Oleh :
Eunike Chanora (EAA 117 068)
Nadia Forti (EAA 117 109)
Puput Melati (EAA 117 062)
Hukum acara khususnya acara perdata, tidak semua mendapat perhatian dari para
sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Dan tidak pula mendapat
tempat yang layak dalam lingkungan pendidikan ilmu hukum.
Hukum acara perdata tidaklah kurang penting dengan hukum lainnya. Untuk tegaknya
hukum, khususnya hukum perdata materiill, maka diperlukan Hukum acara perdata. Hukum
acara materill tidak mungkin berdiri sendiri dan lepas dari Hukum acara perdata materill.
Kedua-duanya satu sama lain.
Pembangun hukum tidak hanya ditangan membentuk undang-undang saja, tetapi hakim
pun tidak kecil perannya dalam pembangunan hukum. Bahakan hukum itu kebanyakan
diciptakan oleh hakim. Bagi hakim hukum acara merupakan pegangan pokok atau aturan
permainan sehari-hari dalam memeriksa perkara. Hukum acara perdata itu tidak hanya penting
didalam praktek peradilan saja, tetapi mempunyainya pengarauhnya juga diluar pengadiilan.
Maka oleh karena itu hukum acara perdata perlu mendapatkan perhatian selayaknya
dipahami dan dikuasai. Nah sekarang pengantar dalam makalah kami akan diuraikan secara
berturut-turut tentang pengertian hukum acara perdata, sumber-sumber dan asas-asas nya dan
kekeuasaan kehakiman. Dalam uraian selanjutnya tidak diikuti urutan-urutan undang-undang
(HIR),akan tetapi dimulai dengan membicaran tentang cara mengajukan gugatan termasuk
upaya-upaya untuk menjamin hak, tentang pemeriksaan dipersidangan, pembuktian, putusan
serta upaya-upaya hukumnya dan tentang pelaksaanaan putusan.
Kami berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa karena telah diberikan
kemampuan serta kesanggupan untuk dapat menyelesaikan tugas makalah hukum acara perdata
yang di ajarkan oleh Pak Fransico, SH, LL.M dalam rangka memenuhi nilai tugas. Kami
berharap makalah kami ini dapat berguna dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi. 1997. “Sengketa dan Penyelesaiannya”.
Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I. Jakarta: Indonesian Center for Environment Law,
hlm.1.
Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan Hukum perdata materil dengan
perantaraan kekuasaan Negara. Perantaraan Negara dalam mempertahankan dan
menegakan hukum perdata materil itu terjadi melalui peradilan dan cara ini lah yang
disebut Litigasi2. Pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri
orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak
adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa,
bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.3
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang egois yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cendrung menimbulkan masalah baru, lambat dalam
penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan
permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa
melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi
hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat
(overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive)
dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau dianggap
terlampau formalistic (formalistic) dan terlampau teknis (technically).
Apabila menggunakan penyelesaian dengan cara yang tidak sederhana dan biaya
yang mahal maka akan terjadi penumpukan perkara dipengadilan. Para pihak yang
berperkara juga harus menunggu sementara bukan hanya hal berperkara itu saja yang
harus diselesaikan mereka melainkan masih banyak kebutuhan lain yang harus
diselesaikan oleh para pihak. Untuk mengatasi penumpukan perkara tersebut maka
perkembangan penyelesaian melalui kerja sama (koorperatif) di luar pengadilan ini
sangat bermanfaat bagi para pihak yang menginginkan perkara mereka cepat selesai.
Perkembangan penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) diluar
pengadilan atau yang disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
merupakan kebalikan penyelesaian sengketa melalui Litigasi di dalam pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa menghasilkan
kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasian sengketa para pihak,
terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,
2
2 Ibid. hlm.27
3
Satjipto Rahardjo, Perumusan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni. 1985, hlm.3.
menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik.
Penyelesaian sengketa dengan cara tersebut merupakan dambaan setiap orang
karena memiliki sifat sederhana, cepat dan biaya ringan. Bersamaan dengan itu di
dalam Hukum Acara Perdata yang terdapat suatu asas yang terdapat dan tercantum
dalam penjelasan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman,
Pasal 2 angka 4 yang secara lengkap berbunyi : “Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan4 Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang
umum digunakan, misalnya :
1. Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartite /dua pihak)
2. Mediasi (negosiasi dengan dibantu oleh pihak ketiga yang disebut Mediator)
3. Arbitrase (Penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter)
4. Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu pihak ketiga)
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang biasa digunakan adalah
melalui mediasi. Mediasi ini secara langsung merupakan suatu kewajiban yang harus
dilakukan dalam proses persidangan di pengadilan. Penyelesaian sengketa perdata
melalui mediasi ini dengan “win-win solution” yang menggunakan pengadilan sebagai
sarana mediator dan sekaligus dapat berperan sebagaai katup penekan. Yang
diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efesien bagi para pihak yang bersengketa, tapi
juga bagi pengadilan yang bertugas menyelesaikan sengketa mereka, dalam hal
mengurangi penumpukan perkara yang dapat berimplikasi pada konflik tersebut.
Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih
melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak
memiliki kewenangan memutus5 Mengenai mediasi atau alternatif penyelesaian
sengketa ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Penyelesaian Sengketa. Lembaga-Lembaga APS bisa dijumpai secara luas
dalam berbagai bidang seperti undang-undang bidang Lingkungan Hidup,
Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya. Mahkamah Agung (MA)
RI juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
mediasi di Pengadilan yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu
4
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 “Tentang Kekuasaan Kehakiman” pasal 2 angka 4.
5
Gunawan Wijaya, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada). hlm.30.
menempuh proses mediasi Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa
dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus
(mediator). Berkaitan dengan hal itu, Mahkamah Agung mewajibkan penggunaan jasa
mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal
130 HIR dan Pasal 154 Rbg. Lembaga sejenis mediasi untuk menyelesaikan di luar
pengadilan sudah diatur dalam Pasal 130HIR/154 RBG. Pasal ini menyatakan bahwa,
“Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang menghadiri, maka
Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua mencoba untuk mendamaikan
mereka6. Segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil
kesepakatan atau persetujuan para pihak. Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang
terdiri atas dua pihak bersengketa atau lebih. Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan
jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada
kalanya karena berbagai faktor para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian
sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu. Situasi ini yang membedakan mediasi
dengan litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa
putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah
sengketa karena ketegangan di antara pihak sengketa masih berlangsung dan pihak yang
kalah selalu tidak puas.
6
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). hlm.245.
7
Takdir Rahmadi, penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010) hlm.13.
8
Ibid. hlm. 14
Mediator sebagai pihak netral ini mengandung pengertian bahwa mediator tidak
berpihak, tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta
tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi
menemui jalan buntu.
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah (bahasa Yunani: ager; bahasa Latin: akker) adalah bagian kerak bumi yang
tersusun dari mineral dan bahan organik. Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai
dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui
dalam arti apa istilah itu di gunakan.
Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” di pakai dalam arti yuridis, sebagai suatu
pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa
atas dasar hak menguasai dari negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang.9
Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan
bumi. Menurut pendapat Jhon Salindeho mengemukakan bahwa : Tanah adalah suatu
benda bernilai ekonomis menurut pandangan bangsa Indonesia, ia pula yang sering
memberi getaran di dalam kedamaian dan sering pula menimbulkan guncangan dalam
masyarakat, lalu ia juga yang sering menimbulkan sendatan dalam pelaksanaan
pembangunan.
Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan
berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem Peradilan
yang dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia untuk menyelesaikan
perselisihan dan pencarian keadilan baik dalam perkara sipil, buruh, administratif,
maupun kriminal.
9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaanya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan. Jakata, 1990, hlm. 18.
Sedangkan Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di
Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili
perkara dengan menerapkan hukum dan atau menemukan hukum “in concret”
(hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan
kepadanya untuk diadili dan di putus) untuk mempertahankan dan menjamin
ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan
oleh hukum formal.
Dari kedua uraian di atas dapat dikatakan bahwa, Pengadilan adalah lembaga
tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan Peradilan adalah sebuah proses
dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan
itu sendiri.
a) Pengadilan Tinggi
b) Pengadilan Negeri
b) Pengadilan Agama
c) Pengadilan Militer
Era reformasi yang ditandai dengan semangat demokratisasi dan transparansi di segala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, membangkitkan keberanian
masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas apa yang dirasakannya sebagai suatu
ketidakadilan, dan hal itu juga menyangkut masalah pertanahan.Terlebih lagi bila masalah
ini juga ditunjang dengan semakin pentingnya arti tanah bagi penduduk. Pertumbuhan
penduduk yang amat cepat baik melalui migrasi maupun urbanisasi, sementara jumlah
lahan yang tetap menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat
tinggi. 10
Permasalahan tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks
dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan secara komprehensif. Perkembangan sifat
dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi
pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tetapi kompleksitas tanah
tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan
nasionalisme dan hak asasi manusia. Persoalan tanah juga masuk ke persoalan hukum
pidana yakni persengketaan tanah yang disertai dengan pelanggaran hukum pidana (tindak
pidana). Tidak jarang, persoalan pertanahan atau agraria secara umum disertai dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.
Dalam keputusan Kepala BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan disebutkan bahwa Masalah pertanahan
meliputi permasalahan teknis, sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang memerlukan
pemecahan atau penyelesaian. Dalam keputusan tersebut, disebutkan pula bahwa
permasalahan teknis adalah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan atau Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, di pusat maupun daerah berkaitan dengan sistem
perundang-undangan, administrasi pertanahan, atau mekanisme penanganan yang belum
sempurna. 11
10
Bemhard Limbong, Konflik Pertanahan, Pustaka Margaretha. Jakarta, 2012, hlm. 47.
11
Ibid, hlm. 48
pertanahan. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus
pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara pertanahan yang disampaikan kepada
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan,
penyelesaian sesuai ketentuan peraturan perundangundangan dan/atau kebijakan
pertanahan nasional.
Dalam ranah hukum, dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara
dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek
tertentu. Hal ini terjadi di karenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau
persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya. Berdasarkan Keputusan BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, sengketa pertanahan
adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang
perorangan dan atau badan hukum (privat atau public) mengenai status penguasaan
dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.
12
Ibid, hlm. 50
nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok
masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan
masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status
penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau
status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan,pemilikan dan
penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tertentu, serta mengandung aspek
politik,ekonomi dan social budaya. Penekanan “mengandung aspek politik,
ekonomi, sosisl dan budaya” inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan
dengan konflik pertanahan versi Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007
tersebut. Demikian juga dengan definisi konflik pertanahan menurut Peraturan
Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, yang memberi penekanan bahwa konflik pertanahan
adalah perselisihan pertanahan anatara orang perseorangan, kelompok, golongan,
organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah
berdampak luas secara sosio-politis13. Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan
bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau
lebih.14
Definisi perkara menurut Keputusan Kepala BPN Nomor 34 Tahun 2007 adalah
sengketa dan atau konflik pertanahan yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan
peradilan. Senada dengan definisi tersebut, Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan KasusPertanahan
memberi pengertian bahwa perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang
penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga
peradilan yang masih dimintakan penanganannya di BPN RI. Dari kedua pengertian
ini, dapat dikatakan bahwa sebuah konflik atau sengketa berkembang menjadi
perkara bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau
keprihatinannya dengan melakukan pengaduan atau gugatan melalui badan
13
Ibid, hlm. 51
14
Bambang Sutiyono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta:Citra Media, 2006, hlm.3.
peradilan umum baik secara langsung maupun melalui kuasa hukum kepada pihak
yang di anggap sebagai penyebab kerugian.15
a) Pengadilan Umum
Prinsip penting yang harus dipegang oleh negara hukum adalah terjaminnya
penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka. Arti merdeka di sini adalah
bebas dari pengaruh kekuasaan lain saat menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan keadilan, kebenanaran, dan kepastian hukum. Agar itu terwujud
perlu pengaturan susunan, kekuasaan, serta lingkungan peradilan umum. Yang
terakhir ini dasarnya adalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.16
Pengadilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 1986). 17
15
Bernhard Limbong, Op.cit., hlm.52.
16
Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pegadilan khusus Pertanahan, PT Gramedia, Jakarta,
2014, hlm.225
17
Sentosa Sembirin, Himpunana Lengkap Peraturan Perundang-Undangan Tentang Badan Peradilan Dan
Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung,2006, hlm.32.
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal penyelesaian sengketa
atas tanah dapat dilihat dalam ketentuan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 2, Pasal 5 ayat (1), Pasal 50, Pasal 51. Sedangkan dalam Yurispudensi
dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 84 K/TUN/1999
tanggal 14 Desember 2000 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 168
K/Pdt//1998 tanggal 29 September 1999.18
Macam-macam sengketa yang ditangani pengadilan tata usaha negara pada inti
penyebabnya adalah putusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat
TUN yang berwenang.
19
1) Melalui upaya administrasi (vide Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986). Cara
ini merupakan prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum
perdata apabilatidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara.
Bentuk upaya administrasi adalah:20
2) Melalui gugatan
18
Bernhard Limbonng, Op,cit., hlm 327
19
Erman Suparman, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Uasaha Negara), Fokusmedia, Bandung,
2014, hlm.59.
20
Elza Syarief, Op.Cit,. hlm 235.
b) Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya.
a) Musyawarah ( Negotiation)
21
Priyatna Adurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm.11.
22
Bernhard Limbong, Op.cit,. hlm.335.
masih beritikad baik dan bersedia untuk duduk bersama memecahkan
masalah23.
b) Konsiliasi
c) Mediasi
23
Ibid,. hlm.336.
24
Ibid,. hlm.337.
25
Ibid,. hlm.339
Penyelesaian konflik melalui bentuk ini dilakukan atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak yang berkonflik bahwa masalah mereka akan
diselesaikan melalui bantuan seorang atau beberapa penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator. Pihak ketiga yang bersifat netral (tidak memihak)
serta independen, dalam artian tidak dapat diintervensi oleh pihak lainnya.
Dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik melalui mediasi, Gunawan
Wijaya berpendapat bahwa mediator selaku pihak di luar perkara yang tidak
memiliki kewenangangan memaksa, berkewajiban mempertemukan para pihak
yang berkonflik guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang
dipermasalahkan. 26
d) Arbitrase
26
Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
27
Bernhard Limbong, Op.cit., hlm. 343.
sebagai alternatif penyelesaian sengketa pertanahan. Untuk melaksanakan
arbitrase pertanahan ini, menurut Soemardjono, diperlukan pemahaman tentang
peta permasalahan tanah sebagai latar belakang dan prinsip dasar arbitrase
untuk menjawab apakah perlunya atau belum diperlukannya kehadiran arbitrase
pertanahan sebagai suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa pertanahan
di luar pengadilan28. Lebih lanjut Soemardjono menyatakan bahwa
pembentukan arbitrase pertanahan dimaksud lebih mengarah pada
pembentukan arbitrase pertanahan yang berfungsi untuk meredam konflik yang
terjadi di seputar perbedaan persepsi dan ekspektasi antara pemegang hak atas
tanah dan pihak lain yang memerlukan tanah tersebut berkenaan dengan
penghargaan terhadap hak atas tanah. Ketiga jenis pengendalian konflik diatas,
yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase pertanahan memiliki daya kemampuan
untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan sosial
dalam masyarakat. Akan tetapi, yang lebih penting adalah peran dari negara
untuk menjadi wasit yang tidak memihak dalam penyelesaian konflik.
28
Maria S.W. Soemardjono, Kebiijakan:Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta.2001.hlm.170
pertanahan di Indonesia. Karena itu pemerintah melakukan pengangkatan status
Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri menjadi Lembaga
Pemerintah Non Departemen dengan membentuk suatu organisasi dan tata kerja
suatu lembaga yang di beri nama Badan Pertanahan Nasional. Tugas lembaga
BPN adalah mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan baik
berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi
pengaturan penggunaan, penguasaan dan pemeliharaan tanah, pengurusan hak-
hak atas tanah, pengurusan dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan
Presiden, sedangkan fungsi lembaga BPN adalah merumuskan kebijaksanaan
dan perencanaan penguasaan dan pengurusan tanah merumuskan kebijaksanaan
dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip tanah mempunyai
fungsi sosial; melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah;
melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah; melaksanakan penelitian dan
pengembangan di bidang pertanahan. BPN adalah lembaga Pemerintahan Non
Departemen yng bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang dijabat
oleh Menteri Dalam Negeri.
Dalam hal ini BPN mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan
nasional di bidang:
PEMBAHASAN
Untuk melaksanakan hukum materiil perdata, terutama apabila ada pelanggaran atau
guna mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata, diperlukan adanya
rangkaian peraturan-peraturan hukum lain, di samping hukum materiil perdata itu sendiri.
Peraturan hukum ini yang dikenal dengan hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum
acara perdata hanya dipergunakan untuk menjamin agar hukum materiil perdata ditaati.
Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara perdata pada umumnya tidaklah membebani hak
dan kewajiban kepada seseorang sebagaimana dijumpai dalam hukum materiil perdata,
tetapi melaksanakan serta mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materiil
perdata yang ada. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkret lagi,
dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan
tuntutan hak, memeriksa, serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.
Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau
tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk
melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa
persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga akan menimbulkan kerugian.
Oleh karena itu, tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan jika kita hendak
memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.
Perkataan ”acara” di sini berarti proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan).
Proses penyelesaian perkara lewat hakim itu bertujuan untuk memulihkan hak seseorang
yang merasa dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan
semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata supaya peraturan
hukum perdata berjalan sebagaimana mestinya. Secara teologis, dapat dirumuskan bahwa
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan
berlakunya hukum perdata Karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim, hukum
acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan
pelaksanaan putusan hakim. Dalam peraturan hukum acara perdata itu, diatur bagaimana
cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak
yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak
yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara sehingga perkara
dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara melaksanakan putusan hakim dan
sebagainya sehingga hak dan kewajiban orang sebagaimana telah diatur dalam hukum
perdata itu dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Wirjono Prodjodikoro merumuskan, hukum acara perdata itu sebagai rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di
muka pengadilan serta cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.29
Dengan adanya peraturan hukum acara perdata itu, orang dapat memulihkan kembali
haknya yang telah dirugikan atau terganggu itu lewat hakim dan akan berusaha
menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri. Dengan lewat hakim, orang
mendapat kepastian akan haknya yang harus dihormati oleh setiap orang, misalnya hak
sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang, dan lain-lain. Dengan demikian, diharapkan
selalu ada ketenteraman dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat. Hukum acara
perdata dapat juga disebut hukum perdata formil karena mengatur proses penyelesaian
perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil. Hukum acara perdata mempertahankan
berlakunya hukum perdata (Muhammad, 1990).30
Sengketa atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah pertentangan atau konflik
yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan
atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum
antara satu dengan yang lain.
29
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975),hlm. 13.
30
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara perdata di Indonesia )Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hlm. 16-
18.
Sengketa hukum adalah suatu perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya suatu
peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah suatu keadaan atau kejadian yang mampu
menggerakan peraturan perundang-undangan31.
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat bersifat publik
maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu
dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan
perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan
sebagainya.
Sengketa adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang
dicirikan oleh beberapa tanda pertentangan secara terang-terangan. Terdapat dua jenis
sengketa, yaitu sebagai berikut:
a. Konflik Interest
Konflik interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan yang sama
terhadap satu obyek yang dianggap bernilai. Konflik kepentingan timbul jika dua
pihak merebutkan satu objek.
31
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), hlm. 15.
b. Klaim Kebenaran
Klaim kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak lain bersalah. Konflik karena
klaim kebenaran diletakkan dalam terminologi benar atau salah. Argumen klaim ini
akan didasarkan pada terminologi kebenaran, bukan kepentingan, norma-norma dan
hukum. Konflik kepentingan lebih kompromis penyelesaiannya dibanding konflik
karena klaim kebenaran.
2. Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya
dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar
haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap
ini kedua belah pihak sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka.
3. Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung
karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Suatu sengketa hanya terjadi
bila pihak yang mempunyai keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat dari
pendekatan menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara
sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang
diinginkan. Penyebab Terjadinya Sengketa.
c. Teori identitas
Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa
identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan
penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi
lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan
tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka
rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian
kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak.
e. Teori transformasi
Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini
berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya
seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan,
peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami konflik,
serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan pemberdayaan,
keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing.
Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena
kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/terhalangi atau merasa
dihalangi oleh orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Kepentingan
substantif (substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan
dengan kebendaan seperti uang, sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan.
Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan
masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological) berhubungan dengan
non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati.
Dalam hal terjadinya sengketa yurisdiksi, baik yang positif maupun yang
negatif, apabila menyangkut kompetensi yang absolut, yang menyelesaikan adalah
Mahkamah Agung. Sementara itu jika sengketa mengenai kewenangan yang
relatif, yang menyelesaikan adalah pengadilan yang lebih tinggi.
2. Sengketa Eksekusi
Perlawanan terhadaap pelaksanaan putusan (eksekusi) yang dibedakan sebagai
berikut:
Perlawanan dari pihak tereksekusi, pasal 197 ayat (8) menentukan, “Eksekusi
dapat dilakukan terhadap seluruh harta kekeyaan debitur tetapi eksekusi tidak
boleh dilakukan terhadap hewan dan perkakas yang benar-benar diperlukan
untuk mencari nafkah.” Jika dalam eksekusi ikuut serta hewan (kerbau, jika
tereksekusi adalah seorang petani) atau perkakas (pompa angin, jika
tereksekusi adalah penambal ban), mereka ini dapat mengajukan perlawanan
terhadap eksekusi tersebut. Contoh lain, eksekusi yang dilaksanakan tidak
sesuai prosedur yang ditentukan undang-undang, misalnya dalam suatu
eksekusi, tereksekusi boleh menentukan urut-urutan hartanya yang akan di
eksekusi. Jika ketentuan ini dilanggar tereksekusi dapat mengajukan
perlawanan terhadap pelaksaan eksekusi tersebut.
Perlawanan dari pihak ketiga (bukan berperkara) yang barang miliknya ikut
serta eksekusi (sita), misalnya sepeda motoor milik pihak ketiga yang sedang
dipinjam oleh tereksekusi ikut serta disita pada saat pelaksaan eksekusisi
pengadilan yang mengalahkan tereksekusi maka pihak ketiga ini dapaat
mengajukan perlawanan terhadap ter eksekusi. Menurut ketentuan pasal 195
ayat (6), “ perlawanana ,termasuk dari pihak ketiga yang timbul karna eksekusi
itu, diajukan kepada dan diadili oleh engadilan daalam daerah hukum mana
tindakan-tindakan eksekusi dijalankan. “ misalnya, suatu eksekusi dijalankan
oleh pengadilan negeri semarang, jika ada perlawanan (baik dari tereksekusi
maupun dari pihak ketiga), perlawanan itu diajukan dan diperika oleh
pengadilan neeri semarang.
3. Sengketa prayudisial
Sengketa mengenai tidak diikutinya tertib proses, misalnya atas putusan
dilanggar, dalam mengajukan jawabannya,tergugat harus memenuhi ketentuan
tentang pemusatan jawaban. Jika hal ini tidak dilaksanakan, pihak lawan
mengajukan keberatan.
Pelanggaran dalam pelaksanaan yurisdiksi voluntaria tidak dilakukan dalam
sidang tertutup. Jika hakim memaksanakan sidang tertutup, pihak dapat
mengajukan keberatan.
4. Sengketa pemerintahan (bestuur geschillen)
Disini, seseorang menggugat pemerintahan karena tindakan pemerintahan
menyimpang dari ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian pada
seseorang. Sengketa demikian diselesaikan oleh pengadilan negeri.
Sengketa pemerintahan berdasarkan hukum publik (Publiek Rechetelyk Geschill)
Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan berdasarkan ketentuan hukum publik telah
merugikan seseorang ( onrechtmatige overheidsdaad). Sengketa demikian ini
diselesaikan oleh pengadilan tata usaha.
Sengketa hukum yang diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum Sengketa
hukum yang diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang menimbulkan kerugian terhadap oranglain.
3.6 Sebab-sebab timbulnya sengketa
Hukum Materil sebagai mana terjelma dalam Undang-Undang atau yang bersifat tidak
32
tertulis merupakan pedoman bagi warga masyarakat baik yang berupa memerintah,
mengatur, melarang, maupun menganjurkan. Ketentuan yang memerintah, misalnya
semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendak
itu kepada... dan sebagainya;33 Yang mengatur misalnya belum dewasa adalah mereka
yang belum genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin,34 yang melarang misalnya
perkawinan dilarang antara mereka... dan sebagainya; 35serta yang menganjurkan misalnya
didalam pengaturan lalu lintas terdapat rambu dengan tulisan belok kiri jalan terus.
32
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Liberty: Yogjakarta, 1993), hlm.1.
33
Subekti dan Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta; Pradnya Paramita, 1975), Pasal
50.
34
Subekti dan Tjitrosudibjo, op.cit., Pasal 330
35
Subekti dan Tjitrosudibjo, op.cit., Pasal 30
Kepentingan ini dilindungi oleh Undang-Undang. Jika kepentingan ini diganggu
oleh orang lain, contohnya, Tetangga sebelah rumha memperbaiki sepeda motor
dengan mencoba mesin dengan keras, hal tersebut menimbulkan sengketa Hukum.
4. Sengketa Hukum dapat juga ditimbulkan apabila terjadi pembuatan melawan
hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1369 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata oleh seseorang yang menimbulkan kerugian pada orang lain.
1. Negosiasi (Negotiation)
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Arbitrase
Arbitrase (Arbitration, bahasa inggris) merupakan suatu pengadilan swasta,
yang sering juga disebut dengan “pengadilan wasit” sehingga para arbiter dalam
peradilan arbitrase berfungsi layaknya seorang wasit (referee) seumpama wasit
dalam pertandingan bola kaki37.
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu
keadaan seperti di bawah ini:
1. Salah satu pihak meninggal
2. Salah satu pihak bangkrut
3. Pembaharuan utang (novasi)
4. Salah satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
5. Pewarisan
6. Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
7. Bilamana pelaksanaan perjanjian tsb dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tsb
36
M. Marwan dan Jimmy. P, Ibid, hlm.426
37
Munir Fuandy, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bhakti, Bandung,
2003,hlm. 12.
8. Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga permanen yang tetap berdiri untuk
selamanya dan tidak bubar meski perselisihan yang ditangani telah
selesai.Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah
pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan
pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian, sehingga terhadap
pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau
perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan
demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri
dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final, dibubuhi pemerintah oleh ketua
pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan
dalam perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau
peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan UU
Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
RI, jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional
Putusan arbitrase internasaional terbatas pada putusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan.
Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di Indonesia dan
keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum
Putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
5. Peradilan
Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila terjadi
suatu pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan
kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu
hakim. Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara itu
berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan
kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh
sebuah MK.
6. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang
umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di
lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
2. Pengadilan Tinggi
Permohonan kasasi
Sengketa tentang kewenangan mengadili
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-
pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Lalai memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali (PK) pada
tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yang diatur dalam perundang-
undangan.
Permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan PK dapat dicabut
selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut, permohonan PK tak dapat
diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA
melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama
dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan PK dapat
dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara yang secara khusus dikuasakan
dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.
Secara kekeluargaan atau dengan cara lain tidak boleh diselesaikan dengan
cara menghakimi sendiri (eigenrichting), tetapi harus diselesaikan melalui
pengadilan. Pihak yang merasa diruugikan hak perdatanya dapat mengajukan
perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana
mestinya, yaitu dengan menyampaikan gugatan terhadap pihak yang dirasa
merugikan dirinya38.
38
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum (Jakarta: Pustaka Kartini,
1988),hlm.21.
3.8 Kasus Sengketa Tanah
Pelepasan Lahan Bukit Rawi Tidak Dilakukan Ganti Rugi, Ini Penjelasan PUPR
Kalteng
BORNEONEWS, Palangka Raya - Pelepasan lahan di jalan Bukit Rawi Kabupaten Pulang
Pisau untuk pembangunan jembatan layang tidak dilakukan secara ganti rugi, melainkan
secara pemberian tali asih kepada pemilik lahan."Kita tidak melakukan ganti rugi untuk
pembebasan lahan di kawasan Bukit Rawi, tapi kita berikan tali asih, kan pembangunan
ini juga untuk kepentingan masyarakat," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Kalteng, Shalahuddin, Kamis
(15/11/2018). "Pembangunan ini akan bertahap dan tahap pertama akan dimulai pada 2019
dengan target 800 meter dulu," imbuhnya. Shalahuddin menjelaskan untuk tahap pertama
ini pemerintah pusat menyediakan dana sebanyak Rp67 miliar. Dia menerangkan
pembangunan jembatan layang tersebut berada di pinggir jalan utama desa Bukit Rawi.
Jadi, ketika memasuki musim kemarau atau saat tidak terjadi banjir, akan ada dua jalan
yang bisa dioperasikan di kawasan Bukit Rawi.
DPRD Kalteng: Masyarakat Bukit Rawi Diimbau Tidak Minta Ganti Lahan Terlalu
Mahal
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari materi penjelasan yang telah diuraikan, maka kami dapat menyimpulkan
1. Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan
berlakunya hukum perdata. Karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim,
hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan
sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. Dalam peraturan hukum acara perdata itu,
diatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan),
bagaimana caranya pihak yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim
bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan
memutus perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara
melaksanakan putusan hakim dan sebagainya sehingga hak dan kewajiban orang
sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
2. Sengketa atau dalam Bahasa Inggris disebut dispute adalah pertentangan atau konflik
yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai
hubungan atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan
akibat hukum antara satu dengan yang lain. Sengketa dapat bersifat publik maupun
bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional.
3. Terdapat dua jenis sengketa, yaitu :
Konflik interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan yang sama
terhadap satu obyek yang dianggap bernilai. Konflik kepentingan timbul jika dua pihak
merebutkan satu objek dan Klaim kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak lain
bersalah. Konflik karena klaim kebenaran diletakkan dalam terminologi benar atau
salah. Argumen klaim ini akan didasarkan pada terminologi kebenaran, bukan
kepentingan, norma-norma dan hukum. Konflik kepentingan lebih kompromis
penyelesaiannya dibanding konflik karena klaim kebenaran.
4. Terjadinya sengketa biasanya ditandai dengan Tahapan :
Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, yang mengacu kepada keadaan atau kondisi
yang oleh seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil
dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa
keadilan itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja. Yang terpenting pihak itu
merasakan haknya dilanggar atau diperlakukan dengan salah.
Tahap Konflik (conflict), ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya
dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar
haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhan itu. Pada tahap
ini kedua belah pihak sadar mengenai adanya perselisihan pandangan antar mereka.
Tahap Sengketa (dispute), dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung
karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Suatu sengketa hanya terjadi
bila pihak yang mempunyai keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat dari
pendekatan menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan secara
sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang
diinginkan.
5. Sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara formal yang berkembang menjadi
proses adjudikasi yang terdiri dari proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara
informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui
negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase. Peradilan, peradilan umum, dan sengketa
hokum yang diselesaikan secara kekeluargaan.
6. Ada beberapa jenis sengketa hukum yaitu ;
a. Sengketa Yurisdiksi (Geschillen Van Rechtsmacht) Sengketa ini antara satu
pengadilan dan pengadilaan yang lain tentang kewenangan mengadili
(kompetensi), baik yang absolut maupun relatif, yang dapat dibedakan menjadi
Sengketa yurisdikdi positif dan Sengketa yurisdiksi negative.b.
b. Perlawanan terhadap pelaksanaan putusan (eksekusi) yang dibedakan menjadi
dua, Perlawanan dari pihak tereksekusi pada pasal 197 ayat (8), Perlawanan dari
pihak ketiga (bukan berperkara) yang barang miliknya ikut serta eksekusi (sita),
Sengketa prayudisial dan Sengketa pemerintahan (bestuur geschillen).
7.
4.2 SARAN
Sering kali kita mendengar tentang terjadinya konflik sengketa tanah dimasyarakat
khususnya di Palangkaraya, Bukit Rawi Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah,
terjadinya konflik dalam permasalahan ini karena pemerintah tidak bisa menggantikan
kerugian inmateriil dari pemilik tanah tersebut. Jadi menurut kami seharusnya
Pemerintah bisa lebih memperhatikan kondisi masyarakat dan masyarakat pun
seharusnya sadar akan pentingnya pembuatan jembatan layang ini karena fasilitas ini
berguna untuk orang banyak maupun yang ada disekitarnya.
Maka dari makalah ini kami jadi banyak belajar mengenai permasalahan sengketa yang
ada dalam masayarakat. Namun karena pengalaman yang kami miliki masih kurang,
maka dari itu diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun dan kami mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya apabila
ada kesalahan dalam penyampaian isi dari makalah ini sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Rahardjo, Satjipto. 1985, Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Alumni.
Wijaya, Gunawan. 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT.Raja Grapindo
Persada.
Rambe, Ropaun. 2006, Hukum Acara Perdata Lengkap.Jakarta: Sinar Grapika.
Rahmadi, Takdir. 2010, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta:
PT.Raja Grapindo Persada.
Prodjodikoro, R. Wirjono. 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Penerbit
Sumur.
Muhammad, Abdulkadir. 1990, Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.
Mertokoesoemo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Subekti dan Tjitrosudibjo. 1975. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta; Pradnya
Paramita,
Fuandy, Munir. 2003. Arbitrase Nasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung:
Citra Aditya Bhakti.
Siti Megadianty, Adam dan Rahmadi Takdir. 1997. Sengketa dan Penyelesaiannya. Jakarta:
Indonesian Center for Environment Law.
Buku Referensi