Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

HUKUM ACARA PERDATA


SENGKETA TANAH

Oleh :
Eunike Chanora (EAA 117 068)
Nadia Forti (EAA 117 109)
Puput Melati (EAA 117 062)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
FAKULTAS HUKUM
2019
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..
1.3Tujuan Penulisan……………………………………………………….
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Tanah..................................................................................
2.2 Pengadilan dan Peradilan...................................................................

2.2.1 Pengertian Pengadilan dan Peradilan.............................................

2.2.2 Lembaga Peradilan di Indonesia...................................................

2.2.3 Pengadilan Khusus.......................................................................

2.3 Kasus Pertanahan...............................................................................

2.3.1 Sengketa Pertanahan...................................................................

2.3.2 Konflik Pertanahan.....................................................................

2.3.3 Perkara Pertanahan........................................................................

2.4 Jalur Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia.........................

2.4.1 Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Pengadilan.......................

2.4.2 Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan..................................

BAB III PEMBAHASAAN


3.1 Pengertian Hukum Acara Perdata…………………………………….
3.2 Pengertian Sengketa………………………………………………….
3.3 Jenis-Jenis Sengeta……………………………………………………
3.4 Tahap-Tahap Terjadinya Sengketa……………………………………
3.5 Macam-Macam Sengketa………………………………………………
3.6 Sebab-Sebab Timbulnya Sengeketa……………………………………
3.7 Cara Menyelesaikan Sengketa………………………………………….
3.8 Kasus Sengketa Tanah………………………………………………….
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………...
4.2 Saran…………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………
Kata Pengantar

Hukum acara khususnya acara perdata, tidak semua mendapat perhatian dari para
sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Dan tidak pula mendapat
tempat yang layak dalam lingkungan pendidikan ilmu hukum.

Hukum acara perdata tidaklah kurang penting dengan hukum lainnya. Untuk tegaknya
hukum, khususnya hukum perdata materiill, maka diperlukan Hukum acara perdata. Hukum
acara materill tidak mungkin berdiri sendiri dan lepas dari Hukum acara perdata materill.
Kedua-duanya satu sama lain.

Pembangun hukum tidak hanya ditangan membentuk undang-undang saja, tetapi hakim
pun tidak kecil perannya dalam pembangunan hukum. Bahakan hukum itu kebanyakan
diciptakan oleh hakim. Bagi hakim hukum acara merupakan pegangan pokok atau aturan
permainan sehari-hari dalam memeriksa perkara. Hukum acara perdata itu tidak hanya penting
didalam praktek peradilan saja, tetapi mempunyainya pengarauhnya juga diluar pengadiilan.

Maka oleh karena itu hukum acara perdata perlu mendapatkan perhatian selayaknya
dipahami dan dikuasai. Nah sekarang pengantar dalam makalah kami akan diuraikan secara
berturut-turut tentang pengertian hukum acara perdata, sumber-sumber dan asas-asas nya dan
kekeuasaan kehakiman. Dalam uraian selanjutnya tidak diikuti urutan-urutan undang-undang
(HIR),akan tetapi dimulai dengan membicaran tentang cara mengajukan gugatan termasuk
upaya-upaya untuk menjamin hak, tentang pemeriksaan dipersidangan, pembuktian, putusan
serta upaya-upaya hukumnya dan tentang pelaksaanaan putusan.

Kami berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa karena telah diberikan
kemampuan serta kesanggupan untuk dapat menyelesaikan tugas makalah hukum acara perdata
yang di ajarkan oleh Pak Fransico, SH, LL.M dalam rangka memenuhi nilai tugas. Kami
berharap makalah kami ini dapat berguna dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.

Palangkaraya, 30 Maret 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu


atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat bersifat publik
maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional
maupun internasional. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana dua pihak atau
lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi
sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas
atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah
sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak atau
keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab
kerugian atau kepada pihak lain1.

Dengan kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan kepada manusia,


membawa manusia itu kedalam bermacam-macam konflik atau sengketa, sengketa itu
bisa terjadi dengan manusia lain, alam lingkungannya bahkan dengan dirinya sendiri.
Pada kodratnya Tuhan juga memberikan kelebihan sehingga manusia tersebut dapat
melakukan. penyelesaian konflik atau sengketa. Manusia selalu berusaha mencari
bagaimana cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk selalu mencapai posisi yang
baik dan seimbang agar dapat tetap bertahan hidup. Apabila ada manusia yang tidak
mau berusaha untuk mencari cara penyelesaian sengketa maka manusia tersebut
memiliki fikiran dan jiwa yang tidak waras karena menghendaki adanya persengketaan
tersebut. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses. Proses yang tertua
melalui proses Litigasi yaitu melalui pengadilan. Dan kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa ini melalui kerja sama atau koorpratif diluar pengadilan. Proses
penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini disebut dengan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.

1
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi. 1997. “Sengketa dan Penyelesaiannya”.
Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I. Jakarta: Indonesian Center for Environment Law,
hlm.1.
Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan Hukum perdata materil dengan
perantaraan kekuasaan Negara. Perantaraan Negara dalam mempertahankan dan
menegakan hukum perdata materil itu terjadi melalui peradilan dan cara ini lah yang
disebut Litigasi2. Pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri
orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak
adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa,
bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.3
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang egois yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cendrung menimbulkan masalah baru, lambat dalam
penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan
permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa
melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi
hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat
(overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive)
dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau dianggap
terlampau formalistic (formalistic) dan terlampau teknis (technically).

Apabila menggunakan penyelesaian dengan cara yang tidak sederhana dan biaya
yang mahal maka akan terjadi penumpukan perkara dipengadilan. Para pihak yang
berperkara juga harus menunggu sementara bukan hanya hal berperkara itu saja yang
harus diselesaikan mereka melainkan masih banyak kebutuhan lain yang harus
diselesaikan oleh para pihak. Untuk mengatasi penumpukan perkara tersebut maka
perkembangan penyelesaian melalui kerja sama (koorperatif) di luar pengadilan ini
sangat bermanfaat bagi para pihak yang menginginkan perkara mereka cepat selesai.
Perkembangan penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) diluar
pengadilan atau yang disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
merupakan kebalikan penyelesaian sengketa melalui Litigasi di dalam pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa menghasilkan
kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasian sengketa para pihak,
terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,

2
2 Ibid. hlm.27
3
Satjipto Rahardjo, Perumusan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni. 1985, hlm.3.
menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik.
Penyelesaian sengketa dengan cara tersebut merupakan dambaan setiap orang
karena memiliki sifat sederhana, cepat dan biaya ringan. Bersamaan dengan itu di
dalam Hukum Acara Perdata yang terdapat suatu asas yang terdapat dan tercantum
dalam penjelasan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman,
Pasal 2 angka 4 yang secara lengkap berbunyi : “Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan4 Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang
umum digunakan, misalnya :
1. Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartite /dua pihak)
2. Mediasi (negosiasi dengan dibantu oleh pihak ketiga yang disebut Mediator)
3. Arbitrase (Penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter)
4. Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu pihak ketiga)

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang biasa digunakan adalah
melalui mediasi. Mediasi ini secara langsung merupakan suatu kewajiban yang harus
dilakukan dalam proses persidangan di pengadilan. Penyelesaian sengketa perdata
melalui mediasi ini dengan “win-win solution” yang menggunakan pengadilan sebagai
sarana mediator dan sekaligus dapat berperan sebagaai katup penekan. Yang
diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efesien bagi para pihak yang bersengketa, tapi
juga bagi pengadilan yang bertugas menyelesaikan sengketa mereka, dalam hal
mengurangi penumpukan perkara yang dapat berimplikasi pada konflik tersebut.

Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih
melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak
memiliki kewenangan memutus5 Mengenai mediasi atau alternatif penyelesaian
sengketa ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Penyelesaian Sengketa. Lembaga-Lembaga APS bisa dijumpai secara luas
dalam berbagai bidang seperti undang-undang bidang Lingkungan Hidup,
Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya. Mahkamah Agung (MA)
RI juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu

4
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 “Tentang Kekuasaan Kehakiman” pasal 2 angka 4.
5
Gunawan Wijaya, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada). hlm.30.
menempuh proses mediasi Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa
dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus
(mediator). Berkaitan dengan hal itu, Mahkamah Agung mewajibkan penggunaan jasa
mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal
130 HIR dan Pasal 154 Rbg. Lembaga sejenis mediasi untuk menyelesaikan di luar
pengadilan sudah diatur dalam Pasal 130HIR/154 RBG. Pasal ini menyatakan bahwa,
“Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang menghadiri, maka
Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua mencoba untuk mendamaikan
mereka6. Segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil
kesepakatan atau persetujuan para pihak. Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang
terdiri atas dua pihak bersengketa atau lebih. Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan
jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada
kalanya karena berbagai faktor para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian
sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu. Situasi ini yang membedakan mediasi
dengan litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa
putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah
sengketa karena ketegangan di antara pihak sengketa masih berlangsung dan pihak yang
kalah selalu tidak puas.

Terdapat unsur-unsur esensial mediasi yang telah diidentifikasi, yaitu:

a. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan


pendekatan mufakat atau konsensus para pihak.
b. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut
mediator.
c. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak
yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak.7
Mediator merupakan pihak netral yang memberikan bantuan prosedural dan
substansial. Bantuan prosedural antara lain mencakup tugas-tugas memimpin,
memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan. Sedangkan bantuan
substansial berupa pemberian saran-saran kepada pihak yang bersengketa8.

6
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). hlm.245.
7
Takdir Rahmadi, penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010) hlm.13.
8
Ibid. hlm. 14
Mediator sebagai pihak netral ini mengandung pengertian bahwa mediator tidak
berpihak, tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta
tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi
menemui jalan buntu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Sengketa?
2. Bagaimana cara penyelesaian Kasus Sengketa ?

1.3 Tujuan Penulisan

Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sengketa


2. Untuk mengetahui cara penyelesaian Kasus Sengketa Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Tanah

Tanah (bahasa Yunani: ager; bahasa Latin: akker) adalah bagian kerak bumi yang
tersusun dari mineral dan bahan organik. Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai
dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui
dalam arti apa istilah itu di gunakan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah :

1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;

2) keadaan bumi di sustu tempat

3) permukaan bumi yang diberi batas;

4) bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,cadas,napal dan


sebagainya).

Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” di pakai dalam arti yuridis, sebagai suatu
pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa
atas dasar hak menguasai dari negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang.9

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan
bumi. Menurut pendapat Jhon Salindeho mengemukakan bahwa : Tanah adalah suatu
benda bernilai ekonomis menurut pandangan bangsa Indonesia, ia pula yang sering
memberi getaran di dalam kedamaian dan sering pula menimbulkan guncangan dalam
masyarakat, lalu ia juga yang sering menimbulkan sendatan dalam pelaksanaan
pembangunan.

2.2 Pengadilan dan Peradilan

2.2.1 Pengertian Pengadilan dan Peradilan

Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan
berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem Peradilan
yang dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia untuk menyelesaikan
perselisihan dan pencarian keadilan baik dalam perkara sipil, buruh, administratif,
maupun kriminal.

9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaanya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan. Jakata, 1990, hlm. 18.
Sedangkan Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di
Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili
perkara dengan menerapkan hukum dan atau menemukan hukum “in concret”
(hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan
kepadanya untuk diadili dan di putus) untuk mempertahankan dan menjamin
ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan
oleh hukum formal.

Dari kedua uraian di atas dapat dikatakan bahwa, Pengadilan adalah lembaga
tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan Peradilan adalah sebuah proses
dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan
itu sendiri.

2.2.2 Lembaga Peradilan di Indonesia

Badan peradilan tertinggi di Indonesia adalah Mahkamah Agung, sedangkan Badan


Peradilan yang lebih rendah yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah :

1) Badan peradilan Umum

a) Pengadilan Tinggi

b) Pengadilan Negeri

2) Badan Peradilan Agama

a) Pengadilan Tinggi Agama

b) Pengadilan Agama

3) Badan Peradilan Militer

a) Pengadilan Militer Utama

b) Pengadilan Militer Tinggi

c) Pengadilan Militer

4) Badan Peradilan Tata Usaha Negara

a) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

b) Pengadilan Tata Usaha Negara

2.2.3 Pengadilan Khusus

Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk


memeriksa, mengadili, memutus perkara tertentu yang hanya dapat di bentuk dalam
satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-
Undang. Hingga saat ini terdapat delapan pengadilan khusus, yakni enam pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, satu pengadilan dalam lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan satu pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

2.3 Kasus Pertanahan

Era reformasi yang ditandai dengan semangat demokratisasi dan transparansi di segala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, membangkitkan keberanian
masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas apa yang dirasakannya sebagai suatu
ketidakadilan, dan hal itu juga menyangkut masalah pertanahan.Terlebih lagi bila masalah
ini juga ditunjang dengan semakin pentingnya arti tanah bagi penduduk. Pertumbuhan
penduduk yang amat cepat baik melalui migrasi maupun urbanisasi, sementara jumlah
lahan yang tetap menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat
tinggi. 10

Permasalahan tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks
dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan secara komprehensif. Perkembangan sifat
dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi
pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tetapi kompleksitas tanah
tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan
nasionalisme dan hak asasi manusia. Persoalan tanah juga masuk ke persoalan hukum
pidana yakni persengketaan tanah yang disertai dengan pelanggaran hukum pidana (tindak
pidana). Tidak jarang, persoalan pertanahan atau agraria secara umum disertai dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.

Dalam keputusan Kepala BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan disebutkan bahwa Masalah pertanahan
meliputi permasalahan teknis, sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang memerlukan
pemecahan atau penyelesaian. Dalam keputusan tersebut, disebutkan pula bahwa
permasalahan teknis adalah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan atau Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, di pusat maupun daerah berkaitan dengan sistem
perundang-undangan, administrasi pertanahan, atau mekanisme penanganan yang belum
sempurna. 11

Sedangkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan


Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan memberi batasan mengenai apa itu kasus

10
Bemhard Limbong, Konflik Pertanahan, Pustaka Margaretha. Jakarta, 2012, hlm. 47.
11
Ibid, hlm. 48
pertanahan. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus
pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara pertanahan yang disampaikan kepada
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan,
penyelesaian sesuai ketentuan peraturan perundangundangan dan/atau kebijakan
pertanahan nasional.

2.3.1 Sengketa Pertanahan

Dalam ranah hukum, dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara
dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek
tertentu. Hal ini terjadi di karenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau
persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya. Berdasarkan Keputusan BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, sengketa pertanahan
adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang
perorangan dan atau badan hukum (privat atau public) mengenai status penguasaan
dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.

Definisi mengenai sengketa pertanahan mendapat sedikit penekanan dalam


peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan
antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas
secara social-politis. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa
perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran,
penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat. Sedangkan obyek
sengketa tanah meliputi tanah milik perorangan atau badan hukum, tanah aset negara
atau pemda, tanah negara, tanah adat, dan ulayat, tanah eks hak barat, tanah hak
nasional, tanah perkebunan, serta jenis kepemilikan lainnya.12

2.3.2 Konflik Pertanahan

Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,


kelompokkelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Petunjuk
Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, konflik adalah perbedaan

12
Ibid, hlm. 50
nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok
masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan
masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status
penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau
status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan,pemilikan dan
penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tertentu, serta mengandung aspek
politik,ekonomi dan social budaya. Penekanan “mengandung aspek politik,
ekonomi, sosisl dan budaya” inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan
dengan konflik pertanahan versi Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007
tersebut. Demikian juga dengan definisi konflik pertanahan menurut Peraturan
Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, yang memberi penekanan bahwa konflik pertanahan
adalah perselisihan pertanahan anatara orang perseorangan, kelompok, golongan,
organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah
berdampak luas secara sosio-politis13. Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan
bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau
lebih.14

2.3.3 Perkara Pertanahan

Definisi perkara menurut Keputusan Kepala BPN Nomor 34 Tahun 2007 adalah
sengketa dan atau konflik pertanahan yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan
peradilan. Senada dengan definisi tersebut, Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan KasusPertanahan
memberi pengertian bahwa perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang
penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga
peradilan yang masih dimintakan penanganannya di BPN RI. Dari kedua pengertian
ini, dapat dikatakan bahwa sebuah konflik atau sengketa berkembang menjadi
perkara bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau
keprihatinannya dengan melakukan pengaduan atau gugatan melalui badan

13
Ibid, hlm. 51
14
Bambang Sutiyono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta:Citra Media, 2006, hlm.3.
peradilan umum baik secara langsung maupun melalui kuasa hukum kepada pihak
yang di anggap sebagai penyebab kerugian.15

2.4 Jalur Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia

2.4.1 Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Pengadilan

a) Pengadilan Umum

Prinsip penting yang harus dipegang oleh negara hukum adalah terjaminnya
penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka. Arti merdeka di sini adalah
bebas dari pengaruh kekuasaan lain saat menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan keadilan, kebenanaran, dan kepastian hukum. Agar itu terwujud
perlu pengaturan susunan, kekuasaan, serta lingkungan peradilan umum. Yang
terakhir ini dasarnya adalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.16
Pengadilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 1986). 17

Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum di jalankan oleh :

1) Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama.

2) Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding.

3) Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak pada


Mahkamah Agung RI sebagai pengadilan negara tertinggi.

4) Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1986

Pengadilan Negeri berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten.


Daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan
Pengadilan Tinggi Berkedudukan di ibukota provinsi. Daerah hukumnya meliputi
wilayah provinsi.

b) Pengadilan Tata Usaha Negara

15
Bernhard Limbong, Op.cit., hlm.52.
16
Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pegadilan khusus Pertanahan, PT Gramedia, Jakarta,
2014, hlm.225
17
Sentosa Sembirin, Himpunana Lengkap Peraturan Perundang-Undangan Tentang Badan Peradilan Dan
Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung,2006, hlm.32.
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal penyelesaian sengketa
atas tanah dapat dilihat dalam ketentuan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 2, Pasal 5 ayat (1), Pasal 50, Pasal 51. Sedangkan dalam Yurispudensi
dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 84 K/TUN/1999
tanggal 14 Desember 2000 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 168
K/Pdt//1998 tanggal 29 September 1999.18

Macam-macam sengketa yang ditangani pengadilan tata usaha negara pada inti
penyebabnya adalah putusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat
TUN yang berwenang.

Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan dengan dua cara yakni:

19
1) Melalui upaya administrasi (vide Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986). Cara
ini merupakan prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum
perdata apabilatidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara.
Bentuk upaya administrasi adalah:20

a) Banding Administratif, yaitu upaya penyelesaian yang dilakukan oleh


instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan itu.

b) Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan


sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan itu.

2) Melalui gugatan

Subjek atau pihak-pihak yang berpekara di Pengadilan Tata Usaha Negara


ada dua pihak, yaitu:

a) Penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang merasa


dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh
badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun di daerah.

18
Bernhard Limbonng, Op,cit., hlm 327
19
Erman Suparman, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Uasaha Negara), Fokusmedia, Bandung,
2014, hlm.59.
20
Elza Syarief, Op.Cit,. hlm 235.
b) Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya.

2.4.2 Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan adalah melalui


Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau dalam bahasa Inggris disebut
Alternative Disputes Resolution (ADR). Ada juga yang menyebutnya sebagai
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Koorperatif (MPSSK). 21

Penyelesaian sengketa dengan menggunakan Alternative Disputes Resolution


(ADR) sebenarnya merupakan model penyelesaian sengketa yang sangat cocok
dengan karakter dan cara hidup masyarakat yang bersifat
kekeluargaan,dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan yang cenderung bersifat konfrontatif, lebih memperhitungkan menang dan
kalah, lebih memperhitungkan aspek yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sebagaimana juga di atur dalam Undang-
Undang No.39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
dapat dilakukan melalui cara-cara berikut ini.22

a) Musyawarah ( Negotiation)

Negosiasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang


banyak digunakan oleh berbagai pihak dalam menyelesaikan permasalahan
ataupun sengketa di antara mereka. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penyelesaian
sengketa atau beda pendapat ini disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2). Negosiasi
merupakan bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan
sendiri oleh para pihak yang bersengketa atau oleh kuasanya, tanpa bantuan dari
pihak lain, dengan cara musyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan
yang dianggap adil di antara para pihak. Hasil dari negosiasi berupa
penyelesaian kompromi yang tidak mengikat secara hukum. Pada umumnya
negosiasi digunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak

21
Priyatna Adurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm.11.
22
Bernhard Limbong, Op.cit,. hlm.335.
masih beritikad baik dan bersedia untuk duduk bersama memecahkan
masalah23.

b) Konsiliasi

Konsiliasi merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang utama.


Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan
tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Dalam bentuk konsiliasi,
konflik pertanahan diselesaikan melalui parlemen, dimana kedua belah pihak
berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan24.

Konsiliasi adalah penyelesaian konflik, termasuk konflik pertanahan


yang di tengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral yang dipilih atas
kesepakatan para pihak. Konsiliator tersebut harus terdaftar di kantor yang
berwenang menangani masalah pertanahan, dalam hal ini misalnya di Kantor
BPN. Konsiliator harus dapat menyelesaikan perselisihan tersebut paling
lambat tiga puluh hari sejak menerima permintaan penyelesaian konflik
tersebut. Pada kesempatan pertama penyelesaian tersebut, konsiliator wajib
mendamaikan para pihak terlebih dahulu. Jika terjadi kesepakatan damai, maka
dibuatkan perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di pengadilan
wilayah hukum mana kesepakatan damai itu di buat. Bila salah satu pihak tidak
menjalankan kesepakatan tersebut, pihak lainnya dapat mengajukan
permohonan eksekusi di pengadilan tempat perjanjian bersama didaftarkan.

c) Mediasi

Mediasi merupakan pengendalian konflik (pertanahan) yang dilakukan


dengan cara membuat consensus di antara dua pihak yang berkonflik untuk
mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian konflik. Pengendalian ini sangat berjalan efektif dan mampu
menjadi pengendalian yang selalu digunakan oleh masyarakat25. Dalam
menyelesaikan konflik melalui cara mediasi, kedua belah pihak sepakat mencari
nasehat dari pihak ketiga.

23
Ibid,. hlm.336.
24
Ibid,. hlm.337.
25
Ibid,. hlm.339
Penyelesaian konflik melalui bentuk ini dilakukan atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak yang berkonflik bahwa masalah mereka akan
diselesaikan melalui bantuan seorang atau beberapa penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator. Pihak ketiga yang bersifat netral (tidak memihak)
serta independen, dalam artian tidak dapat diintervensi oleh pihak lainnya.
Dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik melalui mediasi, Gunawan
Wijaya berpendapat bahwa mediator selaku pihak di luar perkara yang tidak
memiliki kewenangangan memaksa, berkewajiban mempertemukan para pihak
yang berkonflik guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang
dipermasalahkan. 26

Sebagai suatu cara penyelesaian alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri


yakni waktunya singkat, terstuktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan
cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif. Pilihan
penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya,
waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan berpekara di muka pengadilan,
disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan
kendala administratif yang melingkupinya membuat lembaga pengadilan
merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Oleh karena itu,
kiranya pemanfaatan lembaga mediasi dapat merupakan alternatif yang
berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan.27

d) Arbitrase

Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua


belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa akan
hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan bagi mereka dalam
menyelesaikan konflik tersebut. Dalam penyelesaian secara arbitrase, kedua
belah pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan yang bersifat legal sebagai
jalan keluar bagi konflik yang terjadi di antara para pihak. Yang berperan untuk
menyelesaikan konflik di sini ialah seorang arbitrator atau majelis arbitrator.
Sehubungan dengan pemakaian bentuk arbitrase ini, Maria S.W. Soemardjono
pernah melontarkan gagasan tentang penggunaan lembaga Arbitrase Pertanahan

26
Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
27
Bernhard Limbong, Op.cit., hlm. 343.
sebagai alternatif penyelesaian sengketa pertanahan. Untuk melaksanakan
arbitrase pertanahan ini, menurut Soemardjono, diperlukan pemahaman tentang
peta permasalahan tanah sebagai latar belakang dan prinsip dasar arbitrase
untuk menjawab apakah perlunya atau belum diperlukannya kehadiran arbitrase
pertanahan sebagai suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa pertanahan
di luar pengadilan28. Lebih lanjut Soemardjono menyatakan bahwa
pembentukan arbitrase pertanahan dimaksud lebih mengarah pada
pembentukan arbitrase pertanahan yang berfungsi untuk meredam konflik yang
terjadi di seputar perbedaan persepsi dan ekspektasi antara pemegang hak atas
tanah dan pihak lain yang memerlukan tanah tersebut berkenaan dengan
penghargaan terhadap hak atas tanah. Ketiga jenis pengendalian konflik diatas,
yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase pertanahan memiliki daya kemampuan
untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan sosial
dalam masyarakat. Akan tetapi, yang lebih penting adalah peran dari negara
untuk menjadi wasit yang tidak memihak dalam penyelesaian konflik.

Peranan negara atau pemerintah untuk menjadi wasit yang tidak


memihak kepada salah satu pihak yang berkonflik serta menyediakan satu
sistem yudisial yang menjamin keadilan perlu diwujudkan sebagai salah satu
pelaksanaan tugas utama negara. Selain ketiga jenis pengendalian konflik yang
sudah dipaparkan, Badan Pertanahan Nasional pun sebagai Lembaga
Pemerintah Pelaksana Kebijakan Nasional Pertanahan. Pasal 33 ayat 3 UUD
1945 menyebutkan bahwa negara adalah pihak yang menguasai dan mengelola
tanah untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Atas dasar ketentuan
tersebut maka negara membentuk Badan Pertanahan Nasional yang diharapkan
sebagai perpanjangan negara dalam hal penguasaan dan pengelolaan tanah bagi
kemakmuran rakyat. Pembentukan BPN didasarkan atas Keputusan Presiden
No. 26 Tahun 1988 tentang BPN.

Organisasi dan tata kerja BPN dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala


BPN No.11/KBPN/1988 jo Keputusan Kepala BPN No.1 Tahun 1989 tentang
Organisasi dan Tata Kerja BPN di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya. Tujuan
dibentuknya BPN adalah untuk membuat sistem pengelolaan masalah

28
Maria S.W. Soemardjono, Kebiijakan:Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta.2001.hlm.170
pertanahan di Indonesia. Karena itu pemerintah melakukan pengangkatan status
Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri menjadi Lembaga
Pemerintah Non Departemen dengan membentuk suatu organisasi dan tata kerja
suatu lembaga yang di beri nama Badan Pertanahan Nasional. Tugas lembaga
BPN adalah mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan baik
berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi
pengaturan penggunaan, penguasaan dan pemeliharaan tanah, pengurusan hak-
hak atas tanah, pengurusan dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan
Presiden, sedangkan fungsi lembaga BPN adalah merumuskan kebijaksanaan
dan perencanaan penguasaan dan pengurusan tanah merumuskan kebijaksanaan
dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip tanah mempunyai
fungsi sosial; melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah;
melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah; melaksanakan penelitian dan
pengembangan di bidang pertanahan. BPN adalah lembaga Pemerintahan Non
Departemen yng bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang dijabat
oleh Menteri Dalam Negeri.

Dalam hal ini BPN mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan
nasional di bidang:

1) Pengaturan peruntukan, persediaan, dan penggunaan tanah.

2) Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dan tanah

3) Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan


hukum yang berkaitan dengan tanah sesuai Pasal 2 Keppres No. 95 Tahun 2000.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Hukum Acara Perdata

Untuk melaksanakan hukum materiil perdata, terutama apabila ada pelanggaran atau
guna mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata, diperlukan adanya
rangkaian peraturan-peraturan hukum lain, di samping hukum materiil perdata itu sendiri.
Peraturan hukum ini yang dikenal dengan hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum
acara perdata hanya dipergunakan untuk menjamin agar hukum materiil perdata ditaati.
Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara perdata pada umumnya tidaklah membebani hak
dan kewajiban kepada seseorang sebagaimana dijumpai dalam hukum materiil perdata,
tetapi melaksanakan serta mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materiil
perdata yang ada. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkret lagi,
dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan
tuntutan hak, memeriksa, serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.
Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau
tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk
melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa
persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga akan menimbulkan kerugian.
Oleh karena itu, tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan jika kita hendak
memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.
Perkataan ”acara” di sini berarti proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan).
Proses penyelesaian perkara lewat hakim itu bertujuan untuk memulihkan hak seseorang
yang merasa dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan
semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata supaya peraturan
hukum perdata berjalan sebagaimana mestinya. Secara teologis, dapat dirumuskan bahwa
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan
berlakunya hukum perdata Karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim, hukum
acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan
pelaksanaan putusan hakim. Dalam peraturan hukum acara perdata itu, diatur bagaimana
cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak
yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak
yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara sehingga perkara
dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara melaksanakan putusan hakim dan
sebagainya sehingga hak dan kewajiban orang sebagaimana telah diatur dalam hukum
perdata itu dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Wirjono Prodjodikoro merumuskan, hukum acara perdata itu sebagai rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di
muka pengadilan serta cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.29
Dengan adanya peraturan hukum acara perdata itu, orang dapat memulihkan kembali
haknya yang telah dirugikan atau terganggu itu lewat hakim dan akan berusaha
menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri. Dengan lewat hakim, orang
mendapat kepastian akan haknya yang harus dihormati oleh setiap orang, misalnya hak
sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang, dan lain-lain. Dengan demikian, diharapkan
selalu ada ketenteraman dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat. Hukum acara
perdata dapat juga disebut hukum perdata formil karena mengatur proses penyelesaian
perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil. Hukum acara perdata mempertahankan
berlakunya hukum perdata (Muhammad, 1990).30

3.2 Pengertian Sengketa

Sengketa atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah pertentangan atau konflik
yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan
atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum
antara satu dengan yang lain.

29
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975),hlm. 13.
30
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara perdata di Indonesia )Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hlm. 16-
18.
Sengketa hukum adalah suatu perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya suatu
peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah suatu keadaan atau kejadian yang mampu
menggerakan peraturan perundang-undangan31.
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat bersifat publik
maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu
dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan
perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan
sebagainya.

Berikut ini beberapa pengertian sengketa dari beberapa sumber buku:


1.Menurut Chomzah (2003:14), sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau
lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak
milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
2. Menurut Amriani (2012:12), sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan
ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat,
maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa.
3.Menurut Rahmadi (2011:1), konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di
mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun
perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.

3.3 Jenis-jenis Sengketa

Sengketa adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang
dicirikan oleh beberapa tanda pertentangan secara terang-terangan. Terdapat dua jenis
sengketa, yaitu sebagai berikut:

a. Konflik Interest
Konflik interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan yang sama
terhadap satu obyek yang dianggap bernilai. Konflik kepentingan timbul jika dua
pihak merebutkan satu objek.

31
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), hlm. 15.
b. Klaim Kebenaran
Klaim kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak lain bersalah. Konflik karena
klaim kebenaran diletakkan dalam terminologi benar atau salah. Argumen klaim ini
akan didasarkan pada terminologi kebenaran, bukan kepentingan, norma-norma dan
hukum. Konflik kepentingan lebih kompromis penyelesaiannya dibanding konflik
karena klaim kebenaran.

3.4 Tahap-tahap Terjadinya Sengketa

Terjadinya sengketa biasanya ditandai dengan tahapan sebagai berikut:

1. Tahap pra-konflik atau tahap keluhan,


yang mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang atau suatu kelompok
dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari
adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilan itu dapat bersifat nyata atau
imajinasi saja. Yang terpenting pihak itu merasakan haknya dilanggar atau
diperlakukan dengan salah.

2. Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya
dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar
haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap
ini kedua belah pihak sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka.

3. Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung
karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Suatu sengketa hanya terjadi
bila pihak yang mempunyai keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat dari
pendekatan menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara
sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang
diinginkan. Penyebab Terjadinya Sengketa.

Menurut Rahmadi , terdapat enam teori penyebab terjadinya sengketa di masyarakat,


yaitu:

a. Teori Hubungan masyarakat


Teori hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan
rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-
solusi terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan
saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta
pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman
dalam masyarakat.

b. Teori Negosiasi prinsip

Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya


perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat bahwa
agar sebuah konflik dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu memisahkan
perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi
berdasarkan kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap.

c. Teori identitas

Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa
identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan
penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi
lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan
tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka
rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian
kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak.

d. Teori kesalah pahaman antar budaya

Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena


ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari latar belakang
budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang
mengalami konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya,
mengurangi stereotip yang mereka miliki terhadap pihak lain.

e. Teori transformasi
Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini
berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya
seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan,
peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami konflik,
serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan pemberdayaan,
keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing.

f. Teori kebutuhan atau kepentingan manusia

Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena
kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/terhalangi atau merasa
dihalangi oleh orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Kepentingan
substantif (substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan
dengan kebendaan seperti uang, sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan.
Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan
masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological) berhubungan dengan
non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati.

3.5 Macam- Macam Sengketa

Ada beberapa jenis sengketa hukum sebagai berikut:

1. Sengketa Yurisdiksi (Geschillen Van Rechtsmacht)


Sengketa ini antara satu pengadilan dan pengadilaan yang lain tentang kewenangan
mengadili (kompetensi), baik yang absolut maupun relatif, yang dapat dibedakan
sebagai berikut:
 Sengketa yurisdikdi positif, di sini masing-masing pengadilan merasa
berwenang mengadili. Dalam kewenangan yang absolut, misalnya pengadilan
negeri, pengadilan tersebut merasa berwenang mengadili suatu perkara, demikian
pula pengadilan agama merasa berwenangan mengadili perkara itu. Dalam hal
terjadi sengketa demikian ini, yang berwenang menyelesaikan adalah Mahkamah
Agung. Sementara itu, dalam kewenangan yang relatif, pengadilan negeri
semarang misalnya merasa berwenang mengadili suatu perkara, tetapi pengadilan
negeri kendal juga merasa berwenang mengadili perkara tersebt . jika terjadi hal
demikian, yang akan menyelesaikan adalah Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di
Semarang.
 Sengketa yurisdiksi negatif, di sini masing-masing pengadilan merasa tidak
berwenang mengadili suatu perkara. Daalam kewenangan yang absolut, pengadilan
negeri meras tidak berwenang memeriksa suatu perkara karena dianggap yang
berwenang adalah pengadiln agama namun, pengadilan agama juga merasa tidak
berwenang memeriksa perkara tersebut dengan alasan yang berwenang adalah
pengadilan negeri. Dalam kewenangan yang relatif , pengadilan negeri Semarang
merasa tidak berwenang mengadili suatu perkara, yang berwenang mengadili
adalah pengadilan negeri Kendal, sedangkan pengadiln negeri Kendal mengatakan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut yaang berwenang adalah pengadilan
negeri Semarang.

Dalam hal terjadinya sengketa yurisdiksi, baik yang positif maupun yang
negatif, apabila menyangkut kompetensi yang absolut, yang menyelesaikan adalah
Mahkamah Agung. Sementara itu jika sengketa mengenai kewenangan yang
relatif, yang menyelesaikan adalah pengadilan yang lebih tinggi.

2. Sengketa Eksekusi
Perlawanan terhadaap pelaksanaan putusan (eksekusi) yang dibedakan sebagai
berikut:
 Perlawanan dari pihak tereksekusi, pasal 197 ayat (8) menentukan, “Eksekusi
dapat dilakukan terhadap seluruh harta kekeyaan debitur tetapi eksekusi tidak
boleh dilakukan terhadap hewan dan perkakas yang benar-benar diperlukan
untuk mencari nafkah.” Jika dalam eksekusi ikuut serta hewan (kerbau, jika
tereksekusi adalah seorang petani) atau perkakas (pompa angin, jika
tereksekusi adalah penambal ban), mereka ini dapat mengajukan perlawanan
terhadap eksekusi tersebut. Contoh lain, eksekusi yang dilaksanakan tidak
sesuai prosedur yang ditentukan undang-undang, misalnya dalam suatu
eksekusi, tereksekusi boleh menentukan urut-urutan hartanya yang akan di
eksekusi. Jika ketentuan ini dilanggar tereksekusi dapat mengajukan
perlawanan terhadap pelaksaan eksekusi tersebut.
 Perlawanan dari pihak ketiga (bukan berperkara) yang barang miliknya ikut
serta eksekusi (sita), misalnya sepeda motoor milik pihak ketiga yang sedang
dipinjam oleh tereksekusi ikut serta disita pada saat pelaksaan eksekusisi
pengadilan yang mengalahkan tereksekusi maka pihak ketiga ini dapaat
mengajukan perlawanan terhadap ter eksekusi. Menurut ketentuan pasal 195
ayat (6), “ perlawanana ,termasuk dari pihak ketiga yang timbul karna eksekusi
itu, diajukan kepada dan diadili oleh engadilan daalam daerah hukum mana
tindakan-tindakan eksekusi dijalankan. “ misalnya, suatu eksekusi dijalankan
oleh pengadilan negeri semarang, jika ada perlawanan (baik dari tereksekusi
maupun dari pihak ketiga), perlawanan itu diajukan dan diperika oleh
pengadilan neeri semarang.
3. Sengketa prayudisial
 Sengketa mengenai tidak diikutinya tertib proses, misalnya atas putusan
dilanggar, dalam mengajukan jawabannya,tergugat harus memenuhi ketentuan
tentang pemusatan jawaban. Jika hal ini tidak dilaksanakan, pihak lawan
mengajukan keberatan.
 Pelanggaran dalam pelaksanaan yurisdiksi voluntaria tidak dilakukan dalam
sidang tertutup. Jika hakim memaksanakan sidang tertutup, pihak dapat
mengajukan keberatan.
4. Sengketa pemerintahan (bestuur geschillen)
Disini, seseorang menggugat pemerintahan karena tindakan pemerintahan
menyimpang dari ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian pada
seseorang. Sengketa demikian diselesaikan oleh pengadilan negeri.
Sengketa pemerintahan berdasarkan hukum publik (Publiek Rechetelyk Geschill)
Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan berdasarkan ketentuan hukum publik telah
merugikan seseorang ( onrechtmatige overheidsdaad). Sengketa demikian ini
diselesaikan oleh pengadilan tata usaha.
Sengketa hukum yang diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum Sengketa
hukum yang diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang menimbulkan kerugian terhadap oranglain.
3.6 Sebab-sebab timbulnya sengketa

Hukum Materil sebagai mana terjelma dalam Undang-Undang atau yang bersifat tidak
32
tertulis merupakan pedoman bagi warga masyarakat baik yang berupa memerintah,
mengatur, melarang, maupun menganjurkan. Ketentuan yang memerintah, misalnya
semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendak
itu kepada... dan sebagainya;33 Yang mengatur misalnya belum dewasa adalah mereka
yang belum genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin,34 yang melarang misalnya
perkawinan dilarang antara mereka... dan sebagainya; 35serta yang menganjurkan misalnya
didalam pengaturan lalu lintas terdapat rambu dengan tulisan belok kiri jalan terus.

Hukum memberikan sesuatu kepada subjek hukumnya. Sesuatu tersebut apabila


dilanggar, dapat menimbulkan sengketa hukum. Sesuatu yang diberikan oleh hukum
kepada subjek hukum sebagai berikut:
1. Hukum memberikan kepada seseorang, misalnya dalam jual beli ada ketentuan
dalam Undang-Undang yang antara lain menyatakan bahwa dalam jual beli,
penjual berhak untuk menerima sejumlah uang seharga barang yang diserahkan
kepada pembeli sebagai mana telah disepakati. Dengan tidak dipenuhinya hak dari
penjual dari pembeli, yang berarti ada pelanggaran hak penjual untuk menerima
sejumlah uang tersebut sehingga dapat menimbulkan sengketa hukum antara
penjual dan pembeli.
2. Hukum membebani kewajiban kepada seseorang, misalnya dalam utang piutang,
terdapat ketentuan dalam Undang-Undang bahwa Debitur wajib mengembalikan
uang yang dipinjam sesuai dengan kesepakatan yang ada diantara mereka. Apabila
kewajiban yang dibebankan oleh Hukum kepada debitur ini tidak dilaksanakan.
Dengan perkataan lain debitur tidak mengembalikan hutangnya sesuai dengan
perjanjian (wanprestasi) maka dapat menimbulkan sengketa hukum dengan
debitur.
3. Hukum melindungi kepentingan seseorang misalnya setiap orang mempunyai
kepentingan untuk mendapatkan istrahat pada malam hari setelah bekerja seharian.

32
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Liberty: Yogjakarta, 1993), hlm.1.
33
Subekti dan Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta; Pradnya Paramita, 1975), Pasal
50.
34
Subekti dan Tjitrosudibjo, op.cit., Pasal 330
35
Subekti dan Tjitrosudibjo, op.cit., Pasal 30
Kepentingan ini dilindungi oleh Undang-Undang. Jika kepentingan ini diganggu
oleh orang lain, contohnya, Tetangga sebelah rumha memperbaiki sepeda motor
dengan mencoba mesin dengan keras, hal tersebut menimbulkan sengketa Hukum.
4. Sengketa Hukum dapat juga ditimbulkan apabila terjadi pembuatan melawan
hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1369 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata oleh seseorang yang menimbulkan kerugian pada orang lain.

3.7 Cara menyelesaikan sengketa


Sengketa dimulai ketika satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak
yang merasa dirugikan menyampaikan ketidak puasannya kepada pihak kedua dan pihak
kedua tsb menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara formal yang berkembang menjadi proses
adjudikasi yang terdiri dari proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara informal
yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan
mediasi.

1. Negosiasi (Negotiation)

Negosiasi merupakan proses tawar-menawar dengan berunding secara damai


untuk mencapai kesepakatan antar pihak yang berperkara, tanpa melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah.

2. Mediasi

Proses penyelesaian sengketa antar pihak yang bersengketa yang melibatkan


pihak ketiga (mediator) sebagai penasihat. Dalam hal mediasi, mediator bertugas
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
 Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi
 Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antar
pihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga
menghasilkan satu keputusan bersama.

Menurut M. Marwan dan Jimmy P. Sebagai berikut :

“Negosiasi adalah suatu proses penyelesian sengketa secara damai yang


melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima
pihak-pihak yang bersengketa; pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesain
sengketa antara dua pihak36”

3. Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk


mencapai suatu penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga (konsiliator). Dalam
menyelesaikan perselisihan, konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara
terbuka tanpa memihak siapa pun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan
akhir dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak karena hal tersebut
diambil sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

4. Arbitrase
Arbitrase (Arbitration, bahasa inggris) merupakan suatu pengadilan swasta,
yang sering juga disebut dengan “pengadilan wasit” sehingga para arbiter dalam
peradilan arbitrase berfungsi layaknya seorang wasit (referee) seumpama wasit
dalam pertandingan bola kaki37.
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu
keadaan seperti di bawah ini:
1. Salah satu pihak meninggal
2. Salah satu pihak bangkrut
3. Pembaharuan utang (novasi)
4. Salah satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
5. Pewarisan
6. Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
7. Bilamana pelaksanaan perjanjian tsb dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tsb

36
M. Marwan dan Jimmy. P, Ibid, hlm.426
37
Munir Fuandy, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bhakti, Bandung,
2003,hlm. 12.
8. Berakhir atau batalnya perjanjian pokok

Dua jenis arbitrase:


1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase bersifat insidentil yang dibentuk
secara khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu . Kedudukan dan
keberadaan arbitrase ini hanya untuk melayani dan memutuskan kasus
perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai maka keberadaan dan fungsi
arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.

2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga permanen yang tetap berdiri untuk
selamanya dan tidak bubar meski perselisihan yang ditangani telah
selesai.Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah
pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan
pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian, sehingga terhadap
pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau
perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan
demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri
dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final, dibubuhi pemerintah oleh ketua
pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan
dalam perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau
peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan UU
Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
RI, jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
 Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional
 Putusan arbitrase internasaional terbatas pada putusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan.
 Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di Indonesia dan
keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum
 Putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis


dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepda panitera pengadilan negeri dimana
permohonan tsb diajukan kepada ketua pengadilan negeri. Terhadap putusan
pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke MA
mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tsb diterima oleh
MA.

5. Peradilan
Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila terjadi
suatu pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan
kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu
hakim. Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara itu
berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan
kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh
sebuah MK.
6. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang
umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di
lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:

1. Pengadilan Negeri

Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang


berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan keputusan
presiden. Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.

2. Pengadilan Tinggi

Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan


di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi yang
dibentuk dengan undang-undang. Tugas dan wewenang pengadilan tinggi
adalah mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan
negeri di daerah hukumnya.

3. Mahkamah Agung (MA)

MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan


yang berkedudukan di ibukota negara RI dan dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.MA bertugas
dan berwewenang memeriksa dan memutus:

 Permohonan kasasi
 Sengketa tentang kewenangan mengadili
 Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-
pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
 Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
 Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
 Lalai memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali (PK) pada
tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yang diatur dalam perundang-
undangan.
Permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan PK dapat dicabut
selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut, permohonan PK tak dapat
diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA
melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama
dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan PK dapat
dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara yang secara khusus dikuasakan
dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.

7. Sengketa hukum yang tidak dapat diselesaikan, yaitu:

Secara kekeluargaan atau dengan cara lain tidak boleh diselesaikan dengan
cara menghakimi sendiri (eigenrichting), tetapi harus diselesaikan melalui
pengadilan. Pihak yang merasa diruugikan hak perdatanya dapat mengajukan
perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana
mestinya, yaitu dengan menyampaikan gugatan terhadap pihak yang dirasa
merugikan dirinya38.

38
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum (Jakarta: Pustaka Kartini,
1988),hlm.21.
3.8 Kasus Sengketa Tanah

Pelepasan Lahan Bukit Rawi Tidak Dilakukan Ganti Rugi, Ini Penjelasan PUPR
Kalteng

BORNEONEWS, Palangka Raya - Pelepasan lahan di jalan Bukit Rawi Kabupaten Pulang
Pisau untuk pembangunan jembatan layang tidak dilakukan secara ganti rugi, melainkan
secara pemberian tali asih kepada pemilik lahan."Kita tidak melakukan ganti rugi untuk
pembebasan lahan di kawasan Bukit Rawi, tapi kita berikan tali asih, kan pembangunan
ini juga untuk kepentingan masyarakat," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Kalteng, Shalahuddin, Kamis
(15/11/2018). "Pembangunan ini akan bertahap dan tahap pertama akan dimulai pada 2019
dengan target 800 meter dulu," imbuhnya. Shalahuddin menjelaskan untuk tahap pertama
ini pemerintah pusat menyediakan dana sebanyak Rp67 miliar. Dia menerangkan
pembangunan jembatan layang tersebut berada di pinggir jalan utama desa Bukit Rawi.
Jadi, ketika memasuki musim kemarau atau saat tidak terjadi banjir, akan ada dua jalan
yang bisa dioperasikan di kawasan Bukit Rawi.

DPRD Kalteng: Masyarakat Bukit Rawi Diimbau Tidak Minta Ganti Lahan Terlalu
Mahal

BORNEONEWS, Palangka Raya - Masyarakat di kawasan Bukit Rawi Kabupaten Pulang


Pisau diharapkan tidak meminta ganti lahan untuk pembangunan jalan layang dengan
harga yang mahal. Wakil Ketua Komisi D DPRD Kalteng, Agus Susilasani menyebut
sudah selayaknya masyarakat tidak mematok harga mahal mengingat pembangunan
tersebut untuk kepentingan bersama. "Pembangunan jalan layang di Bukit Rawi inikan
untuk kenyamanan bersama sehingga sudah seharusnya masyarakat sadar untuk tidak
mematok pelepasan lahan dengan harga yang mahal," ujarnya, Rabu (28/11/2018). Agus
menyebut dengan adanya pembangunan jalan layang tidak akan membuat masyarakar
merasa dirugikan."Kalau tidak segera dibangun kan masyarakat kawasan sana juga merasa
tidak nyaman karena jalan yang mereka lewati selalu kebanjiran," imbuhnya. Sementara
itu Kepala Dinas PUPR Kalteng Shalahuddin menjelaskan pelepasan lahan di Bukit Rawi
tidak dilakukan dengan ganti rugi/lahan, melainkan dengan pemberian tali asih. Ini
disebabkan kawasan tersebut masuk pada poros pembangunan jalan nasional yang menjadi
tanggungan pemerintah uusat.
Biaya Pembebasan Lahan Pembangunan Jembatan Layang Bukit Rawi Rp 6 Miliar,
Akan Dibangun Dua Jalur

BANJARMASINPOST.CO.ID, PALANGKARAYA - Pemerintah Pusat melalui


Kementerian PUPR tahun 2019 ini akan membangun jalan layang atau fileslab sejauh 900
meter di Desa Bukitrawi Pulangpisau dengan dana mencapai Rp 67 miliar diutamakan
jalan yang parah terendam banjir akibat luapan Sungai Kahayan. Panatauan hingga, Selasa
(19/2/2019) banjir yang melanda jalan Desa Bukitrawi , jalan yang menghubungkan
Palangkaraya ke Gunungmas, Buntok, Muara Teweh, Murungraya hingga Tamiyang
Layang yang terhubung ke Kalsel lewat Jalan Trans Kalimantan Poros Tengah, mulai
mengering. Namun jalan di Desa Bukitrawi ini, saat musim penghujan seperti sekarang
bisa saja tiba-tiba naik dan merendam jalan tersebut, ketika hujan yang turun di lokasi
tersebut dalam intensitas tinggi disaat debit air Sungai Kahayan dalam keadaan tinggi.
"Bisa saja tiba-tiba airnya naik, hingga ke jalan jika hujan lebat hingga beberapa hari," ujar
Ruslan, warga setempat, Selasa (19/2/2019). Kepala Dinas PUPR Kalteng, Salahuddin,
mengatakan, pihaknya juga sudah melakukan antisipasi terkait hal tersebut dengan
melakukan koordinasi dengan balai yang menangani jalan tersebut."Jika banjirnya parah
makan akan ada petugas yang mengawasi jalan banjir ini, untuk membimbing pengendara
agar kendaraanya bisa lewat," ujarnya. Dikatakannya, tahun ini jalan dibangun sepanjang
900 meter dengan dana Rp 67 miliar dan juga akan dilakukan pembebasan lahan untuk
pembangunan jalan layang di bagian samping kiri dan kanan jalan yang ada dengan dana
mencapai Rp 6 miliar rupiah agar ada lahan untuk pembangunan jalan layangnya.
“Nantinya, jalan ini akan ada dua jalur yakni jalur atas dan jalur bawah sehingga jalan ini
bisa berfungsi ganda ketika hujan lebat dan jalan banjir maka yang akan dipakai jalan
layang, namun ketika jalan tidak banjir maka jalan bawah dan jalan atas bisa dipakai
semua," ujarnya. (banjarmasinpost.co /faturahman)
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Dari materi penjelasan yang telah diuraikan, maka kami dapat menyimpulkan

hasil pembahasan sebagai berikut :

1. Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan
berlakunya hukum perdata. Karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim,
hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan
sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. Dalam peraturan hukum acara perdata itu,
diatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan),
bagaimana caranya pihak yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim
bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan
memutus perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara
melaksanakan putusan hakim dan sebagainya sehingga hak dan kewajiban orang
sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
2. Sengketa atau dalam Bahasa Inggris disebut dispute adalah pertentangan atau konflik
yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai
hubungan atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan
akibat hukum antara satu dengan yang lain. Sengketa dapat bersifat publik maupun
bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional.
3. Terdapat dua jenis sengketa, yaitu :
Konflik interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan yang sama
terhadap satu obyek yang dianggap bernilai. Konflik kepentingan timbul jika dua pihak
merebutkan satu objek dan Klaim kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak lain
bersalah. Konflik karena klaim kebenaran diletakkan dalam terminologi benar atau
salah. Argumen klaim ini akan didasarkan pada terminologi kebenaran, bukan
kepentingan, norma-norma dan hukum. Konflik kepentingan lebih kompromis
penyelesaiannya dibanding konflik karena klaim kebenaran.
4. Terjadinya sengketa biasanya ditandai dengan Tahapan :
Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, yang mengacu kepada keadaan atau kondisi
yang oleh seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil
dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa
keadilan itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja. Yang terpenting pihak itu
merasakan haknya dilanggar atau diperlakukan dengan salah.
Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya
dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar
haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap
ini kedua belah pihak sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka.
Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung
karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Suatu sengketa hanya terjadi
bila pihak yang mempunyai keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat dari
pendekatan menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara
sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang
diinginkan.
5. Sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara formal yang berkembang menjadi
proses adjudikasi yang terdiri dari proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara
informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui
negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase. Peradilan, peradilan umum, dan sengketa
hokum yang diselesaikan secara kekeluargaan.
6. Ada beberapa jenis sengketa hukum yaitu ;
a. Sengketa Yurisdiksi (Geschillen Van Rechtsmacht) Sengketa ini antara satu
pengadilan dan pengadilaan yang lain tentang kewenangan mengadili
(kompetensi), baik yang absolut maupun relatif, yang dapat dibedakan menjadi
Sengketa yurisdikdi positif dan Sengketa yurisdiksi negative.b.
b. Perlawanan terhadap pelaksanaan putusan (eksekusi) yang dibedakan menjadi
dua, Perlawanan dari pihak tereksekusi pada pasal 197 ayat (8), Perlawanan dari
pihak ketiga (bukan berperkara) yang barang miliknya ikut serta eksekusi (sita),
Sengketa prayudisial dan Sengketa pemerintahan (bestuur geschillen).
7.
4.2 SARAN
Sering kali kita mendengar tentang terjadinya konflik sengketa tanah dimasyarakat
khususnya di Palangkaraya, Bukit Rawi Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah,
terjadinya konflik dalam permasalahan ini karena pemerintah tidak bisa menggantikan
kerugian inmateriil dari pemilik tanah tersebut. Jadi menurut kami seharusnya
Pemerintah bisa lebih memperhatikan kondisi masyarakat dan masyarakat pun
seharusnya sadar akan pentingnya pembuatan jembatan layang ini karena fasilitas ini
berguna untuk orang banyak maupun yang ada disekitarnya.

Maka dari makalah ini kami jadi banyak belajar mengenai permasalahan sengketa yang
ada dalam masayarakat. Namun karena pengalaman yang kami miliki masih kurang,
maka dari itu diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun dan kami mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya apabila
ada kesalahan dalam penyampaian isi dari makalah ini sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Rahardjo, Satjipto. 1985, Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Alumni.
Wijaya, Gunawan. 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT.Raja Grapindo
Persada.
Rambe, Ropaun. 2006, Hukum Acara Perdata Lengkap.Jakarta: Sinar Grapika.
Rahmadi, Takdir. 2010, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta:
PT.Raja Grapindo Persada.
Prodjodikoro, R. Wirjono. 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Penerbit
Sumur.
Muhammad, Abdulkadir. 1990, Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.
Mertokoesoemo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Subekti dan Tjitrosudibjo. 1975. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta; Pradnya
Paramita,
Fuandy, Munir. 2003. Arbitrase Nasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung:
Citra Aditya Bhakti.
Siti Megadianty, Adam dan Rahmadi Takdir. 1997. Sengketa dan Penyelesaiannya. Jakarta:
Indonesian Center for Environment Law.

Harsono, Boedi. 1990. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta:Djambatan.
Limbong, Bemhard. 2012. Konflik Pertanahan, Jakarta:Pustaka Margaretha.
Sutiyono, Bambang. 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta:Citra Media.

Syarief, Elza.2014, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pegadilan khusus Pertanahan,


Jakarta:PT Gramedia.
Sembirin, Sentosa.2006, Himpunana Lengkap Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Bandung:Nuansa Aulia.
Suparman, Erman.2014, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Uasaha Negara),
Bandung:Fokusmedia.

Adurrasyid, Priyatna.2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta:Fikahati


Aneska.
Soemardjono, S.W, Maria.2001, Kebiijakan Antara Regulasi dan Implementasi,
Jakarta:Kompas.
Wijaya, Gunawan. 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada.
Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 “Tentang Kekuasaan Kehakiman” Pasal 2 Angka 4

Buku Referensi

Sudikno Mertokusumo, S.H. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:Liberty

R. Bambang Riyanto, S.H, C.N, M.Hum. 2015.Hukum Acara Perdata.Tanggerang


Selatan:Universitas Terbuka.

Daftar Media Lain atau Elektronik


https://www.borneonews.co.id/berita/109049-pelepasan-lahan-bukit-rawi-tidak-dilakukan-
ganti-rugi-ini-penjelasan-pupr-kalteng
https://www.borneonews.co.id/berita/110100-dprd-kalteng-masyarakat-bukit-rawi-diimbau-
tidak-minta-ganti-lahan-terlalu-mahal
http://banjarmasin.tribunnews.com/2019/02/19/biaya-pembebasan-lahan-pembangunan-
jembatan-layang-bukit-rawi-rp-6-miliar-akan-dibangun-dua-jalur.

Anda mungkin juga menyukai