasal 1 yang berbunyi: “jika kedua belah pihak hadir, akan tetapi mereka
tidak dapat diperdamaian (hal ini harus disebutkan dalam berita acara) maka
surat gugatan dibaca dan jika salah satu pihak tidak mengerti bahasa yang
dipakai dalam surat itu, maka surat tersebut diterjemahkan kedalam bahasa yang
dimengerti oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua7.

Surat gugatan selalu dibacakan oleh penggugat atau kuasa hukumnya


yang sah, kecuali jika penggugat buta huruf dan menyerahkannya kepada
panitera sidang. Usai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan

6
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
54-56.
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988), 83.

10
kalau tidak tercapai maka majelis akan melanjutkan dengan menanyakan kepada
penggugat apakah ia akan menjawab secara lisan atau tertulis, bila akan
menjawab secara tertulis maka akan membutuhkan waktu berapa lama untuk
itu8.

Hak bicara terakhir didepan sidang selalu pada tergugat jadi replik-
duplik belum akan berakhir di depan sidang selalu ada pada tergugat, jadi proses
replik-duplik belum akan selesai sepanjang tergugat masih ada yang akan
diutarakannya.

4. Jawaban Gugatan

Setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil,


maka kepada tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atau
gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sebagaimana penggugat diperkenankan
untuk mengajukan gugatan secara tertulis dan lisan, maka tergugat pun
diperkenankan untuk mengajukanjawaban secara tertulis dan lisan. Jawaban
tergugat dapat terdiri dari tiga macam yaitu:

1. Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok
perkara.

2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale)


3. Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang diajukan
tergugat kepada penggugat.

Perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi para pihak berperkara,


maka dalam Undang-Undang tidak ditentukan mengenai kewajiban tergugat
untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam pasal 121 ayat 2 HIR hanya
menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara lisan maupun tertulis.
Jawaban tergugat ini dapat berupa pengakuan, referte (diam) dan dapat pula
berupa bantahan atau penyangkalan9.

Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan baik sebagian maupun


seluruhnya. Pengakuan harus dibedakan dari referte, keduanya merupakan

8
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2000), 67.
9
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
52.

11
jawaban yang bersikap tidak membantah. Jikalau pengakuan itu merupakan
jawaban yang membenarkan isi gugatan, maka referte berarti menyerahkan
segala kebenaran gugatan kepada kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah
maupun membenarkan isi gugatan. Sedangkan bantahan atau sangkalan berarti
menolak atau tidak membenarkan isi gugatan penggugat. Dalam pasal 113
Reglement Rechsvordering ditentukan bahwa bantahan harus disertai alasan-
alasan sehingga duduk perkara dan inti permasalahan menjadi jelas. Bantahan
yang tidak beralasan dapat dikesampingkan oleh hakim10.

Hakikatnya bantahan bertujuan agar gugatan si penggugat ditolak.


Bantahan tergugat ini dapat terdiri dari sangkalan dan tangkisan atau yang
dikenal dengan sebutan eksepsi. Eksepsi ialah suatu bantahan dari pihak tergugat
terhadap gugatan yang tidak langsung mengenai pokok perkara. Misalnya
bantahan yang menyatakan bahwa hakim tidak berkuasa memeriksa gugatan
yang diajukan penggugat, atau bantahan yang menyatakan bahwa perkara yang
diajukan oleh penggugat telah diputus oleh hakim.

Tentang eksepsi atau tangkisan, HIR hanya mengenal satu macam


eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim, yaitu eksepsi yang
menyangkut kekuasaaan relatif dan eksepsi yang menyangkut kekuasaaan
absolut. Kedua macam eksepsi ini disebut eksepsi prosesual. Eksepsi yang
menyangkut kekuasaan relatif atau kewenangan nisbi diatur dalam Pasal 133
HIR/159 RBg. Eksepsi kewenangan absolut diatur dalam Pasal 134 HIR/160
RBg.

Menurut pasal 136 HIR/ pasal 162 RBg maka jawaban yang berupa
eksepsi kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh diajukan
dan dipertimbangkan secara terpisah, tapi diperiksa dan diputus bersama pokok
perkara. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro , pasal ini hanya berarti
anjuran saja seberapa dapat tergugat mengumpulkan segala sesuatu yang ingin
diajukan dalam jawabannya saat permulaan pemeriksaan perkara. Sedangkan
menurut Soepomo, pasal ini tidak lain bertujuan untuk menghindarkan
kelambatan yang tidak perlu.

Lain halnya dengan penyangkalan. Penyangkalan atau bantahan ialah


10
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2005), 31.

12
pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang digugat
terhadap tergugat. Jika tergugat mengajukan bantahan, maka bantahan itu harus
disertai dengan alasan-alasan. Jawaban (sangkalan) tergugat yang mengenai
pokok perkara, tidak harus diajukan pada permulaan sidang, akan tetapi dapat
diajukan selama proses pemeriksaan bahkan dapat diajukan dalam tingkat
banding asal tidak bertentangan dengan jawaban saat pemeriksaan tingkat
pertama.

Selanjutnya, jika suatu bantahan dibenarkan oleh hakim maka dengan


sendirinya perkara telah selesai dengan putusan akhir pada tingkat pertama
dimana eksepsi yang diajukan itu diterima dan berarti gugatan penggugat tidak
dapat dikabulkan. Jika penggugat tidak puas, maka dapat mengajukan
permohonan banding. Dan apabila eksepsi tidak dibenarkan, maka pengadilan
yang bersangkutan berwenang melanjutkan proses pemeriksaan gugatan tersebut
sekaligus memuat perintah agar pihak yang berperkara melanjutkan perkaranya.

5. Tahapan Replik-Duplik

Setelah tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan


perkara di pengadilan selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat
terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan
secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk
meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan- alasan penolakan yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya11.

Setelah penggugat mengajukan Replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya


ialah Duplik , yaitu jawaban tergugat terhadap Replik yang diajukan penggugat.
Sama halnya dengan replik, duplik inipun juga dapat diajukan dalam bentuka
tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya
yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.

Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang biasanya


proses Replik dan Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan dengan bentuk
tulisan, sehingga untuk menyiapkan segala kebutuhannya membutuhkan waktu
yang cukup lama, dengan cara menunda sidang selama beberapa hari sampai
11
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
66.

13
kedua belah pihak siap dan .dapat melanjutkan persidangan.
Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai
berikut:
1. Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir
2. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah, hanya
menanyakan yang berkaitan dengan hukum, begitupula Replik-Duplik yang
diajukan oleh penggugat dan tergugat.
3. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau dari hakim
harus melalui izin dari ketua majlis.
4. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang bersifat umum
selalu oleh ketua majlis.

Jawaban atau pertanyaan yang relevan dan terarah misalnya dalam


perkara gugatan pelanggaran ta’liq talaq, tentunya hal-hal yang berkaitan dengan
kapan kedua belah pihak kawin, dimana melangsungkan perkawinan, dimana
kutipan akta nikahnya, apakah pihak suami mengucapkan ta’liq talaq pada saat
akad nikah, bagaimana bunyi lafaz ta’liq talaq yang diucapkan, mana syarat
ta’liq yang telah dilanggar oleh suami12. Hal-hal yang di luar itu mungkin tidak
relevan atau kurang penting untuk dipertanyakan.

Kemudian ketika perkara waris misalnya, maka pertanyaan yang relevan


tentunya tentang siapa yang wafat, kapan wafatnya, dimana wafatnya, ketika
wafat apakah dalam kondisi Islam atau tidak, siapa sajakah keluarga si mayyit
yang terdekat yang ada dan hidup ketika si mayyit wafat. Apa sajakah harta
peninggalan si mayyit ketika wafat, apa ada biaya penguburan si mayyit yang
perlu dibayarkan dari harta peninggalan, apakah ada utang si mayyit yang belum
terbayar baik sesama manusia maupun kepada Allah, apakah ada wasiat yang
disampaikan oleh mayyit, kalau ada apa wasiatnya, apakah tidak melampaui
sepertiga harta peninggalan. Apakah wasiat itu kepada ahli waris sendiri atau
kepada orang lain. Apakah harta yang dimiliki mayyit itu harta individual
ataukah perserikatan.

6. Gugatan Balik (Gugat Rekovensi)

Dalam pasal 132 a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan


rekovensi ialah gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat konvensi
sebagai gugatan balasan atas gugatan penggugat kepadanya pada saat proses
12
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000), 72.

14
pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini seseorang yang awalnya berkedudukan
sebagai penggugat dalam konvensi menjadi tergugat dalam rekonvensi,
sedangkan tergugat dalam konvensi kedudukannya merangkap sebagai
penggugat dalam gugat rekonvensi.

Menurut Soepomo, tujuan adanya gugat rekovensi ini untuk


mempermudah prosedur karena gugat konvensi dan rekonvensi ini diperiksa dan
diputus bersama dalam satu proses dan dituangkan dalam satu putusan. Selain itu
juga dapat menghemat waktu dan biaya bagi pihak yang berperkara, serta dapat
terhindar dari kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan.

Pada dasarnya, gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam berbagai hal,


kecuali 3 hal yang disebut dalam pasal 132a HIR13, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam gugatan konvensi bertindak bukan untuk diri sendiri (sebagai wali),
sedangkan dalam gugatan rekonvensi bertindak untuk diri sendiri
2. Apabila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak
berwenang secara mutlak untuk memeriksa gugatan rekonvensi
3. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang tidak mengatur bahwa antara tuntutan


penggugat konvensi dan tuntutan rekonvensi harus memiliki hubungan yang
erat. Tuntutan rekonvensi dapat berdiri sendiri (zelfstandig) yang oleh tergugat
dapat diajukan kepada hakim didalam proses tersendiri. Namun dalam
prakteknya seringkali dikaitkan bahwa dasar tuntutan rekonvensi harus
mempunyai hubungan dengan tuntutan konvensi. Hal tersebut didasarkan agar
tujuan gugat rekonvensi dapat terealisasikan dengan baik, jadi sedapat mungkin
harus ada konektifitas antara keduanya sehingga dapat diselesaikan secara
bersamaan14.
Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat baik
tertulis maupun lisan. Jika jawab menjawab antara penggugat dan tergugat
telah selesai dan dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak diperbolehkan

13
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), 468-473.
14
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
63-64.

15
mengajukan gugatan rekonvensi. Selanjutnya menurut pasal 132a ayat 2 HIR
telah ditentukan bahwasanya jika gugatan rekonvensi dalam persidangan tingkat
pertama tidak diajukan, maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.

Kedua gugatan tersebut dapat diselesaikan sekaligus dan dapat diputus


dalam satu putusan (pasal 132b HIR dan pasal 158 RBg). Akan tetapi hakim
berwenang untuk memisahkan keduanya jika ia berpendapat bahwa suatu
perkara dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada perkara yang lain. Proses
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan dijatuhkan dalam satu
putusan jika antara konvensi dan rekonvensi sama sekali tidak ada hubungan.

Di sini perlu digaris bawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya berlaku
dalam perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh karena itu
dalam permohonan (voluntria) penuh tidak berlaku gugat balik (rekonvensi).

7. Tahap Konklusi

Sebelum hakim melakukan musyawarah kemudian dilanjutkan dengan


pengucapan keputusan akhir, masing-masing dari kedua belah pihak
diperkenankan untuk menyampaikan konklusi atau kesimpulan- kesimpulan dari
sidang menurut pihak yang bersangkutan. Karena konklusi ini sifatnya hanya
untuk membantu hakim dalam memutuskan perkara, maka pada dasarnya hakim
boleh meniadakan konklusi.

16
BAB III
KESIMPULAN

Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata


baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa,
sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-
perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.

Tahap-tahap dalam pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata yaitu


diantaranya sebagai berikut:

1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan


Pencabutan dan perubahan gugatan diatur dalam RV. Pasal 127 RV
bahwa perubahan gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak
mengubah dan menambah petitum – tuntutan pokok (onderwerp van den eis)
akan tetapi di dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga
dasar dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-peristiwa.

2) Tahap Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara
penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg dan putusan yang
didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai hasil pertimbangan
dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim.

3) Pembacaan Gugatan
Yaitu pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil
gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam
surat gugat itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan
tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang ternuat dalam surat gugatan.

4) Jawaban Gugatan
Yaitu pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan
mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim.

17
5) Replik Penggugat
Yaitu respons Penggugat atas jawaban yang diajukan tergugat untuk
meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya.

6) Duplik Tergugat
Yaitu jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat untuk
meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan
penggugat.

7) Konklusi
Kesimpulan-kesimpulan dari sidang menurut pihak yang bersangkutan
yang dibacakan oleh hakim.

18
DAFTAR PUSTAKA

Makarao, M. Taufik. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT Rineka


Cipta. 2009.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1988.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: CV Rajawali. 1991.

Syahrani, Riduan. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti. 2000.

Sarwono. Hukum Acara Perdata, Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Setiani, Astin Fajar. Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara Prodeo
dalam Praktik. Semarang: Universitas Negeri Semarang. 2011.

Fauzan M. Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di


Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2005.

Soepomo R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: PT Pradnya Pramita.


1994.

19

Anda mungkin juga menyukai